Chapter sebelumnya..

.

Helaan nafasnya berhenti ketika paru-parunya menghilang.

(Pastikan tidak ada serpihan daging yang tersisa. Lalu letakkan semua senjata yang kau inginkan.)

.Itu terasa bagai seabad, ketika akhirnya ia selesai. Sasori meletakkan tabung berisi jantungnya kedalam rongga kosong di dadanya tepat ketika jurus itu perlahan memudar. Ia terhuyung sesaat di atas genangan darahnya sendiri, tersenyum samar pada kesuksesannya.

.

Lalu semuanya berubah menjadi gelap.


Neverland – chapter 2-

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Neverland fanfic © Wammy'sHouseReject

I just translate it into Indonesian :D

.


Dua ninja Jonin Suna menemukan genangan darah yang membanjir ditengah-tengah padang pasir—berikut sebuah badan dengan kepala berambut merah pendek ditengah-tengahnya, hampir tak dikenali. Tapi kemudian mereka menyadari sesuatu ditengah kubangan darah yang menggenang itu.

"Well, kelihatannya cucu Chiyo itu sudah mencapai batas kewarasannya,huh?" kata salah satu dari mereka, menyentuh genangan darah itu kasar dengan kakinya.

(Sasori telah sadar kembali sekarang.)

"Yeah. Parah sekali,ya?"

"Biasa saja ah. Sekarang kita mesti menyeret mayat gilanya kembali ke desa."

.

(Sasori langsung membunuh mereka berdua sebelum mereka menyadari kalau ia tengah memegang sebuah katana.)


Chiyo tengah berjalan-jalan menyusuri desa dengan keheningan yang kelam. Para penduduk berbisik-bisik di belakangnya ketika ia lewat.

("Kau sudah dengar berita tentang cucu Chiyo-sama?"

"Sasori? Memangnya apa yang terjadi dengannya?"

"Dia kabur. Menghilang begitu saja pada tengah malam kemarin."

"Benarkah? Kasihan sekali Chiyo-sama.")

Chiyo berpura-pura tak mendengar semua itu.

"Chiyo-sama pasti sangat kecewa."

"Kecewa bagaimana? Kau lihat anak laki-laki itu, dia kelihatan agak tidak waras! Kukira tak terlalu buruk kalau ia pergi."

(Mudah-mudahan ia mati kelaparan ditengah padang pasir.")

Chiyo menggigit bibirnya, menahan air mata yang hendak keluar. Ia berjalan kembali kerumahnya dan mengunci pintu. Menghela nafas dalam-dalam, ia bersandar ke tembok dan terduduk perlahan.

"Sasori.."

Ia masih bisa mendengar suara cucu kesayangannya bergema sayup-sayup di rumah yang kini kosong itu.

"Nenek, lihat apa yang aku buat! Bagus, kan?"

Sebuah senyuman getir perlahan terukir di wajah tuanya saat terkenang pada memori itu. Tentang kilatan kebanggaan yang muncul di mata hazel cucunya yang biasanya sayu dan redup. Bangga akan sesuatu yang spesial yang berhasil ia buat.

Ia memaksa dirinya untuk berdiri kembali—dan berjalan menuju kamar Sasori.

Tempat tidurnya masih tertata rapi. Semua boneka-bonekanya sudah tak ada, kecuali boneka kedua orang tuanya yang ia buat bertahun-tahun yang lalu.

Sasori tersenyum dalam pelukan 'Ayah' dan 'Ibu'nya, sampai ilusi indah itu menggelap, dan dunia khayalan kecilnya pecah berkeping-keping lagi untuk kesekian kalinya—menyisakan rasa rindu pada kedua orangtuanya yang disimpannya sendiri dalam hampa.

Chiyo merangkul kedua boneka itu, meraihnya perlahan—dan menangis.


Pemuda berambut merah itu merangkak keluar dari Hiruko, mengibaskan debu-debu yang menempel di helaian rambutnya—sisa dari misi tadi.

(Ia perlu memperbaiki Hiruko segera. Sialan Deidara dan bom konyolnya.)

Ia teringat pada tanggal sekarang. Delapan November..hari lahirnya.

Ia genap berusia tiga puluh lima tahun hari ini.

Tanpa memedulikan ocehan berisik Deidara, ia masuk kekamar mandi untuk melihat ke cermin—untuk melihat refleksi wajah yang sangat ia kenal. Ia perlu mengeceknya.

Tidak..ia tak menua barang sehari pun. Tetap terlihat tampan,muda—dan manis seperti tahun-tahun sebelumnya.

Inilah seni yang sesungguhnya.

.

.

(Inilah keabadian.)


.

Kematian terasa begitu asing—saat kedua tangan dinginnya merangkul Sasori saat ini.

(Menggelikan. Tak pernah terpikir olehnya kalau ia akan mati.)

Terasa asing, tapi tak begitu menyiksa. Kedua tangan milik sang maut kini sudah utuh melingkupi tubuh kayunya saat ini.

Ia tak pernah benar-benar tumbuh menjadi tua, iya kan? Hampir seluruh hidupnya terpakai hanya untuk lari dari kematian. Menghindar dari itu.

Tak pernah ingin menjadi dewasa.

(Tak pernah mau untuk mati.)

Tapi sekarang sudah tak ada pelarian konyol itu lagi. Kematian telah datang.

Ia pikir ia telah menemukan Neverland-nya. Tempat dimana kesedihan tidak pernah ada. tempat dimana anak-anak tak perlu tumbuh menjadi dewasa. Tempat dimana ia tak pernah tumbuh jadi dewasa. Tidak pernah perlu untuk menghadapi ketakutannya yang melumpuhkan akan kematian.

.

.

(Tak pernah perlu untuk menghadapi kedua orang tuanya, dan menjelaskan kepada mereka semua hal-hal bodoh yang telah ia lakukan.)

.

Kini sudah sangat terlambat untuk menyadari bahwa tak ada yang perlu ditakutkan dari kematian. Semua manusia-termasuk dia- sekeras apapun usaha yang mereka lakukan,maut pasti suatu saat akan menghampiri dengan tangan dinginnya yang tak terhindarkan.


.

(Ring around the rosie, a pocket full of posies, ashes, ashes, we all fall down.)


.

.

.

.

-TAMAT-

.

Translator's note: Maaf kalau ada kalimat yang terkesan kaku dan terlalu formal di cerita ini. susah juga mencari padanan kata Indonesianya-tanpa merubah emosi dan feel cerita. ^^

.

Thanks for reading.