No Exertion, No Pleasure

Maaf bila ada kesalahan EYD, OOC, OOG(ada kah? mungkin hanya buatanku.)

Naruto punya pemiliknya, bukan punyaku.

Summary : Tuhan memang yang menciptakan takdir untuk mereka. namun mereka yang menjalaninya. Dan mereka tahu bagaimana rasanya.

.

.

.

Ada yang aneh dengan Sasuke. Pikirnya.

Setelah pulang dari acara penyambutan rumah baru rekan ayahnya, adiknya mendekam di kamar dengan pintu yang sebelumnya sempat ia banting.

Itachi tahu pasti yang bisa merubah mood adiknya kalau ia kalah dari orang lain, atau ia mempertahankan pendapatnya.

Ya, adiknya benar-benar keras kepala.

Mengangkat bahu karena merasa percuma tak menemukan jawaban tentang adiknya, Itachi merilekskan tubuhnya di sofa sambil menyalakan televisi. Ia benar-benar lelah. Harus pulang mendadak dari Inggris karena perintah ayahnya untuk menemani adiknya bukanlah perkara mudah. Hidupnya sudah terjadwal untuk melewati berbagia macam rapat. Waktu senggang seperti ini sulit sekali ia dapatkan. Maka dari itu ia harus menggunakannya semaksimal mungkin. Terlebih sepertinya akan sulit merubah waktu tidurnya yang terbalik di Jepang. Ia harus bersenang-senang agar tubuhnya lelah dan mengantuk.

Memesan makanan? Atau menonton beberapa film?

.

.

.

.

'Mungkin kalau ditambah es krim lebih enak.'


Setelah membanting pintu sekeras-kerasnya untuk meluapkan emosinya, ia melempakan dirinya sendiri ke tempat tidur.

Kalau ia membanting pintu sekeras itu. Ibunya pasti akan marah, tapi saat ini tak ada kedua orang tuanya. Jadi masa bodoh sekali dengan mereka berdua yang seenaknya pergi berdua ke luar negeri tanpa alasan yang jelas. Urusan pekerjaan ke luar negeri? Alibi yang bagus bila merencanakan honeymoon yang ketiga.

Menutup matanya dengan bantal dan menghela napas.

.

.

"Obat seperti itu tidak akan bertahan lama. Minta ia menikahimu, kini hanya kau yang ia miliki bukan? Kurasa dengan berhenti minum obat itu dan hamil, ia pasti menikahimu. Bisa-bisanya menjadi wanita simpanan begitu bangga."

.

Perempuan itu menatapnya dengan tatapan bingung atau berpura-pura bingung? Sedari tadi ia perhatikan, pria berambut abu-abu itu merangkulnya seakan sudah menjadi kebiasaan dan perempuan itu juga menyenderkan tubuhnya. Melihat jemari keduanya, tak ada cincin yang terpasang.

Jadi asal mula kesimpulan itu sudah terjawab.

Dan lagi perempuan itu menatap kakaknya dengan tatapan sangat penasaran. Untuk melindungi kakaknya dari serangan 'wanita simpanan' ia kembali berkata,

"Jangan menatap kakakku seperti itu, tanggal pernikahannya tinggal menghitung hari. Kau tak mungkin mendapatkannya."

Perempuan itu tertawa, lalu langsung memberikan tatapan yang tajam. Sempat membuatnya terkejut. Namun ia dari dulu sangat pintar menutupi ekspresi wajah.

"Kau itu tidak tahu apa-apa tentangku."

Saat itu ia merasa yakin sekali kalau perkataannya adalah kebenaran, tapi sekarang? ternyata perempuan itu adalah anak dari rekan kerja ayahnya. Ia mencoreng harga diri yang selama ini ia elu-elukan. Nila setitik, rusak susu sebelanga.

"Bodoh. Kalah dengan perempuan itu bodoh." Rutuknya dengan kepala yang masih ia benamkan di bantal.


(Sakura's POV)

Setelah pesta selesai. Aku dan ayahku berencana menonton televisi bersama di kamarnya. Setelah mandi dan mengenakan piyama. Aku membuka pintu dan memasukan kepalaku ke dalam ruangan lewat sela pintu yang kubuka seperempat. Ayahku sudah berada di kasur sambil menatap layar televisi.

"Menonton apa?" tanyaku. Ia tak menjawab malah a tidak mengalihkan pandangannya ke arahku dari layar. Aku menatap layar televisi, hanya terdapat gambar hitung mundur dalam lingkaran. Aku merengut kesal. Kutarik selimut yang menutupi sepertiga tubuhku menutupi kepalaku.

'Uh... sesak.'

'Hei! Apa ini yang menimpa kepalaku? Berat sekali.' Aku mencoba mendorong 'entah apa' yang menimpa kepalaku.

"Tertangkap." Ayahku, mencengkram kedua tanganku ke atas kepalaku dan menarik selimut yang menutupi kepalaku.

"Lepaskan!" Seruku sambil menggerakkan tanganku yang terkepal erat dalam genggaman ayahku.

Ia menyeringai. Mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Tadi kau minta apa?" Aku bisa melihat dengan jelas bagian iris matanya yang berlainan warna. Ada apa dengan ayah?

"Lepaskan aku yah." Bukannya menyahuti perkataanku, ia malah menatap layar televisi lagi. Aku mengikuti arah pandangannya. Aku menatap apa yang kulihat dengan tatapan tak percaya.

Film dokumenter ketika aku berumur 3 tahun.

Aku yang tengah berlarian di halaman dengan langkah kaki yang belum begitu seimbang menatap lensa kamera dengan cengiran gigi yang belum lengkap.

"Sayang, waktunya makan siang."

.

.

.

.

.

Suara itu.

Suara... ibu?

"Ya aku datang." Suara ayah yang sedang merekam kegiatanku dan mengajakku ke dalam rumah.

Kami bergandengan tangan. Lalu layar televisi tak lagi menampilkan diriku, melainkan rumah yang sangat kukenal.

Rumah yang dulunya kutinggali sampai berada di kelas 5 SD.

Rumah yang merupakan latar kejadian 'itu'.

Dimana aku harus mengubur dalam-dalam tentang hal tersebut. Berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain untuk mendapatkan perawatan kejiwaan.

Dan dimana ketika layar menampilkan bagian belakang seorang wanita yang sangat kukenal, aku merasa takut tiba-tiba.

.

.

.

.

Ketika ia menoleh dan sebentar lagi wajahnya akan tergambar di layar. Aku menjerit.

"Sakura? Ada apa?" ayah mengguncang-guncang tubuhku. Aku tak tahu bagaimana mimik wajahnya. Karena aku menutup mataku rapat-rapat.

.

.

Apa yang ada dalam pikiranku adalah ketika ibu ditemukan bersimbah darah.

.

.

Matanya yang terbuka.

.

.

Dan beberapa bekas tusukan di lengan dan perutnya.

.

.

Tiba-tiba merasuki pikiranku dan tak menghilang.

.

.

Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak ada suara. Sepertinya ayah sudah mematikan televisi.

"Maaf. Maafkan aku." Aku bisa merasakan lengannya merangkulku. Sangat erat.

"Jahat. Ayah jahat." Aku memukuli tubuhnya tidak hanya sekali, tapi berkali-kali dengan keras. Namun ia semakin erat memelukku.

"Semua salahku." Malan ini kulewatkan menangis didalam pelukan ayah karena mengingat ibu.

Ibu yang tak ingin kuingat wajahnya disaat mati.

Mati karena diriku.

.

.

.

.

.

Esok paginya aku terbangun dengan dada yang serasa sesak. Menoleh ke arah tempat ayah tidur semalam kini telah kosong. Apa ia pergi bekerja walaupun hari ini hari libur?

Meregangkan tubuh akupun turun dari tempat tidur dan menuruni tangga menuju lantai 1.

"Hei pinky, sudah bangun?" aku menatap ayahku yang tengah mengambil roti dari roaster untuk diletakkan di piring.

Pinky. Panggilannya untukku yang entah mengapa sangat tidak kusukai. Hei aku ini punya nama yang jelas. Untuk apa dinamai Sakura bila pada akhirnya dipanggil pinky? Setiap aku bertanya tentang hal itu. Ayah hanya tertawa dan tetap memanggilku denga sebutan itu.

"Mana yang lain?" Pelayan yang kemarin terlihat banyak kini tak ada yang menampakkan diri satupun.

"Kalau hari ibur Cuma ada satu yang tinggal. Mungkin Ayame. Ia sedang membeli bahan makanan. Hanya untuk berjaga-jaga."

Berjaga-jaga? Ah, iya. Karena masalah ibu itu.

Aku mengambil beberapa lembar roti dan mengolesinya dengan mentega lalu memakannya.

"Kau suka sekali makan dengan cara seperti itu." Ucap ayahku sambil terkekeh pelan. Aku tak menyahuti perkataannya dengan melanjutkan acara makanku.

"Sakura." Aku menatap ke arahnya. Kalau ia sudah memanggilku seperti ini, pasti ada hal serius yang ingin ia bicarakan.

"Hmm?" sahutku yang tengah menguyah roti. Benar-benar tak sopan aku pada ayah. Tapi ia terlihat tidak merasa diperlakukan kurang ajar. Itulah makanya orang sering mengira kami ini kalau bukan kakak beradik, pasti pasangan.

Ya seperti adik dari rekan kerja ayah. Errr siapa namanya? Sasu... siapa?

"Aku merencanakan tentang pendidikanmu di sekolah. Benar-benar sekolah." Aku aempat ingin menyela sebelum ayahku memastikan perkataannya karena selama ini sekolah yang kukenyam setelah kematian ibu adalah home schooling. ya mungkin lebih tepatnya Hospital schooling karena aku lebih sering tinggal di rumah sakit dibanding di apartemen.

"Berada di kelas dengan murid yang lain. bersosialisasi. Kira-kira minggu depan akan diurus. Tapi kalau kau merasa belum siap bisa kita undur." Diundur? Meski ia berbicara dengan nada enteng seperti itu, aku tahu dalam perkataannya mengandung rasa khawatir. Tidak bisa dipungkiri ia adalah ayahku. Ayah yang menyayangiku. Walau terkadang ia tidak dapat menyalurkan perasaaan itu dengan benar. Dengan tingkat mesum dan kejahilannya sulit sekali menghindarkan diri dari tingkah konyolnya.

"Tidak mau." Ayah mendongak menatapku yang masih mengunyah roti bangkit dari kursi menuju ke arahnya.

"Kalau ada hari esok mengapa harus memilih hari yang lain?" aku tahu ayahku terkejut mendengar jawabanku meski ia tak menampilkan ekspresi pada wajahnya. Aku tahu ia khawatir karena semalam melihat kejiwaanku yang masih dalam tahap 'perbaikan'. Sudah cukup untuknya merasa khawatir padaku. Ia terlalu berat membawa beban untukku.

Yang bisa kulakukan saat ini adalah menyakinkan dirinya bahwa aku bisa membuat ayah tak khawatr lagi padaku. Walau saat ini masih dalam ukuran 'sedikit'.

"wah wah, anak ayah semakin pintar bermain kata. Sedang tebar pesona pada ayahmu ya?" ia tersenyum jahil lalu meringis setelah mendapatkan cubitan 'sayang' dariku yang pasti membekas merah.


(Normal POV)

'Apa Sasuke-kun mau ya berjalan-jalan? Ia pasti sibuk dengan urusan pekerjaan. Aku pasti sangat mengganggunya.' perempuan berambut panjang yang tengah berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya terlihat gelisah. Sudah 10 kali rasanya ia berjalan mengelilingi kamarnya.

'Ah tapi kalau tidak dicoba, pasti tidak mendapat jawabannya.' Dengan gemetar, perempuan itu mencari daftar kontak dari ponselnya dan menelepon.

"Moshi-moshi. Ini siapa?"

Perempuan bernama Hinata ini diam. Bagaimana tidak? Ia menelepon kekasihnya yang sudah menjalin kasih selama 3 tahun. Kekasihnya tidak tahu ini adalah nomornya?

"A-ano, S-Sasuke-kun. Ini aku Hinata." Ucapnya gugup. Ia harus tenang. Ia tak boleh menangis.

"Hn. Ada apa?" ia tak mendengar Sasuke berkata 'maaf aku tak tahu itu kau.' Atau 'Hinata-chan? Aku rindu." Ya walaupun ia tak pernah mendengar Sasuke memanggilnya dengan suffix –chan.

Menghela napas, ia menjawab pertanyaan Sasuke. "Aku punya tiket gratis masuk taman hiburan Konoha Land untuk hari ini jam 4 sampai jam 7. Apa kau sibuk?"

Hinata sangat tahu bagaimana sibuknya Sasuke maka dari itu sebelum jam 12 siang ia sudah mengabari entang hal ini. Bila mendakan bisa dipastikan untuk pergi bersama berkemungkinan kecil. Dibanding bertanya 'bisa menemaniku?' atau 'Ayo berkencan. Sudah lama sekali kita tidak jalan berdua.' Ia harus memastikan bahwa Sasuke punya waktu luang. Agar hatinya tidak begitu sakit bila acara ini tak bisa dihadiri.

"Aku ada rapat hari ini." Benar 'kan apa yang dipikirkan Hinata? Bersama Sasuke selama 3 tahun membuatnya belajar untuk tidak banyak berharap. Walaupun ia benar-benar tampan, pintar dan mencintai dirinya dengan cara yang lain dari yang lain. ya dia itu adalah 'The one and only' tapi ini yang harus dikorbankan. Harus sabar dan tidak banyak berharap.

"Oh begitu-" Jangan menangis. "-Baiklah. Tak apa-apa. aku a-aku akan..." Jangan menangis.

"Hn."

Menjauhkan ponselnya untuk menghapus air matanya dan menghela nafas yang menggumpal, ia kembali berkata, "Jangan lupa makan ya Sasuke-kun."

Klik.

.

.

Ia tak dapat membendung lagi tangisnya. Menutup mulutnya agar tak menimbulkan isakan tangis.

'Bahkan ia tak berkata apa-apa dan langsung mematikan telepon.'

.

.

.

.

.

.

Merasa sayang akan tiket gratis yang ia dapatkan dari undian. Ia tetap pergi, walaupun sendiri.

Lagipula ia pergi kesana tak tepat pada waktu yang dijadwalkan. Melihat arloji yang melingkar tangannya, menandakan sudah jam 4 lewat 15 menit.

Mengambil tas dan merapihkan sedikit dress berwarna kuning pastel dengan corak bunga-bunga kecil dan bagian bawah selutut yang berlapis lapis seperti rok, ia keluar dari kamarnya.

Berpapasan dengan sepupunya. Hyuga Neji, ia tersenyum tipis.

"Mau pergi kemana? Pulang sebelum jam 8 malam." Hyuga Neji sudah seperti kakaknya walaupun mereka sepantaran. Ia tahu dibalik protektif yang ditunjukkan, Neji sayang pada dirinya.

Mengangguk dan tersenyum kembali sebelum pergi meninggalkan rumah, "Iya oppa."

Meninggalkan Neji yang terkejut dengan sebutan oppa . ia berjalan menuju kamarnya sambil berucap lalu, "Wabah korea benar-benar menyeramkan."

.

.

.

.

.

.

Hyuga Hinata merupakan golongan keluarga terpandang. Termasuk keluarga terkaya di Jepang, namun ia bukanlah orang yang bisa memamerkan kekayaan dengan menaiki mobil mahal, atau mengenakan pakaian bermerek ternama.

Ia bukanlah seperti itu.

Termasuk sekarang. ia pergi menuju Konoha Land menggunakan bis. Ia senang bersikap seperti ini.

Sederhana.

Menjadi dirinya sendiri. Itu yang ia inginkan.

Membuka ponselnya, ia tersenyum menatap walpaper yang terpasang pada layar ponselnya.

Sasuke yang sedang serius membaca dokumen-dokumen dengan salah satu tangannya menulis meski tatapan matanya mengarah pada dokumen yang ia baca.

Membuka album foto, Hinata semakin tersenyum.

Sasuke yang sedang melakukan slam dunk pada saat pelajaran olah raga. Tim Sasuke menang dengan perolehan nilai 56-42. Berbeda 7 bola.

Sasuke yang sedang menjelaskan pendapatnya dalam lomba senat. Wajahnya yang tak menampilkan ekspresi namun tatapan matanya tajam. Hinata tentu tak akan melewatkan hal ini.

Dan yang terakhir...

Saat Sasuke yang tertidur dipangkuannya dengan wajah yang damai. Hinata tak tahan untuk tidak mengabadikan saat-saat seperti ini. Saat-saat dimana ia bisa berdua dengan Sasuke.

Berduaan? Dengan Sasuke? Hei sudahlah, sudah cukup lelah ia menata perasaannya untuk saat ini. Ia tak mau acaranya kembali tertunda hanya karena tak ada Sasuke.

Sampai ditempat tujuan, Hinata melangkahkan kakinya menuju pembayaran karcis. Baru beberapa langkah, ia merasakan ada yang mencengkram lengannya.

Ia menoleh, dan menatap tak percaya apa yang ada dihadapannya.

"Sa-Sasuke-kun?"


Telepon dari perusahaan benar-benar merusak paginya. Melihat kakaknya yang masih tertidur-pasti karena kepulangannya dari luar negeri merubah jam tidurnya. Sekitar jam 8 psgi ia baru mendengar suara televisi yang dimatikan. Sekarang jam 10 pagi, berarti baru 2 jam kakaknya tidur.

Tidak tega membangunkan kakaknya. 'Hei, ia masih punya rasa manusiawi!' Maka ia segera menghabiskan nasi goreng yang ia buat. Menyisakan untuk kakaknya setelah bangun dari tidur panjangnya, ia mengambil kunci mobil dan segera pergi menuju kantor.

Ditengah perjalanan, ia mendengar suara telepon. Menggunakan bluetooth yang terpasang di telinga kirinya, ia mengangkat telepon.

"Moshi- moshi. Ini siapa?" Karena ia sedang mengendarai mobil, menurut peraturan, tak boleh menggunakan ponsel saat berkendara. Ia tidak melihat layar ponsel siapa yang menelpon.

Tak mendengar jawaban cukup lama, ia baru akan menekan tombol end sebelum mendengar jawaban.

"A-ano, S-Sasuke-kun . ini aku Hinata." Ia menaikkan alis, terkejut.

"Hn. Ada apa?" ia mengambil belokan dan mempercepat kecepatannya. Kalau tidak, ia bisa telat.

"Aku punya tiket gratis masuk taman hiburan Konoha Land untuk hari ini jam 4 sampai jam 7. Apa kau sibuk?" Sasuke bisa merasakan nadi gelisah pada ucapan Hinata. Mengingat rapat kali ini tidak dapat diprediksi kapan akan selesai, dibanding membuat Hinata menunggu dirinya yang tak pasti, ia berpikir kalau tak memberi harapan padanya akan lebih baik.

"Aku ada rapat hari ini." Kini ia sudah memasuki kantornya. Memilih memarkirkan mobilnay sendiri di Basement, ia mendengar hembusan nada berat dari Hinata.

"Oh begitu. Baiklah. Tak apa-apa. aku a-aku akan..."

"Hn." Ia membuka jendela dan membalas sapaan satpam yang tengah memeriksa mobilnya.

"Jangan lupa makan ya Sasuke-kun." Baru saja ia akan membalas perkataan Hinata dengan ucapan seperti 'Maaf aku tak bisa, mungkin lain kali.'

Namun percakapan mereka terhenti. Bertanya-tanya dalam hati mengapa tiba-tiba sambungan terputus. 'oh iya, di Basement tak ada sinyal.'

"Sa-sasuke-kun bukannya ada rapat?" Hinata masih tak percaya. Kini ia sudah berada di dalam Konoha Land bersama Sasuke. Dari pakaiannya sepertinya ia benar-benar habis dari kantor. Kemeja biru muda yang lengannya digulung sampai sikut. Meski tanpa dasi dan jas, ia terlihat... gagah?

"Rapatnya berjalan lebih cepat." Bagaimana tidak? Waktu makan siang dilewat begitu saja. walaupun rekan yang lain terlihat tidak setuju, namun tak ada yang dapat membantah.

Tak ada percakapan diantara mereka, dengan tiba-tiba Sasuke meraih jemari Hinata dan menatap wajah Hinata yang memerah lalu berkata,"Ayo main. Aku bosan."

.

.

.

.

Mereka bermain hampir seluruh permainan yang tersedia dalam Konoha Land ini. Walaupun tidak dengan rumah boneka, cangkir berputar, yang sebenarnya bisa terasa romantis bila berduaan. Tapi Hinata tahu Sasuke bukanlah tipe orang yang menyukai hal itu.

Masih segar diingatannya saat mereka menaiki roller coaster. Ia memejamkan mata takut, walaupun ia sempat mencuri-curi pandang ke arah Sasuke. Ia-Sasuke hanya melipat tangannya dan memasng wajah datar. Padahal hampir seluruh dari yang menaiki permainan ini berteriak.

Ada satu bagian dimana ia merasakan pipinya memerah. Saat mereka menaiki wahana arung jeram. Pusaran air yang membuat perahu karet tidak stabil, dan juga ketika di puncak, serasa seperti roller coaster, terjun menuju kebawah. Bisa dipastikan air akan membasahi tubuh mereka berdua. Namun kenyataannya?

Hinata tidak basah, hanya di lengan dan rambut bagian bawah. Itu karena Sasuke memeluknya-menutupi tubuhnya agar tidak terkena air.

Meskipun setelah kejadian itu Sasuke tidak berkata apa-apa, Hinata senang bukan main. Ia tahu kalau Sasuke perhatian. Caranya perhatian dengan seperti ini.


"Hatchi!" Hinata mengambil tisu dari tasnya dan memberikannya kepada Sasuke. Walaupun sudah mengganti pakaian yang dijual disini, karena angin dan terlalu lama juga dibiarkan, Sasuke sudah mulai terserang flu.

"Sa-Sasuke-kun tidak apa-apa?" Hinata merasa bersalah karena ia mengajak Sasuke pergi, kini terserang flu.

Mencari-cari obat standar seperti demam atau flu yang biasanya ada ditasnya, Hinata berkata, "Setelah makan minum obat ya?"

Mengusap hidunga, Sasuke berkata," Aku belum makan dari siang."

Ucapan itu lantas membuat Hinata terkejut. Jangan-jangan Sasuke belum makan karena buru-buru datang kesini?

"Sudahlah. Jangan banyak dipikirkan." Ucapan Sasuke menyadarkanna dari lamunan.

"A-ano, Sasuke-kun. Aku membuat bekal. Kurasa masih hangat." Membuka bekal yang tersusun dan meletakkan sumpit diatasnya membuat Hnata gugup. Ia memang memiliki ketrampilan memasak, tapi ini pertama kalinya ia membuat bekal untuk Sasuke.

Sasuke mengambil sumpit. Melihat apa saja yang terisi dalam bekal yang Hinata siapkan. Ada telur gulung, dan onigiri yang dibentuk seperti hati. disekelilingnya terdapat tomat.

Melihat Sasuke yang menguyah makanannya dan terus memakan bekal yang Hinata siapkan sampai habis membuat Hinata tersenyum entah yang keberapa kalinya.

.

.

.

.

Hinata menatap arlojinya yang menunjukkan pukul 6 malam. Sebentar lagi ia harus pulang. Padahal ia tak ingin hari ini cepat berlalu.

"Sasuke-kun-" Sasuke menoleh ke arahnya, Hinata menunduk sambil terus melanjutkan jalannya.

"-Mau berfoto?" Hinat a malu sekali, ia tidak berani menatap wajah Sasuke saat mngatakan hal itu.

"Di photo box? Ayo." Respon yang benar-benar diluar dugaan Hinata. Ia mempercepat langkahnya untuk mengimbangi Sasuke yang berjalan didepannya menuju photo box yang tersedia.

.

.

.

Hinata menatap 4 lembar foto secara bergantian. Ia terus tersenyum sejak ia berada di dalam mobil Sasuke sampai mobil berhenti tepat di rumahnya.

"Sampai kapan kau mau tersenyum seperti itu?" ucapan Sasuke membuat dirinya yang edari tadi terhanyut dengan dunianya tertarik ke dunia nyata.

"Eh?" Hinata menoleh menatap lingkungan sekitar. Ini sudah ada didepan rumahnya dan ia sudah tersenyum seperti orang tolol sedari tadi.

"Cepat turun. Nanti Neji khawatir."

"I-iya. Sasuke-kun hati-hati dijalan." Belum sempat Hinata keluar dari mobil, ia merasakan kepalanya dielus.

"Cepat tidur, jangan kelelahan." Setelah turun denganwajah yang merah dan melambaikan tangan pada Sasuke yang sudah pergi. Ia menyimpan foto didalam tasnya danmenekan bel.

.

.


Setelah mengucapkan 'Tadaima' yang dibalas pertanyaan dari kakaknya 'Dari mana saja?' dan menjawab sekenanya kalau ia habis dari kantor, ia segera memasuki kamarnya.

Sebelum meletakkan kemejanya yang basah dicucian kotor, ia memeriksa kantung kemeja.

Meletakkan flashdisk di meja dan merasa ada yang lain.

Kertas?

Dibukanya lipatan kertas. Ia tahu siapa ini, pasti Hinata. Dengan tulisan rapihnya 'Terimakasih untuk hari ini. ' dan juga 4 lembar foto mereka berdua.

Walaupun foto mereka sangat tidak masuk akal-hanya satu saja yang tersenyum. Tapi ia bisa melihat betapa senangnya Hinata saat dirinya yang tak pernah berfoto ditempat seperti ini menatapnya. Mereka saling bertatapan dan tiba-tiba terfoto.

Foto kedua saat mereka berdua sama-sama mencari kamera yang harus mereka lihat. Ternyata Hinata juga baru pertama kali berfoto ditempat seperti ini.

Foto ketiga saat Sasuke merangkul Hinata dengan tiba-tiba. Wajah Sasuke yang berekspresi datar dan Hinata yang terkejut dengan wajah memerah. Tapi ia tetap cantik.

Foto keempat hanya satu-satunya foto yang benar. Mereka berdua tersenyum. Sedikit merapat. Sasuke tersenyum tipis-walau awalnya sulit sekali dan Hinata yang tersenyum malu-malu. Mereka terlihat sebagai kekasih yang normal.

"Hatchi!" Sasuke kembali bersin. Namun entah kenapa yang ia rasakan sekarang adalah tubuhnya semakin sehat. Aneh.

To be continued

Note :

Maaf lama sekali aku update cerita ini. Oh iya martyr of love juga. Untuk menimbang-nimbang dijadikan 1 chapter atau 2 chapter bukan perkara yang mudah ternyata.

Kalau ada yang bertanya mengapa banyak adegan SasuHina karena ingin menggali feel mereka dulu sebagai pasangan kekasih. Juga soal Sakura sama Kakashi untuk mengangkat genre familynya.

Apa seharusnya 1 chap sepanjang ini? Apa aku terlalu banyak menulis catatan. Kritik dan saran silahkan : )