.

.

.


Straight Out of the Door

Cast :
Byun Baekhyun
Park Chanyeol

Genre :
Romance, Family

Rated :
T

Summary :
Ini hanyalah tentangku dan suamiku, Park Chanyeol, yang seringkali berdebat tentang sabun mandi apa yang akan kami pakai bulan ini, dinner apa yang harus dibuat malam ini, buah apa yang akan dimakan setelah dinner, pasta gigi rasa apa yang akan dibeli, atau hal-hal kebutuhan bulanan lainnya. Kami berhasil melewati semuanya. Tapi bagaimana jika berdebat karena perempuan? Bisakah aku melewatinya juga, setelah lima tahun pernikahan kami? {chanbaek/baekyeol;yaoi!}


.

.

.

Pernikahanku dengan Park Chanyeol terhitung sudah cukup lama. Hm, kurang lebih... lima tahun?

Kalau dipikir, pernikahanku bersama Chanyeol selama ini tidak ada masalah. Kehidupan keluarga kami terhitung baik-baik saja meski tidak ada suara riang anak kecil yang meramaikan apartemen kami—tentu saja karena aku laki-laki dan tidak bisa hamil.

Mungkin suatu saat nanti aku akan berunding lagi dengan Chanyeol untuk mengadopsi beberapa anak setelah aku tidak sesibuk ini. Aku sedang mengembangkan sebuah usaha berupa restoran—dari nol. Jadi mau tidak mau aku benar-benar kelewat sibuk, mengurus pemasaran, karyawan-karyawan juga berbagai macam tetek-bengek lainnya demi memajukan usahaku. Dan semua ini kulakukan karena aku tidak mau membebani Chanyeol—meski penghasilan Chanyeol sebagai seorang CEO sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk menghidupi segala macam kebutuhan kami.

Oke, kembali lagi. Sejauh ini hubungan rumah tangga kami sangat baik meski pertengkaran itu selalu ada. Meski hanya pertengkaran kecil—dan aku tidak berharap untuk merasakan pertengkaran besar-besaran. Biasanya kami akan ribut tentang sabun mandi apa yang akan kami pakai bulan ini, atau dinner apa yang harus dibuat malam ini, buah apa yang akan di makan setelah dinner, pasta gigi rasa apa yang akan dibeli, atau hal-hal kebutuhan bulanan lainnya. Dan biasanya kami memutuskan untuk membeli dua jenis kebutuhan bulanan—karena beberapa selera kami memang beda.

Yang berakhir dengan kami kembali ribut karena aku justru menggunakan milik Chanyeol dan entah bagaimana Chanyeol justru menggunakan punyaku.

Ketika aku meneriakinya menanyakan alasan mengapa dia selalu menghabiskan barang-barang punyaku, Chanyeol akan selalu bilang. "Kita ini cuma bertemu saat pagi dan malam, Baek, aku tidak bisa menahan diri kalau rindu padamu. Makanya aku memakai barang-barangmu agar wangimu melekat padaku dan aku akan merasa kalau kau berada di dekatku selama aku di kantor."

Dia selalu berakhir membuatku merona dan percayalah, itu adalah alasan yang sama mengapa aku menggunakan barang-barang milik Chanyeol juga.

Kesibukan kami masing-masing juga terkadang menjadi alasan pertengkaran konyol kami. Kadang, saat aku sedang kosong, justru Chanyeol yang sibuk hingga lembur dan meninggalkanku sendirian. Kadang juga bisa menjadi sebaliknya. Di saat aku yang sibuk ini dan itu, mengurus segala masalah pada restoranku, justru Chanyeol yang sedang free dan berakhir aku yang mengabaikan eksistensinya seharian penuh. Kami berdua memang terkadang sedikit kesulitan untuk membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga dengan benar sehingga kami berakhir menuduh satu sama lain yang tidak memiliki waktu untuk dihabiskan berdua.

Kalau sudah seperti itu, biasanya kami akan tidur saling memunggungi—yang sebenarnya masing-masing dari kami tidak ada satupun yang berhasil tidur—dan akan memikirkan apa sebenarnya yang membuat kami bertengkar di tengah-tengah rasa letih juga kurangnya perhatian satu sama lain.

Pertengkaran itu akan berakhir keesokan harinya dengan kami yang berpelukan, menciumi satu sama lain sambil menggumamkan maaf dan kemudian kami akan selalu memutuskan untuk berlibur bersama tanpa membawa ponsel yang sukses membuat kami kabur dari tanggung jawab. Tidak apa, karena itu demi kami, pernikahan kami, dan cinta kami.

Meski pada akhirnya itu juga akan merugikan satu sama lain. Pernah suatu saat kami memutuskan berlibur ke Jepang tanpa membawa alat komunikasi satupun, dan kami lupa diri menghabiskan waktu di sana yang membuat kami baru kembali ke Korea tujuh hari setelahnya. Ketika mengaktifkan ponsel, aku sedikit terkejut mendapati sekitar delapan ratus panggilan tak terjawab dan lima ratus pesan yang masuk. Sementara ketika aku melirik ke ponsel Chanyeol, masing-masing panggilan tak terjawab dan pesan yang masuk sudah menembus angka seribu.

Kami sama-sama tertawa miris dan keesokannya aku baru sadar kalau restoranku hampir bangkrut karena tak terurus selama seminggu dan Chanyeol nyaris kehilangan kontrak dengan investor berharganya.

Herannya meski begitu, aku dan Chanyeol masih suka berlibur diam-diam tanpa membawa ponsel, hanya saja tidak akan pernah lebih dari tiga hari. Takut kalau-kalau itu akan menghancurkan usaha kami.

Ya, kira-kira itulah lika-liku pernikahan kami. Meski dengan semua pertengkaran kecil dan beberapa perbedaan pendapat lainnya, aku tahu baik aku maupun Chanyeol menikmati keseharian kami. Toh, kami tidak akan ribut lebih dari sehari dan sisanya juga kami akan bermanja-manja satu sama lain di tengah kesibukan yang padat.

Kupikir, kehidupan keluarga kami berjalan dengan baik. Cukup baik hingga aku sangat percaya diri tidak akan ada halangan apapun yang bisa mengganggu kami. Aku berani bersumpah seratus persen aku tidak akan menghancurkan hubungan kami hanya demi kepuasan semata yang mungkin ditawarkan orang lain padaku. Aku sudah sangat cukup dengan Chanyeol dan segala hal yang dijanjikan Chanyeol untukku.

Aku percaya Chanyeol. Aku cukup percaya Chanyeol juga akan menjaga pernikahan ini sebaik mungkin. Kepercayaanku padanya selalu kuelu-elukan dengan bangga sampai ketika sore ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri seorang Park Chanyeol yang seingatku masih berstatus sebagai suamiku, sedang tertawa lebar dengan perempuan yang kuingat itu adalah mantannya sebelum menjalin hubungan denganku. Mantan Park Chanyeol saat masih senior high school—Kang Seulgi.

Mereka berdua sedang duduk di Blanc cafe and bakery, yang mana merupakan tempat favoritku karena rata-rata stawberry cake yang dijual di sana rasanya cocok dengan lidahku, dan tempatnya juga elegan sekaligus menenangkan. Dan aku tidak habis pikir, dari ribuan tempat di Seoul dan Park Chanyeol memilih untuk berselingkuh di tempat favoritku?

Blanc terletak tepat di perempatan traffic light sehingga aku bisa melihat mereka lama-lama seiring dengan lampu yang menunjukkan warna merah. Mereka memilih spot duduk di dekat jendela, di mana aku bisa melihat mereka dengan jelas. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan tapi wajah Chanyeol yang nampak cerah dan wajah Seulgi yang kelewat bahagia itu membuat kepalaku pening dan aku merasa sesuatu mencengkram dadaku.

Diam-diam aku merenung, apa yang salah dengan hubungan kami. Aku memutar otak, mencoba mencari ingatan tentang apa saja yang kulakukan pada Chanyeol—kalau-kalau ternyata ini memang salahku dan Chanyeol yang muak memutuskan untuk mencari penggantiku. Tapi aku tidak mendapatkan apa-apa selain kepalaku yang bertambah pening. Aku sudah terlalu lelah dengan seorang karyawan yang membawa kabur penghasilan restoranku selama seminggu belakangan, juga berbagai masalah-masalah lainnya, dan Chanyeol justru menambahnya dengan ini.

Tak habis pikir, aku bergerak cepat untuk menelepon Chanyeol. Tapi bukannya Chanyeol, justru sambungan teleponku dibalas dengan suara operator. Aku menggeram seiring dengan beberapa klakson kendaraan yang berbunyi—menyadarkanku kalau traffic light sudah berubah hijau—sehingga aku tidak memiliki pilihan lain selain melajukan mobilku dengan perasaan kosong.

Seperjalanan pulang, pikiranku terpecah belah antara fokus dengan jalan raya juga terbayang-bayang dengan wajah Chanyeol dan Seulgi. Rasanya itu semua seperti mimpi buruk bagiku. Mendadak rasa takut itu merayap di dalam tubuhku, membayangkan bagaimana kalau Chanyeol ternyata menyadari kalau menikah dengan laki-laki sepertiku adalah sebuah kesalahan—yang akupun tahu bahwa ini semua menyalahi kodrat—dan dia memutuskan untuk kembali bersama Seulgi?

Setelah semua ini? Setelah susah dan senang yang kulewati bersama Chanyeol dalam kurun lima tahun lebih? Juga belum dihitung dengan lamanya hubungan kami sebelum menikah?

Lalu bagaimana denganku jika Chanyeol meninggalkanku?

Astaga, sepertinya kelelahan membuat pikiranku menjadi melantur. Tapi bukan salahku kalau aku ketakutan. Chanyeol itu tampan, juga mapan. Dia adalah definisi dari lelaki idaman. Sudah tidak terhitung berapa perempuan yang menyumpah serapahiku karena menganggapku sebagai seorang jalang tak tahu diri yang membuat Chanyeol menjadi penyuka sesama jenis.

Mereka tidak tahu saja kalau Chanyeol-lah yang lebih dahulu tertarik padaku dan mengemis-ngemis cinta padaku hingga setahun lebih.

Intinya, banyak sekali perempuan yang tertarik pada Chanyeol. Dengan ratusan perempuan yang mengelilinginya, selalu saja ada kemungkinan Chanyeol kembali menjadi seorang straight dan itulah yang membuatku takut. Aku bahkan mendadak menjadi orang tolol yang membuka kamera ponsel setiap mobilku terjebak di traffic light hanya untuk menatapi wajahku dan bertanya-tanya apakah wajahku sudah berubah menjadi buruk rupa dalam kurun waktu lima tahun lebih pernikahan kami sehingga Chanyeol mulai bosan padaku.

Setelah melewati beberapa traffic light juga beberapa hembusan nafas lelah yang kukeluarkan, akhirnya aku sampai di depan gedung apartemen. Aku menurunkan jendela mobil dan memberikan sapaan singkat pada satpam yang berjaga, namun satpam yang melihatku justru mengerutkan dahinya.

"Baekhyun-ssi sedang ada masalah pada pekerjaan ya?" Pak satpam justru menanyaiku yang membuatku balas mengerutkan dahi. "Memangnya ada apa, pak?"

"Itu, Baekhyun-ssi sampai menangis begitu."

Aku refleks menyentuh pipiku dan mendadak merasa mencelos ketika memang pipiku terasa basah. Kembali menghela nafas, aku hanya tersenyum singkat dan tanpa pikir panjang langsung melajukan mobilku menuju basement—mengabaikan satpam yang menatapku setengah khawatir.

Sesampai di apartemen, gelap menyapaku. Aku bergegas menyalakan lampu dan melirik jam dinding yang tergantung di dekat televisi. Oh, sudah nyaris jam enam. Pantas langit sudah mulai gelap.

Setelah meletakkan beberapa barang seperti kunci mobil, ponsel, dan jam tangan pada nakas di kamar, aku segera menyambar baju handuk yang tergantung di dekat pintu kamar mandi yang terletak di kamar dan memutuskan untuk mandi. Setengah berharap kalau mandi dapat menghilangkan beban pikiranku.

Meski nyatanya, dua puluh menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang tidak lebih baik—bahkan ketika tubuhku terasa lebih segar. Apalagi ditambah sebuah pesan yang mampir di ponselku, dari manajerku, mengabarkan kalau karyawan sialanku yang mencuri uang-uangku masih belum bisa ditemukan.

Yah, sudahlah. Uang hangus seribu kali lebih baik daripada kalau-kalau pernikahanku yang hangus.

Aku menghela nafas saat rasa takut itu kembali muncul.

Melangkah malas, aku beranjak menuju walk-in-closet dan memilih piayama bermotif kelinci dengan warna biru muda. Sembari memakainya, pikiranku melayang-layang teringat Chanyeol yang selalu mengatakan bahwa seleraku tidak berubah sejak dulu—masih seperti anak-anak—dan itulah salah satu hal yang membuatnya gemas. Biasanya, setelah mengatakan itu Chanyeol selalu mendekapku erat-erat, kemudian menciumi dan mencubit pipiku, lalu mengusakkan hidungnya pada hidungku.

Aku nyaris tersenyum sampai akhirnya aku sadar, ini nyaris jam setengah delapan malam dan Chanyeol belum sampai rumah sama sekali.

Pikiranku terpecah antara membayangkan Chanyeol yang lembur kerja dengan Chanyeol yang berkencan dengan Seulgi, dan kepalaku mendadak berdenyut.

Mendecak malas, aku kemudian segera membanting tubuhku di kasur dan menyambar penutup mata. Aku mencoba menyamankan diriku di kasur dan mulai memejamkan mata dibalik penutup mataku, namun sialnya hingga sepuluh menit aku tidak bisa sekalipun merasa tenang ataupun sedikit lebih baik.

Aku menahan diri untuk tidak meraung, tapi yang ada justru aku kembali menangis saking frustasinya dengan diriku sendiri. Dan mendadak aku jadi jijik sendiri, memikirkan kalau aku baru saja menangisi seorang bajingan. Itu cukup untuk membuatku cepat-cepat menghapus air mataku dengan kasar setelah melepas penutup mataku, dan aku memutuskan untuk mengambil segelas air putih di dapur untuk menenangkanku.

Tak ada lagi minat untuk tidur membuatku memutuskan menuju ruang keluarga untuk menyalakan televisi dan mendudukkan diri di sofa sembari memeluk bantal sofa. Mataku menatap kosong ke arah televisi yang menayangkan film komedi favoritku, namun untuk saat ini semua itu tidak cukup untuk membangkitkan mood-ku, membuatku malah berakhir menatapi foto pernikahanku yang terbingkai besar di atas televisi.

Di sana, aku memakai jas, celana, dan kemeja dalaman berwarna putih, dilengkapi dengan dasi pita berwarna hitam. Di tanganku terdapat segenggam baby's breath yang terikat apik. Wajahku dipoles dengan sederhana, tapi Chanyeol selalu bilang salah satu waktu dimana aku terlihat paling cantik adalah saat pernikahan kami. Rambutku ditata dengan poni depan yang ditata sedikit menyamping, menutupi sebagian besar dahiku. Dan kuakui aku memang cukup terlihat bagus.

Sedangkan Chanyeol, aku bersumpah aku berani menentang setiap umat manusia yang menyetujui pendapat bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia, karena Chanyeol adalah lebih dari kata sempurna itu sendiri. Di pernikahan kami, Chanyeol menggunakan pakaian yang warnanya berbanding terbalik denganku. Kalau aku didominasi warna putih, maka Chanyeol didominasi dengan warna hitam.

Jas, celana, dan kemeja dalaman yang digunakan Chanyeol berwarna hitam, sementara dasi pitanya berwarna putih. Rambutnya yang hitam legam itu ditata ke atas, mempertontonkan dahinya yang membuatnya semakin tampan dan aku tidak bisa lebih dari bersyukur untuk bisa menikahinya—meski aku menikahinya bukan hanya sekedar karena dia tampan dan mapan saja.

Tapi mendadak aku merasa kalut, dengan bayangan Chanyeol yang nampak bahagia dengan Seulgi tadi. Seulgi itu cantik, tentu saja melebihiku karena aku ini laki-laki dan dia perempuan. Chanyeol jatuh cinta padaku saja merupakan sebuah keberuntungan besar untukku—meski dulu aku sempat sebal juga dengan dia yang mengejar-kejar diriku. Dan kuakui, nyaris enam tahun pernikahan kami telah mebuatku secara bertahap jatuh semakin dalam pada Chanyeol. Rasa bosan itu tidak pernah sekalipun mampir—tapi bagaimana jika Chanyeol yang merasakannya?

Saking seriusnya berpikir, aku nyaris terlonjak mendengar suara password yang ditekan, menandakan Chanyeol sudah pulang. Pintu terbuka lebar dan menampilkan Chanyeol yang meneriakkan kata "Aku pulang!" dengan wajah letih—tapi bibirnya membentuk senyuman lebar. Senyuman yang sama ketika Chanyeol bersama Seulgi, dan aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak merasa marah.

"Senang sekali, ya, yang habis berkencan bersama perempuan di belakangku."

Aku meliriknya dengan tajam dan aku dapat melihat senyuman Chanyeol yang luntur secara perlahan. Rasanya perih melihat senyumannya yang hilang, tapi aku terlalu marah untuk sekedar merasakan sakitnya.

"Hey, apa maksudmu, sayang?"

"Jangan panggil aku sayang!" Aku melempar bantal sofa yang tadi kupeluk ke sembarang arah, dan bantal sofa itu sukses menyenggol vas hingga vas itu pecah—mengeluarkan suara benturan yang memekakkan telinga. Chanyeol nampak berjengit di tempatnya, menatapku tak percaya, dan aku tahu dia pasti terkejut karena, ya, aku sendiri juga cukup terkejut. Aku tidak pernah merasa semarah ini sebelumnya. Aku lelah, pekerjaanku kacau, dan hatiku juga ikut kacau karena Chanyeol.

"Baekhyun, tenanglah." Chanyeol mencoba berjalan mendekatiku. "Kita bicarakan baik-baik, okay?"

Ya, seharusnya ini bisa kami bicarakan baik-baik. Tapi mood-ku tidak bisa diajak untuk bekerja sama sekarang. "Baik-baik? Apa kau pikir aku bisa baik-baik saja setelah mengetahui suamiku sendiri berkencan dengan perempuan lain?!"

"Baekhyun, dengar. Aku tidak berkencan dengan perempuan lain. Kau tidak percaya padaku?" Chanyeol semakin dekat denganku dan aku tidak bisa menahan diri untuk menyentaknya. "Berhenti disitu! Jangan dekati aku. Dan, hah, memangnya aku tidak tahu kalau kau berkencan di Blanc dengan mantanmu itu?!"

Chanyeol langsung menghentikan langkahnya, berdiri seperti orang bodoh sekitar lima meter dari tempatku duduk. "Astaga, Baek, aku tidak berkencan dengan Seulgi. Aku hanya sedang pergi ke Blanc untuk membeli kopi dan croissant lalu ternyata Seulgi juga ada di sa—"

"Cih," Aku memotong ucapannya ketika aku sadar penjelasannya tidak bisa membuatku lebih tenang. "pendusta. Apa yang disebut tidak berkencan kalau kau duduk-duduk di sana dengan Seulgi lalu tertawa-tawa dengannya?! Kutebak kau pulang lebih malam seperti ini juga karena sibuk tertawa-tawa dengan Seulgi kesayanganmu itu kan?!"

Di tempatnya, Chanyeol mengusap wajahnya kasar. "Demi Tuhan, Baek, iya memang, aku pulang malam karena bercengkerama dengannya. Tapi apa yang salah dengan bercengkerama sebentar dengannya? Lagipula kami juga sekarang kan hanya teman."

"Sebentar, kau bilang? Kutanya, berapa jam kau di sana dengan Seulgi, hah?" Aku menatapnya mengintimidasi, dan Chanyeol mengerutkan dahinya sejenak sebelum berujar. "Sekitar, tiga atau empat jam?"

"Dan kau bilang itu sebentar?! Kau memilih untuk berbincang-bincang dengan mantan sialanmu itu daripada pulang dan menemui istrimu sendiri yang menunggumu di rumah?!" Kepalaku terasa tambah pening dan tubuhku terasa panas. Aku merasa marah, tapi melampiaskannya pada Chanyeol justru semakin membuatku emosi.

"Dengar, Baek, aku dengan Seulgi itu sudah tidak bertemu nyaris tiga tahun. Kami baru bertemu sekarang. Apa aku salah untuk bercengkerama selagi sempat dengannya?"

Aku bisa melihat Chanyeol yang mulai tidak sabar di tempatnya. Tapi masa bodoh, bukan salahku kalau aku marah melihat suamiku tertawa-tawa dengan perempuan lain, terutama perempuan itu adalah mantannya sendiri.

"Kau bahkan tidak mengangkat teleponku dan memilih tertawa-tawa dengan mantanmu ketika istrimu menunggumu pulang." Aku mengalihkan tatapanku darinya, dan kemudian aku menyadari bahwa detak jantungku begitu cepat, sampai-sampai aku berpikir mungkin itu akan meledak sebentar lagi.

"Kau meneleponku?" Chanyeol bertanya dan aku memutar bola mataku tanpa menatapnya sama sekali. "Menurutmu?"

"Hari ini aku tidak membawa ponsel, Baek. Ponselku tertinggal di kamar dan aku tidak ada waktu untuk putar balik." Chanyeol memberi alasan, tapi aku entah mengapa merasa tidak cukup. "Cih, alasan. Bilang saja kalau kau memang ingin berduaan dengan mantanmu dan menonaktifkan ponselku karena tidak ingin satupun mengganggumu, ya kan?! Kau bahkan merelakan pulang malam hanya demi bersamanya. Oh, atau jangan-jangan selama ini kau pulang lembur karena menyempatkan diri bertemu dengan Seulgi setiap malam?"

"Baek," Aku tanpa sadar meliriknya dan aku bisa melihat mata Chanyeol yang berkilat berbahaya. "cukup. Kau sudah keterlaluan sekarang. Kupikir lima tahun bisa membuatmu mempercayaiku, tapi sekarang kau malah menuduhku macam-macam? Tidak ada alasan untukku membohongimu, aku memang tidak bawa ponsel hari ini. Kau bisa cek pakaianku dan mobilku, kalau kau tidak percaya. Dan aku bekerja lembur demi memberimu hidup yang layak dan beginilah caramu berterima kasih padaku?"

"Bukan salahku kalau aku curiga padamu, Park!" Aku menjerit dan aku bisa merasakan setetes air mata membasahi pipiku. "Kau tidak pernah sadar berapa banyak perempuan yang ingin merebutmu dariku. Sekeras-kerasnya aku berusaha percaya padamu, tapi kau tidak pernah tahu kan kalau aku ketakutan?! Aku punya seribu alasan untuk mempertahankanmu, tapi kau mempunyai seribu satu alasan untuk meninggalkanku! Bukan salahku kalau aku takut kau sadar bahwa bersamaku adalah sebuah kesalahan dan kau memilih untuk kembali bersama Seulgi!"

Aku terisak seperti anak kecil yang tidak tahu malu di hadapannya. Mataku terasa penuh dengan air mata yang membuat wajah Chanyeol menjadi nampak buram. "Kalau kau memang ingin bersama Seulgi lama-lama, ya sudah! Sana, kembalilah padanya! Pergi dari sini dan bawa segala milikmu pergi!"

Setelahnya, Chanyeol tidak mengeluarkan sepatah katapun. Aku juga bungkam, dan untuk satu menit apartemen kami hanya diisi dengan suara isakanku. Air mataku sudah tidak mengalir sederas tadi, namun kemudian Chanyeol justru beranjak meninggalkanku untuk menuju kamar dan membanting pintunya keras-keras.

Selama sekitar sepuluh menit, aku berusaha keras menghentikan tangisanku dan mengeringkan pipiku menggunakan tissue. Aku mencoba menarik nafas dalam-dalam, mencoba sebisaku untuk mengikhlaskannya kalau-kalau memang seperti inilah akhir dari pernikahan kami. Pernikahan yang kupikir akan bertahan sampai akhir hayatku, ternyata kandas hanya setelah lima tahun pernikahan kami.

Aku sedikit berjengit ketika aku kembali mendengar suara pintu. Memberanikan diriku sendiri, aku mencoba melirik dari ujung mataku dan mendapati Chanyeol yang menggenggam ponsel di tangan kirinya dan mengantongi kunci mobilnya. Aku hendak mengalihkan pandanganku sampai ketika aku merasakan sebuah tangan menyambar pergelangan tanganku dan menarikku.

Refleks, aku menoleh cepat dan berteriak pada Chanyeol yang menyeretku lurus menuju pintu apartemen. "Yah! Apa yang kau lakukan!"

Chanyeol tidak menggubrisku dan tetap menarikku kuat-kuat. Ia baru berhenti setelah ia menutup pintu apartemen dan jadilah kami pasangan bodoh yang berdiri di tengah-tengah lorong.

"Kutanya, apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!" Aku kembali berteriak, dan kini barulah Chanyeol membalikkan badan untuk menggubris pertanyaanku.

Chanyeol menatapku dalam-dalam dengan raut wajah yang tidak kumengerti, dan ditatap seperti itu olehnya cukup untuk membuatku terdiam tanpa kata sampai kemudian Chanyeol berujar datar. "Kau menyuruhku membawa milikku lalu pergi, dan aku baru saja melakukannya."

Aku membisu beberapa saat untuk mencerna perkataannya, dan hingga aku sadar, aku mendongak untuk kembali menatapnya yang masih menatapku dalam. Aku sukses terjebak dalam irisnya yang segelap malam, namun secerah bintang. "Kau—"

"Dengarkan aku, Park Baekhyun." Cengkraman tangannya pada pergelangan tanganku bergerak menurun dan jadilah ia menggenggam tanganku. "Aku tidak pernah dan tidak akan meninggalkanmu. Tidak setelah semua perjuanganku untuk mendapatkanmu, tidak setelah semua susah dan senang yang kita hadapi bersama, tidak setelah kenangan yang kita habiskan bersama. Kau bilang kau memiliki seribu alasan untuk mempertahankanku dan aku memiliki seribu satu alasan untuk meninggalkanmu? Ya, memang. Tapi aku tidak butuh ribuan alasan untuk mempertahankanmu karena aku hanya butuh satu alasan—yaitu mencintaimu. Bahkan jika aku diberi seluruh dunia apabila aku meninggalkanmu, aku akan menolaknya secara cuma-cuma karena aku sudah memiliki duniaku."

Chanyeol tersenyum di hadapanku, dan hanya dengan senyuman itu seluruh rasa marahku menguap entah kemana. "Dan duniaku adalah bocah cengeng yang sekarang berdiri di hadapanku."

Aku benci ketika ia bisa meluluhkanku hanya dalam beberapa kalimat, tapi aku lebih benci ketika aku sadar aku begitu karena mencintainya.

Aku tidak tahu harus berkata apa, dan yang meluncur dari bibirku adalah, "kau bahkan masih bisa menghinaku?"

Kali ini senyuman Chanyeol berubah menjadi tawa. Tawa yang kini aku sadar bahwa itu berbeda dari bagaimana caranya tertawa di depan Seulgi. Tawanya saat ini lebih bebas, seperti ia adalah pemilik seisi bumi dan langit, dan seharusnya aku sadar kalau Chanyeol memang mencintaiku, bukannya yang lain.

Tawa Chanyeol berakhir dengan sebuah ujaran singkat. "Sudah marahnya, princess?"

Aku sukses merengut dengan panggilannya. "Aku bukan perempuan!"

Kemudian Chanyeol merengkuhku ke dalam sebuah pelukan, dan jadilah kami layaknya pemeran drama murahan di tengah-tengah jalan. Chanyeol terkekeh tepat di dekat telingaku, membuat nafas hangatnya menerpa di tengkukku. Aku kegelian tapi aku menyukai suaranya yang sedekat itu dengan telingaku. "Seksinya istriku kalau sedang cemburu."

Wajahku terasa panas dan aku mencebikkan bibirku. "Diam kau tukang gombal."

Dia menjauhkan wajahnya tanpa melepas pelukannya, membuat kami saling menatap untuk beberapa detik sebelum akhirnya dia menyeringai, dan aku tahu aku sedang berada dalam bahaya. "Seks semalaman terdengar bagus, kan?"

"Tidak akan—mmph!"

Dan aku hanya bisa pasrah ketika ia menyeretku kembali memasuki apartemen.


END!


.

.

.


Ps. Intinya endingnya emang ga jauh-jauh dari otak mesum gua. Sekian.

Pss. Ide dapet dari line. Jadi ada OA apa gitu gua lupa, ngeshare foto tulisannya "last night I got into a fight with my husband. I told him to take what's his & leave. He picked me up & walked straight out of the door." (anggep ae ini credit WQWQ)

Ini emang jelek. Gua bikinnya ga niat, soalnya emang gegara gua libur sepuluh hari, ga tau mau ngapain, dan mendadak kangen bikin epep baru. Jadilah karya absurd di atas. :')

Oh iya, sebelum gua ngakhirin, gua mau kasi tau sesuatu buat semuanya, baik pembaca setia epep gua atopun pendatang baru. Gua cuma mau bilang, kalian bebas kok mau review apa di kolom komentar. Mau hina kek, protes kek, apa kek. Terserah deh. Tapi gua mau pesen, kalo emang mau begitu, plis lah pilih bahasa yang bagus dikit. Gua tau kok kalian semua pasti dapet pendidikan yang cukup, baik dari ortu maupun dari sekolah masing-masing. Pasti taulah mana aja kalimat yang bisa nyakitin perasaan orang, mana yang ngga.

Oke, gua emang nulis di ffn karena sekedar melampiaskan rasa suka gua ke chanbaek yang tiada tara. Gua ga haus pujian dan ga maksa kalian harus review yang muji-muji kebangetan di kolom review. Sekali lagi, kalian bebas buat ngasi kritik. Tapi, ya pake bahasa yang bagus dan kalo bisa disertai saran. Biar guanya juga bisa berkembang jadi yang lebih baik buat jadi author. Juga, jangan modal pake guest doang (ato kalo emang gapunya akun, bisalah cantumin nama yang jelas dan ga acak adul biar gua kalo mau notis tuh gampang). Get it?

Gua mohon buat kerja samanya ya. Hubungan timbal balik aja deh. Gua nyenengin kalian pake tulisan—absurd—gua (padahal g ada yang seneng wkwk sedih aqu), dan kalian nyenengin gua pake kritik saran dengan bahasa sopan. ;)

Bacod boleh, tapi berkelas.

Sekian.

—dari baekfrappe yang baper gegara ada guest cuma review 'membosankan' titik g pake koma di epep sebelumnya. :')

(Mohon maaf sebesar-besarnya kalo bacotan di atas mungkin menyinggung beberapa pihak. I'm trully sorry, ga ada maksud yang macem-macem kok.)

.

.

.

.

.

xoxo,
baekfrappe.