Disclaimer: Punya J.K Rowling yadda yadda yadda

A/N: Cla publish ulang cerita ini atas saran Reviewers versi aslinya. Wah, makasih banget yah atas saran dan kritik kalian, Guys:)

Cla masih harus buanyak belajar n latihan niyh:)

.

.

Hermione berlari kencang, tidak menghiraukan paru-parunya yang kelelahan menuntut oksigen. Dia memacu setiap sendi untuk bekerja, mengabaikan sakit yang terasa di sekujur tubuhnya.

Malam begitu pekat, Hermione hampir tidak bisa melihat jalan di depannya.

Tapi dia bisa melihat dengan jelas penggalan peristiwa yang terjadi selama dan setelah perang Hogwarts berkecamuk.

Sesekali gadis itu memejamkan mata, mencoba menepis bayangan-bayangan yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidup. Selalu akan jadi mimpi terburuk, mungkin untuk selamanya.

Di kastil Hogwarts, terbaring tubuh-tubuh tak bernyawa orang-orang yang begitu dikenalnya. Para pejuang yang memutuskan untuk bertarung bersama-sama meski kematian jadi resiko terburuk pilihan mereka.

Fred Weasley, Remus Lupin, Nymphadora Tonks, Colin Creevey...

Begitu banyak jiwa terenggut. Harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan dari kekuatan jahat.

'Sial! Fokus, Hermione!'

Hermione mengusir jauh-jauh pemandangan itu dari benaknya, menahan air mata karena perjuangannya belum berakhir seperti jenazah-jenazah itu.

Dia tetap menerjang semak belukar dan ranting pepohonan yang menggores tajam kulit, meninggalkan luka-luka kecil berdarah yang perih.

Sayup-sayup, Hermione bisa mendengar suara langkah cepat orang di belakangya. Si Pengejar tidak menyerah sedikit pun, sama keras kepalanya seperti Hermione yang tidak melambatkan langkah.

"Tangkap aku kalau kau bisa, Malfoy!" teriak Hermione lantang, suaranya bergaung memecah kesunyian Hutan Terlarang.

.

.

"Tangkap aku kalau kau bisa, Malfoy!" suara melengking Hermione semakin memacu adrenalin Draco untuk terus mempercepat langkah kakinya.

'Berani benar Granger! Dia akan sangat menyesal nanti!'

Draco mengatur nafasnya yang berat, mengayunkan tongkat sihirnya untuk mengibas semak yang menghalangi jalan.

Tujuannya hanya satu saat itu: mengejar Hermione Granger yang berkelit dengan lincah diantara pepohonan Hutan.

Pemuda berdarah murni itu tidak semenit pun beristirahat. Otot tubuh dan pikirannya seolah tak merasakan kelelahan. Mati rasa.

Peristiwa yang terjadi belakangan ini begitu menguras emosinya. Hingga ia sudah dalam tahap tidak peduli jika langit runtuh sekalipun.

Peperangan, tangis, duka, dan tanggung jawab yang disandangnya, kadang membuat Draco muak hingga ia ingin melarikan diri.

Sama seperti Hermione, dia berusaha keras mengalihkan ingatannya tentang pertarungan hebat di kastil Hogwarts yang terjadi hari ini.

Crabbe mati.

Voldemort mati.

Wajah suram para penghuni sekolah sihir itu.

Ketakutan para Pelahap Maut yang tersisa.

Air mata ibunya...

"Argh! Granger, berhenti kau!" Draco meluapkan kekesalan pada mangsa di depannya. Mengutuk diri karena kalah cepat dari Prefek Gryffindor itu.

Dari kejauhan, dia bisa mendengar Hermione tertawa, "Mungkin dengan empat kaki kau akan lari lebih cepat, Ferret!"

Draco mendengus, "Aku akan menangkapmu, Granger! Pasti!"

Seringai licik menghiasi bibir Draco saat ia menggumamkan kutukan.

.

.

Seharusnya Hermione berada di dalam kastil, merayakan kemenangan sekaligus mengenang para korban.

Alih-alih, ia malah berlari di jantung Hutan Terlarang. Hanya pepohonan dan Draco Malfoy yang ada di area pandangnya.

Draco Malfoy.

Bahkan setelah bertahun-tahun mereka saling mengenal, Hermione tetap tidak habis pikir bisa bertemu dengan orang serumit pemuda itu.

Rumit.

Kata yang tepat untuk menggambarkan sosok putra kebanggaan Lucius Malfoy. Dari luar, Draco tampak seperti anak manja dari keluarga kaya yang sombong dan berhati dingin.

Tapi Hermione tahu semua hanya topeng yang ia kenakan untuk menyembunyikan siapa Draco Malfoy yang sesungguhnya: Pemuda kesepian yang sangat butuh pengakuan ayahnya.

Menyedihkan. Draco mengambil pilihan salah yang sama dengan Lucius Malfoy. Menjadi Pelahap Maut yang nyaris membantu kehancuran dunia sihir.

Apapun alasannya, Hermione tidak akan membiarkan seorang Pelahap Maut pun menang dalam pertarungan ini, terutama seseorang yang menjadi 'teman bertengkarnya' selama lebih dari enam tahun.

'Ferret Sombong! Tidak mungkin ia bisa mengalahkanku! Aku tidak boleh menyerah! Tidak akan pernah!'

Blaz!

Sebuah kilatan merah mengenai batang pohon di dekat Hermione, mengagetkan gadis bermata coklat itu.

"Curang kau, Malfoy!" protes Hermione, melancarkan kutukan ke belakang punggungnya, berharap dapat menghambat langkah Si Pengejar.

Draco berkelit dengan mudah, tertawa-tawa seolah mantra Hermione hanya hembusan angin semata.

.

.

Draco menghindar tepat waktu saat mantra Hermione hampir mengenainya Ia menutupi kekagetan atas serangan balasan gadis itu dengan tertawa keras. Pilihan buruk, karena hal itu justru menghabiskan energinya.

"Berhenti bermain-main dan beri aku kutukan serius, Darah Lumpur!" Draco berkata terengah-engah, mulai mengakui ketangguhan gadis kelahiran Muggle itu. Refleksnya semakin cepat dan serangannya terfokus, meski Hermione sedang dalam keadaan berlari.

"STUPEFY!" teriak Draco, mengarahkan tongkatnya ke pohon pinus yang berjarak setengah meter dari Hermione.

Dia tidak benar-benar ingin membuat Hermione pingsan. Sejujurnya, Draco senang 'bermain' dengan Nona-Tahu-Segala itu lebih lama lagi. Merasakan kepanikan di setiap tindakan Hermione.

Hanya saja, Hermione Granger tidak terdengar panik atau ketakutan sedikitpun.

"PETRFICUS TOTALUS!"

Draco merasakan mantra itu melesat hanya beberapa centimeter dari puncak kepalanya, 'Ups, nyaris,' batinnya lega.

"Keadaan mulai seru, Nona! Kita lihat bisa secepat dan sejauh apa kita berlari!"

.

.

tbc

A/N: Um, Ripiu? #puppy-dog-eyes:)

4 Resha: Sist, are you happy now? Just don't do anything to my cheeks. Okay?:P