Ia mengingat cuaca di pegunungan saat musim dingin ketika terbangun. Ketika kelopak matanya bergetar berusaha membuka; ketika mulutnya mengucap sedikit silabel tanpa makna.

Ia tahu ia tidak sedang berada di salah satu pegunungan tinggi dan ia juga tahu sekarang bahkan belum musim dingin― baru kemarin rasanya ia melangkahkan kaki di antara timbunan daun yang menguning; angin dingin mengiris tajam lapisan kulit, musim gugur baru saja datang dan belum saatnya pergi― jadi ia sedikit kalut. Takut. 'Ada apa sebenarnya?' Pertanyaan yang sungguh simpel.

Seandainya ia bisa mengucapkan beberapa baris kata.

"Uh... uhh..." tapi yang sedari tadi keluar dari mulutnya hanyalah erangan tak nyaman. Menggeliat pelan di atas permukaan dingin (Baja? Keramik? Yang manapun) yang begitu menusuk bagian belakang tubuh; seakan tak bersandang, dan perasaan itu memakan sedikit responsif hingga alarm personal berbunyi; ia menggeliat tak berhenti.

"Oh, please, shut it out." Gerutu berbahasa asing dengan aksen yang khas bergema, berdering dan saling memantul seperti bola pingpong di dalam gendang telinga maupun ruang otaknya. Ada bunyi kain tercabik bilah baja. "Aku takkan bisa menyelesaikan tugasku dengan rapi jika Nona terus menggeliat dan memberontak seperti ini."

"I-I beg your pardon?" Dengan kasual ia membalas seakan mengucap dalam bahasanya sendiri, walau nada yang keluar terlalu halus untuk didengar. Ia terbatuk kecil: tenggorokannya kering. Dan seperti ada lubang–suatu lubang, yang membuat tangannya gatal untuk bergerak dan menggaruk kerongkongan.

Hela napas kagum, bunyi cabik senyap sejenak. "Jadi, Nona mengerti English." Suara gunting yang awalnya sempat berhenti, kembali. "Sangat mengejutkan. Padahal yang kudengar Nona bahkan bukan orang sini; bahasa Inggris Nona bagus."

Ia ingin berucap terimakasih; walau rasanya itu tidak tepat untuk dilakukan saat ini karena ia masih punya hal lain yang lebih penting untuk dikatakan daripada mengambil sedikit rasa bangga dari kemampuannya bermulti-bahasa― jadi mulutnya mengatup sejenak, lalu berdeham. Tenggorokannya masih terasa begitu mencekat, dan seakan seluruh oksigen yang telah terhisap keluar dari sana; ia merasa dicekik dari dalam.

"Si... Siapa? ...Kau..." Mungkin tidak cukup, tidak cukup, batinnya memaksakan diri. Ia ingin berkata lebih banyak, bertanya lebih banyak. Dimana ia, tempat apa ini, kenapa ia berada disini... dan lain sebagainya. Begitu banyak hingga ia tidak bisa merangkainya satu-satu; tidak bisa secara beruntun menanyakannya― selain rasa tertekan yang menghimpit dadanya. Oh, ia terbatuk lagi.

Kenapa disini udaranya dingin sekali?

Bulir emerald mengarah padanya; ada kesan tajam dalam mata itu, seperti sedang menganalisis. Sebelum sang pemilik menghela napas panjang dan menarik salah satu sarung tangan karetnya lebih erat (...tunggu sebentar, apa yang ada di ujung jari itu noda darah?) lalu ia bertanya-tanya 'Hal brengsek apa yang sedang berlangsung disini?' karena ia tidak bisa menangkap, walau hanya secuil, tanda-tanda yang nampak.

Dan bukan intensinya pula diberi penalti kasar oleh si asing bermata emerald.

"Nona sudah mati. Dan aku adalah seorang perias jenazah―tunggu sebentar, itu tidak terdengar benar." Sepasang alis tebal bertaut, berpikir keras. "Ah, akan kujelaskan dengan lebih mudah pada Anda. Listen― Nona punya keluarga, dan keluarga Nona ingin Nona tetap terlihat sempurna sekalipun secara teknis, Nona sudah tiada. Dan, tadaaa... disinilah aku dibutuhkan."

Keceriaan yang tidak dibarengi dengan perubahan air muka. Dan apa barusan dia bilang? Dirinya ma... mat...

"...Aku belum mati." Suaranya serak, dan ia benci itu. Jadi ia ulangi sekali lagi. "Aku belum mati."

Dengus bosan. "Mereka pun banyak mengatakan hal yang sama."

.


.

Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya

AU

` Beyond Dead `

- ariniad -

Mystery/Horor/Angst

T

Summary: AU. 'Bagaimana rasanya berbicara kembali dengan dia yang telah menghadap Kematian?' England-Fem!Indonesia. T for slight gore.


.

Main Characters:

England/Britain: Arthur Kirkland

Fem!Indonesia: Kartika I. Pertiwi

Based on a movie in Credit below

.


.

Ia tidak begitu ingat terakhir kali sebelum ia berakhir pada permukaan dingin di bawah kulitnya; ia hanya ingat... oh, hujan turun begitu deras dan langit menjadi kelabu, dan ia mengambil kesempatan untuk menatap langit.

Memetakan setiap kumpulan awan yang berarak membawa rintik hujan, merasakan beberapa di antaranya menitik pada salah satu bagian wajah; lalu meneruskan perjalanan mencari tempat dimana sekiranya ia dapat berteduh dari tirai air yang semakin merapat dan mengancam tubuhnya dengan dingin– dan sesegera mungkin mengunci diri dalam kamar dan untuk waktu lama berdiam di sana; hanya berdiam, sembari membuat basah sarung bantal.

Namun mungkin menangis di bawah hujan bagus juga... Dan tiba-tiba topengnya retak; terjatuh. Mendongak ke arah langit dengan mata tertutup– lengking suaranya menembus langit.

Lalu sorot cahaya jadi begitu membutakan dan―

"Aku samasekali tak mengerti."

Ia tidak bisa terlalu lama membuka mata, sinar bulai dari lima lampu silinder menyakiti retina. Dan menyorot langsung ke arah muka―atau kemana-mana, tapi ia hanya fokus pada satu detail, so... Great. "Aku benar-benar tak mengerti... aku? Mati, kaubilang?" Kepala seseorang, dari salah satu sudut matanya, mengangguk. "Yang benar saja, aku masih baik-baik saja sebelum ini."

"Kematian tidak pernah memilih korban, Nona." Bunyi benang ditarik melewati daging dan kulit. "Ketika waktunya tiba, maka tibalah. Maka nyawa seseorang akan dicabut semudah tornado mencabut pohon hingga ke akar... dan dari sana Kehidupan seseorang di dunia ini berakhir."

Sunyi. "Kau sedang berbicara denganku."

Emerald memandangnya lagi. Ia tidak terlalu yakin, tapi pasti... "Aku adalah orang yang istimewa." Mengalir ke kanan. "Setidaknya, itulah yang sering Kiku katakan. Berpalinglah ke samping kiri, Nona."

Selaput karet dingin dan sedikit berbau anyir khas formalin, mengarahkan kepalanya ke samping. Ia tak tahan untuk tertawa menyindir. "Aku kaku, ingat? Dan nampaknya kau bisa melakukannya sendiri tanpa bantuanku."

"Aku sedang berusaha menjadi seorang pria baik-baik di hadapan orang asing yang kebetulan adalah seorang wanita dan klien... Nona."
"Gentleman freak."
"Please, aku sedang bekerja, disini." Tangan telentang dan mengarah ke bawah, seakan ingin mempertunjukkan 'karya' yang sedari tadi dikerjakannya. "Bisakah Nona menjadi may– maaf; jenazah yang baik? Aku janji sehabis ini Nona akan merasa lebih baik."

Seperti membujuk anak kecil dengan permen; oh, perlukah ia mengingatkan lelaki ini bahwa ia tidak semudah itu dibuai? Dan kenapa setiap kali jarum berbentuk kail itu menancap dalam pada kulitnya, ia samasekali tak merasakan apapun? Sedikit sentakan rasa sakit, minimal– namun tak ada. Damn, obat apa yang orang ini pakai?

Dan di atas semua itu; kenapa ia tetap sadar jika memang benar ia diberi obat anestesi?

"Itu karena Nona sudah mati." Decak frustasi menggaung di langit-langit. "Bloody hell, kenapa selalu susah sekali menyakinkan para klien kalau mereka sudah tidak hidup lagi?"

"Karena aku tidak percaya padamu." Nada suaranya tajam membius– mendesis bagai ular derik yang tersudut. Jarum-kail-apalah mengait di pertengahan dan gerakan berhenti, sang penjahit menaikkan sudut badannya sedikit. "Karena. Aku. Tidak. Percaya. Padamu. Kau asing dan kau aneh dan segala yang sedang terjadi disini sangat-sangat tidak masuk akal bagiku! Bagaimana kau bisa percaya pada seseorang yang bahkan baru kali ini kautemui dan tentang kemungkinan ini semua cuma omong kosong? Jawabannya adalah: TIDAK. Jangan pernah berharap aku mau percaya dengan setiap kata-katamu Tuan Gentleman. I won't buy it, even a cent."

Ia tidak peduli jika perkataannya barusan akan membawa percakapan mereka dalam situasi canggung; ia samasekali tidak peduli dan yang sekarang sangat ingin ia lakukan hanyalah memejamkan mata– dan sedikit bisik kecil bahwa, 'ini hanya mimpi, hanya mimpi. Aku akan terbangun. Segera.' selama ia menutup kedua mata. Hingga bahunya bergetar hebat karena... oh, disini lagi. Oh, ia masih belum terbangun dari mimpi.

"Ini karena kalian keras kepala akan hidup."

Sorot matanya mengeras. "Setiap orang keras kepala untuk hidup. Karena dengan cara begitulah mereka bisa bertahan di dunia yang mengerikan ini."

"Namun bagi beberapa orang, kesempatan kedua mungkin sudah tidak ada lagi."
"Oh, kaumulai bermain sebagai Tuhan sekarang? Silahkan, aku samasekali tak keberatan. Tapi jangan salahkan aku jika saat ini aku menganggap setiap ocehan yang keluar dari mulutmu tak lebih dari suara rengekan babi di kandang."
"Jaga bahasa Nona. Yang barusan terdengar vulgar sekali―"

"I don't care about shit, you arsehole." Terkadang mulut ini susah sekali dikendalikan dan susah sekali menjaga emosinya dalam batasan normal. Ia ketakutan dan kesal dan putus asa dan dingin; apalagi reaksi yang diharap ketika seseorang dengan mudahnya berkata, 'Anda sudah mati' tepat di hadapan? Ia panik. Sangat. Karena pecahan ingatan terakhir yang tersisa dari dalam otaknya hanyalah cahaya yang membutakan dan bunyi gedebuk keras; lalu sesuatu yang terlempar. Entahlah– sepatu, mungkin? Sesosok tubuh?

Ia takut untuk melanjutkan sisa dari remah memorinya itu. Ia... terlalu takut untuk tahu.

Atau ia hanyalah seseorang yang telah habis stok kesempatannya, seperti yang lelaki ini katakan.

Ia menelan sedak tangis yang mengancam keluar. Tenggorokannya teraniaya lagi.

"Itu samasekali tidak buruk– mati." Fokusnya pergi, gumam lemah bagai berbisik di sampingnya hampir tak tertangkap. "Tergantung dari sudut pandang siapa yang diambil. Dan bagiku pribadi, mungkin hal tersebut tak seburuk yang Nona pikirkan."
Air matanya mengalir. "Aku belum mati." Ragu-ragu, ia menambahkan. "Setidaknya, aku masih belum mau mati."


. . .


Sunyi. Sunyi... Bibir yang bergerak membuka. "...Aku masih belum tahu namamu."

Sret sret sret–ckrit― "Nona bisa memanggilku Arthur, jika Nona mau."

"Arthur..." Mulutnya mengatup. Sekian sekon mengulum bagian bawah bibir sebelum memberanikan diri berucap lebih. "Maaf sudah berkata dengan sangat kasar padamu sebelum ini, Arthur."

Balasannya senyum beserta dengus pendek yang samar. "Tidak, aku mengerti. Sangat mengerti. Karena Nona―"

"Kartika. Ika– atau Tika, salah satu di antaranya sudah lebih dari cukup. Please, aku geli sendiri mendengarmu memanggilku 'Nona' sedari tadi."

Benang jahit diikat kuat lalu dipotong. Emerald bersembunyi di antara kelopak dan lentik bulu mata― senyum itu terlihat hangat. "Lega rasanya mengetahui nama No– Anda langsung tanpa perlu melihat berkas dari dalam kantor sana... Nona Kartika."


. . .


"Lihat– Anda bisa bergerak dengan lebih bebas, sekarang. Seperti yang sudah kujanjikan." Dirinya oleng, namun secepat kilat Arthur mengapit agar Kartika tak terpelanting jatuh ke bawah. "Tapi hati-hati. Anda sudah merobek beberapa tendon dan beberapa tulang anda sudah tidak bisa diperbaiki seperti sedia kala, jadi kemungkinan untuk bergerak normal agak sedikit mustahil."

Ia mengernyit, lalu memerhatikan tangannya. ...Oh, beberapa jemari membengkok secara tak wajar lalu lengannya nampak― miring. Mungkin ini maksud si lelaki blonde.

Mungkin ia memang benar-benar sudah mati?

"...Aku tak perlu menjawabnya lagi, Nona."
Senyum miris, seperti ada irisan lemon menyisip di antara kedua belah bibir itu. Ia menatap dengan sorot mata kosong– atau begitulah kiranya yang ia yakini ia lakukan. Disini tak ada cermin, dan ia tidak bisa memeriksa bagaimana wajahnya berbentuk, kini. Entah pucat―seperti yang ia yakini setiap mayat akan begitu―atau tetap berwarna laiknya kenanga yang mekar di dahan kekar. Ia berharap yang terakhir.

Dering telepon membahana; Arthur begitu tergopoh-gopoh ketika menuju sebuah mesin telekomunikasi antik di atas meja jati. Mengangkat gagangnya, lalu mulai berbicara dengan entah-siapa di seberang sana.

Suara bariton berkata terlebih dahulu, sebelum dibalas. "Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Ya, hasilnya cukup bagus―" Menunggu yang di seberang berhenti berucap. "―Tidak, bagian yang itu berhasil kujahit sempurna. Tidak, tidak, aku juga sudah melapisinya dengan dengan wax, seperti katamu, tak ada satu bagian pun yang kulewatkan."

Di seberang berbicara lebih lama lagi, Arthur mendengarkan dengan seksama. Masih sedikit bingung dengan perubahan situasi dan aura yang melingkupi Arthur kini, Kartika terduduk di atas permukaan datar yang sebelumnya ia rebahi; menelengkan kepala pada sosok lelaki kecil (walau tak sekecil dirinya, namun ukuran lelaki ini memang terlalu ringkih untuk rata-rata tinggi badan orang Eropa) yang sibuk berkontemplasi sembari menautkan kedua alis matanya yang tebal―lirik emerald yang sesekali mengarah padanya membuat Kartika tak nyaman.

"...Baik. Begitu." Hela napas berat, dan begitu panjang. Kartika meniru namun ia arahkan ke langit-langit, matanya terpejam sejenak karena tusukan tajam sorot cahaya. Dengung dari lampu begitu jelas terdengar.

"Ya, aku mengerti, Als." Emerald datar, tanpa emosi. Walau sebelah tangan yang tak memegang gagang telepon mengerat membentuk kepal keras. "Aku tidak akan begitu. Lagi."

"―It's braw (good), then."

"Yeah," tawa yang setengahnya dipenuhi kegetiran. Dan rasa lelah. "Lalu, ada hal lain yang perlu kausampaikan, selain keinginan untuk mengritik hasil kerjaku via telepon dan lain-lain?"

"Aye." Giliran di seberang telepon yang mengeluarkan hembus napas dalam. "Kurasa keluarga klien mayat wanita yang sedang kautangani itu akan―"

Arthur sadar bahwa Kartika dapat mendengar suara tadi. Mendengar kata demi kata dan meresapi maknanya― dari cara tubuh wanita itu bereaksi atas ujaran barusan, Arthur bisa menangkap bahwa mungkin dia tahu apa maksud yang Alasdair―si merah Skotlandia, Bosnya―paparkan, jadi secara sadar tangannya menangkup pada pori-pori dimana suara Als keluar, mengubah suara bariton serta nada khas dari telepon menjadi bisik-bisik yang lebih sunyi, teredam.

"...Oke. Baik." Mata hijau semurni pucuk daun ketika ditimpa kilap mentari menggelap; meniru warna rawa-rawa. "Ya, tentu. Hari ini? Sure. Silahkan saja. Dia sudah siap, tenang saja."

Kilatan terakhir: dan Kartika sangat yakin lelaki berbulir mata emerald itu sempat menunjukkan wajah horor―atau lebih pada ketidakyakinan? Entahlah, ia tak dapat berpikir terlalu dalam―ketika biji matanya tergelincir menatap dirinya.

Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres.

Tubuhnya bergerak; secara instingtif mengarah pada Arthur dan ingin mengorek lebih banyak informasi, tentang kenapa lelaki itu tiba-tiba tegang dan mencuri sepandang-dua pandang ke arahnya. Namun percakapan mendadak berhenti, gagang telepon telah kembali ke tempat ketika hanya tersisa beberapa langkah saja antara ia dan lelaki itu. Ia sadar sekali udara begitu dingin― tapi tubuhnya terlalu kebas untuk peduli, untuk mengambil sikap, kini. Ia dapat merasa sehelai kain tipis membungkus badannya dan bertanya-tanya kenapa hanya satu sandang menyedihkan ini saja yang menjadi pelindung tubuhnya dari suhu udara yang dingin; tapi, persetan ia peduli tentang hal itu, sekarang, terlebih sorot tajam yang Arthur kirimkan padanya.

Sorot itu sangat waspada.

"Kuharap kau bisa kembali berbaring."

Pikiran untuk, paling tidak, menyisipkan panggilan 'Nona' atau 'Kartika' tak lagi menjadi prioritas Arthur. Setelah kalimat dari Alasdair di telepon bergaung barusan ia entah kenapa mengambil sikap siaga. Seperti takut akan situasi sekarang―walau sebenarnya tak ada hal yang perlu ia takutkan. Wanita ini sudah mati, sudah mati... dirinya berkali-kali mengulang kalimat tersebut bagai mantra, seperti berharap ilusi yang hadir di hadapannya ini lekas pergi, bagaimanapun caranya.

"Wha― Kenapa?"

Langkah Kartika redup, lalu mundur. Sebelah tangan Arthur mendorongnya ke belakang.

Senyum. "Cukup tidur saja."

.


.

Yang tiba di depan pintu ganda moratorium mereka adalah sekelompok wanita dan lelaki dengan umur yang susah ditebak. Gaya berpakaian mereka begitu dewasa, namun sebagian berwajah sangat muda; hampir seperti remaja. ...Oh, mungkin khas orang Asia.

Sebagian menangis, sebagian lagi telah berhenti mengurai air mata– yang tersisa adalah gelambir sembab dan tangan terkepal kokoh; gemetar tatapan mereka ke tanah, atau dirinya. Ia menyambut para tamu dengan senyum manis: karena ini adalah bagian dari pekerjaannya dan ia akan berusaha keras seoptimal mungkin menunjukkan dedikasinya, karena semua adalah bagian dari inti setiap pekerjaan itu sendiri.

"Kami ingin menemui Kakak kami."

Ia tersenyum. Karena tersenyum lebih baik daripada dengan tidak sopan memotong, "Saya mengerti dan tahu maksud kedatangan kalian kesini" lalu kembali tersenyum lagi. Psikopat saja mungkin yang akan melakukan hal kurang ajar seperti itu.

Atau Alfred.

Ia menghela napas; tidak tahu untuk ke berapa kali. Mengubah fokus pemikiran ke lelaki sekaligus teman baik yang telah kehilangan adiknya beberapa minggu lalu (dan ia, dengan terhormat menjadi perias jenazah adik lelaki orang itu) bukan hal yang baik. Terlebih ketika dengan tidak tepatnya wajah pucat dengan lebam di beberapa bagian tubuh serta rahang yang hampir lepas menangis menyakinkan diri sembari menjerit "Aku belum mati!" di depan mukanya, adalah kenangan yang paling, paling tidak ingin ia ulang kembali.

Lubang―pantaskah disebut lubang, sepasang violet yang kosong itu?―menganga dan membuat tubuhnya kaku. Hati berbisik pilu, "Ya, begitulah."

Arthur menggeleng. Wajahnya cerah dalam beberapa sekon.

"Ya, tentu."

.


.

Bergerombol dan sedikit percakapan dengan bahasa asing tertangkap telinga; Arthur hanya memperbolehkan beberapa orang saja dulu yang masuk baru setelahnya yang tersisa, dan cukup bangga dengan keputusannya tersebut. Mereka-mereka ini berisik, ternyata.

"Kenapa, kenapa..."

Arthur menolak untuk mendengar lebih jauh. Rengekan dan pinta kepada Tuhan terpantul ke berbagai sudut ruang, kecuali dirinya. Secara personal mem-blok setiap suara di sekitar; karena kesan repetitif yang kalimat-kalimat permohonan itu munculkan sangat memuakkan― sangat egois. Apakah sesusah itu untuk menerima kematian seseorang? Apakah begitu sulit bagi mereka untuk menerima bahwa seseorang yang telah mati tidak akan bisa hidup lagi, bagaimanapun mereka memohon dan menangis? Apakah manusia yang masih hidup itu sendiri memang sama keras kepalanya dengan yang sudah mati?

Well, ia merasa tak perlu untuk menjawab.

Lebih kepada rasa bosan, matanya mencuri pandang pada sosok yang tengah dikerumuni gerombolan famili ini. Dan– ah, di situlah wanita yang beberapa saat lalu berbincang dengannya. Terbaring tak bergerak―tentu saja, bukankah dia hanyalah seonggok mayat?―mata tertutup dan kelopaknya berwarna kelabu, efek berhentinya aliran darah yang berada di dalam tubuh. Sementara yang lain menangis dan memanggil-manggil namanya, wanita itu tetap terdiam. Kaku. Tidur. Mati.

Ya, mati.

Tuh, kan. Mana ada manusia yang sudah mati mengenaskan bisa hidup lagi.

Ia mengingat leher yang hampir putus dan luka retak di kepala, dan dirinya menghela napas lega. Tentu, pastilah semua ini hanya halusinasi semata. Perbincangan, sedikit pertengkaran konyol. Juga permintaan maaf.

Seperti biasa.

.

. . .

Misa pemakaman: Kartika I. Pertiwi

H-5

. . .

.


.

Side Character:

Male!Scotland (Great Britain): James Alasdair Kirkland

Fem!Indonesia famili: OC!Kepulauan Indonesia

United States of America: Alfred F. Jones

Dominion of Canada: Matthew W. Jones

.

.

Cover Fic © Personal creation


.

Credit:

Some quotes and main idea © After.Life (2009)

Inspirational theme song © Exit Music (For a Film): Thom Yorke/Radiohead

Tak lupa, Paranormal Activity 3, 4

Disclaimer: Samasekali tak mendapatkan keuntungan materiil dalam bentuk apa pun selama pembuatan fic ini. Pembuatan fic didasarkan pada ketertarikan personal pada film dalam Credit dan tidak ada maksud sedikit pun untuk mengkopi secara penuh ide cerita yang dikemukakan.

.


.

Secara pribadi, aku suka dengan ide 'bisa berbicara dengan yang sudah mati'.

Dan sedikit banyak, pingin banget bikin EnglandNesia yang sebelumnya ngga jadi-jadi karena idenya stuck; dan memasukkan Scotland dan para keluarga kepulauan Indonesia secara general bener-bener bikin fangirling sendiri. Dan beberapa pair kesukaanku, kyaaa~

(Lalu, kenyataan bahwa England itu emang aneh, suka bicara sendiri, en terlalu akrab dengan makhluk halus entah kenapa klop dengan kebiasaan Indonesia yang hampir sama *headcanon fuck yeah* #ngganyambungplak)

...Sedikit banyak, aku ngga bisa mengelak kalau ternyata aku sangat takut dengan kematian dan jika bisa, aku ingin sekali menghindarinya atau bahkan tak menganggapnya ada. Namun sebagai makhluk yang beragama, bukankah tidak tepat juga melupakan salah satu fakta absolut ini?

Btw, Selamat Tahun Baru 2013!

Well, thanks for reading! Some reviews will help.

.

Samarinda, 5 Januari 2013