Shit got real


"Bolehkah aku bercerita?"

Setelah makan malam, Baekhyun naik ke kamarnya untuk beristirahat. Chanyeol tentu saja mengikuti di belakang. Bahkan walaupun pada kenyataannya mereka telah berduaan di kamar mandi setengah jam ke belakang, sama sekali tidak memberi rasa puas bagi Chanyeol. Baekhyun sudah seperti magnet yang menariknya kemanapun pergi untuk tetap berduaan.

Dan mereka memutuskan untuk berakhir di kamar Baekhyun –atau mungkin hanya Chanyeol yang mengusulkan itu. Sebab sebenarnya Baekhyun sedang tidak ingin diganggu untuk melakukan perawatan wajah di malam hari. Tapi memangnya dia bisa tahan kalau Chanyeol sudah merengek?

"Apa itu?" Baekhyun, yang kala itu tengah berbaring di samping Chanyeol sembari memejamkan mata, bertanya tanpa sedikitpun penasaran. "Jangan cerita lucu. Maskerku baru lima menit."

"Aku merasa kasihan pada Jongin dan Sehun, mereka disuruh mencuci mobil Kris tadi siang."

"Pffftttt… Yah! Sudah kubilang jangan cerita lucu!" Baekhyun menepuk lengan Chanyeol yang berbaring di sampingnya.

Sambil tertawa, Chanyeol kemudian bangun. Kali ini ia duduk sambil memandangi tubuh kekasihnya yang berbaring dengan santai. Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang mengganggu hati Chanyeol sejak tadi siang.

"Aku bertemu dengan ayah siang tadi." Ujar Chanyeol tenang. Sampai di sini, ia mulai serius.

Baekhyun membuka sebelah matanya dan melirik pacarnya itu dengan alis terangkat. Pertanda bahwa obrolan ini mulai menarik dan ia bersedia untuk mendengarkan cerita lebih lanjut.

"Kupikir bertemu dengan ibumu sudah yang paling mengejutkan untuk hari ini." Gumam yang lebih muda. "Ternyata ada yang lebih mengejutkan lagi."

Menyunggingkan senyum remeh, Chanyeol menjawab enteng. "Bukan aku yang mulai."

"Of course." Baekhyun tidak meragukan itu. Ia sudah tahu bagaimana watak Chanyeol yang keras kepala. "Apa yang kalian bicarakan?"

Lalu bayangan tentang pertemuan dengan sang ayah kembali menyeruak di benak Chanyeol. Berikut rasa emosi yang kembali hadir. Ia menghela napas panjang. Rasanya cukup kesal untuk menceritakan kembali sesuatu yang bisa saja ia lupakan dan jadikan sebagai angin lewat.

Tapi Chanyeol berusaha sebisa mungkin untuk membangun hubungan yang sehat dengan Baekhyun. Mereka telah saling sepakat untuk menceritakan apapun hal yang sekiranya mengganggu pikiran. Bahkan jika keduanya tidak menemukan solusi, setidaknya mereka telah membagi beban tersebut untuk tidak ditanggung sendirian. Chanyeol adalah yang mengusulkan untuk saling terbuka dan ia tidak berniat untuk mengacaukan pola tersebut.

"Ia memberitahuku soal perceraiannya dengan ibu." Lanjut Chanyeol yang diikuti anggukan dari Baekhyun. "And…"

Untuk yang selanjutnya, Chanyeol masih agak berat untuk menceritakannya pada Baekhyun.

"And?"

Kembali terdengar sebuah helaan napas.

"And he knows… about us."

Oh.

Kali ini, Baekhyun membuka kedua matanya, namun pandangannya berpaku pada langit-langit.

"You mean… he knows about me?"

Pemuda itu berkata dengan datar. Bukan sesuatu hal yang mengagetkan jika ayah Chanyeol tahu tentangnya, mengingat ia tahu sendiri seberapa besar power yang dimiliki pria itu bahkan ketika sumber yang Baekhyun baca hanyalah sebuah artikel di internet.

"Yeah, something like that." Chanyeol tidak menyangkalnya.

"Dan dia pasti tidak menyukaiku." Itu merupakan sebuah pernyataan dari Baekhyun yang terdengar cukup nyata."My God, it's getting real. And I bet he told you to break up with me."

"How do you know?"

Si mungil menunjukkan senyuman seolah tengah mengatakan 'tentu saja'.

"Aku juga suka menonton drama, kau tahu." Ujar pemuda itu, masih terdengar biasa. "Rasanya menjengkelkan ketika menontonnya. Tapi ternyata lebih menjengkelkan ketika hal itu benar-benar terjadi."

Chanyeol bingung entah harus miris atau justru tertawa karena Baekhyun membuat ini terdengar sedikit lucu.

"Ah, padahal aku selalu berharap jadi tokoh sampingan saja, supaya cobaan hidupku tidak terlalu berat."

"Hey, kita ini tokoh utama di cerita hidup kita sendiri."

"Kau benar."

Entah sampai kapan mereka akan menggunakan perumpamaan drama untuk obrolan sekarang.

"Lalu… apa ayahmu juga akan memisahkanmu dariku?" Tanya Baekhyun tiba-tiba. Kemungkinan itu memang selalu ada, tapi jangan pikir Chanyeol akan diam saja.

"Mana mungkin aku akan membiarkannya terjadi?"

"Kau tidak bisa memprediksi masa depan." Baekhyun memberi jeda pada kalimatnya. "Bagaimana kalau nanti kau tiba-tiba kecelakaan, lalu amnesia dan tidak ingat padaku?"

Chanyeol menatap Baekhyun dengan pandangan aneh.

"Sekarang kupikir kau terlalu banyak menonton drama."

"Perlu kuingatkan padamu bahwa kau juga sering menonton Keeping Up with the Kardashians, yang mana itu adalah sebuah drama yang sangat drama." Baekhyun meledeknya. Chanyeol tidak jauh berbeda darinya, ngomong-ngomong.

Si jangkung tergelak sambil mengangkat tangan pertanda menyerah. "Okay okay, you got me there."

Reaksinya itu tak ayal membuat kekasihnya mencibir pelan. "Khe.."

"Tapi…" Chanyeol membetulkan posisi duduknya. Menarik kedua kakinya dan bersila. "Kalaupun aku amnesia, kurasa aku akan mencintaimu dari awal lagi."

Baekhyun ingin tersenyum selebar mungkin tapi sayang, masih ada lima menit sebelum ia melepas sheetmask-nya. Jadi, respon yang ia berikan hanya sebuah dengusan kecil.

"Aku selalu heran darimana kau dapat kata-kata cheesy semacam itu."

"Babe, It's not 'cheesy'. It's overly cute, sweet, and sentimental—In a positive way ofcourse."

"That's literally the definition of cheesy."

Chanyeol kali ini tidak ingin menyerah dengan kalimatnya. "Aku hanya berkata jujur."

"Dan itu terdengar manis." Baekhyun mengangguk-angguk. Untuk yang satu ini ia setuju.

"Jangan bercanda, definisi manis itu adalah kau, Byun Baekhyun."

"Oh ya ampuuuun!"

Sedikitnya, Chanyeol merasa senang. Karena sebenarnya topik yang ia bawa merupakan momok menakutkan bagi hubungan mereka berdua. Tapi siapa sangka Baekhyun akan menanggapi demikian. Pemuda itu sepertinya telah memiliki persiapan mental yang matang ketika ia memutuskan untuk menjalin cinta dengan Chanyeol. Termasuk persiapan untuk ditolak oleh pihak keluarganya.

"Kita jalani saja." Ujar Baekhyun tiba-tiba. "Dari awal, aku sudah mengira ini akan terjadi. Jadi, aku sudah menyiapkan hatiku. Dan yang terpenting adalah, kita berdua harus tetap bertahan."

Si pria yang lebih tua tidak bisa menahan diri untuk meraih tangan kekasihnya. Mengelusnya perlahan, dan mendaratkan kecupan-kecupan singkat di sana.

"Sayangku sangat dewasa. Dari mana kau belajar semua ini, hm?"

Yang ditanya hanya tersenyum kecil dan menjawab, "Tentu saja Suho hyung. Kita berdua memiliki nasib yang sama. Sama-sama ditolak oleh keluarga Park."

"Astaga. Keluargaku terdengar seperti penjahat."

"Memang." Baekhyun menjulurkan lidahnya. "Ah, aku jadi penasaran ingin bertemu dengan ayahmu secara langsung."

Mendengar itu, Chanyeol langsung mengubah raut wajahnya menjadi kecut. "He's an asshole."

"Bukankah kedua anaknya juga sama?"

"Heyyy!"

"Hahaha…"

Setelah mengecek jam, Baekhyun lalu bangun dan melepas sheetmask-nya. Ia menepuk-nepuk wajahnya dengan pelan sebelum kembali berbicara.

"Just kidding." Pemuda itu mengeluarkan cengiran khasnya sebelum kemudian menatap Chanyeol dengan nakal. "Kita semua tahu bahwa anak bungsu Keluarga Park merupakan seorang jagoan –terutama di ranjang."

"Oh—"

"Oh?"

"I forgot what I was gonna say."

Ditatapi wajah seimut itu membuat jantung Chanyeol nyaris melompat. Memang Baekhyun seringkali melakukan hal itu namun lihatlah bagaimana Chanyeol selalu saja tidak bisa tahan untuk tidak membaringkan pacarnya sekarang juga.

Dan nampaknya Baekhyun belum selesai menebar pesona dari wajah imutnya karena anak itu kini tengah memiringkan kepala serta tersenyum manis.

"Are you trying to seduce me? Because it's works."

"I'm not doing anything." Baekhyun menjawab polos.

"Bagaimana dengan ini…" Chanyeol memegang kedua tangan Baekhyun dan membalas dengan menatap anak itu lekat-lekat. "Aku akan memberimu sesuatu untuk kau lakukan."

"Like what?"

"Like this."

Chanyeol meraih bagian belakang kepala Baekhyun dan mendorongnya ke depan. Membuat bibir manis keduanya beradu sebelum akhirnya saling bertukar saliva. Ia kelaparan, dan bibir manis Baekhyun merupakan sebuah makanan pembuka yang teramat lezat.

"Mppphhh…"

Baekhyun melepaskan ciuman itu. Tangannya kini tengah menangkup wajah Chanyeol yang tengah ia pandangi lekat-lekat. "Aku benar-benar tidak mengerti dengan cara kerja otakmu. Beberapa menit yang lalu kita masih membicarakan tentang ayahmu, dan sekarang… lihat siapa yang tiba-tiba kelaparan."

Baekhyun yang naif. Memangnya Chanyeol peduli dengan itu? Tentu saja tidak. Andai saja si pemuda mungil tahu bahwa Chanyeol sudah mati-matian menahan diri seharian ini; Dan ia merasa berhak untuk mendapatkan hadiah atas kelakuan baiknya.

"Kau pikir—" Chanyeol menyeringai. "—Aku mengikutimu ke kamar dan berbaring di tempat tidurmu hanya untuk mengobrol tentang hal yang tidak penting semacam ayahku?"

Baekhyun dibuat tertawa tidak percaya. Jadi memang tujuan kekasihnya dari awal adalah untuk bermain malam ini.

"Jadi, bagaimana?" Chanyeol sekali lagi meminta persetujuan.

Si mungil mendekatkan wajahnya di telinga Chanyeol. Menghembuskan nafas pelan guna membangunkan bulu-bulu halus di sekitar tubuh lelakinya, dan kemudian berbisik dengan nada sehalus mungkin.

"Fuck me."

.

.

.

"Apa kau menghitung berapa kali kita melakukan ini?"

Chanyeol tiba-tiba berujar di tengah malam, kala Baekhyun nyaris merelakan setengah kesadarannya untuk dirampas alam mimpi. Sebenarnya ia sudah tidak mau menanggapi, dan ingin fokus memejamkan mata sambil memeluk tubuh Chanyeol yang ia jadikan guling sementara. Tapi karena suara Chanyeol masih terdengar, si mungil hanya bisa membalas dengan malas-malasan.

"Melakukan apa?"

Yang lebih tua melirik pada seseorang yang tengah ia dekap erat.

"Seks."

"Untuk apa aku menghitungnya, Park."

"Mungkin untuk mengetahui apakah selama ini kita kurang melakukannya, atau justru lebih? Aku tidak tahu."

"Apa kepalamu terbentur tepian ranjang?" Tanya Baekhyun khawatir. "Apa yang kau bicarakan?"

"Kadang-kadang aku lupa menggunakan pengaman."

"Dan?"

"Dan… ehemm, kau tahu… kita mungkin melakukan kecelakaan."

Baekhyun mendengus. Memang bukan ide yang bagus untuk mendengarkan ocehan Chanyeol dini hari seperti ini. Seharusnya ia sudah tahu. "Aku akan berpura-pura untuk tidak mendengarmu."

"Babeee…"

"Aku ingin tidur! Aku lelah!"

"Lelah? Bukannya dari tadi hanya aku yang bergerak?" Chanyeol kembali membahas mengenai kegiatan seks mereka yang baru selesai. Sebab memang betul, sedari tadi hanya ia yang bergerak ke depan dan belakang. Baekhyun sendiri terlalu malas untuk untuk mengeluarkan energi lebih, dan memilih pasrah dengan apa yang dilakukan Chanyeol terhadapnya.

Terhadap bokongnya.

"Diam. Jangan bicara lagi." Ujar Baekhyun dengan mata terpejam.

Keheningan malam kemudian menyapa mereka berdua. Baekhyun semakin menyamankan posisinya, bergerak lebih dekat untuk merasakan hangatnya kulit tubuh Chanyeol yang menempel langsung dengannya. Kalau sudah begini, ia hanya perlu rileks dan melesat masuk ke alam mimpi. Namun setelah Chanyeol berhenti mengganggu, tentunya.

"Babe, bagaimana menurutmu tentang anak?"

"PARK CHANYEOL, I SWEAR TO GOD!"

"Okay okay… Let's sleep now."

.

.

.

"Ow, ow, lihat. Dia terseok-seok."

Jongin, pagi itu memberi komentar terhadap cara berjalan Baekhyun yang (biasanya) memang aneh setelah Chanyeol menginap di kamarnya. Semua orang di rumah sudah lebih dari tahu tentang apa yang mereka lakukan, tapi nyatanya topik obrolan ini tidak pernah tidak menarik untuk dibicarakan.

"Shut up!" Baekhyun menyalak garang. Ia yang kala itu tengah berdiri di depan kulkas, bergerak untuk membuka benda itu dan mengambil air dari dalam sana.

Selepas kerongkongannya basah dan terisi air, ia pun bertanya pada dua setan yang sedang duduk manis menghabiskan sarapan di meja makan.

"Di mana Chanyeol?" Tanya Baekhyun.

Sehun menyahut sambil menyuapkan sereal ke mulutnya. "Kukwira dia dwikwamwarmu."

"Kunyah dulu makananmu, Oh Sehun."

"Sowrry, Mwom."

"Not your Mom!"

"Kami kira dia ada di kamarmu." Jongin kali ini mengambil alih jawaban. Namun nampaknya, Baekhyun masih belum puas.

"Tidak mungkin. Kalau dia ada di kamarku, aku tidak akan repot-repot turun hanya untuk meminum air." –karena memang sudah pasti Chanyeol yang mengambilkan.

"Ah, kau benar juga." Jongin mengangguk-angguk. "Mungkinkah dia ikut kebaktian di gereja? Ini hari Minggu."

"Itu bahkan lebih sulit dipercaya."

Sehun dan Jongin tertawa karena ucapan Baekhyun terlampau akurat.

Memutuskan untuk bergabung dengan dua pemuda yang lebih tua, Baekhyun lalu mendudukkan dirinya di kursi dengan hati-hati. Pagi ini cukup sepi untuk seukuran rumah yang biasanya dihiasi dengan kebodohan dan kerusuhan. Tapi itu lebih baik, hari-hari seperti ini jarang terjadi dan patut untuk dinikmati.

"Kau butuh bantal?" Jongin ternyata belum berhenti menggodanya, sebab Baekhyun terlihat masih meringis bahkan ketika duduk.

"Diam. Sekarang buatkan aku sarapan."

Jongin menghela napas. Meski begitu, ia tetap melakukan apa yang Baekhyun perintahkan karena itu adalah mutlak. Setelah mengambil mangkuk, ia bertanya. "Kau mau sereal dulu atau susu lebih dulu?"

"Bagaimana kalau kepalamu kupukul dengan sendokku lebih dulu, hm?"

"Baiklah, sereal yang lebih dulu masuk." Jongin pada akhirnya memutuskannya sendiri.

"Terimakasih." Baekhyun menerima mangkuk yang diletakkan di hadapannya. Ketika hendak menyendok ke dalam mulut, suara notifikasi pesan telah lebih dulu menginterupsi.

Babe, aku pergi ke studio pagi ini. Maaf tidak membangunkanmu, kau tidur sangat pulas.

Jangan lupa sarapan.

Love you, darling.

Pesan tersebut dari Chanyeol. Setelah membacanya, Baekhyun langsung mengetik pesan balasan.

Love you too.

Kau sudah sarapan?

Dan hanya perlu beberapa detik untuk pesan selanjutnya muncul.

Ofcourse

"Ah! Kalian sedang sarapan bersama!"

Suara nyaring tiba-tiba terdengar dari arah pintu dapur.

Ketiga kepala yang tengah berkumpul di meja makan langsung menoleh dan mendapati seorang bocah tak asing yang sedang berdiri dengan tangan di pinggang. Siapa lagi kalau bukan tetangga sebelah yang senantiasa mengganggu keharmonisan keluarga ini, Kim Jongdae pastinya.

"Apa aku boleh bergabung?" tanyanya dengan semangat.

"Seseorang pasti lupa mengunci pintu." Baekhyun bergumam sambil melanjutkan sarapannya, tak lupa juga seraya mengetik pesan untuk kekasihnya yang jauh di sana.

"Kau tidak diundang." Sehun berkata pada Jongdae.

"Aku mengundang diriku sendiri." Jongdae berjalan mendekat. Menarik sebuah kursi untuk ia duduki. "Tolong susunya, hyungs."

Jongin dan Sehun menatapnya datar.

"Berikan saja apa yang dia mau." Baekhyun tiba-tiba berujar. "Siapa tahu ini hari terakhirnya."

"ASTAGA!"

Baekhyun hanya tidak ingin panjang urusan. Minggu paginya harus berjalan dengan damai untuk kali ini. Ia sudah cukup kecewa karena tidak bisa menemukan Chanyeol untuk dipeluk, jadi sebaiknya jangan ada kekacauan.

"Well well well."

Namun sepertinya, itu hanya angan-angan semata. Karena tiba-tiba, seseorang datang. Menarik kerah belakang baju yang Jongdae kenakan, dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Berani sekali kau datang kemari setelah menghabiskan yoghurt-ku, hm?"

Baekhyun, Jongin, dan Sehun hanya menyaksikan dalam diam ketika Kris datang untuk mengantarkan Jongdae pada peristirahatan terakhirnya.

"HYUNG, AMPUNI AKU!"

Ya, omong kosong. Siapa bilang pagi ini akan berjalan dengan damai?

.

.

.

Temui aku di jam makan siang.

Chanyeol menatap lamat-lamat pesan singkat yang ia dapat sejak lima belas menit yang lalu. Dari semua kemungkinan orang yang mengiriminya pesan, entah mengapa harus Yoo Rachel yang beruntung hari ini. Apakah ini semacam konspirasi alam semesta untuk membuat suasana hatinya memburuk secara beruntun sejak kemarin?

Ia awalnya ingin mengabaikan. Dan di jam makan siang ini, Chanyeol berniat untuk pulang ke rumah dan beristirahat. Namun ternyata, ada satu pesan lain yang masuk dan memaksa untuk membuatnya beranjak sekarang juga untuk menemui si wanita sialan.

Datanglah. Kau masih peduli dengan hubunganmu dan pacarmu, bukan?

"This bitch…" Berani-beraninya wanita itu memberi ancaman, Chanyeol mendesis geram. Dan karena tak ingin membuang waktu lebih lama, si tinggi lalu meraih jaketnya yang tersampir di kursi dan berjalan keluar studio.

Chanyeol menghampiri mobilnya dengan agak tergesa. Sungguh, sebenarnya ia amat sangat tidak ingin berurusan dengan Rachel lagi –dalam hal apapun—setelah semua hal buruk yang menimpanya di masa lalu. Chanyeol masih berpikir bahwa Rachel adalah satu-satunya pihak yang harus disalahkan. Meski Kris mengatakan bahwa perempuan ini telah berubah, ia tak langsung percaya. Karena sifat dasarnya yang sudah menjengkelkan itu nyatanya masih melekat.

Lima belas menit perjalanan yang harus ia tempuh sebelum kakinya berpijak di depan sebuah kedai kopi di kawasan perkotaan. Rachel mengatakan bahwa Chanyeol hanya perlu naik ke lantai dua kedai tersebut dan akan segera menemukan dirinya yang duduk tak jauh dari tangga.

"Aku pasti sudah gila karena menurutinya." Keluh Chanyeol ketika kakinya menginjaki satu-persatu anak tangga yang ada.

Tidak banyak orang yang menghuni lantai dua, jumlahnya masih bisa dihitung jemari. Maka dari itu, tidak terlalu sulit untuk menemukan Rachel. Lagipula, rambutnya yang berwana kemerahan itu juga menjadi salah satu ciri khas yang sangat mudah untuk dibedakan dengan yang lainnya.

Ketika Chanyeol berjalan mendekat, ia cukup terkejut karena mendapati ada orang lain yang ikut duduk bersama Rachel.

"Sebaiknya ada hal yang penting untuk kau bicarakan karena aku tidak memiliki banyak waktu untuk meladeni omong kosongmu." Cerocos Chanyeol begitu dirinya menghampiri Rachel yang tengah sibuk menyeruput vanilla latte dari cangkirnya.

Dengan elegan, perempuan itu meletakkan cangkir yang sebelumnya ia pegang, dan menengadah pada si pria yang masih kokoh berdiri dengan tatapan mengintimidasi.

"First off, hello to you, too, Park Chanyeol. Please, have a seat." Rachel berkata dengan nada sarkasnya seperti biasa. Ditambah dengan senyuman palsu seperti yang ia pertontonkan di terakhir kali mereka bertemu, yakni di sebuah kekacauan yang lalu.

"Atau kau ingin berdiri di sana seharian? Tidak masalah bagiku." Lanjutnya.

Chanyeol membuang wajahnya sembari menghela napas. Ia pun mau tak mau akhirnya mendudukkan dirinya di kursi empuk yang tersedia di sana.

"Ngomong-ngomong, perkenalkan, ini adalah Jiyeon." Rachel menunjuk perempuan yang sedari tadi duduk di sampingnya. Tidak seperti dirinya yang berdarah campuran, perempuan itu kelihatan seperti wanita lokal biasa yang bisa kau jumpai di kota ini.

"Dia pacarku." tegasnya.

"I don't care." Chanyeol menanggapi dengan jujur.

Rachel hanya memutar bola matanya dan melirik kekasihnya seraya berkata, "Sudah kubilang dia itu kurang ajar."

Perempuan yang dipanggil Jiyeon itu hanya tersenyum tipis. "Lanjutkan saja, anggap aku tidak ada di sini."

Chanyeol tidak ingin repot-repot memperkenalkan dirinya, lagipula bukan itu yang membuatnya datang kemari. "Katakan, ada apa?"

Rachel terlihat membuang napas. Perempuan berambut merah itu melipat kedua tangannya di dada seraya bersandar dengan angkuh. Ya, tidak ada gunanya juga untuk berbasa-basi dengan Chanyeol. Jadi ia pun berniat untuk menceritakan inti persoalan yang sebenarnya.

"Aku akan mengatakan langsung ke intinya." Ujarnya, terdengar frustrasi entah kenapa. "Ayahmu dan Ibuku akhir-akhir ini banyak melakukan pertemuan."

Kali ini, Chanyeol menanggapi dengan sedikit serius.

"Kau curiga mereka berselingkuh?"

"Bukan, tolol." Rachel mengatakan itu dengan nada kesal yang cukup menyakitkan untuk didengar.

"Mereka membahas tentang perjodohan."

Satu kalimat terakhir dari Rachel tidak heran membuat jantung Chanyeol berpacu sedikit lebih cepat. "Apa?"

"Perjodohan. Kau tuli?"

"Dari mana kau tahu?" Tanya Chanyeol. Mengesampingkan kembali fakta bahwa Rachel tengah meledeknya.

"Seorang asisten rumah tangga." Rachel memberi jeda. "Itu tidak penting, yang terpenting sekarang adalah pembahasan mengenai perjodohan kita."

Chanyeol kali ini tidak langsung menanggapi. Otaknya berputar, mengingat kembali potongan-potongan puzzle yang sepertinya memang merujuk pada sesuatu. Semua keanehan sudah tercium sejak Rachel kembali –mengusik ketentraman hidupnya.

"Aku tidak secara sengaja untuk pulang dari Tokyo dan kembali kemari—well, setelah semua yang terjadi. Tetapi Ibuku yang meminta, dan aku baru mengetahui bahwa ada agenda tersembunyi di dalamnya."

Chanyeol mengerutkan keningnya. "Jadi maksudmu, mereka telah membicarakan untuk menjodohkanmu denganku?"

"Apa perkataanku tadi kurang jelas, Park?"

"Dengar, bodoh. Aku punya saudara." Chanyeol merujuk pada Kris. "Dari mana kau tahu bahwa itu adalah aku dan bukan Kris yang dijodohkan denganmu?"

"Oh, kau belum tahu ternyata. Ibuku tidak menyukai Kris." Ujarnya jujur. "Selain karena garis keturunannya yang tidak jelas, dia juga terlalu mirip denganku."

Ini mungkin terdengar konyol tapi cukup masuk akal bagi Chanyeol. Keluarga Yoo nampaknya tidak ingin ada dua Rachel karena itu bisa mengacaukan hidup mereka.

Tapi bukan berarti orang yang selanjutnya dikorbankan adalah Chanyeol.

"Aku menolak." Chanyeol berkata tegas. Rachel terlihat sangat siap dengan jawaban itu.

"Kau pikir aku mengundangmu kemari, bersama kekasihku, untuk mengatakan bahwa aku setuju dengan perjodohan konyol itu? Jangan gila."

Well, itu cukup melegakan. Setidaknya ia tidak sendirian dalam menentang rencana konyol orangtuanya. "Aku tidak percaya bahwa aku akan mengatakan ini tapi, kita berada dalam satu kapal sekarang."

Karena jujur saja, Rachel adalah orang terakhir di dunia ini yang akan ia ajak bekerjasama. Namun melihat bahwa situasi mereka yang serupa, yakni telah sama-sama memiliki kekasih untuk dipertahankan, maka mau tidak mau keduanya harus akur guna menjalankan simbiosis yang saling menguntungkan.

"Kalau kau dan aku memang tidak setuju, bukankah ini akan menjadi lebih mudah?" Tanya Chanyeol.

Rachel tertawa pendek. "Coba katakan itu pada ayahmu atau ibuku, dan lihat apakah mereka akan peduli."

Memang betul, bukan masalah tentang bersedia atau tidak, karena pada akhirnya ini merupakan pemaksaaan. Menolak mentah-mentah hanya akan membuat mereka yang berkuasa, untuk lebih memaksa. Padahal semua ini tidak lebih dari sebuah perjanjian bisnis semata.

"Kau masih perang dingin dengan ayahmu?" Tanya Rachel.

"Begitulah." Ujar Chanyeol. "Sudah lama sekali sejak ia diam, dan kurasa mungkin sekarang dia mulai bergerak lagi."

Rachel menggelengkan kepala sambil mengekeh pelan. Ia dan Chanyeol, mereka memiliki orangtua yang sama-sama senang memaksakan kehendak, namun Rachel tidak secara terang-terangan membenci ibunya. Perempuan itu melakukannya dengan diam dan hati-hati.

"Kita berdua memendam kebencian yang sama karena sama-sama tidak ingin diatur. Dan lihat, nasib kitapun tak jauh berbeda sekarang." Rachel meraih kembali cangkir minumannya dan menyesapnya perlahan.

Jiyeon, perempuan yang ia bawa, terlihat mengelus-elus punggung wanita itu dengan sabar. Chanyeol cukup kagum Rachel bisa menemukan perempuan ini guna menjalin hubungan. Mengingat betapa menyebalkannya dia, pastinya cukup sulit di awal pertemuan. Dan barangkali, barangkali itulah sebabnya mengapa mereka ingin mempertahankan hubungan. Ya, alasan itu tidak jauh berbeda dengannya.

Chanyeol seakan melihat refleksi dari dirinya sendiri. Benaknya kembali teringat di mana saat-saat pertama ia berjumpa Baekhyun yang amat sulit di awal. Sadar bahwa dirinya bukanlah pria yang baik, Chanyeol lantas banyak berbenah diri. Jadi ketika Baekhyun betul-betul telah berada dalam dekapannya, ia tidak pernah sekalipun melirik ke arah lain sebab dirinya telah puas mendapatkan apa yang amat sangat ia inginkan.

"Sampai rencana itu betul-betul terjadi, kita tidak boleh bertindak sendiri." kata Chanyeol. Lagipula, ini semua baru rencana yang dibahas oleh kedua orangtua mereka. Kemungkinanya masih lima puluh banding lima puluh. Dan mungkin, ada hal lain yang sedang mereka pertimbangkan sehingga rencana ini bahkan belum di sampaikan pada anak-anak yang hendak dijodohkan.

"Dan kurasa aku akan berpura-pura untuk tidak tahu tentang ini sampai alurnya betul-betul terlihat." Tandas Chanyeol.

"Terserah, aku hanya ingin memberitahumu tentang informasi yang kudengar, sebagai bentuk antisipasi. Dan juga…" Rachel melirik Jiyeon yang menyatukan kedua jemari mereka berdua di atas meja. "… Aku hanya ingin memberitahu pacarku bahwa lelaki yang ada di depanku ini sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dia."

"Baiklah, aku akan berhenti untuk cemburu." Jiyeon menanggapinya dengan senyuman penuh persetujuan.

"Ya ampun, aku nyaris muntah." Chanyeol telah kembali pada mode kurang ajarnya. "Dan kau bahkan tidak mentraktirku kopi?"

"Kau bisa pergi sekarang karena aku sudah selesai." Itu merupakan sebuah pengusiran yang mutlak dari seorang Rachel.

Chanyeol merotasi bola matanya dengan jengkel. Rachel sialan memang selalu memiliki kalimat pahit yang merdu untuk dilontarkan. Dan karena tidak ingin membuang waktu lebih lama untuk menonton sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta, maka ia memutuskan untuk angkat kaki saat itu juga.

"Anyway," sebelum benar-benar melangkah, Chanyeol masih sempat untuk menoleh dan bertatapan dengan kedua wanita tersebut.

"Ini mungkin terlambat, tapi kuucapkan selamat. Kalian terlihat cocok."

Rachel menunduk sesaat guna menyembunyikan senyumnya. "Thanks. Sampaikan salamku pada pacarmu. Siapa namanya? Byunsik?"

"It's Baekhyun."

"Yeah, whatever his name is."

Chanyeol lalu dengan senang hati memberinya salam terakhir berupa acungan jari tengah.

"Bye, ginger."


.

.

.

Tbc

.

.

.


Hai? Udah lama gak ketemu, sekali ketemu gak lama, hehehe sorry. Btw, malam ini update sama author Silvie Vienoy, tapi belio update di wattpad, silakan nanti dicek ya (belio update Military—salah satu favorit kita semua)

Apalagi ya? Ah, pokoknya makasih buat kalian yg masih nunggu ff ini. Kritik dan saran selalu terbuka, bcs I knew, cerita ini masih banyak kekurangannya. Itu aja mungkin.

Sampai ketemu lagi di chapter berikutnya!