Bukan hal mudah untuk membayar sesuatu yang disebut hutang budi, apalagi jika itu hutang nyawa. Aku tak ingin menyusahkan siapapun lagi.
Cahaya matahari pagi mengintip dari balik rimbunnya dedaunan pohon. Perlahan, Takashi membuka mata dari balik telapak tangannya –walau cahayanya tak langsung mengenai mata, masih terasa menyilaukan. Sebuah sengatan menjalar ketika ia menggerakan kakinya yang mengalami dislokasi sendi akibat terjatuh dari pohon. Takashi meringis menahan sakit yang melingkupi kakinya. Ini buruk, Takashi tak akan bisa kembali ke rumah utama dengan kondisi begini. Terlebih bisa dibilang ia keluar tanpa izin, para tetua itu pasti akan mengomelinya habis-habisan tak peduli dengan kondisinya yang tak menguntunkan seperti ini. Ia menghela napas panjang, setidaknya Madara berhasil ia segel sehingga tak akan ada tahu mengenai keberadaan kucing calico itu. Matoba-san, maafkan aku ...
Shigeru menghela napas, ujung matanya melirik Takashi yang masih duduk dengan kepala tertunduk. Di hadapannya ada Nanase dan beberapa orang utusan dari klan Matoba, menawarkan sebuah kesepakatan yang cukup membuat keduanya dilema. Shigeru menekuk jari-jarinya di paha, mencoba menyembunyikan kebimbangan yang menyelimuti pikirannya sekaligus rasa sesak di dada. Mulutnya nyaris terbuka sampai Takashi mulai membuka suara. Pemuda itu sudah mengakat wajahnya, menatap Nanase tanpa ragu.
"Aku ... aku akan ikut dengan kalian. Jika memang itu membantu kesembuhan Touko-san, aku tak apa-apa."
"Takashi-kun, tunggu dulu –"
Belum selesai Shigeru berbicara, Takashi sudah memotongnya, "Maafkan aku, Shigeru-san. Sungguh aku tak apa, aku akan berkunjung nanti. Tak perlu khawatir, demi kebaikan semuanya."
Seulas senyum terbentuk dari otot-otot di wajah Takashi. Shigeru meraih tangan pemuda itu, yang selama ini sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri, putranya tercinta, digenggamnya erat nyaris meremas lembut. Beberapa kali terdengar ujaran meminta maaf sekaligus menyesal telah membuat Takashi harus berkorban untuk dia dan istrinya. Takashi masih tersenyum, ia mengangguk pelan.
"Kami akan kembali lagi lusa untuk menjemputmu, Natsume-kun. Pastikan kau sudah menyiapkan semua yang kau perlukan."
"Aku mengerti, Nanase-san. Terima kasih sudah mengingatkan."
Nanase dan orang-orang yang datang bersamanya pun pamit untuk pulang, keduanya mengantar sampai depan pintu, melihat mereka pergi sampai tak terlihat lagi. Seketika itu pula Shigeru memeluk tubuh kurus Takashi. Berat rasanya harus melepas pemuda itu, dan membiarkannya tinggal dengan keluarga lain.
Klan Matoba, sebuah klan besar dan ternama dalam dunia pengusiran youkai, menaungi 11 keluarga, dan salah satu yang masih bertahan di tengah banyaknya klan yang mesti tumbang. Dipimpin oleh seorang pemuda bernama Matoba Seiji, yang ternyata hanya berbeda tujuh tahun dari Takashi. Sulit dipercaya memang, di usia yang masih sangat muda sudah mengepalai klan besar sekaligus beban yang tentu tak sembarang orang bisa memikulnya. Tak heran jika, Nyanko-sensei sampai menaruh kewaspadaan berlebih pada pemuda berambut hitam itu, saat pertama bertemu. Entah bagaimana nasibnya jika sudah pindah nanti.
–o0o0o–
"Ketua klan kami sangat tertarik dengan putra angkatmu, Natsume Takashi," Nanase membuka percakapan dengan langsung mengutarakan maksud kedatangannya. "Alasan mengapa tertarik dikarenakan Natsume Takashi-kun memiliki sesuatu yang spesial, ditambah kami juga sedang mempersiapkan calon penerus klan. Proyek jangka panjang kami."
"Tunggu sebentar, apa maksudnya dengan sesuatu yang spesial, dan calon penerus klan. Ini sangat tiba-tiba sekali."
"Fujiwara Shigeru, kami tahu bahwa istrimu sedang sakit parah dan sampai sekarang penyebab sekaligus obatnya belum ditemukan. Kami bisa membantu, namun tentu saja itu tidak gratis."
"Berapa biayanya?"
"Bukan uang yang kami inginkan, seperti yang sebelumnya kukatakan, putra angkatmu, kami menginginkannya." Baik Takashi dan Shigeru, keduanya terdiam. "Anda tahu mengapa Natsume Takashi selalu berpindah asuhan? Karena dia memiliki sesuatu yang spesial. Anggaplah ketua kami ingin menjadi sponsor, dengan demikian Natsume Takashi bisa menjadi calon penerus berikutnya."
Fujiwara Touko sudah dari beberapa bulan lalu mengalami penyakit yang tak diketahui penyebabnya. Di sekujur tubuhnya dipenuhi garis-garis hitam yang melingkupi, seperti ratusan ular yang semakin hari jumlah garisnya bertambah. Natsume mengira bahwa ini penyakit yang datangnya dari youkai atau tumbuhan yang tak kasat mata, sebab dari hasil pemeriksaan laboratorium rumah sakit pun tak menemukan penyakit seperti ini, namun mereka dari pihak medis masih berusaha untuk menyembuhkan penyakit aneh ini.
Entah kebetulan atau memang pertalian takdir, kabar mengenai keluarga Takashi sampai pada Klan Matoba dan membuat pemuda itu sedikit takut jika mereka akan melakukan hal buruk dengan keadaannya yang sedang tak menguntungkan seperti ini. Sehari sebelumnya ia sudah mencoba menanyakan pada beberapa youkai yang dikenalnya, berharap jika mengetahui mengani penyakit aneh ini. Sayangnya, mereka pun tak tahu, sampai pada siang ini, orang-orang Matoba itu datang dan menawarkan sebuah kesepakatan. Sejujurnya, Takashi tak ingin berburuk sangka, tapi kenapa bantuan harus datang dari mereka yang selama ini ia hindari?
"Kami memiliki obat yang bisa membantu penyembuhan istri Anda. Bagaimana?"
Tidak, mereka menginginkan lebih dari itu, batin Takashi.
Disclaimer: Midorikawa Yuki – Natsume Yuujinchou
Genre: Angst, Romance
Warning: M, Alternative Universe, Mpreg, Gore, Hardcore, Yaoi, Typo(s), out of Characters, etc.
-Dua bulan kemudian-
Rasanya masih belum terbiasa
Sejak hari itu, hari di mana aku harus meninggalkan rumah pasangan Fujiwara, semuanya berubah. Aku terpaksa berhenti sekolah, namun sebagai gantinya selalu ada guru yang datang untuk mengajar. Orang-orang lansia yang dituakan, disebut tetua, pun ikut mengawasiku. Sampai saat ini, aku belum bertemu dengan teman-teman, Natori-san, juga Nyanko-sensei. Seperti dalam sangkar, mereka melakukannya hanya untuk seorang 'penerus'. Matoba-san saja masih mampu dan masih muda, kenapa mesti mempersiapkan orang yang bahkan terlahir dari luar klan?
"–me, Natsume-kun."
Takashi tersentak dari lamunannya, bola matanya bergerak mengikuti arah si pemilik suara. Matoba Seiji. "Ada apa?"
"Aku baru sempat menanyakannya sekarang," Seiji memajukan tubuhnya lebih dekat pada Takashi, melihat pemuda itu lurus di matanya. "Kucingmu, kenapa dia tak ikut denganmu?"
"Bukankah kau sudah mendapatkanku, apa itu masih kurang untuk kau manfaatkan, hn?"
Seiji tersenyum tipis, "Sepertinya kau salah sangka. Aku hanya bertanya saja. Tenanglah, hanya sedikit yang tahu mengenai kucing itu, kami bukan tipe yang gegabah dalam mengambil tindakan."
Takashi reflek memundurkan tubuhnya, menjaga jarak aman. "Matoba-san, aku berada di sini bukan untuk memuluskan caramu, ini demi melindungi orang-orang yang kusayangi."
Iris rubi Seiji mengilat, dengan cepat dan tanpa Takashi duga kedua tangannya sudah dicengkeram erat, seperti memaku tubuhnya agar menempel pada dinding. Seiji memojokkannya. Berdua, hanya ada mereka di perpustakaan keluarga. Takashi mendengus kesal meminta untuk dilepaskan.
"Dengarkan aku, yang kau hadapi ini bukan masalah antara kau dan aku, melainkan kau dan Klan Matoba. Apa yang terjadi padamu atau pasangan Fujiwara bukan sepenuhnya keinginanku. Menjadi ketua tidak sepenuhnya keputusan bisa kuambil, tetapi aku harus mempertimbangkan pendapat para tetua. Mereka itu perwakilan dari 11 klan yang kubawahi. Jadi, bisakah kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin dan sedikit membuka hatimu?"
Tunggu, apa maksudnya? Jangan bilang mereka memang tahu sejak awal dan Touko-san sakit juga karena–
Takashi tak bisa saling bertatapan lebih lama, pandangannya merendah, menahan gemuruh kekesalan dalam dada, ia hanya melihat leher sampai dada Seiji. Ada sesuatu yang membuatnya semakin tak terbiasa dengan pria ini, Takashi hanya ingin kembali pada pasangan Fujiwara. Ia menghela napas, "Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan, Matoba-san."
Seiji meregangkan sedikit cengkeramannya sembari memajukan lagi tubuhnya agar semakin dekat. Semburat merah tergambar samar di pipi pucat Takashi saat Seiji menempatkan wajahnya pada pundak pemuda itu. Sedikit gumaman samar Takashi dengar, tidak begitu jelas sampai ia meminta untuk Seiji mengulang apa yang barusan dikatakannya barusan.
"Mereka menginginkanmu bukan untuk sebagai penggantiku, melainkan sebagai istriku."
–Deg!
"A-apa?"
"Alasan mengapa mereka mengisolasimu karena mereka tak ingin kau terlalu dekat dengan Natori, dan menginginkan kekuatanmu. Seperti yang sering kukatakan padamu sebelum-sebelumnya, aku memang tertarik denganmu dalam berbagai arti."
Matoba-san. "Aku tidak mengerti."
"Aku tak pernah berniat menyakitimu, aku hanya tak tahu bagaimana caranya mendekatimu. Mengetahui kau akhirnya bergabung dengan Klan Matoba, sejujurnya aku merasa senang, tapi bukan dengan cara seperti ini."
"Bukankah ini cara kalian untuk mendapatkan sesuatu?"
"Tapi tidak untukmu, aku tak ingin lebih jauh menyakitimu. Setidaknya, aku ingin melindungimu dengan tanganku sendiri. Dengan caraku sendiri."
Untuk pertama kalinya aku melihat sisi lain dari Matoba-san. Dia memang mengatakan soal ingin melindungiku jika bergabung dengan klannya, tapi aku benar-benar semakin tak paham dengan cara berpikirnya. Jika ia bisa dengan mudah menyakiti bahkan tak memperdulikan orang lain, bagaimana denganku? Tapi dia bilang, berbeda jika orangnya adalah aku. Kau membuatku semakin tak mengerti, Matoba-san.
Seiji melepaskan cengekeramannya, mengangkat kembali wajahnya, menyingkirkan sedikit rambut yang menutupi sebagian wajah. Takashi masih belum berani menatapnya. Ia kikuk. Suasana yang tadinya sempat terasa tak nyaman berubah menjadi canggung. Seiji membalikkan badan berniat untuk keluar, namun lengan kimononya ditarik Takashi. Seiji melihat pada pemuda itu lewat pundaknya seakan bertanya apa yang kali ini Takashi ingin katakan.
"Hm?"
"Aku... aku akan bertahan sebentar lagi jika itu bisa memperbaiki hubungan kita."
Hubungan? Naif sekali. "Oya, Natsume-kun, tak perlu memaksakan diri. Perlahan saja, kita bisa menjalaninya bersama."
"Aku bukan membencimu, Matoba-san," Takashi tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang sedikit merona, "Aku hanya tak suka dengan caramu, dan bagaimana kau memperlakukan orang lain."
"Aku mengerti, mungkin dengan begini kita bisa mengenal satu sama lain lebih jauh. Maaf ya soal kesan pertama yang cukup membuatmu trauma."
"Tak mengapa, kau hanya berbeda. Itu saja."
Ia kembali berbalik, mengangkat tangan kemudian menepuk kepala Takashi. Manis sekali. Seiji tersenyum, "Terima kasih."
.
.
Yatsuhara
16:45 PM
"Kau tak menemuinya, Madara?" tanya Hinoe sembari mengepulkan asap cerutu dari mulutnya, "Kau bahkan terlihat santai sekali."
"Aku sedang menunggu waktu yang tepat, biarkan saja dia dulu. Si Bocah Matoba itu paling-paling hanya gemar menggertak saja."
"Oh? Lalu bagaimana dengan pengusir youkai berkacamata itu? Bukankah dia dekat dengan Natsume?"
"Natori? Biarkan saja, aku tak punya urusan dengannya." Telinga kucingnya bergerak-gerak malas, "Lagipula anggaplah ini latihan untuk Natsume. Aku tak ingin dia terus-terusan lemah."
Hinoe mengangkat sebelah alisnya, dari mulutnya kembali ia kepulkan asap. "Yah, jangan sampai kau menyesal saja nanti, Madara."
–o0o0o–
Sebulan berselang setelah percakapan kami di perpustakaan, mereka yang disebut tetua itu benar-benar serius mengenai menikahkanku dengan Matoba-san. Di satu sisi, aku masih tak mau menerimanya, tapi di sisi lain, aku juga mengenal Matoba-san lebih jauh. Mungkin sedikit mengerti kenapa dulu Matoba-san dan Natori-san pernah berteman cukup dekat adalah karena sifat Matoba-san yang terlalu terus terang, bahkan terbawa sampai sekarang. Harus diakui itu memang menyebalkan, tapi setidaknya berbeda denganku yang harus terbiasa melakukan kebohongan; begitu pula Natori-san. Nyanko-sensei sekarang apa ya?
Balutan kimono putih dan merah terlipat rapih di atas ranjang, begitu juga dengan pernak-pernik pelengkap lainnya. Perasaannya campur aduk dan entah harus bagaimana ia harus mengungkapkannya. Ada rasa senang saat Takashi menerima kabar bahwa Touko kondisinya mulai membaik, ada rasa muak dengan paksaan menikah dari para tetua itu, ada juga rasa khawatir pada mereka yang selama ini tak sempat Takashi hubungi. Biasanya jika perasaan Takashi sedang tak jelas rasanya, ia akan menghubungi Natori Shuuichi untuk meminta saran, namun ia urungkan karena pasti akan membawa masalah untuk pria berkacamata itu.
Seandainya aku punya kesempatan untuk bicara dengan Natori-san, walau hanya sekali itu tak mengapa.
Seekor kupu-kupu terbang masuk melalu celah teralis kayu ventilasi, kupu-kuupu berwarna merah muda yang cantik. Melihatnya entah kenapa membuat Takashi tersenyum. Rasanya sudah lama sekali ia tak keluar rumah untuk sekadar melihat pemandangan atau berjalan-jalan di sekitar halaman. Kepakan sayap kupu-kupu itu seperti menaburkan serbuk-serbuk emas yang berkilauan. Tunggu, jangan-jangan ...
Tepat sesuai dugaan Takashi, kupu-kupu itu bukan serangga biasa. Kepulan asap dari kupu-kupu itu memunculkan sesosok youkai yang ia kenal. "B-Benio-san?!"
"Ah~ Natsume-sama, lama tak berjumpa. Ternyata memang sulit ya memasuki rumah ini." Ujar youkai wanita itu sambil senyum tanpa beban dan mengibas-kibaskan tangannya, "Bagaimana keadaan Anda?"
"A-aku baik-baik saja, tapi kau tak seharusnya berada di sini kan."
"Aku tahu, aku hanya ingin mengetahui keadaan Natsume-sama. Madara-sama diam-diam khawatir, kami juga."
"Maaf membuat semuanya khawatir, tapi sungguh ini tempat yang berbahaya untuk kalian. Kumohon menjauh dahulu, jika aku punya kesempatan pasti akan kukunjungi lagi Yatsuhara."
"Natsume-sama ... ah, ya, baiklah. Maaf jadi membuat susah, setidaknya aku bisa membawa kabar ini pada yang lainnya. Sampai nanti."
Benio kembali pada wujud kupu-kupunya, meninggalkan Takashi sendiri di kamar. Ia mengembuskan napas lega, setidaknya Benio tak akan dimanfaatkan orang klan ini dan menjadikan youkai itu shiki. Rasa kesepian kembali melingkupi hatinya, percakapan singkat tadi belum sepenuhnya mengurangi kekosongan di dada Takashi. Apa aku bisa meminta bantuan Matoba-san?
.
.
"Anak itu bukankah memiliki youkai yang kuat bersamanya? Kenapa tak kita manfaatkan saja?" Ujar salah seorang tetua. Pertemuan sore yang mana Seiji harus ikuti untuk mendiskusikan mengenai rencana jangka panjang mereka. "Tuan Muda Seiji, apa yang membuat Anda jadi bertindak setengah-setengah begini?"
Inugami itu ... mungkin sengaja menjauh. Sesapan teh menyentuh sisi bibirnya, "Tidak, youkai itu sudah meninggalkannya. Bukankah itu bagus, kalian bisa leluasa menangkapnya tanpa harus berurusan langsung dengan Natsume-kun."
"Anda tak berniat menangkapnya?"
Seiji tersenyum tipis, meletakkan kembali cangkir tehnya di atas meja seakan memberi isyarat bahwa ia memiliki prioritas lain. Iris opal Takashi melebar, menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Perlahan ia berjalan mundur, mencoba menjauh, kemudian berlari mencari jalan keluar. Seiji mengkhianatinya, pikiran itu yang muncul berkali-kali dalam pikiran Takashi. Rasanya sakit bahwa memang salah ia memberi kesempatan pada pria itu. Sensei!
"Natsume-kun, lebih berguna dibanding youkai yang bersamanya. Tapi jika kalian memaksa, mungkin kalian tak akan mendapatkan apa-apa. Biarkan saja dia, yang terpenting saat ini adalah Natsume-kun benar-benar menjadi bagian dari Klan Matoba. Untuk apa mengorban shiki kita untuk hal yang tak berguna sama sekali, membuang waktu dan tenaga saja. Apa aku salah?"
Aku hanya ingin melindunginya.
"Tidak, Anda tidak salah, Tuan Muda. Maaf meragukan, Anda."
"Fokuskan saja pada acara lusa, persiapannya hampir sele–"
"Maaf mengganggu Anda," seorang pelayan membuka pintu, membungkuk hormat dengan wajah sedikit pucat, "Saya membawa kabar buruk, anak itu baru saja kabur setelah berhasil menerobos penjagaan dari para shiki."
"Kejar."
Napas Takashi terus memburu, dengan andrenalin yang terus berpacu, dengan kaki telanjang terus memaksanya untuk terus berlari. Punggung tangannya mengusap air mata yang masih mengalir di pipi. Takashi kembali mempertanyakan tentang arti melindungi yang dimaksudkan Seiji padanya, apakah melindungi itu masih sama saja dengan memanfaatkan, atau memang seperti ia direngkuh dalam pelukan Seiji. Bukan. Bukan yang seperti ini yang Takashi harapkan.
Setelah berlari cukup jauh dan merasa tak ada lagi yang mengejar, Takashi menghentikan langkahnya. Tangannya ia sandarkan pada pohon, mencoba mengatur napasnya kembali. Telinganya juga masih awas dengan sekitar, khawatir jika ada yang mungkin ia lewatkan. Tangan Takashi menyusup dalam kimono, mengambil yuujinchou untuk memanggil youkai. Ia harus bergerak lebih cepat dibanding dengan orang-orang Matoba itu, jika terlambat mungkin Takashi tak akan bisa bertemu dengan Nyanko-sensei lagi. Diambilnya sebuah batang kayu yang tidak terlalu besar untuk membuat sebuah lingkaran sihir, di tengah lingkaran sudah ia letakan cermin kecil, dan beberapa tetes darah.
Takashi menyatukan kedua telapak tangannya seraya memejamkan mata, kemudian mulai merapal mantera,"Kau yang melindungiku, kupanggil engkau dengan namamu. Memanggil! Misuzu!"
Sebuah kepulan asap mengelilinginya dan memunculkan semacam youkai besar berbentuk kuda. Misuzu menundukkan kepalanya lalu membuka matanya. "Aku datang, Natsume-dono. Senang bisa memenuhi panggilan, Anda."
"Terima kasih. Misuzu, tolong bawa aku ke tempat Nyanko-sensei."
"Natsume-kun," suara yang familiar di telinga Takashi, sampai membuat pemuda itu berbalik dan menatapnya. Sosok pria yang baru saja keluar dari balik pohon. Wajah Takashi tanpa ekspresi dan jelas rasa kecewa bergumul di hati. "Sepertinya kau salah paham."
"Tidak ada salah paham di sini, kau memang tak ada bedanya dengan mereka, Matoba-san."
"Aku hanya mencoba melindungimu."
"Tidak, kau hanya memanfaatkanku. Aku tak bisa bertahan lebih lama lagi di sana, aku akan pergi." Misuzu membawanya naik di atas pundak, terlihat bahwa memang Takashi kecewa pada Seiji. "Jalan kita memang berbeda."
Hempasan angin dari Misuzu saat terbang tak membuat Seiji bergerak dari tempatnya berdiri, tak pula membuatnya untuk melesatkan anak panah pada youkai itu untuk mengambil kembali paksa Takashi. Matanya masih melihat pada sosok mereka yang semakin jauh sampai akhirnya tak terlihat lagi. Kita pasti akan bertemu lagi, Natsume-kun.
[Bersambung]
[Preview: Kapitel 2]
"Kau berniat mengkhianatiku, Natsume! Kumakan kau!"
"Maafkan aku, Nyanko-sensei," Takashi menyatukan kedua telapak tangannya, tatapannya kosong, sedang Madara berusaha melepaskan diri dari jeratan tali yang mencengkeram erat hampir setiap bagian tubuhnya, "Menyegel."
...
Rona merah itu semakin menjadi saat Seiji menggigit telinga Takashi. Embusan napas Seiji dapat Takashi rasakan. Panas sedikit memburu. Vibrasi berbeda terasa sampai ke punggung saat Seiji mulai turun ke bagian leher. Mengecup lembut kulit putih pucat Takashi.
"Ah."
Seiji hanya tersenyum, samar tapi jelas sekali di telinganya. Suara Takashi membuatnya semakin berani untuk bergerak lebih jauh. Ia pun memundurkan badannya, ingin melihat wajah pemuda tanggung itu. Merah dan sangat manis. Seiji mengecup dahi Takashi cukup lama, kemudian turun ke hidung, lalu berhenti di bibir mungilnya.
...
"Itu hanya surat biasa, aku mohon maafkan aku," isak Takashi sembari memohon, namun suaminya tak sedikitpun menatap balik, "Seiji-san, aku mohon."
"Natori, ya. Kau tahu kan hukuman apa yang harus diterima untuk seorang pengkhianat, hm?"
[A/N]
Kapitel 1, beberapa bagian masih samar ya, tapi tenang ini masih pemanasan. Kapitel selanjutnya mulai sedikit terbuka kok, pelan-pelan kayak membangun hubungan dan kepercayaan antara Matoba dan Natsume :3
Sampai ketemu lagi!
Kuroneko Lind