Makasih banyak buat yang nyempetin review dan jadi mood booster :D

#Guest : wakakaka tisu nya ditunda dulu XD taruh WC lagi sana #dor! Btw makasih banyak read reviewnya ya :D

#wkwkland : nyahaha biar anata penasaran XD kufufu itachi bishie soalnya kalo disini :3a kalo naru shota #engaak XD btw makasih banyak read reviewnya ya :D

#Secretfans : wew tapi ingatlah nak, ini rated T Xd mohon disimpan dulu kompornya ssebelum rate M #apalah XD btw makasih banyak read reviewnya ya :D

#Me : wokokoo pasrah doi, tubruk jangan? XD btw makasih banyak read reviewnya ya~

#Sasunaru : nyahaa silahkan beli tisu dulu XD ah, ini update sesuai jadwal kok :3 makasih udah nunggu~ makasih juga read reviewnya ya…

#amura : wekeke biar yg baca pd ngamuk XXDDD sange nya ditunda dulu #wooyy XD btw makasih banyak read reviewnya ya :D

#D: bahaya kenapa? O . o kufufufu ditunda lmon nya XD dan hm…krn ini setting nya dunia nyata kayaknya gak MPREG XD btw makasih banyak read reviewnya ya :D

#deasy674 : krn gak log in balesnya di sini gak papa kan ya? :D hehe abis sayang cogan dilewatkan jd tk bikin mreka balik lagi XD kufufu malam pertamanya ditunda dulu yak wakaka btw makasih banyak read reviewnya :D

.

Yang log in dibales lewat PM ya ;) phabo uniq, uknowJung, hanazawa kay, negisama, hipo kuro, TofuVanilla415, tixxxxx, ivaa6x, AkumaKitsune718, FujoC and liaajahfujo.

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

.

.

.

Chapter 23: Vow

(The last chapter of the second part of the trilogy)

.

.

.

Mata Sasuke perlahan membola. "Hu—…e…etto…" Sasuke juga tak bisa langsung mencerna ucapan Naruto. "Se-sex…? Aku…tidak salah dengar kan…?"

Naruto menggeleng, wajahnya sedikit memerah. "Aku sudah tidak se-naive dulu, aku sudah tahu soal sex sesama cowok. Kurasa…kita bisa melakukannya. Maksudku, orang pacaran kan malah sejak awal sudah bisa melakukannya, tapi sepertinya kau menahan diri karena aku belum tahu apa-apa. Jadi…jadi…sekarang, k-kau tidak perlu menahan diri lagi."

Grab…!

Detik berikutnya tubuh Naruto sudah terbaring di ranjang, kedua tangannya dikunci di kedua sisi tubuh oleh tangan Sasuke.

"Sa-Sasuke…" panggil Naruto. Wajahnya memanas melihat ekspresi Sasuke. Apa cowok itu sebegitu menginginkannya? Rasanya ia menyesal sekali tak menuruti keinginan Sasuke lebih awal. "Ayo lakukan, aku sudah siap," ucap Naruto dengan sebuah senyum manis.

Gulp…!

Sasuke meneguk ludah berat. Perlahan ia menurunkan wajahnya, mendekatkannya ke wajah Naruto. Tapi ia lalu menurunkan seluruh berat badannya ke Naruto, kepalanya ia letakkan di pundak Naruto.

"Tapi aku sudah tidak punya energy untuk itu," ucap Sasuke. "Aku lelah sekali."

"Hahaha," Naruto pun hanya bisa tertawa. Ia menepuk kepala Sasuke beberapa kali. "Ya sudah ayo tidur saja. Yang itu bisa lain kali."

"Hng…" Sasuke menggumam tak jelas. Selanjutnya ia diam saja, pura-pura mulai tertidur, tapi matanya menatap kosong seolah memikirkan sesuatu.

~OoooOoooO~

"Sasuke, ayo masak buat sarapan. Ashima-san dan Hiiragi-san pergi belanja kan, pulangnya pasti lapar," ajak Naruto keesokan pagi nya.

"Ng…ajak Ken saja bagaimana? Aku ingin menyiram tanaman sesekali," balas Sasuke.

"…baiklah," jawab Naruto pada akhirnya meski sempat sedikit heran. Ia pun mengajak Ken untuk membantunya memasak, sementara Sasuke mengambil slang dan memasangnya ke kran, membawanya ke kebun bunga di sebelah café.

"Jadi…kalian sedang bertengkar atau apa?" tanya Kuroe yang juga berada di kebun, memupuk tanaman yang sudah disirami Sasuke.

"Huh? Tidak kok," balas Sasuke tapi langsung mengalihkan pandangan.

"Begitu," balas Kuroe, tapi seolah menyisakan ruang pernyataan. Agak lama keduanya terdiam, sampai akhirnya Sasuke menghela nafas dan mulai buka mulut.

"Kadang aku hanya merasa tidak adil…" ucap Sasuke. "Dengan Shishui-san kembali, aku mengklaim kembali nama Uchiha ku. Lalu konflik dengan Uchiha waktu itu…meski perang, aku sudah memiliki closure dengan keluargaku. Tapi Naruto…" Sasuke tak melanjutkan ucapannya, sepertinya Kuroe juga sudah tahu maksud Sasuke.

"…" Kuroe juga tak langsung menjawab. Ia bangkit lalu beralih memupuk tanaman lainnya. "Kalau begitu cukup jadi keluarga barunya kan. Aku tidak yakin kami bisa menjadi itu—atau Naruto-kun yang tidak bisa—tapi kalau Anda, sudah pasti bisa kan," Kuroe bangkit, menatap Sasuke lalu beralih menoleh ke arah dapur. "Jadi bukannya malah Anda jadi menghindarinya begini."

"…yeah…" balas Sasuke.

"Jadi mumpung café tutup," Kuroe meraih slang di tangan Sasuke. "Kenapa kalian tidak kencan saja."

"Eh…?"

"Kencan," ulang Kuroe. "Sebagai ganti kemarin tidak merayakan ulang tahun nya."

"…" Sasuke menoleh ke arah dapur. "Well, kurasa boleh…" jawabnya lalu melangkah menuju dapur.

~OoooOoooO~

Atas saran Kuroe, Sasuke mengajak kencan Naruto meski hanya nonton bioskop yang berujung Sasuke keluar lebih cepat seperti biasa, lalu jalan-jalan di Mall hanya sekedar melihat-lihat. Well, mereka cowok, memangnya mau apa? Lalu makan. Pokoknya typical orang kencan.

"Iya, pelayannya tadi benar-benar kewalahan, hahaha."

"Mungkin orang baru, astaga, aku masih ingat wajah pelanggannya."

Mereka ngobrol santai sambil menyusuri trotoar, daun maple berguguran mengiringi langkah mereka. Udara sudah mulai dingin, Sasuke meraih tangan Naruto dan memasukkannya ke saku coat nya, menggenggamnya di sana. Naruto tersenyum dengan wajah sedikit tersipu. Mereka berjalan dalam diam, menikmati kesunyian di antara mereka.

Mereka hanya berjalan tak peduli mau kemana, hanya mengikuti langkah kaki, hanya sekedar menikmati kebersamaan mereka. Hingga mata Naruto sedikit membola saat tanpa sadar langkah mereka menuju ke arah deretan Love Hotel. Naruto langsung memalingkan wajah, lalu melirik Sasuke. Cowok itu tampak biasa saja, apa Sasuke hanya tak menyadari tempat mereka berada? Atau Sasuke memang mau melanjutkan yang kemarin malam? Yang manapun itu jantung Naruto jadi berdebar.

"Sudah mulai sore. Mau pulang sekarang atau kemana dulu?" tanya Sasuke.

Ah, sepertinya Sasuke hanya tak menyadari mereka di mana. Naruto mengangguk. "Ayo pulang saja," ajak Naruto. Mereka pulang menggunakan bus, sengaja tak membawa motor karena memang ingin jalan-jalan tanpa perlu memikirkan kembali ke tempat parkir motor mereka.

"Tadaima," keadaan rumah sepi saat mereka kembali. "Hng…?" sebuah note bertuliskan 'kami keluar sebentar' terpajang di pintu kulkas. "Sepertinya mereka sedang keluar," Naruto menunjukkan note itu ke Sasuke.

"Mm hm, ya sudah, ayo masak untuk makan malam. Aku lapar," ucap Sasuke seraya menaiki tangga loteng. Naruto mengikuti. Sasuke melepas jaketnya, menggantungnya di dinding. Ia duduk di ranjang untuk melepas sepatu.

"Umm…" Naruto menghampiri, duduk di samping Sasuke. Ia menatap Sasuke, Sasuke balas menatapnya. Sepertinya tak perlu kata untuk mereka menyatukan bibir. Sinar matahari sore menyinari tubuh Naruto yang detik berikutnya ditindih oleh Sasuke, bibirnya masih ditaut dengan pagutan basah. "Ngh…Sasu—…ke…" Naruto menelengkan wajahnya saat lidah Sasuke beralih ke leher Naruto. Tangan Naruto beralih memeluk leher Sasuke.

"Ne~ Naruto," panggil Sasuke, menjilat cuping telinga Naruto. "Beberapa hari ke depan…aku mau pergi," ucap Sasuke, menghentikan kegiatannya. Ia sedikit mengangkat tubuh bagian atasnya supaya bisa menatap Naruto.

"Pergi? Kemana?" tanya Naruto sedikit terengah.

"…" tak langsung menjawab. "…pulang," balas Sasuke.

"Begitu," balas Naruto lalu mengecup bibir Sasuke. "Salam buat Shishui-san," senyumnya. Sasuke balas tersenyum dan mengangguk. Dari bawah terdengar suara pintu dibuka, lalu suara orang ngobrol. Sepertinya Kuroe dan yang lain sudah kembali. "Ah, malah mereka sudah balik duluan, kita belum jadi masak," Sasuke pun bangkit. "Ayo," ia menarik tangan Naruto supaya bangun, mereka pun turun ke lantai dua.

~OoooOoooO~

Seperti yang dibilang Sasuke, keesokan hari nya Sasuke pergi, tapi tak seorangpun bawahannya yang ikut. Biar membantumu di café, katanya saat Naruto bertanya apa dia pergi sendirian. Karena itulah Naruto membuka café seperti biasa bersama Kuroe dan yang lain, hanya Sasuke saja yang tidak ada.

"Silahkan menu nya," Naruto menyodorkan buku menu ke pelanggan. Ia menatap kalender sementara pelanggannya memilih pesanan. Kira-kira Sasuke akan pergi berapa lama ya? Pikirnya. Sasuke tak mengatakan apapun sebelum pergi, Naruto juga tak bertanya karena tak ingin ikut campur masalah keluarga Sasuke kalau Sasuke tak buka mulut duluan.

"Tolong paket ini dan ini ya," pesan si pelanggan, membawa Naruto kembali ke dunia nyata.

"Oh, baiklah. Mohon tunggu sebentar," Naruto pun kembali pada kesibukannya.

~OoooOoooO~

Sasuke menatap pemandangan di luar bus sambil menutup dagu hingga mulut dengan telapak tangannya. Pemandangan yang mulai ia kenali. Tak lama kemudian ia meraih ponselnya, menatap nomor seseorang. Agak lama sampai akhirnya ia memutuskan untuk menekan tombol call.

"Kurasa kutelfon sekarang saja," gumamnya pada diri sendiri. Sasuke menempelkan ponsel ke telinganya, mendengarkan nada sambung. Tak lama kemudian telefon diangkat.

"Hallo," suara seorang perempuan.

"…" Sasuke tak langsung menjawab.

"Halloo…?" ulang perempuan itu. "Ini siapa?"

"…" Sasuke membuka mulut untuk menjawab, tapi ia tak langsung bisa mengucapkan sesuatu.

"Kalau telefon iseng akan kututup," perempuan itu terdengar sedikit kesal.

"Hei," akhirnya Sasuke pun bersuara. "Kurasa aku butuh bantuanmu."

~OoooOoooO~

"Itachi, kau sudah selesaikan laporan pembangunan bulan ini?" tanya Nagato menghampiri pintu sebuah ruangan yang terbuka.

"Iya sudah," Itachi keluar membawa setumpuk dokumen, Nagato mengambil beberapa berkas dari tangan Itachi lalu mulai membukanya. Mereka berjalan santai menuju ruang rapat.

"Astaga, memangnya Pain mau membangun apa sih di sini, resort bukan, pusat bisnis bukan," ucap Nagato.

"Hahaha kadang dia benar-benar seenaknya sendiri," balas Itachi. "Itulah kenapa para petinggi Rikudo lainnya sering mengomel."

"Ngomong-ngomong soal itu…" Nagato mengangkat kepala dari dokumen di tangannya. "Aku sudah dengar dari Pain—atau lebih tepatnya dia tidak pernah mau diam—katanya kau mengajaknya menikah."

Itachi mengangguk. "Aku hanya merasa Pain selalu saja yang berjuang untukku, setidaknya aku juga ingin melakukan sesuatu untuknya. Dia selalu parno sendiri hanya dengan aku pergi atau bertemu orang baru, jadi kurasa…aku ingin kami memiliki ikatan di mana dia tidak perlu meragukanku lagi," terang Itachi. Nagato tampak sudah mau angkat bicara, tapi Itachi memotongnya. "Tenang saja, aku sudah memikirkan soal itu," ucap Itachi. "Aku hanya akan menikahinya di balik layar saja, cukup kalian saja yang tahu. Aku juga tidak ingin pewaris Rikudo putus di generasi Pain hanya karena aku memintanya untuk menikahiku. Pain harus tetap menikahi wanita yang akan mengandung anaknya sebagai pewaris syah Rikudo."

"…" Nagato terdiam sesaat. "…kau kuat," ucapnya. Itachi hanya tersenyum membalasnya. "Ah, aku jadi ingat, sepertinya soal pewaris, posisi Pain juga dalam masalah."

"Huh? Memangnya kenapa?" tanya Itachi.

"Kau ingat Malcolm, salah satu pemegang saham Rikudo yang menjabat sejak ayah Pain menjadi CEO?"

Itachi mengangguk.

"Dia adalah orang nomor dua yang posisinya paling kuat setelah Pain," Nagato melanjutkan. "Aku dengar kabar kalau dia akan segera menikahkan puteri nya dengan CEO perusahaan besar dari Amerika. Pernikahannya mendadak sekali, tebakanku, dia ingin merebut posisi Pain. Kalau Rikudo berhasil menjalin aliansi dengan group raksasa dari luar negeri, perhatian kekuasaan bisa teralih ke Malcom karena dianggap pengaruhnya lebih besar. Apalagi jika Malcolm akan segera mendapatkan cucu—penerus—dari pernikahan puteri nya."

"Jadi Pain harus sudah menemukan pewaris sebelum pernikahan mereka terjadi?" tanya Itachi.

"Atau setidaknya pendamping," ucap Nagato. "Setahu mereka Pain bahkan tak memiliki kandidat satupun yang ingin dijadikannya istri."

"…" Itachi terdiam. Apa ia salah dengan mengajak Pain menikah?

Obrolan mereka terhenti saat mereka mencapai ruang rapat. Sebagian besar orang sudah hadir termasuk Zetsu, Konan dan yang lainnya, bahkan Kisame yang meski memiliki bisnis lain, dia tetap dipercayai Pain mengurus beberapa urusan Rikudo. Agak lama sampai beberapa petinggi Rikudo lainnya hadir, Pain yang paling terlambat.

"Maaf terlambat, aku terlalu sibuk memilih desain ga—…" Pain tak melanjutkan ucapannya. "Baiklah, ayo mulai rapatnya," ia pun membuka rapat itu.

Seperti biasa, rapat berjalan lumayan menjengkelkan bagi para petinggi Rikudo karena banyak dari mereka yang tidak setuju dengan program kerja Pain. Tapi mereka juga tak berani terlalu membantah, karena suka tak suka, Rikudo jauh lebih berkembang dibanding generasi sebelumnya adalah saat Pain menjabat menjadi CEO.

"Ada yang lain lagi?" tanya Pain mengakhiri rapat. Tak ada yang bersuara. "Baiklah, sepertinya kuakhiri saja rapatnya. Tapi sebelum itu, aku ingin membahas sesuatu. Dan itu di luar topic mengenai perusahaan," ucap Pain. "Aku ingin membicarakan soal penerus Rikudo setelahku."

Tatapan yang lain langsung terbelalak, tak menyangka Pain akan membawa obrolan itu sekarang. Apakah kabar mengenai Malcom sudah mencapai telinganya? Karena Malcolm juga tampak terkejut, seolah ada sesuatu yang tak ingin Pain ketahui.

"Aku akan menikah," ucap Pain. Itachi dan Nagato menatap horror, jangan bilang dia mau mengumumkan pernikahannya dengan Itachi. Itachi melotot menatap Pain, menggeleng sepelan yang ia bisa. Mengatakan 'jangan katakan bodoh! Posisimu bisa lebih buruk dari ini!' hanya lewat tatapan mata. Tapi bukan Pain kalau dia menurut begitu saja, jadi dia malah memalingkan muka, menatap wajah-wajah kesal para petinggi Rikudo dari jaman ayahnya.

"Kalau boleh tahu, Anda akan menikah dengan siapa? Selama ini saya tidak melihat Anda bersama wanita calon pendamping Anda," tentu saja Malcolm yang bertanya, ia merasa dirinya terancam, rencananya sudah nyaris berhasil dan tiba-tiba Pain berkata akan menikah.

"Ah, tenang saja, pendampingku memang bukan wanita," ucap Pain. Mampus! Terjadi sudah ketakutan Itachi. "Aku akan menikahinya," Pain menunjuk Itachi dengan ibu jarinya. Semua tatapan tentu saja langsung terarah pada Itachi.

"Pain-sama, Anda pasti bercanda," ucap Malcolm, tertawa setengah mengejek. Yang lain melayangkan pandangan yang sama. "Apa itu berarti Anda akan memutus pewaris Rikudo?" ucapnya puas. Semua yang di sana pasti tahu apa artinya itu, soal pelimpahan kekuasaan akan jatuh pada Malcolm.

Pain meghembuskan nafas lelah, mencondongkan tubuhnya ke depan dengan kedua siku bertumpu di meja. "Look, I remember saying I was getting married. With a man. Tapi aku tidak ingat mengatakan aku melepas hak ku untuk memilih penerusku," Pain meraih sebuah berkas di sampingnya, membuka benda itu, memperlihatkan beberapa lembar kertas. "Aku sudah menunjuk siapa pewarisku, yang akan kulimpahkan padanya kewenangan serta kekuasaan penuh atas Rikudo setelah aku tak memimpinnya nanti," ucap Pain. Yang lain jelas terkejut, tak terkecual Itachi, Nagato dan bawahan terdekat Pain lainnya. Pain melanjutkan ucapan, kali ini dengan suara yang lebih lantang seolah sebuah penegasan bahwa tak bisa yang ada mengganggu gugat ucapannya. "Aku memilih putera Nagato dan Konan sebagai pewaris Rikudo generasi setelahku."

'HUUUUUUUUUUUUUHHHHHHHH…?!' mereka terkejut, tapi untung tak ada yang berani menyuarakan keterkejutan mereka. Tak terkecuali Nagato yang kini mematung menatap Pain, Konan juga melakukan hal yang sama dengan tangan di perutnya yang membuncit, dia memang sudah memasuki bulan untuk melahirkan. Yup, benar sekali. Pain baru saja melimpahkan kekuasaan penuhnya pada seorang bayi yang bahkan masih berada di kandungan ibu nya, dan ibu itu bukanlah istri Pain, bukan juga garis keturunan Rikudo.

"Pa—…" Malcolm dan yang lain sudah siap protes, tapi Pain mengangkat tangannya supaya mereka diam.

"Rapat selesai. Bubar," ucap Pain. Mereka tampak mau mengoceh lagi, tapi Pain mengulangi perintahnya. "Bu-bar. Keluar dari sini."

Mereka pun keluar dari ruangan dengan tampang kesal dan langkah dihentak, tapi Pain tidak peduli.

"Kau bodoh atau apa!" Nagato yang pertama angkat suara, ia sudah berada di hadapan Pain, mencengkeram kerah kemeja nya. Yang tetap tinggal hanyalah Nagato dan bawahan-bawahan terdekat Pain.

"Hei tenang saja, kurasa aku belum akan mati, jadi anakmu masih ada waktu untuk tumbuh dewasa," jawab Pain dengan santai. Nagato menatap tak percaya, tapi ia tak tahu harus bicara apa lagi. Ia pun melepas cengkeramannya. "Ah, dan soal ini, kurasa memang terlambat, tapi apa ada yang keberatan soal keputusanku?" ia menatap bawahannya satu per satu.

"Dan dia baru menanyakannya setelah semua ini," ucap Kakuzu super datar.

"Maksudku, kalian semua gay kan," tambah Pain.

"SIAPA YANG GAY!" omel Deidara.

"Baiklah, kalau begitu aku tanya, siapa yang akan menikah dengan wanita setelah ini? Pernikahan normal seperti Nagato dan Konan. Karena kalau ada, mungkin aku harus mulai memikirkan anak siapa yang akan jadi penerus syah supaya nantinya tidak perlu ada perang saudara."

"Jadi itu yang kau cemaskan?" Zetsu memijit pelipisnya, kadang jalan pikiran boss mereka yang satu itu benar-benar tidak bisa ditebak. "Bagaimana kalau kau pikirkan dulu bagaimana posisi mu sekarang?" tambah Zetsu. "Bagaimana cara kau menghadapi petinggi Rikudo lainnya!"

"Aku akan baik-baik saja," jawab Pain santai. "Kan ada kalian."

Snap…

Seketika semuanya bungkam. Pain mengatakan itu tanpa keraguan sedikitpun, seolah percaya penuh pada mereka.

"Aaaah, inilah yang menyebalkan dari boss brengsek kita," Kisame menyeringai.

Hidan ikutan menghela nafas lelah. "Kurasa kalau kesetiaan kita pada Pain sampai membuat kita tidak ingin menikah karena harus mengurus boss brengsek satu ini," Hidan mengedikkan pundaknya. "Kita memang gay."

Pain tertawa pelan. "Aku mengandalkan kalian," balasnya, menatap mereka satu per satu dengan mata penuh kesungguhan. "Dan hey, aku sama sekali tak melarang kalian menikah," lanjut Pain, mulai memberesi dokumennya. Yang lain melakukan hal yang sama.

"Tapi kalau kelakuanmu terus begini mana bisa kami meninggalkan kau sendiri," balas Sasori dengan wajah lempengnya yang biasa.

"Diamlah, aku tidak ingin dengar kritik dari bocah."

"Wajahku sudah begini sejak lahir."

"Damn baby face," rutuk Pain. Ia lalu bangkit dan menghampiri Itachi, duduk di meja. "Jadi, kapan tanggal pernikahannya?"

"…" tak langsung menjawab, Itachi menghela nafas lelah. Ia memutar matanya menatap Pain dan menggeleng tidak percaya. "I can't believe I'm gonna marry such an ass," ucapnya. Pain balas tertawa lalu menundukkan wajahnya untuk mengecup bibir Itachi sesaat.

"So, kau mau gaun yang seperti apa?" Pain menarik kembali sebuah berkas ke sampingnya.

"What? A gown?" Itachi mengerutkan alis.

"Yeah, tadi kubilang aku terlambat karena sibuk memilih gaun kan, untuk pernikahan kita," Pain mulai membuka-buka sebuah katalog.

"No way," protes Itachi.

Deidara dan Kisame tampak berpikir. "Yes way," ucap mereka dua detik kemudian."

"No freaking way! I'm not gonna wear—…"

Sepertinya perdebatan di ruang rapat itu masih akan berlanjut untuk beberapa lama.

~OoooOoooO~

"Kenapa kau tidak bawa syal, cuaca sudah mulai dingin," ucap Kuroe, ia melepas syal nya lalu melingkarkannya di leher Naruto.

"Terimakasih," ucap Naruto. "Habis kupikir aku sudah pakai coat jadi tidak masalah."

Kuroe ganti menatap Hiiragi. "Tinggal apa yang belum dibeli?" tanyanya.

"Kopi. Lalu pasta," jawab Hiiragi.

"Ya sudah, ayo," ucap Naruto.

Saat ini mereka tengah belanja untuk keperluan café. Sudah seminggu Sasuke belum kembali juga, jadi Naruto melakukan pekerjaan café bersama Kuroe dan yang lain. "Kira-kira kapan dia pulang ya…?" gumam Naruto tanpa sadar.

"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Kuroe.

"Ah, tidak. Hanya bicara sendiri," Naruto melanjutkan langkah. Setelah selesai belanja, mereka pun pulang. Naruto sedikit heran saat mendengar suara-suara dari rumah, ia tidak yakin Ken dan Ashima biasa ngobrol seribut itu. "Tadaima," ucap Naruto sembari membuka pintu. Suara yang terdengar semakin jelas, suara anak kecil. Naruto melihat ke rak sepatu dan mendapati beberapa pasang sepatu yang tak dikenalinya, juga dua pasang sepatu anak-anak. Apa ada tamu? Siapa?

"Okaeri," sambut seseorang. Sasuke.

"Ah, kau sudah kembali," ucap Naruto. Ia melepas sepatu dan memakai sandal ruangan. "Ada tamu?" tanyanya.

Sasuke tak menjawab, hanya menyunggingkan senyum. "Berikan belanjaanmu pada Kuroe dan Hiiragi saja, biar mereka yang membawanya ke gudang café."

Naruto pun menurut. Setelah itu ia mengikuti langkah Sasuke ke lantai dua, ia mendengar suara anak kecil berlarian dan bertengkiar kecil, saat ia memasuki ruang tengah, ia terbelalak saat mendapati beberapa orang yang dikenalinya. Sakura dan Sai juga ada di sana, tapi yang membuat mata Naruto berkaca-kaca detik berikutnya adalah dua orang lagi yang duduk di sofa berseberangan dengan Sakura dan Sai. Seorang wanita bersurai merah panjang, juga seorang pria bersurai pirang. Kushina dan Minato, orang tua Naruto. Dua bocah yang berlarian ke ruang tengah lalu ke ruang depan adalah seorang bocah lelaki dengan surai merah dan seorang bocah perempuan bersurai pirang berkuncir dua yang Naruto yakini sebagai kedua adik kembarnya.

Sakura dan Sai yang melihat Naruto masuk kini menatap bocah pirang itu, Minato dan Kushina mengikuti arah tatapan mereka. Tatapan mereka bertemu, Naruto tidak tahu harus bereaksi apa. Apa ia pantas kalau berlari dan memeluk mereka? Ia merasa tidak pantas. Sama sekali tidak pantas. Jadi dia—…

Tapi tiga detik berikutnya mata Naruto terbelalak saat Kushina menghambur ke arahnya dan memeluknya erat. Sangat erat. Kushina tak mengatakann apapun, tapi lalu terdengar ia terisak. Naruto juga tak bisa berkata apa-apa, perlahan ia mengangkat tangannya…sangat perlahan, ia memberanikan diri untuk balas memeluk Kaa-san nya itu. Butiran bening akhirnya tumpah juga dari kedua iris sapphire nya.

Minato tampak tersenyum, mengusap matanya yang sedikit basah lalu bangkit dan menghampiri keduanya, memeluk mereka lalu mengecup kedua puncak kepala mereka bergantian.

"Okaeri, Naruto," ucap Minato.

"…ya, Tadaima, Kaa-san, Tou-san," balas Naruto dengan suara bergetar. "Tadaima," ulangnya, tak mampu membendung emosi dan berakhir menyembunyikan wajah di pundak Kaa-san nya. Mereka saling memeluk erat untuk beberapa saat, Minato yang pertama melepas pelukan. Kushina melakukan hal yang sama tapi masih merangkul pundak Naruto.

"Aruto, Aruno, kemarilah," panggil Minato, melakukan gesture memanggil dengan tangannya pada dua bocah yang tengah mengamati aquarium di ruang depan. Kedua bocah itu menghampiri. "Beri salam pada Nii-chan kalian," ucap Minato.

Aruto dan Aruno menatap Naruto, Naruto balas menatap mereka. Naruto sedikit takut, apa tidak apa-apa ia akrab dengan mereka? Dulu saat pergi Naruto menuliskan di surat pada orang tua nya jika tidak apa-apa kalau kedua adiknya tidak tahu jika mereka punya kakak, ia tidak ingin menjadi pengaruh buruk bagi adik-adiknya. Tapi sekarang bagaimana…?

"Onii-chan…?" panggil si kembar cewek.

Mata Naruto terbelalak. Rasanya kegelisahannya yang tadi langsung sirna. Ia pun berjongkok untuk menyamai tinggi mereka.

"Naluto-niichan," ulang Aruno dan tertawa.

"Yeah," balas Naruto, ia tersenyum, mengusap lembut kepala Aruno.

"Benal-benal niichan nya Luno," komentar Aruto dengan logat cadel nya. "Lambutnya sama, matanya juga."

"Aruto, nii-chan nya Aruno kan juga nii-chan nya Aruto," Kushina mengusap kepala Aruto.

"Nii-chan, milip Tou-chan, Aluto milip Kaa-chan," ucapnya lagi. "Jadi Kaa-chan punyanya Aluto, nggak boleh," ia ganti memeluk Kushina.

"Heee pelit, Kaa-san punya Nii-chan juga," goda Naruto.

"Nggak boleh."

"Ya sudah, Nii-chan sama Aruno-chan sama Tou-san saja," Naruto ganti memeluk Aruno. Bocah itu tertawa.

"Nii-chan nya Aluno, Tou-san nya Aluno," ucap Aruno balas memeluk Naruto.

Yang lain tertawa melihat keakraban tiga bersaudara itu. Mereka lalu ngobrol santai sambil bercanda, seolah melepas rasa rindu yang sudah menumpuk sekian lama.

~OoooOoooO~

"Waah, jadi ini café kalian," ucap Minato malam harinya. Ia sekeluarga juga Sai dan Sakura menginap kali itu. Minato tengah berkeliling di lantai satu bersama Sasuke dan Naruto. "Lumayan juga. Dapat modal dari mana untuk awal pembangunan?"

"Sebelum ini kami kerja di backstage sebuah agency," jawab Sasuke. "Meski pekerjaannya melelahkan gaji nya lumayan. Dari situ kami mulai menabung."

"Backstage agency? Padahal kau bisa saja jadi model Sasuke," tawa Minato.

"Takutnya nanti Anda jadi ngefans, Minato-san," canda Sasuke.

Kushina muncul dari arah tangga menghampiri mereka.

"Anak-anak sudah tidur, Sakura dan Sai menemani mereka," ucap Kushina.

"Kalau begitu kita mulai saja," Minato menurunkan sebuah kursi untuk Kushina duduk, sementara Minato sendiri duduk di meja menghadap Sasuke dan Naruto. "Apa yang ingin kau bicarakan Sasuke-kun?"

"Bicara…?" bingung Naruto.

"Ya, dia muncul di hadapan kami seorang diri, malah ditemani Sakura dan Sai. Kami sudah shock dikira dia mau membawa kabar buruk apa tentangmu," ucap Kushina. "Tapi saat kami tanya dia malah hanya mengajak kami berkunjung untuk menemuimu, bicaranya setelah bertemu denganmu saja."

Naruto menatap Sasuke, Sasuke balas menatap lalu tersenyum, tapi lalu beralih menatap Kushina dan Minato. "Aku ingin melamar Naruto, kali ini aku ingin mendapatkan restu kalian untuk menikahinya," ucap Sasuke.

Deg…!

Mata Naruto membola. Apa belum cukup kejutan yang diterimanya hari ini? Bisa bertemu keluarganya kembali sudah merupakan hal yang sangat membahagiakan bagi Naruto, lalu ini…? Dada Naruto terasa sesak dengan kebahagiaan. Tapi sedikit ketakutan menggerogotinya, bagaimana reaksi kedua orang tuanya?

Naruto melirik takut-takut, tapi apa yang dijumpainya kembali memberikan kejutan bagi hati kecilnya. Minato dan Kushina tersenyum.

"Sudah kami kira kau akan mengatakan itu," ucap Minato.

"Aaah, sepertinya dulu kami yang salah, menganggap cinta kalian Cuma cinta monyet. Kami tidak menyangka kalian seserius ini soal hubungan kalian," balas Kushina.

"Aku tidak pernah main-main. Aku serius dengan perasaanku pada Naruto. Aku sangat mencintainya, jadi…" Sasuke sedikit membungkukkan kepalanya. "…aku benar-benar memohon restu kalian. Aku ingin memiliki ikatan pernikahan dengan Naruto."

Kushina kembali tersenyum, ia mengusap ujung matanya yang serasa basah. "Kau sendiri, bagaimana denganmu Naruto?" tanya Kushina, suaranya bergetar.

"Aku…" ucap Naruto, menatap kedua orang tuanya secara bergantian. "…aku mencintai Sasuke, Tou-san, Kaa-san. Sejak waktu itu, hingga saat ini. Aku mencintainya. Jadi maaf mengecewakan kalau perkiraan kalian waktu itu soal suatu saat aku pasti akan menginginkan sebuah keluarga normal tidak benar. Aku ingin membangun sebuah keluarga bersama Sasuke…meskipun…" Naruto tak melanjutkan ucapannya, ia rasa mereka sudah mengerti.

"…kau dengar sendiri, Tou-san," ucap Kushina. Terisak, tapi tersenyum. "Sepertinya tidak ada yang bisa kita lakukan selain merestui mereka."

"Yeah," balas Minato. Ia mengulurkan tangannya, mengacak kepala kedua putra nya itu. "Kami merestui kalian."

Sasuke dan Naruto saling tatap lalu tersenyum. Sasuke memberanikan diri meraih tangan Naruto lalu mengecupnya.

"Oh, hentikan itu. Aku jadi mengingat masa lalu saat masih pacaran dengan Kushina," Minato sok bersedih, yang lain langsung tertawa.

"Tapi berjanjilah satu hal," ucap Kushina. "Jangan-menghilang-lagi-mengerti?" ia menekankan setiap suku kata. "Naruto, semarah apapun kami waktu itu, kami sama sekali tak pernah ada niat untuk membuatmu pergi dari rumah. Bukankah itu yang namanya keluarga, bertengkar, berbeda pendapat, tapi pada akhirnya pasti menemukan penyelesaian. Jadi…jangan pernah pergi lagi, oke," Kushina bangkit demi mengusap pipi Naruto.

"Iya…Kaa-san, aku minta maaf," ucap Naruto.

"Heeeh sebenarnya aku sangat ingin memarahimu saat bertemu kembali," ucap Kushina.

"Eeeehh?" shock Naruto sweatdrop.

"Kau pergi dari rumah, dan sama sekali tak pernah memberi kabar sekalipun. Kami sengaja tak mengganti nomor atau pindah alamat, berharap suatu saat kau menghubungi, tapi samaaaa sekali tak ada kabar," Kushina bertolak pinggang.

"U-uh…ma-maaf, Kaa-san," ucap Naruto.

"Aku bersumpah akan menghajarmu kalau sampai ketemu lagi, tapi…heeeh…" Kushina menghela nafas lelah. "Begitu melihat wajahmu rasanya semua amarahku menguap entah kemana," Kushina kembali mengusap sisi wajah Naruto dengan lembut. Naruto balas tersenyum, lalu meraih tangan Kushina dan menciumnya.

"TadaimaKaa-san," lirihnya.

"Ah, ya, hampir lupa," ucap Minato. Ia merogoh sesuatu di kantong bajunya lalu mengeluarkan sebuah kotak cincin. Ia membukanya, dua buah cincin terpajang di sana. Mau tak mau Naruto dan Sasuke terbelalak. Itu adalah cincin yang diberikan Sasuke untuk Naruto saat pertama kali Sasuke mencoba melamarnya. Saat itu Minato marah sekali, ia bahkan menampar Sasuke hingga bibirnya pecah. Mereka kira Minato sudah membuang cincin itu.

"Cincin pertunangan kalian," ucap Minato, memberikan cincin itu pada Sasuke. "Mungkin akan segera diganti ke cincin perkawinan, tapi kupikir kalian ingin memilikinya."

Naruto tertawa menatap tak percaya pada kotak cincin di tangan Sasuke. Ia tak berkata apa-apa lagi, tapi selanjutnya ia sudah memeluk Sasuke. Sasuke pun balas memeluknya. "Aishiteru," bisiknya seraya mengecup puncak kepala Naruto.

~OoooOoooO~

.

.

.

~OoooOoooO~

Teng…teng…teng…

Dentang bell gereja terdengar begitu manis di telinga. Kelopak bunga berterbangan ditiup angin yang bertiup semilir, menerbangkan pelan tirai-tirai meja berwarna putih.

"Tch!" Pain tampak manyun sambil menopang dagu, sementara Itachi melipat tangan di depan dada.

"Sudah kubilang aku tak mau pakai gaun," omelnya. Ia mengenakan setelan putih untuk upacara pernikahannya, sementara Pain mengenakan setelan hitam.

"Ah, maaf menunggu," Naruto muncul bersama dengan Sasuke, menggandeng tangan satu sama lain. Sama seperti Itachi, Naruto mengenakan setelan putih sementara Sasuke mengenakan setelan hitam. Begitulah, mereka memutuskan mengadakan upacara pernikahan mereka secara bersamaan. Dan karena Jepang belum melegalkan pernikahan sesama jenis, mereka mengadakan pernikahan mereka di luar negeri, di Jepang mereka hanya sebatas mendapatkan same-sex special partnership certificates yang meski dibilang setingkat dengan marriage, tapi tidak diakui secara legal seperti marriage certificates. Yang datang ke pernikahan mereka hanyalah orang-orang terdekat saja, di pihak Naruto keluarga Naruto lengkap datang, juga Sai dan Sakura. Di pihak Sasuke tentu saja Kuroe, Ken, Hiragi lalu Ashima. Shishui tidak bisa datang karena masih mengurus Uchiha. Sementara di pihak Pain hanya Kakuzu, Hidan, Zetsu dan Sasori. Nagato tak berani membawa Konan yang tengah hamil besar, proses persalinannya tinggal menghitung hari. Ia tak mau ambil resiko Konan melahirkan di jalan. Deidara dan Kisame jangan ditanya, mereka sama sekali tak mau melihat Itachi menikah dengan boss mereka, jadi mereka pun tak mau datang. Ah, lalu Malcoml yang datang atas paksaan Pain. Pain mengatakan dia adalah orang terdekat ayahnya, jadi ia menyuruh Malcolm datang sebagai wali. Malcolm yang masih berusaha menjaga kesopanan dan rasa hormat kepada Pain pun dengan senang hati—ralat—dengan pura-pura senang hati datang ke pernikahan Pain.

"Fuuh…" Naruto menghela nafas berkali-kali.

"Kau siap?" Kushina merapikan rambut Naruto.

"Aku sangat grogi," jujur Naruto.

"Tenang saja senpai, yang mengucap sumpah kan Sasuke-senpai. Kau tinggal bilang Yes I do saja," ucap Sai.

"Diamlah Sai, kau tidak tahu bagaimana rasanya," ucap Sakura.

"Memangnya kau tahu? Aku belum menikahimu loh," goda Sai. Sakura hanya tersenyum menyikuti perut Sai.

Upacara pernikahan pun dimulai. Pernikahan pertama adalah Sasuke dan Naruto. Melakukan sesuai upacara yang biasanya berlaku, Sasuke menunggu di altar bersama pendeta, Minato membimbing Naruto, mengantarkannya pada calon pasangan. Setelah keduanya berada di altar yang sama, pendeta membimbing pernikahan mereka, hingga mempersilahkan Sasuke untuk mengucapkan sumpahnya.

Sasuke menatap Naruto yang juga menatapnya, meraih tangannya dengan lembut, lalu mulai mengucapkan sumpahnya tanpa melepas tatapan dari sapphire cemerlang Naruto.

"Saya mengambil engkau menjadi pasangan saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, dan inilah janji setiaku yang tulus."

Mata Naruto berkaca-kaca, apalagi saat Sasuke mengecup tangannya dan melingkarkan cincin pernikahan mereka di jari manisnya. Ia tak begitu mendengarkan ucapan pendeta, ah, mungkin benar kata Sai, dia cukup menjawab Yes I do, karena ia benar-benar tak bisa memikirkan kata-kata lain selain itu.

"Ya…aku bersedia," ucap Naruto sedikit serak saat pendeta menanyakan kesediannya untuk menjadi pasangan sehidup semati Sasuke.

Dengan itu upacara pernikahan mereka pun selesai, tepuk tangan mengiringi setelah sumpah diucapkan dan Sasuke mengecup bibir Naruto lembut. Naruto hanya bisa tersenyum dan menundukkan kepalanya di dada Sasuke, ia tak melepaskan genggaman tangan Sasuke sampai mereka menuruni altar, mempersilahkan upacara pernikahan kedua dimulai.

"Bersyukurlah Deidara dan Kisame tidak datang," ucap Kakuzu.

"Memangnya kenapa?" tanya Pain, bangkit untuk menuju mimbar.

Kakuzu menghela nafas lelah. "Karena mereka pasti angkat tangan saat pendeta menanyakan apa ada pihak yang keberatan dengan pernikahan kalian."

Pain hanya menyeringai mendengar itu. Ia naik ke altar, lalu Itachi diantar ke sana oleh Kuroe karena pihak dari keluarganya tak ada.

"I take you to be my lawfully wedded," Pain mengucapkan sumpahnya. "I promise to be true to you in good times and in bad, in sickness and in health. I will love you and honour you all the days of my life."

Upacara pernikahan keduanya pun berjalan lancar. Mereka melanjutkannya dengan pesta di halaman gereja. Suasananya begitu damai, angin bertiup halus menghembus rerumputan hijau, helaian-helaian putih yang mendominasi tema pernikahan, lalu music lembut yang mengiringi percakapan orang-orang yang ada di sana. Benar-benar sebuah pernikahan yang sempurna.

"Hei, kau tidak mau berdansa denganku?" Pain mengulurkan tangannya.

Itachi menghela nafas lelah sebelum menyambut tangan Pain ke lantai dansa. Yang lain mengikuti mereka dengan pasangan masing-masing—well, yang tidak berpasangan hanya menonton saja, oke. Saat matahari mulai menenggelamkan diri, barulah mereka mengakhiri pesta pernikahan kecil itu. Mereka pun kembali ke hotel tempat mereka menginap, untuk mandi dan istirahat pastinya.

"Sasuke, Naruto," Minato mengetuk pintu kamar hotel keduanya, hari belum malam, mereka baru saja selesai mandi. Tak ada jawaban untuk beberapa saat, setelah itu baru terdengar jawaban Naruto lalu pintu yang terbuka. Bisa Minato lihat Sasuke yang hanya mengenakan handuk di pinggang, sepertinya baru selesai mandi.

"Oh, jangan bilang kalian sudah mau menjalani first night kalian sekarang," goda Minato. Sasuke tertawa, sementara Naruto hanya tersipu.

"Tidak Tou-san, lagian ini masih sore. Kami baru saja selesai mandi, itu saja," jawab Naruto. "Ngomong-ngomong ada apa?"

"Ah, tadi Pain memanggil. Katanya sih hanya ingin melanjutkan pesta pernikahan siang tadi. Tapi kurasa tidak masalah kan, besok kami sudah harus pulang dan kalian masih akan di sini mengurus beberapa dokumen pernikahan kalian."

Naruto mengangguk. "Kami akan segera ke sana," ucapnya. Setelah itu Minato pun meninggalkan kamar keduanya.

"Geez, Pain tidak pengertian sekali. Dia sih enak sudah pernah melakukan itu dengan nii-san makanya bisa sesantai ini mengadakan pesta di malam pertama pernikahan," ucap Sasuke setengah bercanda.

"Oi oi oi," balas Naruto dengan wajah memerah. "Tidak apa-apa kan. Lagian besok yang lain pulang, anggap saja pesta perpisahan."

"Iya iya," Sasuke menjewer pipi Naruto dengan gemas, ia sudah selesai berpakaian. "Ayo ke sana."

Naruto mengangguk lalu melangkah, tapi tiba-tiba Sasuke menarik tangannya supaya mendekat, untuk kemudian mencium Naruto.

"Mnhh…Sasuke, huaaaa…" raungnya saat Sasuke mendorong Naruto hingga terbaring ke ranjang. Sasuke kembali mencium bibir Naruto sebelum mengangkat tubuh atasnya supaya bisa menatap Naruto. "Hei, ayo ke sana, nanti yang lain curiga kalau kita lama," protes Naruto.

"Memangnya kenapa? Kita sudah menikah kan, jadi biar saja mereka berpikir kita melakukan sesuatu," goda Sasuke yang lagi-lagi membuat wajah Naruto memerah. Mereka kembali menyatukan bibir beberapa lama sebelum Sasuke mau diajak keluar.

"Ehem," ucap Sai saat Sasuke dan Naruto datang. "Ada yang terlambat nih, mana lama banget pula," godanya. Sasuke hanya menyeringai lalu mendorong kepalaa Sai pelan.

"Kuso kohai," ucapnya.

Mereka melanjutkan pesta kecil mereka di tepian sebuah kolam renang, lampu hias menghiasi suasana malam mereka.

"Ngomong-ngomong setelah ini kalian seriusan langsung pulang?" obrol Naruto. "Kenapa tidak jalan-jalan dulu mumpung di sini."

"Tou-san ada pekerjaan Naruto, sama sekali tidak bisa ditinggal," jawab Minato. "Kalau Kaa-san mau tinggal sih tidak apa-apa."

"Inginpun memangnya anata bisa apa kalau kutinggal sendirian," ucap Kushina.

"Hahaha benar juga," tawa Minato.

"Kalau kalian?" Naruto beralih pada Sakura dan Sai.

"Kami akan tinggal untuk beberapa hari, jalan-jalan dulu," balas Sai. "Tapi tenang saja, kami tidak akan mengganggu kalian."

"Hei, kalian. Etto…Itachi junior dan si pirang," panggil Pain, ia dan Rikudo lainnya berada di dekat mereka hanya saja beda meja. "Hanya ingin tanya apa setelah ini kalian sudah punya rencana bulan madu," tunjuknya pada Sasuke dan Naruto.

"Bu-bulan madu…?" wajah Naruto memerah. Sepertinya malah baru kepikiran.

"Ah, sepertinya belum. Mau ikut kami? Kami berniat ke Reilz."

"Reilz?"

"Pulau yang baru dibeli Pain," Itachi menjelaskan. "Dia membangun tempat pribadi di sana di sisi yang tak digunakan untuk bisnis."

"Asal kalian tidak membawa siapapun. Aku di sana karena ingin ketenangan," Pain menunjuk dengan ibu jarinya. "Aku bahkan meninggalkan mereka," rujuknya pada Kakuzu dan yang lain.

"Tidak apa apa kan," sambung Zetsu. "Biar bawahan-bawahanmu kembali dan mengurus café kalian."

"Tapi terakhir kuingat mereka ditugaskan Shishui-san untuk menjaga Sasuke, bukan untuk menjaga café," sweatdrop Naruto.

"Ya kalo waka memerintah tidak masalah sih," jawab Ken. "Lagipula kalian akan berada di bawah perlindungan Rikudo. Kalau terjadi apa-apa sudah jelas siapa yang akan bertanggungjawab," seringainya.

"…" Naruto tambah sweatdrop. Ia berganti menatap Sasuke. "Bagaimana, Sasuke?" tanyanya.

Sasuke menenggak minumannya. "Tidak buruk juga, aku sih oke," balasnya, ia lalu menatap keempat bawahannya. "Tapi jangan membunuh apapun, please?"

Mereka tertawa. "Tidak janji," canda Ken.

~OoooOoooO~

Jarum jam sudah melewati angka 12 saat mereka menyudahi pesta dan kembali ke kamar hotel masing-masing.

"Huaaah capek sekali," Naruto membanting dirinya ke ranjang.

"Ghh…sepertinya aku terlalu banyak minum," Sasuke duduk di tepian ranjang, memijit kepalanya yang serasa berdenyut. "Besok bisa-bisa hangover."

"Kau baik saja?" Naruto bangkit, memeluk Sasuke dari belakang, menaruh kepalanya di pundak Sasuke.

"Mungkin," Sasuke menoleh ke pundak, lagi-lagi tak perlu kata untuk mereka menyatukan bibir. Sasuke langsung memutar tubuh dan menindih Naruto, ia sengaja meletakkan kakinya diantara kaki Naruto, menekan sesuatu di sana tanpa melepas pagutan. "Mnn…Naruto," Sasuke menatap Naruto. "Ayo lakukan sex."

"Ng…" Naruto malah tampak berpikir. "Bagaimana kalau kita tunda dulu sampai kita tiba di Reilz untuk bulan madu?"

"Ehhhh…?" shock Sasuke.

"Ya habisnya sayang kan, dapat bulan madu gratis loh. Sekalian saja kita lakukan di sana."

"Y-ya…nanti di sana lakukan lagi tidak apa-apa kan. Aku sudah kepengen," rengek Sasuke.

"Aaaah, tapi aku inginnya kalau sudah di sana saja," protes Naruto dan malah bangkit dari tindihan Sasuke. "Ah," Naruto menatap datar saat melihat gundukan di bagian bawah tubuh Sasuke. Ia pun menghela nafas lelah. "Untuk malam ini begini saja deh," ucap Naruto lalu menurunkan kepalanya ke selangkangan Sasuke.

"Ngh…!" Sasuke mengerang tertahan saat Naruto mulai memanja miliknya. Ia menatap tubuh Naruto lalu mengulurkan tangannya, tapi Naruto segera menampik. "Masa pegang saja tidak boleh," protes Sasuke.

Naruto bangkit, duduk di pangkuan Sasuke tapi dengan kedua lutut bertumpu di ranjang. "Pokoknya tidak boleh," Naruto mendekatkan wajahnya, tangannya bergerak untuk menyatukan milik mereka. "Nanti saat bulan madu kita kau boleh melakukan sesukamu oke?" bisik Naruto lalu mulai memanja milik mereka bersamaan.

Sasuke pun hanya bisa mengalah dan menuruti kemauan Naruto. Ia menatap iris Naruto yang berkabut, perlahan menyentuh pipi Naruto. Ah, sekarang dia sudah menikahi orang yang sangat dicintainya itu, mereka sudah memiliki ikatan tertinggi yang bisa mereka capai. Mungkin tidak ada next step lagi bagi mereka setelah ini, mereka tidak akan memiliki anak seperti pasangan normal, mereka benar-benar sudah berada di ujung perjalanan mereka. Tapi memangnya kenapa? Mereka hanya perlu saling mencintai sampai nanti, sampai mereka tak sanggup berjalan lagi, jadi saat ini, perjalanan mereka masih akan tetap berlanjut sebelum ada yang mengatakan kata menyerah.

"Aku mencintaimu Naruto, pengantinku," bisik Sasuke. Naruto tak membalas, hanya memejamkan mata saat detik berikutnya Sasuke mengecup bibirnya lembut.

.

.

.

~The End~

.

.

.

This is the last chapter of the second part of the trilogy, hope you enjoy the story ^-^/ see you on the next part of the trilogy~

.

Author note: terimakasih banyak buat yang udah ngikutin ceritanya dari awal sampai akhir ^^ semoga menghibur~ gambar bisa dilihat di facebook page: Noisseggra no Sekai. Video nya bakal nyusul nggak lama setelah chapter ini update 3 tanoshimi~… check terus FP nya ya…

Sekali lagi, yang namanya trilogy bisa diikuti per bagian (tidak harus baca awal trilogy dan akhir, karena setiap trilogy merupakan cerita selesai), jadi bagi yang keberatan karena ceritanya panjaaaaaang banget, tidak apa-apa kalau hanya mengikuti satu atau dua part trilogy nya. Tapi bagi yang berkenan mengikuti, author sangat berterimakasih :)

Soal sumpah pernikahan, itu author nyolong di internet XD dan proses pernikahannya juga comot sana sini, jadi kalo ada kesalahan mohon maaf, bukan berniat melecehkan atau semacamnya, author bukan umat dengan pernikahan seperti ini :')

Ah, untuk trilogy terakhirnya karena bakal rate M, posting setelah lebaran aja kah? Atau tetep update pas ramadhan juga? XD #nekat ini

Oia, banyak yang minta story ini dipindah ke wattpad, trus daripada posting cerita yang sama, apa last trilogy nya pindah ke wattpad aja kah? Menurut readers gimana?

Yeah ditunggu respon, pendapat, review, kritik, saran dll nya. Reviews akan dibalas di trilogy ketiga nya kalo udah update (baik yang log in ataupun yang nggak log in), kalo ingin langsung dibalas, silahkan kirim message ke facebook page Noisseggra no Sekai. Thank you~