Dia dingin dan keras seperti gletser di Antartika, namun terkadang panas seperti geyser yang menyembur secara periodik. Maybe Sehun should fall; like what rivers ( waterfalls ) do!/ "Saat kau tinggalkan aku dengan teka-teki disana dan disini. Akulah bau diselimutmu yang kau sesali." [HunHan/Genderswitcth/Chaptered fanfic/ Adult fic] RnR?

.

.

.

HunHan Chaptered Fanfiction by Dakota Candice

Main Cast: Oh Sehun & Lu Han

Other Cast : Park Chan Yeol, Wu Yi Fan, Kim Jong In, Kim Woo Bin, and others

Genre : Romance & Erotic

Adult fic, Urban-life, Explicit content.

Cerita ini milik Candice. Jika ada kesamaan mohon dimaafkan karena hal tersebut merupakan sebuah ketidaksengajaan.

.

.

Dua ketukan nyaring dipermukaan gelas sampanye yang kosong bagaikan teriakan atas permintaan pulang yang teredam. Jamuan makan malam mewah berisikan manusia akademikus dan sebagian diantaranya adalah pemilik gedung-gedung pencakar langit yang membuat sesak kota New York. Sebenarnya, Luhan tidak dalam posisi yang tepat untuk datang dan sekedar membuntuti ayahnya. Dia hanya seorang gadis yang menyukai jalanan Brooklyn dengan kuliah yang baru diselesaikan.

Untuk beberapa kali ia memperhatikan Melisa kakak tirinya. Bibir itu lihai merangkai setiap kata dengan kinesika yang begitu profesional. Wanita muda dengan karir yang cemerlang di perusahaan milik sang ayah. Ia terkadang merasa iri, tapi tak sampai meradang.

Luhan datang dari California sepekan yang lalu setelah kuliahnya selesai dan niatnya kembali kerumah adalah mencari pekerjaan. Setidaknya Luhan tahu diri untuk mulai merangkak mencari lembaran dollar di atas lantai perusahaan lain, bukan berjalan dengan membusungkan dada lalu duduk di kursi kekuasaan. Takdirnya tak mungkin serupa dengan Melisa walaupun ayahnya sendiri begitu bersikeras saat Luhan dengan lantang menyerukan tujuan hidupnya.

Hidup bersama ayah tiri dan seorang kakak yang lahir dari rahim perempuan lain tidak menjadikan Luhan kekurangan secara lahir dan batin. Mereka berhubungan dengan baik layaknya keluarga lain. Merayakan thanksgiving ataupun liburan musim panas ke hawaii setiap tahun; agenda rutin keluarga Turner.

Entahlah, sampai usia dua puluh tiga tahun ini Luhan tetap tak memiliki keinginan untuk mencari ayah yang mencampakkan mendiang ibunya saat mengandung dirinya. Scott sudah cukup menjadi Ayah pengganti yang baik bagi Luhan.

" Bukankah dia cantik? Dia mirip Meilin Han, istriku." Scott memuji seperti biasa. Kadang Luhan menemukan kesedihan yang mengeriput di bibir pria itu saat menyebut nama wanita yang menjadi korban tabrak lari enam tahun silam.

"Ya, aku setuju." Rekan ayahnya mengangguk. " Dia akan hebat seperi Melisa Turner."

Scott tertawa dan itu membuat rasa bosan Luhan tersingkir untuk sementara.

"Ku jamin. Tapi dia keras kepala... sepertiku."

Insting penciumannya bergerak murni pada sebuah cake yang berada delapan meja dari tempatnya berdiri. Luhan menaruh gelasnya di meja, " Permisi." Scott dan para rekan berbincangnya menoleh, " Ayah, bolehkah aku pergi untuk memgambil sesuatu?"

Sebenarnya tak pernah Luhan seformal itu dan itu membuat Scott melemparkan senyuman geli sebelum mengangguk menyetujui.

Kue perpaduan sponge vanila dan gurihnya cream cheese serta saus salted caramel. Gurihnya kacang macademia dan renyahnya honeycomb sebagai pelengkap hiasan di bagian atas kue pun begitu menggugah selera Luhan. Satu meja lagi, Luhan akan mendapatkannya jika saja pelayan berhati-hati dan tidak menabrak seorang wanita berbalut gaun satin. Coklat-coklat berbentuk bulat di nampan yang dibawa pria itu menggelinding dan bergerak cepat di lantai yang dingin. Semua orang memilih acuh dan menghindari terjangan coklat bulat kecil itu mengenai sepatunya. Luhan mendengus sebelum memutuskan untuk berjongkok membantu dan pelayan pria itu terus bergumam terima kasih.

Satu coklat mengenai sebuah sepatu oxford yang dibalut celana hitam; salah satu coklat yang terdekat dengan jarak Luhan. Matanya perlahan naik pada tubuh tinggi itu, jas hitam dan kemeja biru serta tubuh yang tegap lalu tanpa sadar pria itu membungkuk dan mengambil coklatnya. Mata Luhan bertemu dengan mata intens hazel saat pria itu mengulurkan tangannya memberikan coklat pada Luhan yang masih berjongkok.

Dia putih dengan gelombang seksual yang panas, ukiran wajahnya mampu membuat pemahat di seluruh dunia menangis, hidung bagai belati dan mata intens hazel yang memiliki sisi gelap. Tubuh seksi dan tegap dibalik jas dan kemeja.

Terkutuklah setelah semua ini karena Luhan dengan tak wajar membayangkan kehebatan pria itu di ranjang dan dia berada dibawahnya. Dia seorang pria asing, bagaimana mungkin Luhan dengan murahan memikirkan itu.

"Nona, apa anda baik?"

Suaranya bahkan dapat membuat Luhan kehilangan kontrol akan dirinya; tegas dan serak. Wajah dingin itu memiliki ras asia penuh. Dia bagaikan lelehan es di Islandia.

" Apa ada masalah?"

Ya, ada. Luhan mungkin akan orgasme ditempat jika pria itu terus bersuara dan menatapnya.

"Halo?" Dia nampak serius dengan lambaian tangan dan tubuhnya masih menunduk.

Ketika Luhan sadar dan mencoba berdiri normal, stilettonya tak bersahabat dan pantatnya meluncur diatas lantai. Orang-orang disekitar memperhatikannya dan nyaris tertawa tapi pria itu datar dan menawarkan bantuan dengan menjulurkan tangan sebelah kanan.

Luhan meraih tangan itu dan mencoba menyeimbangkan kedua kakinya. Tangan itu dingin dan juga memiliki setrum seperti listrik. Luhan rasa ia mulai gila karena sentuhan pertama pada tangan tersebut benar-benar membuat suatu fantasi dan sesuatu yang aneh mendesir di aliran darahnya.

" Aku baik-baik saja." Luhan terseyum kecil. Lalu mengusap anak rambutnya di tengkuk. Dia merinding dan meremang di waktu yang bersamaan.

"Kau yakin?"

Tolong, berhenti berbicara.

Bibirnya mengering, Luhan menjilat bibirnya sendiri dan gelisah karena suaranya mendorong Luhan pada sesuatu yang liar. Sangat liar dan...panas.

"Aku yakin."

Satu tarikan kecil di sudut bibir pria itu sebelum ia benar-benar membuang muka dan Luhan mencoba mengalihkan pikiran dengan mengambil sebuah sundae yang disiram lelehan coklat.

Melisa melihatnya dari jauh ketika Luhan muncul dari sela-sela keramaian dengan sebuah sundae, wanita itu tampak khawatir.

"Terdengar sesuatu dari arah sana. Kau baik?"

Luhan melirik sekilas kearah ayahnya yang masih asik berbincang, dia terseyum dan mengangguk. "Tadi seorang pelayan menjatuhkan coklat dan aku memberikan sedikit bantuan."

"Ada hal yang lain?" Melisa melihat sesuatu yang berbeda dari senyuman adiknya.

"Aku akan mengatakannya nanti."

Sial. Lelaki panas dan berbahaya itu bahkan membuat Luhan melupakan kue yang menjadi tujuannya berjalan kesana.

...

" Siapa namanya?"

"Tidak tahu."

"Tidak tahu?"

Luhan mengangguk. Ia mengitari meja makan berbentuk bundaran kecil lalu menarik salah satu kursinya dan duduk

"Melisa tahu?"

Luhan menggeleng. " Tidak. Tapi dia bilang aku harus berhati-hati pada pria semacam itu."

Jongin mengernyit dalam dan hampir membuat kedua alisnya bertautan satu sama lain. " Kenapa begitu? Apa salahnya berdekatan dengan pria seperti itu? Dia selalu iri pada adiknya."

"Sudahlah Jongin, Melisa tidak seperti itu."

Jongin selalu menilai kakak perempuan Luhan adalah wanita jahat dan licik. Kemungkinan besar presepsinya mengenai hal itu didapat dari sebuah drama ibu dan kakak tiri yang ia tonton di salah satu teater Broadway.

Pagi sekali Luhan terbangun walaupun efek dari beberapa gelas sampanye semalam masih terasa. Tak banyak barang yang ia masukkan kedalam kotak sebelum berangkat ke borough Manhattan. Jelas sekali ayah dan kakaknya akan marah jika mengetahui Luhan pergi untuk bekerja di posisi yang tidak seharusnya. Jadi Luhan putuskan untuk pergi diam-diam dan menjelaskan semuanya belakangan.

Untuk sementara waktu Luhan akan menetap di sebuah apartemen di jalanan Central Park West. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa apartemen tersebut milik sahabatnya, Jongin. Luhan juga bekerja untuk Jongin, sebagai asisten manager di anak perusahaan Rivera Inc.

"Mr Turner akan merebusku jika dia tahu." Wajahnya frustasi sejak kedatangan Luhan.

"Kau aman Jongin. Kau aman."

Jongin mendesis. Dia lelaki berkulit kecoklatan yang memiliki daya tarik yang sempurna. Rambut hitam pekat dan tubuh tinggi idaman wanita. Dia selalu sempurna untuk dipandang setiap hari.

"Dia mungkin bisa menendangku ke neraka. Dia mengerikan." Jongin menyesap anggur merah dan menggeserkan botol yang masih terisi sebagian kepada Luhan.

"Kau jenuh. Ingin menonton sebuah teater?"

Luhan menggeleng dan menjauhkan botol tersebut.

"Sedang memikirkan pria panas itu?"

Kepalanya mengangguk.

"Kenapa tidak mencoba berkenalan dan bertukar kartu nama?"

Jongin tak pernah mabuk hanya dengan setengah gelas anggur merah. Lelaki itu berkata serius tentang apa yang seharusnya Luhan lakukan kemarin malam.

"Itu terlalu ofensif."

"Bahkan kau membayangkan berada di ranjang dengannya saat pertama kali melihatnya."

Lelaki itu tahu cara berbicara dengan Luhan.

"Dia memiliki feromon Jongin. Itu menghidupkanku sekaligus membahayakan!" Luhan mengipasi wajahnya menggunakan telapak tangan

"Dia seperti apa? Kulit putih? Mata coklat? Muda? Kaya?" Segudang pertanyaan Jongin lemparkan pada Luhan

"Kulitnya putih panas, mata hazel dan intens, dia ada di pesta itu berarti dia pemuda yang kaya dan sukses."

"Lalu menginginkan seks liar dengannya?"

Luhan menggeser kursinya ke belakang dan berdiri. "Oh ayolah Jongin."

"Seks adalah hal yang legal untuk gadis seusiamu."

"Aku tahu. Apakah lelaki sepertinya... hebat dalam urusan ranjang?"

Jongin tertawa hingga matanya menyipit. " Semoga tidak congkak."

Bahunya menggendik. " Aku akan tidur lebih awal. Sesuatu yang baru akan dimulai besok."

"Ini baru pukul delapan-" Luhan menyilangkan tangannya di dada. " Baik. Selamat malam Luhan."

Jongin menekuk tangannya mempersilahkan. Dia ramah seperti biasanya. Tapi masalah asmaranya selalu rumit dan tak berujung.

Senyuman itu belum juga berakhir sampai pada potongan terakhir pancakenya. Pagi pertama untuk Luhan, ia bangun lebih awal dari biasanya dan mengenakan pakaian kerja untuk pertama kali.

Jongin hanya menggeleng pelan melihat tingah gadis itu. Ia melipat kemejanya sebatas siku dan mengangkat piring kotor lalu menumpuknya di pencucian.

Dua semprotan wewangian vanilla di ceruk leher Luhan sebagai sentuhan terakhirnya lalu menaruh botol bening itu kedalam tas tangan. Dia tidak ingin terlihat imperfek.

"Mobilku sedang dalam perbaikan. Sebagai mm.. atasanmu. Maaf jika hari pertamamu dimulai dengan kesan yang tak baik."

Luhan memakai stiletto hitamnya dan tersenyum. " Bukan masalah, Tuan. Apa kita akan berjalan kaki?"

Jongin tertawa. " Taksi lebih cepat dari kakimu dan kereta bawah tanah sangat berdesakan." Ia meraih jas hitam yang tegantung di dekat pintu keluar. " Taksi adalah pilihan terbaik untuk saat ini."

"Apa kau bercanda?"

Jongin menggeleng.

Luhan memegangi cepol rambutnya sekilas. Membayangkan betapa kejamnya sopir si kuning itu membelah jalanan big apple New York, menyelip tak sabaran diantara kemacetan dengan ceroboh.

Berjalan kaki pilihan terbaik, tapi ia harus patuh pada atasan.

Seorang pria membuka pintu taksi di lobby untuk Jongin dan Luhan. Pria itu sedikit membungkuk dan menyapa dengan sopan.

"Selamat pagi Mr Kim."

Sebuah senyuman kecil dari bibir Jongin.

"Selamat pagi Miss Han."

"Selamat pagi Sergie!" Sahut Luhan ramah tanpa menghilangkan senyuman pada pria berkulit toast brown tersebut.

Luhan berdiri agak lama dengan wajah yang cemas dan gerak tubuh yang gusar sedangkan Jongin mendudukan pantatnya dengan santai ke jok hitam.

Jongin menepuk jok disebelahnya yang kosong agar Luhan segera masuk dan duduk. Gadis itu menurut dan bibirnya tertekuk kebawah.

"Aku akan menangis jika cepolanku hancur!" Gerutu Luhan sambil menutup pintu taksi keras, tak membiarkan Sergie yang menutupnya.

"Luhan sayang, tidak akan terjadi atraksi jet tempur." Jongin menyahut dan tertawa geli.

...

Gedung tinggi menjulang kelangit diantara sempitnya kota metropolitan di Amerika. Kaca biru gelap menjadi daya tarik dengan puncaknya yang berbentuk runcing. Besar dan terdiri dari puluhan lantai, menandakan bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang sangat maju dan memiliki pegawai berkualitas.

Luhan mendongakkan kepalanya memperhatikan gedung itu dan tersenyum idiot. Ia menghirup kuat aroma kota sebelum mengikuti langkah kaki Jongin yang berjalan mendahuluinya.

Jongin menunjukan kartu tanda pengenalnya pada seorang petugas keamanan. Mereka terlihat saling mengenal ketika melakukan sedikit perbincangan.

Luhan melakukan apa yang dilakukan Jongin. Ia memperlihatkan tanda pengenalnya.

Tak banyak yang Luhan lakukan selain berjalan membuntuti Jongin sampai ia tak sadar bahwa pintu putar membuatnya terpisah.

Luhan terlalu takjub dan ia jadi kehilangan arah. Jongin yang menyadarinya segera menarik lengan Luhan.

Helaan nafas berat ketika berhasil menarik Luhan. "Kelakuanmu Luhan."

Luhan tersenyum. Wajahnya menahan malu ketika ia mendapati petugas keamanan melemparkan senyuman karena tingkah memalukannya.

"Siapapun tak akan mempercayai bahwa kau anak dari pemilik Turner Industrial."

Luhan menggendik singkat tak memperdulikan betul cibiran yang di lontarkan Jongin. Lantai marmer berwarna keemasan menarik perhatiannya dan...

"Wow!"

"Kenapa Luhan?"

"Tempat ini memiliki pegawai dengan ras yang khas."

Luhan mengamati setiap pegawai yang berlalu-lalang.

Perusahaan Rivera Inc adalah kepemilikan dari seseorang yang memiliki kewarganegara Korea Selatan. Gedung perusahaannya berdiri kokoh di kota yang tak pernah tidur. Memiliki banyak anak perusahaan dan sebagian besar dikelola oleh keluarga. Pegawainya mayoritas di datangkan dari Asia Timur.

"Kau akan sulit menemukan pegawai berambut blonde disini." Bisik Jongin.

Pintu elevator terbuka dan mereka masuk berasama pegawai yang lain. Jongin menekan tombol berangka empat belas.

Hal pertama yang akan dilihat ketika memasuki lantai empat belas adalah serambi mewah dan kaca anti peluru sebelum memasuki ruangan resepsionis.

Jongin mendorong pintu kaca tersebut dan seorang wanita duduk di balik meja resepsionis dan tersenyum ramah.

"Selamat pagi Mr Kim."

"Selamat pagi Baekhyun."

Kerutan di kening Luhan ketika wanita itu berdiri. Bibirnya dilapisi lipstik berwarna dusty pink, rambutnya coklat terang, baju blouse mempertontonkan belahan dadanya tak wajar.

" Kekasihmu?"

Jongin menggeleng.

"Calon kekasihmu?"

"Bukan. Dia Lu Han. Asisten baruku."

Baekhyun tersenyum kecut. Memandang penampilan Luhan dari ujung kaki hingga kepala.

"Asisten tidak membutuhkan hal yang mahal Miss Han. Kau aneh." Kritik Baekhyun.

"Sudahlah Baekhyun. Jangan memulai."

Jongin memutar bola matanya dan menarik Luhan.

Mereka berjalan menyusuri lorong dan berbelok ke kanan. Pintu kaca bertuliskan Choi & Rivera tepat berada di ujung lorong, tempat dimana Jongin bekerja.

Luhan berdiri di sisi kanan Jongin dan mengamati wajah tampan pria itu serius membaca satu per satu tumpukan kertas di meja selama kurang lebih tiga jam.

Jongin mengusak rambutnya ketika menemukan sebuah grafik yang tidak stabil.

"Lihat ini." Luhan mengangguk memperhatikan. " Kita harus mengajukan sebuah perencanaan. Anak perusahaan yang lain sudah melakukan pengajuan perencanaan bulan lalu dan beberapa diantaranya harus merevisi bahkan menerima penolakan."

"Kenapa?"

Jongin membuka laptopnya dan mengeluarkan sebuah map.

"Tidak sesuai dengan standart dan kebijakan perusahaan."

"Standart dan kebijakan seperti apa?"

"Tidak tahu. Mr sialan Oh itu menyulitkan. Anak-anak yang bekerja untuknya bahkan jauh lebih menyulitkan kami sebagai anak perusahaan!"

"Anak pemilik Rivera?" Luhan bertanya penasaran.

Jongin mengangguk dan mendesah. Ia menyenderkan punggungnya.

"Dua diantara tiga anaknya bekerja disini dan mereka benar-benar bajingan!" Keluh Jongin sambil mengusap wajahnya.

"Bisa tolong berikan ini pada Baekhyun?"

"Tentu."

Luhan menerima map merah itu. Ia melangkahkan kakinya dan meraih knop pintu.

"Luhan?"

"Ya Tuan-Brengsek-Kim?" sahutnya tanpa berbalik.

Jongin terkekeh.

"Ada sebuah coffee shop di lantai dasar. Americanonya oke."

"Bagus. Aku membutuhkannya."

Luhan menutup pintu dan suara heelsnya terdengar nyaring ketika menyentuh lantai.

...

Secangkir kopi adalah hal terbaik untuk pekerja kantoran. Sebenarnya Luhan tidak bisa dikatakan pekerja kantoran, karena nyatanya ia hanyalah seorang asisten manager. Scott benar-benar akan merebus dan melempar Jongin ke neraka jika sampai tahu.

"Ayah aku baik-baik saja! Aku bersama Jongin. Tak perlu cemas."

Seorang pelayan memberikan satu cup kopi panas dan Luhan mengucapkan terima kasih.

"Aku akan pulang setiap akhir pekan. Kau mau melihat putrimu menua di jalan karena Manhattan-Brooklyn setiap harinya?" Kekehan ringan terselip di akhir kalimat.

Aroma kopi dan uap menggoda Luhan untuk menyesapnya selagi panas. Ia terkejut ketika kopi tersebut terlalu panas seakan membakar bibirnya.

"Damn!- Bye ayah!"

Luhan memutuskan sambungannya dan berjalan menjauh dengan ponsel di tangan kanan dan satu cup kopi di tangan kiri.

"Nona Luhan!"

Luhan menghentikan langkahnya dan berbalik. Seorang pelayan melambaikan tangan kearahnya dan ia berjalan untuk kembali.

"Ya. Ada apa?"

"Kau lupa membayar kopimu." Kata seorang pria.

Dia tersenyum dan gigi taringnya mengintip dari balik bibir. Rambutnya disisir menyamping dan agak bervolume. Lengan kemeja putih dilipat sampai sebatas siku. Putih panas seperti malam itu. Sempurna.

Lelaki itu. Lelaki yang menjadi fantasi dan gairah seks Luhan.

"Tuhan!" Luhan memekik ketika teringat akan sesuatu. " Dompetku teringgal."

Dan Luhan pula yang selalu mengacaukannya dengan mempermalukan diri sendiri.

Ia meletakan kopi itu di meja kasir. "Aku segera kembali. Oke?"

Sebuah tangan menahan sikunya dari belakang. Relfleks Luhan menoleh dan menemukan mata hazel intens itu.

"Tungguu."

Suaranya membakar kewarasan Luhan.

"Ini," pria itu menggeserkan kartunya di meja pada penjaga kasir.

"Tidak perlu."

Pria itu memberikan kembali kopi tersebut pada Luhan.

Ketika Luhan menerimanya, ia tak sengaja menyentuh jari-jari pria itu.

Luhan tidak ingin orgasme hanya karena suara dan sentuhan, ia menginginkan penetrasi dan sentuhan yang sesungguhnya.

"Baik. Terima kasih."

Luhan sadar ia mulai tak waras ketika otaknya kembali membayangkan seks yang hebat bersama pria itu. Otaknya tak pernah sebinal itu sebelumnya.

Dengan cepat ia berlalu tanpa niatan berbalik. Akal sehatnya mendorong agar ia menjauh, tapi akal kotornya yang terselip menyukai betapa berbahayanya feromon pada lelaki itu. Membayangkan bagaimana tangan hangat itu melecehkan setiap sesuatu yang sensitif di tubuhnya dan mengerang merasakan datang dibawahnya.

"Stop it Luhan!" gumam Luhan berjalan agak panik.

Sepatunya mengetuk lantai dengan pelan menunggu elevator dari lantai enam turun. Sesekali Luhan menyesap kopi gratis itu.

...

Apapun posisi Luhan dalam perusahaan itu, ia berharap Jongin atau orang lain mampu mendelegasikannya suatu saat karena di hari pertama ia sudah diperkenalkan dengan istilah lembur. Selain itu, hari ini ia tidak di posisi menjadi asisten Jongin melainkan partner pembuatan perencanaan.

Luhan akan menagih gaji lebih nanti.

Melirik jam tangan yang menunjukan pukul tujuh malam, Jongin mengerang. " Seharusnya kita sedang menikmati pasta."

Suaranya lemas dan ia memijat pelipisnya menyiratkan kepenatan.

Luhan tersenyum dan menepuk bahu Jongin. "Dude, proyekmu lebih penting dari pada sepiring pasta!"

Jongin tertawa menanggapi.

"Aku bertemu pria itu lagi.." akhirnya Luhan memiliki waktu yang tepat untuk bercerita. Mulutnya benar-benar gatal untuk menahan. " di coffee shop!"

"Kau bahagia?" Tanya Jongin dengan nada menggoda.

"Dompetku tertinggal dan dia membayar untuk itu. Memalukan!"

"Awal yang baik, bukan?"

Luhan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hanya sesaat.

"Pemilik perusahaan ini memiliki ciri seperti dia?"

Jongin mendongak " Ya. Dia memilikinya tapi dia tua. Kau? Astaga jangan katakan itu!"

Matanya melotot memandang Jongin. "Apa? Kenapa?"

"Kau menyukai lelaki tua itu? Tunggu atau-" dia menggesekan jari telunjuk di dagu dan berpikir keras beberapa detik. " Sial! Jangan katakan pria itu salah satu dari Chanyeol ataupun Yifan!"

"Aku tidak tahu." Luhan menggendik.

"Aku tidak melarangmu. Tapi mereka itu bagaikan pinang dibelah empat tentang hal yang berkaitan dengan wanita. Berbahaya."ujar Jongin. Ia menyampirkan jasnya pada lengan.

Jongin dan keposesifannya itu sudah ada dari awal mula persahabatan mereka. Luhan memaklumi akan hal itu.

Luhan meraih tasnya yang berada di atas meja dan berjalan di belakang Jongin untuk keluar dari ruangan.

Pintu elevator terbuka menampakan tiga orang lelaki dengan perawakan yang tidak jauh berbeda dan memiliki sedikit kemiripan di bagian struktur wajah. Satu diantaranya adalah pemilik afrodisiak di senyumannya.

Lelaki itu tersenyum kecil pada Luhan.

Jongin membungkuk dan menyapa, ia menekan tombol dan pintu elevator tertutup.

Luhan membungkuk hormat dan sekarang ia berdiri tepat di depan lelaki itu, hembusan nafas yang hangat mengenai tengkuknya dan ia meremang.

Di lantai sebelas sekelompok karyawan lain masuk dan membuat Luhan harus mundur untuk memberi tempat. Sekilas Luhan melirik pada pria di ujung kanan yang memperhatikan bokongnya di balik rok pensil abu-abu. Ia menghela nafasnya karena hal seperti itu sudah biasa terjadi.

Seorang karyawan di depan Luhan sedikit mundur membuat ia terdesak dan punggungnya mengenai si putih panas itu. Deru nafasnya semakin jelas dan elevator seakan bergerak dengan saaangat lambat.

Tungkai Luhan tak bisa lagi berlama-lama untuk menopang tubuhnya yang melemas merasakan bagaimana punggungnya menyentuh lelaki itu. Luhan menggigit bibirnya dan tidak berniat melihat kearah lain selain ke pintu alumunium di depannya.

"Luhan kau oke?" Sadar wajah Luhan menyiratkan ketidaktenangan, Jongin mencoba bertanya.

Luhan mengangguk.

" Aku oke." Katanya lemah.

Saat pintu itu terbuka dan para karyawan di depannya melangkahkan kaki keluar, Luhan mendesak dan menyelipkan tubuh rampingnya untuk segera menghindar. Menyenderkan tubuhnya pada pilar marmer. Jongin disampingnya kebingungan.

Saat ketiga pria tersebut berjalan berdampingan menuju pintu putar untuk keluar dari gedung tersebut, Luhan menyenggol Jongin dengan siku.

"Ada apa? Apa yang terjadi?"

Luhan menunjuk kearah mereka yang berjalan menjauh.

"Itu!"

Jongin menangkat sebelah alisnya mengikuti arah jari telunjuk Luhan.

"Paling kiri dan kulitnya milk ivory."

Mata Jongin melotot tak percaya dan rahangnya hampir menyentuh lantai. " What the heck!"

Luhan mendelik. "Kenapa?"

"Dia anak bungsu dan pewaris saham terbesar Rivera Inc di Seoul!" Jongin mengusap wajahnya kasar, " Luhan sayang, apa kau tidak salah orang?"

Luhan menggeleng.

"Lupakan itu, Jongin. Dia mungkin pria sulit jadi aku benar-benar akan melupakannya."

"Itu lebih baik dari sebelumnya!"

...

Luhan pandai dan cerdas, tapi bukan berarti dia terhindar dari sifat ceroboh.

Musim dingin akan tiba dan sebentar lagi aroma natal yang pekat akan tercium di setiap penujuru kota. Luhan berjalan ditrotoar dengan mantel bulu dan rok pensil yang pendek. Dia pikir dia bisa melawan udara dingin dengan pakaiannya itu.

Jika saja bangunan yang gadis itu tuju masih beberapa ratus meter lagi, mungkin besok pagi akan ditemukan seorang perempuan yang mati dipinggir jalan karena kedinginan.

Dia memutuskan untuk pulang dengan kereta bawah tanah daripada bersama taksi kuning dan Jongin. Lagipula ia akan pergi ke gym didekat apartemen karena jadwalnya ada pada hari ini.

Lengannya mendekap satu sama lain dan menggigil kedinginan. Luhan mendorong pintu tersebut dan menemui wanita yang sedang duduk dan memamerkan jam tangannya.

"Apa kau sudah selesai?"

"Sejak dua jam yang lalu dan selama itu pula aku menunggumu." Jawabnya. Ia memberikan sebuah dust bag berisi baju dan sepatu sport milik Luhan.

Luhan tertawa ringan dan menerima dust bag tersebut.

"Oh. Aku menghargai itu, Baby Girl!"

Yixing mengangguk. "Kau harus." Sahutnya agak menuntut.

"Aku pulang. Sampai jumpa!" Yixing meraih gagang besi pada pintu kaca itu. Tangannya melambai pada Luhan. " Semoga tak terlalu sering lembur dan Tuhan memberkati pekerjaanmu!"

"Semoga." Lirih Luhan dengan senyuman lelah pada sosok Yixing yang telah menghilang dari balik pintu.

Setelah Luhan berganti pakaian dan mengenakan sepatunya, ia memulai pemanasan dengan treadmill selama beberapa menit. Tapi ketika itu dimulai ia merasa lelah tak seperti biasanya dan moodnya untuk ekskresi sangat buruk.

Luhan berhenti dan duduk disalah satu kursi dan mengusap keringat dipinggiran wajahnya dengan handuk kecil.

Merasa sial karena tidak langsung pulang ke apartemen dan makan malam. Bahkan Luhan membayangkan jika saja ia tidak memutuskan untuk ke gym dan langsung pulang, pasti ia sedang duduk di meja makan dengan sepiring pasta carbonara buatan Jongin. Ia mendesah dan baru menyadari bahwa gym setelah lembur adalah suatu kesalahan.

"Luhan?"

Luhan memutar kepalanya kearah kanan.

Seorang pria dengan handuk kecil dan sebotol minuman ditangannya duduk di samping.

Keringat bercucuran di tubuh pria itu terlihat bagaikan minuman isotonik yang menyegarkan. Ototnya kencang dan Luhan ingin membuat pria itu bertelanjang dada. Fantasinya bermain pada sesuatu di balik kaos putih itu, mungkin memiliki otot perut kencang yang terbentuk sempurna.

"Aku tidak sengaja mendengar namamu ketika di coffee shop." Katanya lagi.

Menelan ludahnya secara alami ketika mata Luhan memperhatikan gerakan jakun saat pria itu menegak minumannya haus.

Nafasnya masih terengah karena pemanasan, dan sekarang sesuatu seperti mencekik saluran pernafasan Luhan. Ia menggeleng cepat.

"Aku harus pulang." Putusnya cepat.

"Kenapa?" Pria itu bertanya tapi tak terdengar penasaran.

"Entahlah. Moodku buruk." Jawabnya asal tanpa niatan memandang wajah pria itu.

"Aku antar pulang?"

Berusaha keras untuk tidak melihat intensitas mata hazel itu, Luhan tercekat dan matanya bertemu dengan pasrah. Intensitasnya selalu membuat pikiran Luhan bekerja untuk ranjang dan mendesah.

Persendiannya melemas dan Luhan memutuskan untuk bangun dan memasukan botol minum dan handuk kecilnya pada dust bag.

"Sehun. Namaku Oh Sehun."

"Sehun?" Gumam Luhan pelan nyaris tak terdengar.

Nama itu terdengar dominan dan arogan sesuai dengan penampilan dan wajahnya. Sempurna. Luhan menyukai itu.

"Tidak perlu. Terima kasih." Sahutnya setelah mengumpulan akalnya yang hampir tak terkendali.

Tidak. Luhan tidak ingin menolak bahkan dia ingin mengajak pria itu mampir ke kamarnya dan menyuruhnya pulang keesokan hari. Tapi dia masih memiliki titik waras yang sangat kecil dibagian otaknya untuk mengucapkan sebuah penolakan.

"Apa kau pernah melakukan seks?"

Terpaku sesaat, Luhan mengernyit dan menoleh kearah Sehun secepat kilat.

"Maaf?"

"Pernah melakukannya? Apa kau menyukainya?" Tanya Sehun mulus tanpa secuil hambatan yang membelit ujung lidahnya.

Wajahnya dingin seperti biasa, kalimat yang ia tanyakan bahkan tak terdengar seperti sesuatu yang kasar dan buruk. Bahkan suaranya melembut dan terlebur di telinga Luhan.

Luhan hampir melorot kelantai dan syarafnya mengkerut seketika. Apakah ia harus memiliki abstinensi akan hal seperti itu?

.

.

.

To be Continue!

Yaaaay Candice buat fic chaptered nih! Hehe

Disini ada tokoh yang diperankan oleh Kim Woo Bin. Mungkin kalian akan mengira kalau Candice mabuk masukin aktor tsb ke fic ini. HAHA. Ada yang bisa tebak perannya akan seperti apa di fic ini? :p

Terima kasih untuk yang sudah support FanFic yang dibuat Candice. Aku terharu banget baca review kalian menanggapi author yang baru netes kemarin sore ini. Haha.

Sedih sekali disini pukul 10 AM saat MAMA 2016 dan aku disekolah😭/curhat

Should I continue this Fic?

Love, Candice