First Day


"Ya Bu, aku menemukannya… oke. Dua lantai, cat biru, dan uhm… nomor tiga ratus enam puluh lima? Ya, aku sudah di depan pintu."

Seorang pemuda kurus berambut magenta mengapit smartphone diantara pundak dan telinganya. Dua tangannya sibuk menenteng tas dan menyeret koper yang kini ia letakkan di samping kaki. Seperti apa yang direncanakan, pagi itu ia menyambangi sebuah rumah yang terletak di komplek di tengah kota. Sebuah tempat yang cukup dekat dengan kampusnya, yang mana itu menjadi salah satu alasan mengapa ia kemari.

"Baguslah nak, ketuk pintu sebelum kau masuk. Akan ada seseorang yang menyambutmu—seharusnya ada, dan bersikap baiklah padanya."

Pemuda itu, atau sebut saja namanya Baekhyun, tertawa geli setelah mendengar perkataan ibunya lewat sambungan telepon. Ia pun membalas, "Ibu mengatakannya seperti aku adalah orang yang senang menampar orang lain di pertemuan pertama."

"Ibu hanya mengingatkanmu, sayang."

Bersamaan dengan senyuman kecil yang Baekhyun sunggingkan, iapun mengetuk pintu utama sebuah rumah yang ada di depannya dengan sopan. Tanpa mematikan sambungan telepon karena ia tahu ibunya masih menunggu agar ia masuk ke rumah yang benar.

"Permisi." Serunya di depan pintu.

Percobaan pertama, tidak ada respon.

"Kurasa mereka sedang tidak ada." Baekhyun melapor pada ibunya.

"Coba lagi, sweetheart. Ibu yakin ada seseorang disana."

Kedua kalinya Baekhyun berseru, masih belum ada sahutan. Berlanjut hingga yang ketiga kali, keempat kali, hingga ia memutuskan untuk memutar gagang pintu. Mengabaikan petuah ibunya tentang sopan santun. Saat ia memutar gagang pintu tersebut, ia langsung mendorongnya karena ternyata pintu tidak dikunci.

"Permisi aku…WHAT THE F—"

Baekhyun berhenti karena ia tahu bahwa ibunya bisa mendengar nun jauh disana. Jadi ia hanya melanjutkan umpatannya dalam hati.

What the fuck?

"Baekhyun, apa yang terjadi?"

Sang ibu bertanya dengan nada khawatir, namun Baekhyun belum bisa untuk menanggapinya karena ia masih sibuk menafsirkan apa yang tengah ia lihat sekarang.

Well, sesaat setelah membuka pintu, Baekhyun dihadiahi sebuah pertunjukan dimana terdapat seorang pemuda yang tengah menyalakan api untuk rokok di bibirnya. Hanya itu? Tentu saja tidak. Karena yang lebih mengejutkannya adalah, pemuda itu telanjang.

Bulat.

"Hm?"

Dan ia menatap Baekhyun sekarang.

BLAM!

Tanpa pikir panjang, Baekhyun menutup kembali pintu rumah tersebut dengan keras. Ia berbalik dengan mata yang masih melotot dan mulut menganga lebar.

"Baekhyun? Ibu mendengar suara debuman yang keras, apa mereka memukulmu?"

Sang ibu yang masih tersambung dengannya terus-menerus memanggil. Dan setidaknya itu membuat Baekhyun sedikit tersadar dari keterkejutannya.

"Apa ibu yakin ini rumah sewa yang seharusnya kutempati?" tanya Baekhyun serius.

"Tentu saja, sayang. Cat biru nomor tiga enam lima bukan?" ibunya balas bertanya.

Baekhyun melirik cat dinding dan papan kecil bertuliskan angka 365 yang tersemat di pintu. Ibunya tidak keliru.

"Ibu yakin ini bukan tempat tinggal orang gila? Atau bos mafia? Atau teroris?"

"Apa?"

Baekhyun mengurut kening dengan prihatin. Ia prihatin terhadap nasibnya sendiri dan respon dari sang ibu tidak membuatnya lebih baik.

"Sayang, apa yang terjadi?"

"Tidak ada, Bu. Hanya…" Baekhyun kembali berbalik. Menatap langsung pintu rumah aneh tersebut dengan wajah penuh kesedihan.

"Sepertinya aku baru saja kehilangan sisi kemanusiaanku."


"Aku tahu ini sedikit mengejutkan, dan aneh… baiklah, aneh dan mengejutkan tapi satu hal yang juga harus kau ketahui bahwa aku benar-benar menyesal atas apa yang telah kau lihat uhm…?"

"Baekhyun."

"Ya, Baekhyun, tentu. Aku benar-benar minta maaf."

Untuk satu dan lain hal yang mana Baekhyun tidak memiliki pilihan lain, ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke dalam rumah tersebut dan syukurlah, ada seseorang lain yang menyambutnya. Seseorang yang kelihatannya lebih normal dibanding dengan yang tadi ia temui.

Sekarang, Baekhyun tengah mengobrol dengan orang itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Suho Kim. Seorang editor di perusahaan buku ternama dan umurnya dua puluh enam. Lebih tua enam tahun dari Baekhyun.

Baekhyun tersenyum miris di tempat duduknya. Rumah ini sangat bagus dan cukup terawat. Ia mengira hanya halaman depan saja yang terlihat nyaman, namun di dalam pun terasa sama. Hanya masalahnya, penghuni yang ada di dalam belum tentu sebagus rumahnya.

"Aku sudah diberitahu sebelumnya bahwa akan ada seorang penyewa baru disini, tapi aku tidak tahu kalau ia akan datang hari ini." Suho menunjukkan wajah penuh penyesalan. "Maaf karena tidak bisa menyambutmu secara sopan, uhm..Donghyun?"

"Baekhyun."

"Ya, itu dia maksudku." Pria tersebut kemudian bangkit dari sofa dan mengajak Baekhyun untuk mengikutinya. "Mari kutunjukkan kamarmu."

Baekhyun mengangguk kecil. Meski terasa berat, ia tetap memaksakan diri untuk berjalan sembari menenteng tas dan kopernya. Mengikuti arah kemana Suho pergi.

"Kamar di lantai bawah sudah penuh. Kuharap kau tidak keberatan untuk tinggal di lantai atas."

"Tidak masalah." Baekhyun menanggapinya singkat.

Suho kemudian menawarkan dirinya untuk membawakan koper Baekhyun yang langsung disambut baik oleh pemiliknya. Cukup melelahkan untuk menaiki tangga ini karena ia belum terbiasa. Flat sederhana yang ia sewa sebelumnya hanya terdiri dari lantai satu yang serba sempit, ngomong-ngomong.

"Ini mungkin sedikit melelahkan, jadi—Oh God! Chanyeol! Pakai bajumu!" Suho memekik keras saat ia telah sampai di ujung tangga, dan menemukan seseorang yang sedang meniupkan asap rokok dengan santai. Baekhyun mengintip di balik punggung Suho dan ia terkejut karena seseorang yang diteriaki adalah si pemuda yang tadi ia lihat. Dan sekedar untuk informasi, dia masih bertelanjang bulat.

"Aku sedang menulis lagu."

Pemuda aneh itu menjawab santai. Yang mana membuat Suho dengan bangga mendaratkan sebuah tamparan di belakang kepalanya.

"Aku tidak peduli, sialan! Cepat pakai bajumu!"

Baekhyun sedikit kaget dengan apa yang dilihatnya, namun ia merasa senang secara bersamaan. Hey, bukankah ini pertunjukkan yang menarik untuk dilihat?

"Aw, sakit hyung. Kau kira kepalaku ini terbuat dari apa?" Chanyeol, si pemuda telanjang, mengerang tepat setelah Suho melancarkan aksinya.

"Tanah liat. Kepalamu pasti terbuat dari tanah liat."

Chanyeol memutar bola matanya dan beralih menatap Baekhyun secara spontan. "Aku minta maaf atas kekacauan yang orang ini perbuat. Dia memang sedikit anarkis."

Dahi Baekhyun berkerut bingung. Bukankah semua kekacauan ini berasal dari si pemuda telanjang?

Lalu Chanyeol pergi begitu saja memasuki sebuah ruangan dan menutupnya dari dalam –mungkin itu kamarnya. Tanpa peduli dengan dua orang yang masih berdiri di ujung tangga dengan mulut menganga.

Suho menengok Baekhyun hanya untuk memberinya senyuman pasrah.

"Kau lihat sendiri. Dia benar-benar bajingan."

Baekhyun mengangguk setuju.

Ia dan Suho lanjut berjalan hingga akhirnya menemukan sebuah ruangan dengan pintu terbuka. Suho berhenti dan mempersilkan Baekhyun untuk masuk. "After you."

Baekhyun tersenyum kecil dan memasuki ruangan bercat putih tersebut. Ada sebuah single bed yang diletakkan di dekat jendela, meja belajar yang masih kosong, dan lemari besar. Ia benar-benar tidak pernah memperkirakan bahwa tempat barunya akan terlihat senyaman ini.

"Ini… bagus. Mungkin aku akan terbiasa." Ujar Baekhyun seraya mendudukkan dirinya di ujung kasur. Suho tersenyum sambil menyandarkan koper yang ia bawa di dinding.

"Semoga kau betah tinggal di sini." Harapnya.

"Aku penasaran apakah ini sepadan dengan biaya sewanya. Maksudku, ini benar-benar nyaman tapi…" Baekhyun ingat tentang biaya sewa rumah yang ibunya katakan beberapa hari lalu. Relatif murah jika dibandingkan dengan rata-rata biaya sewa di kota Seoul ini.

"Jangan pikirkan hal itu. Buat saja dirimu nyaman disini."

"Kau benar." Baekhyun mengangguk. "Ngomong-ngomong, aku belum pernah bertemu dengan pemilik rumah karena ibuku yang mengatur semuanya. Jadi, dimana aku bisa menemukannya?"

Suho tertawa kecil. Baekhyun menaikkan alis.

"Di sini."

"Dimana maksud— Oh." Baekhyun baru saja menyadari kebodohannya dan segera menutup mulut rapat-rapat. Tentu saja. Tentu saja Suho adalah pemiliknya. Terimakasih kepada otaknya yang terlihat cukup bodoh dalam menganalisis.

"Bukan masalah." Suho tidak merasa tersinggung. "Yang terpenting, semoga kau bisa menyesuaikan diri dan… nyaman tinggal disini."

"Tentu."

Suho berjalan menuju pintu dan membiarkan Baekhyun untuk membereskan barang-barangnya. "Aku ada di lantai bawah sampai jam sepuluh. Lewat dari jam itu, aku pergi ke kantor dan kau bisa minta tolong Chanyeol jika kau butuh sesuatu."

"Chanyeol?" Baekhyun membeo.

"Seseorang yang kita temui di ujung tangga." Suho benar-benar pergi setelah mengatakan itu. Ia tidak sempat untuk melihat wajah miris yang Baekhyun tunjukkan saat mengingat tentang Chanyeol, pemuda aneh yang ia temui tadi.

"Oh. Chanyeol. Ya. Bagus. Sekali." Baekhyun bergumam sambil menggelengkan kepalanya. Tidak bisa membayangkan bagaimana kelanjutan hidupnya saat tahu bahwa ia dan si Chanyeol itu akan tinggal dalam satu atap. Mungkin akan banyak kejutan nantinya.

"Kau memanggilku?"

"Oh astaga!" Baekhyun memegangi dadanya seolah jantungnya bisa keluar saat itu juga. Ia terkejut begitu mendapati Chanyeol yang tiba-tiba datang dan bersandar di depan pintu kamarnya.

"Apa yang salah dengan mengetuk pintu?" Baekhyun bertanya dengan sedikit emosi.

Chanyeol mengendikkan bahu, tidak merasa terintimidasi sama sekali. "Kulihat pintunya terbuka, jadi untuk apa mengetuk?"

"Untuk tidak mengagetkan seseorang secara sengaja." Baekhyun memutar bola mata dengan jengah. Satu hal yang cukup baik adalah, kali ini Chanyeol telah memakai sesuatu di tubuhnya. Sebuah boxer berwarna abu-abu. Hanya itu, dan Baekhyun merasa tidak bisa lebih bersyukur lagi karena tidak harus melihat pertunjukkan porno secara live. Setidaknya Chanyeol tahu bagian mana yang lebih penting untuk dibungkus terlebih dahulu.

"So… Pekerja paruh waktu? Atau mahasiswa?"

Baekhyun menengadahkan wajahnya untuk menatap langsung Chanyeol yang bertanya padanya. "Mahasiswa dan pekerja paruh waktu. Hey tunggu, bukankah kau seharusnya menanyakan namaku terlebih dahulu lalu berkenalan?"

"Well, aku tidak keberatan memanggilmu sayang."

"Apa?"

"Dan kau bisa memanggilku honey, mungkin?"

Baekhyun tersedak udara.

"A-APA?"

Seriously, what the actual fucking fuck just happened? Inner Baekhyun benar-benar meronta meminta jawaban atas apa yang terjadi. Namun ia kesulitan untuk menyusun kosa kata yang masuk akal untuk sekedar memastikan apa yang terjadi. Dan ia hanya bisa menyerah dengan satu kalimat tanya yang bersarang di kepalanya. Jadi sekali lagi, "APA?"

"Bukan apa-apa." Chanyeol menjawab enteng. Seperti menganggap bahwa yang baru saja ia katakan di beberapa detik lalu hanya sebuah gurauan yang gagal dipahami Baekhyun. Dan Baekhyun sungguh-sungguh berharap bahwa itu adalah sebuah gurauan karena jika tidak, ia haruslah berada dalam masalah besar.

"Ha…haha… baguslah…" Baekhyun tertawa hambar. Kemudian ia memaksa fokusnya untuk teralihkan pada tas besar yang ia bawa. Mengeluarkan isi yang ada di dalamnya setidaknya akan menghilangkan kecanggungan yang ia rasa kala mengobrol dengan Chanyeol.

"Ngomong-ngomong, aku suka matamu."

Baiklah, kelihatannya Chanyeol memang sedang tidak bergurau. Karena, apa katanya tadi? Aku suka matamu?

"Maaf?" Baekhyun ingin memastikan apakah ia salah dengar atau tidak.

"Kubilang, aku suka matamu." Chanyeol mengulanginya dengan senang hati. Baekhyun mendadak merinding di sekujur tubuh. Tidak ada yang lebih menakutkan selain digoda oleh serang pemuda yang hobi telanjang.

"Kurasa ada yang salah dengan kepalamu, atau otakmu, apapun itu." Baekhyun berusaha untuk tidak menanggapinya secara serius dan kembali berbenah.

"Aku hanya bicara jujur." Chanyeol menaikkan bahu. "Dan…keberatan untuk memberitahu namamu?"

Baekhyun memberinya tatapan jengah. Setelah berbelit kesana-kemari, pemuda di depannya baru terpikir untuk bertanya namanya. For fuck's sake, kenapa harus berbelit-belit hanya untuk mengetahui sebuah nama?

"Byun Baekhyun. Panggil saja Baekhyun." Setidaknya Baekhyun masih bermurah hati.

"Nama yang bagus." Chanyeol memuji dengan tulus. "Namaku Park Chanyeol. Kau bisa memanggilku Daddy kalau kau mau."

Baekhyun tersedak untuk yang kedua kali.

Apa sekarang ia terlihat seperti seorang sugar baby dimata Chanyeol?

"Tidak akan pernah."Baekhyun mengintimidasi Chanyeol dengan tatapan tajamnya. "Kurasa sesi berkenalan telah habis. Keberatan untuk mengangkat kakimu keluar dari ruanganku? Karena untuk informasimu saja, aku masih punya beberapa barang yang harus kubereskan di sini."

Baekhyun tidak bermaksud untuk menjadi tidak sopan. Tapi menanggapi omong kosong Chanyeol hanya akan menambah beban pikiran. Ia masih punya banyak aktivitas seperti menata pakaian dalam lemari, menghias meja belajar, membalut kasurnya dengan sprei, dan lain-lain yang tentunya lebih penting daripada saling beradu kalimat dengan seorang pemuda nyentrik yang ada di hadapannya kini.

"Yakin tidak perlu kubantu?" Chanyeol menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan.

"Sangat yakin."

"Seberapa yakin dalam skala satu sampai sepuluh?"

"Lima belas." Baekhyun menjawab mantap.

Chanyeol mengangkat kedua alisnya, kelihatannya ia menyerah. "Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa."

Baekhyun tidak sudi untuk sekedar meliriknya. "Tentu. Sampai jumpa."

"Semoga kau nyaman tinggal disini."

"Tentu, jika tidak ada seseorang yang mengganggu."

"Kalau kau perlu bantuan, aku—" Chanyeol belum menyelesaikan kalimatnya karena mata Baekhyun terlanjur menatapnya dengan penuh kekesalan. Sebuah bentuk pengusiran secara tidak langsung.

"Oke, aku pergi aku pergi."


Baekhyun terbangun dari tidur siangnya ketika mendengar suara ribut di luar sana. Ia melirik jam dinding lalu menguap, baru sadar bahwa ini telah memasuki waktu sore. Penasaran dengan apa yang terjadi, Baekhyun turun dari tempat tidurnya dan mengintip dari jendela. Dahinya mengerut bingung ketika melihat dua orang pemuda yang tengah melakukan-sesuatu-entah-apa di halaman depan rumah. Mereka bukan Chanyeol, bukan pula Suho. Dan ketika melihat gerak-gerik mereka yang sepertinya tengah berdebat, Baekhyun memutuskan untuk turun dan memeriksa apa yang terjadi.

"Menyerah saja ggamjong, kau sudah salah sejak awal."

Samar-samar, Baekhyun bisa mendengar salah satu dari mereka berkata dengan nada malas. Dan ketika sampai di depan pintu, ia bisa melihat bahwa ternyata Chanyeol pun ada di sana. Berjongkok dengan rokok yang terjepit di jemarinya. Pemuda itu reflek berdiri kala melihat Baekhyun keluar dari dalam rumah.

"Hai." Sapa Chanyeol ramah. "Bagaimana tidur siangmu?"

"Baik." Baekhyun menjawab seadanya. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Chanyeol mengarahkan pandangannya pada dua orang pemuda yang masih berkutat di halaman rumah. "Menonton dua orang bodoh yang sedang berdebat." Katanya diiringi senyum jahil.

"Siapa mereka?" tanya Baekhyun.

Chanyeol meniupkan asap rokoknya dan melingkarkan satu tangan di bahu Baekhyun. "Mari kukenalkan kau pada mereka."

Baekhyun menatap jijik pada lengan Chanyeol yang melingkar di bahunya. Ia menghempaskan tangan tersebut dan berjalan lebih dulu menemui dua pemuda yang ada di depan.

"Diam kau albino, roket ini akan meluncur jika kau berhenti mengeluh dengan mulutmu itu." Si pemuda yang berkulit lebih cokelat menggeram kesal.

Saat Baekhyun mendekat, barulah ia tahu bahwa mereka berdua tengah mencoba menerbangkan sebuah botol minuman bekas –yang mereka sebut roket- entah untuk tujuan apa. Karena jika Baekhyun lihat-lihat kembali, dua orang ini terlalu tua untuk sekedar bermain-main.

"Bagaimana perkembangannya sejauh ini?" Chanyeol bertanya mengagetkan dua orang pemuda di depannya.

"Oh hyung, kau rupanya." Satu diantara mereka berdiri dengan tangan di pinggang. "Kau lihat sendiri, Jongin tidak pernah selesai dengan kebodohannya." Ia melapor.

Jongin, seseorang yang disebutkan namanya, turut berdiri. "Ini semua karena Sehun terlalu malas untuk memompa—oh, Hai!" Ia berhenti kala melihat Baekhyun. "Siapa dia hyung? Pacar barumu?" tanyanya pada Chanyeol.

Baekhyun merasa perutnya baru saja ditinju. "Apa? Aku? Yang benar saja!"

"Wow, yang ini sedikit agresif." Sehun, pemuda yang satu lagi berkata dengan wajah datarnya.

"Seperti yang kalian lihat, dia sedang bermain hard to get." Chanyeol menyeringai pada Baekhyun. Dan si pemuda mungil merasa sangat muak karena ini bahkan belum 24 jam sejak mereka pertama kali bertemu. Ada apa dengan orang-orang di rumah ini?

"Namaku Baekhyun, penghuni baru di rumah ini. Aku keluar dari kamarku karena kurasa sangat penting untuk menyapa penghuni lain yang tinggal lebih dulu sebelumku. Jadi, salam kenal." Baekhyun mengulurkan tangannya dan mengabaikan celoteh Chanyeol sebelumnya.

"Namaku Jongin, Kim Jongin." Jongin menjabat tangan Baekhyun dengan riang. "Dan dia adalah Oh Sehun. Kami berdua baru masuk univeritas tahun ini."

Baekhyun mengangguk kecil, adik tingkat rupanya. "Aku memasuki semester tiga."

"Keberatan untuk melepaskan tanganmu?" Chanyeol tiba-tiba menyela karena Jongin tidak kunjung melepaskan tangannya yang berjabat dengan Baekhyun.

"Sifat posesifmu membuatku mual." Sehun berkomentar.

"Maaf sekali karena dia sudah menjadi incaranku, jadi kalian tidak punya kesempatan." Chanyeol menjelaskan situasinya dan itu membuat Baekhyun meliriknya dengan tajam.

"Excuse me?"

Chanyeol hanya mengendikkan bahu sebagai jawaban.

Baekhyun memilih untuk tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ia beralih pada dua bocah di depannya, dan masih berusaha menangkap apa yang sedang mereka lakukan. "Kalian sedang melakukan percobaan atau semacamnya?"

"Kami ingin menerbangkan roket." Jongin menjawab. Kembali berjongkok untuk memeriksa apa yang salah dengan roketnya.

"Untuk?"

"Apa perlu alasan lain untuk menerbangkan roket?"

Baekhyun meninggikan alis. "O-oke." Ia menyerah untuk bertanya.

"Kau tahu cara menerbangkan roket?" Chanyeol bertanya pada Baekhyun yang meliriknya masih dengan alis terangkat. "Roket mainan maksudku."

"Tidak juga." Jawab Baekhyun.

"Baiklah Sehun, kita lakukan percobaan sekali lagi." Jongin masih bersikukuh.

"Ya Tuhan, kau masih belum menyerah?" Sehun bertanya lesu.

Baekhyun menggaruk pelipis melihat pertengkaran kecil tersebut. Kemudian ia melihat Chanyeol maju ke depan sambil menggulung bagian lengan kaosnya hingga mencapai ketiak. Rokok masih terselip di bibir. Pemuda itu berjongkok dan memeriksa roket yang dipegang Jongin.

"Volume airnya terlalu banyak." Kata Chanyeol. "Pemompaannya akan lebih lama, roketnya juga tidak akan stabil."

"Lihat, apa kubilang." Sehun menyalahkan sahabatnya.

"Kau tidak bilang apa-apa, sialan." Jongin tidak ingin kalah.

Baekhyun memperhatikan dengan seksama. Ketika Chanyeol memberi petuah tentang bagaimana setiap komponen dalam roket bekerja. Tentang apa yang membuat roket itu meluncur. Tentang sayap, volume air, dan cara memompa—ia terlihat bagus dalam berteori. Serta bagaimana Jongin dan Sehun begitu memperhatikan saat Chanyeol menerangkan.

Chanyeol terlihat seperti seorang ayah yang membimbing kedua anaknya. Sesaat, Baekhyun pikir itu cukup imut.

"Sekarang coba pompa lagi." Chanyeol berdiri sambil menepuk-nepuk kedua telapak tangannya. "Aku jamin pasti berhasil."

"Kalau tidak?" tanya Jongin.

"Kalau tidak, aku akan menjual rumah ini."

Jongin dan Sehun tertawa. "Ini bahkan bukan rumahmu."

"Ayo berteduh sayang, di sini terlalu panas." Chanyeol hendak melingkarkan tangannya di bahu Baekhyun namun kali ini si mungil bergerak lebih cepat.

"Berhenti memanggilku sayang. Kau bukan pacarku!"

Baekhyun berjalan lebih dulu dan mendudukkan diri di teras depan. Ia tidak memiliki jadwal lain hari ini selain bermalas-malasan. Dan mungkin, melihat dua bocah yang tengah bermain-main di halaman depan bisa menghiburnya.

"Jadi, apa kau sudah punya pacar?" Chanyeol bertanya sambil mendudukkan dirinya di samping Baekhyun.

"Memangnya kenapa?"

"Aku hanya ingin tahu."

"Bukan urusanmu."

"WOAHHHH! INI BENAR-BENAR MELUNCUR!"

"WAHAHAHAH!"

Baekhyun mengalihkan pandangannya pada Jongin dan Sehun yang terlihat gembira karena –akhirnya- roket yang mereka buat meluncur ke angkasa. Baekhyun melihat ini begitu lucu dan ia menyunggingkan senyum kecil. Hampir terlihat seperti sebuah kekehan.

"Oh shit…"

Baekhyun menarik senyumnya kala mendengar Chanyeol bergumam. "Kau mengatakan sesuatu?"

"Tidak." Chanyeol membuang puntung rokoknya ke tong sampah terdekat. Ia beralih memandang Baekhyun tepat ke dalam matanya. "Hanya saja.."

"Sepertinya aku baru saja jatuh cinta." Chanyeol berkata dengan senyum mengembang.

Baekhyun menggelengkan kepalanya dengan prihatin. Ia tidak benar-benar menganggap bahwa yang diucapkan Chanyeol adalah sungguhan. Yang benar saja. Mereka bahkan belum mengenal baik satu sama lain. "Aku yakin bahwa aku bukan orang pertama yang yang mengatakan ini tapi kau benar-benar aneh."

"Aneh?" Chanyeol bertanya tak mengerti.

"Ya, kau bahkan menggombali seorang laki-laki."

"Oh, kau keberatan dengan homoseksual?" tanya Chanyeol dan itu membuat Baekhyun sadar bahwa ia telah salah dalam pemilihan kata. Tidak. Baekhyun tidak ingin Chanyeol berpikir bahwa ia adalah seorang homofobia.

"Tidak, tentu saja tidak. Bukan itu maksudku." Baekhyun membantah. "Hanya saja, rasanya aneh ketika kau menggombali sesama laki-laki."

"Hampir saja kukira kau ini straight." Chanyeol terlihat menghela napas lega. "Dan sebenarnya, tidak akan begitu aneh kalau yang kurayu itu kau."

"Oh c'mon…" Baekhyun merotasi bola mata. "Aku menghargai ketertarikanmu, tapi tidakkah kau sudah bertindak terlalu cepat?"

"Jadi maksudmu, kau akan menerimaku secara pelan-pelan?"

"Uhm… tidak juga?" Baekhyun mengangkat bahu.

"Astaga, kenapa kau senang sekali bermain hard to get?" Chanyeol tertawa kecil.

"Mungkin jika kau berhenti—"

"HEY HEY HEY!"

Mereka berdua berhenti berbincang saat mendengar suara teriakan nyaring entah dari mana.

"DISINI, KALIAN ORANG-ORANG BODOH!"

Baekhyun mengarahkan pandangannya pada tembok pembatas antar rumah. Di sana, ia bisa melihat seorang anak laki-laki yang terlihat lebih muda darinya sedang duduk diantara tembok pembatas. Kelihatannya dia adalah penghuni rumah sebelah.

"Ya ampun, bocah itu lagi." Chanyeol berdiri untuk menghampiri anak itu. Jongin dan Sehun sudah lebih dulu mendekat. Dan Baekhyun yang penasaran pun mengekori Chanyeol di belakang.

"Tidak bisakah kau muncul dari tempat yang normal, pintu gerbang misalnya?" Sehun jelas-jelas menyindir anak laki-laki tersebut.

"Kupikir cara ini lebih cepat." Ia menjawab enteng. "Dan oh—HAI? Apa kau penghuni baru? Namaku Kim Jongdae, aku tinggal di sebelah rumah ini. Senang bisa berkenalan denganmu." Ujarnya saat matanya menangkap sosok Baekhyun yang berdiri di samping Chanyeol.

"Namaku Baekhyun. Ya, senang berkenalan denganmu juga." Baekhyun mencoba untuk ramah.

"Sudah cukup basa-basinya. Ada apa?" Chanyeol memotong perkenalan Baekhyun dan Jongdae tanpa rasa bersalah.

"Oh, kau benar. Aku hampir lupa, malam ini akan ada pesta di rumahku!" Jongdae berseru dengan riang.

Chanyeol, Sehun dan Jongin terlihat akan membubarkan diri.

"Kalian benar-benar tidak sopan!"

"Jangan bercanda. Kau pikir kami sudi datang ke pesta seorang bocah yang baru berusia delapan belas tahun? Asal kau tahu, kami terlalu tua untuk memukul boneka berisi permen dengan mata tertutup." Jongin melakukan protes keras.

Dan sebenarnya kau juga terlalu tua untuk bermain roket air, Baekhyun berbisik dalam batinnya.

"Tidak, ya Tuhan. Tentu saja tidak. Jangan mengejekku." Jongdae membela diri.

"Dan perlu kuingatkan bahwa kau belum cukup umur untuk menyediakan soju di pestamu." Chanyeol turut berkomentar.

"Kau benar. Mungkin kita bisa menggantinya dengan teh?"

Chanyeol, Sehun dan Jongin benar-benar membubarkan diri.

"Tidaaak! Tunggu, aku hanya bercanda!" Jongdae berteriak nyaring, lagi. "Aku jamin ini akan menjadi pesta yang sama seperti yang sering kalian ikuti. Ayolah, aku juga mengundang beberapa kakak kelasku yang sudah masuk uni, kalian tidak akan menjadi satu-satunya orang dewasa disana."

Jongin dan Sehun terlihat berpikir ulang, mereka lantas bertanya pada Chanyeol secara telepati. Dan Baekhyun betul-betul tidak mengerti bagaimana bisa mereka melakukan itu hanya dengan saling menatap.

"Baiklah." Chanyeol akhirnya memutuskan. "Tapi kami akan membawa bir dari rumah."

Jongdae menarik tinjunya ke atas. "Tentu saja boleh. Apapun yang membuat kalian nyaman."

Setelah mereka sepakat, Jongdae akhirnya memutuskan untuk turun dari tembok dan kembali ke rumahnya. "Sampai jumpa di rumahku, Baekhyunie."

Baekhyun mengerutkan dahinya dengan bingung. "Aku juga diundang?"

Chanyeol, Sehun dan Jongin mengangguk serempak.

Baekhyun hanya tersenyum miris. Ia bisa membayangkan apa yang akan ditulisnya di buku harian malam ini.

Hari pertama tinggal di rumah baru, aku pergi ke pesta seorang bocah berusia 18 tahun bersama tiga orang idiot.


.

.

.

Berlanjut ke chapter 2

.

.

.


Karena ff yang kemaren bernuansa gloomy, jadi saya bikin ini buat jadi penyegarnya hehe. Kritik dan saran selalu ditunggu, sampai jumpa di chapter berikutnya.