—Tersangka pertama : Kagami Taiga—

"Ini tidak bisa dibiarkan, ssu! Jangan buat kepolosan Kurokocchi ternodai lebih jauh karena Akashicchi!"

"Aku setuju, nanodayo. Bukannya aku peduli pada Kuroko, tapi kalau—"

"Bodoh. Jelas-jelas kau peduli pada Tetsu makanya kau mau ikutan operasi ini!"

"Mine-chin benar tuh~ Mido-chin kan pengusul utamanya."

"Nee~ nee~! Lihat kesini sebentar! Aku sudah membuat susunan rencana agar Tetsu-kun bisa cepat-cepat pisah dari Akashi-kun!"

"Bawa kesini tulisannya, Momoi!"

"Sabar dong, Kagamin! Kita mulai dari ops pertama—" seorang gadis menaikkan letak kacamatanya, berseringai saat mengulurkan tangan. "Selamatkan kepolosan Tetsu-kun!"

Disclaimer : Fujimaki Tadatoshi

Plot asli punya Shiznami.

Berawal dari celetukan iseng sang mantan gebetan, Kuroko galau sampai ke ubun-ubun

Tumben. Hari ini Kuroko berkelit terus jika Akashi mendekatinya. Ini terjadi sejak siang tadi, dan untuk pertama kalinya Akashi tidak tahu apa yang membuat uke sejuta umat itu merajuk. Jangankan menempel seperti biasa, mendekatinya selangkah saja si baby blue malah menjauhinya belasan langkah.

"Tetsuya kenapa, sih?"

Adalah hal yang wajar jika sang Emperor menanyakan hal demikian sederhana. Jika kekasihnya bukanlah Kuroko Tetsuya, ia tak peduli. Biasanya ia adalah pihak paling absolut. Pendominasi yang handal. Namun untuk pemilik manik sebening langit musim panas itu Akashi terpaksa banyak tekan emosi. Entitas manis itu adalah pihak yang membuatnya paling banyak berjuang. Ia tidak rela kalau Kuroko sampai jatuh ke rengkuhan para saingannya yang pernah ia hujani gunting—atau lebih buruknya, jatuh ke pelukan om-om pedo.

"Aku mau tidur sendiri, ya. Akashi-kun tidur duluan saja."

Tuh, kan.

Ini jelas musibah.

"Sebenarnya ada apa, Tetsuya? Dari tadi kau tidak mau kudekati." Akashi cepat mengejar Kuroko, mencekal tangannya lembut lalu membalikkan tubuhnya untuk bertatapan langsung dengn iris rubynya. "Salahku apa, coba?"

"Tidak ada, kok." tepisan halus dilancarkan—sumpah, Akashi terkejut. "Selamat malam, Akashi-kun."

"Tetsuya, tungg—"

BLAM

Geram. Sudah dicuekin, sekarang perkataaanya malah dipotong setengah. Awas saja, Tetsuya. Sampai kau berada dalam jangkauanku akan kutambah hukumanmu dengan memakai teknik hardcore. Ah, mungkin malam ini harus ganti posisi juga, barangkali mood Tetsuya buruk karena keseringan jadi pihak submisif, batinnya nista.

—pokoknya malam ini jelas Akashi tidak ingin tidur sendiri.

╰(*´︶`*)╯

"Ini sudah hari ketiga Tetsuya tidak mau dekat-dekat denganku."

Sosok bermata bening itu tak bergeming, masih menatap barisan kata di novelnya—mengabaikan seseorang yang sudah memancarkan aura pekat saat melipat tangan di depan dada. Salahnya apa, ia masih ingin tahu. Memangnya enak dihindari terus sama pacar sendiri? Makan tidak disuapi, tidur juga tidak ditemani. Jelas Akashi merana. Biasanya sebelum tidur mereka manja-manjaan dulu, sekarang malah jauh-jauhan. Mungkinkah Kuroko sudah bosan? Kuroko mendesah, berat.

"Akashi-kun, tolong jawab yang jujur."

Manik heterokrom itu melebar. Entitas biru dihadapannya menatap serius saat melepas pandang dari novelnya, ia tahu itu pertanda tidak baik. Sosok manis itu kesal, simpulnya. Ia menurunkan pangkuan tangan, berusaha untuk tak tampak arogan dulu—tak ingin pacarnya merajuk lebih jauh.

"Ada yang mengganggu Tetsuya, ya?"

"Hai'."

Sudah kuduga, batinnya.

"Siapa?"

"Bukan siapa, Akashi-kun. Tapi apa."

Sang kaisar menaikan alis. "Lantas?"

Sang baby blue mendesah, kasar. "Akashi-kun benar-benar tidak peka."

Sebenarnya yang harus disadari oleh Akashi ini apa? Sang Emperor greget tingkat dewa. Tapi—ah! Biasanya kalau merajuk begini, Tetsuya sedang ingin dimanja-manja, pikirnya entah darimana.

"Tetsuya mau kucium?" todongnya langsung, percaya diri.

"Tidak. Akashi-kun mesum."

Salah. Tebakan kedua : "Lalu apa? Tetsuya bosan dengan novel yang kubelikan?"

"Bukan. Aku bahkan belum membaca yang baru "

Salah lagi. Lalu yang ketiga—"Tetsuya lapar? Mau vanilla milkshake?"

Kali ini pemilik manik aquamarine itu menggembungkan pipi. Dengan wajah datar dan pose ngambek seperti itu—ingatkan Akashi untuk tidak menerjangnya ditempat, Kami-sama.

"Akashi-kun mau aku jadi gendut, ya?"

"Eh?"

"Tolong jawab yang jujur, Akashi-kun." Kuroko berpaling, menatapnya tajam. "Apakah aku benar-benar—"

Flashback

"Tumben makanmu banyak, Kuroko."

Celetukan cuek Kagami menghentikan aksi makan sang baby blue. Ia menatap sang cahaya tanpa ekspresi, seperti biasa.

"Tetap saja tidak bisa menandingi porsi Kagami-kun, kan?"

"T-Teme! Memangnya kau tidak merasakan kalau akhir-akhir ini makanmu banyak? Kau bisa gendut, tahu?"

"Eh?"

"Pikirkan penampilanmu! Kalau kau gendut, yakin si raja gunting itu masih mau padamu?"

"Eh?"

"Jangan 'eh' terus! Kenapa pipimu bisa jadi tembam seperti ini?"

Kagami menarik kedua belah pipi Kuroko sampai melebar beberapa mili. Si empunya masih berwajah teflon, tidak merubah sedikitpun ciri khas kuuderenya meski sempat menyipit kesal.

"Memangnya si Akashi itu memberimu makan apa? Atau karena keseringan 'olahraga' makanya ia memberimu obat penambah nafsu makan biar tidak cepat loyo? Apa jangan-jangan kau memakai suntik hormon?"

Pria beralis dobel itu terus menarik pipi Kuroko sebelum menepuknya pelan. Kuroko tahu Kagami sedang modus, namun rasa kagetnya mengalahkan keinginannya untuk berkelit. Ia—gemuk? Yakin?

"Hentikan, Kagami-kun. Aku tidak gemuk."

"Dengan lemak menumpuk di lipatan perutmu, yakin? Lalu gelambir aneh di sekitar lengan dan betismu, memang si Akashi tidak masalah?" Kagami menoleh ke luar jendela setelah melepas cubitan. "Kalau aku sih, tidak." ambigu, nih.

"Aku jarang makan, Kagami-kun." belanya belum menyerah. "Aku makan banyak karena aku lupa makan malam."

"Cih. Memangnya aku tidak tahu porsi makan terbanyakmu? Kaupikir berapa lama kita jadi partner?"

"2 tahun."

"Nah! Makanya percayalah padaku. Kau gemuk sekarang!"

Ia tak menyanggah lagi. Galau rasanya. Jujur Kuroko bimbang antara harus percaya atau tidak. Kagami jarang berbohong padanya, tapi—masa, sih?

"Sebenarnya bagus untukmu, apalagi jika makanan itu menambah stamina dan kau tidak akan mudah pingsan lagi saat pertandingan." Kagami bangkit dengan nampan berisi tumpukan bungkus burger yang tidak bersisa sedikitpun. "Tapi kalau setan gunting itu tak mau menyentuhmu gara-gara lipatan lemak, kau bisa datang padaku. Oke?"

Pria itu tersenyum usil sambil menepuk kepala Kuroko pelan ketika berlalu sementara si pemilik netra aquamarine itu masih diam di tempat menatapi lengannya. Kini kegalauannya berganti haluan. Antara percaya dengan Kagami atau menerima kenyataan kalau dirinya menjadi gemuk lalu Akashi tak akan mau dekat-dekat dengannya. Ah! Setahunya Akashi menyimpan alat pengukur berat badan di bawah ranjang mereka. Mungkin ia harus mulai dari pengukuran berat badannya dulu. Yah, tak ada yang salah dengan memastikan sedikit, kan?

(=゚Д゚=)

"Terus?"

Akashi tak begitu tanggap pada kecemasan Kuroko. Namun satu hal yang bisa ia simpulkan, jelas anak macan itu akan ia beri pelajaran nanti. Berani-beraninya mengejek pacar orang, pakai modus segala lagi.

"Berat badanku 57 kilo, Akashi-kun."

"Iya, Tetsuya. Lalu kenapa?"

"Akashi-kun paham tidak, sih? Aku—" Kuroko berpaling. Kini Akashi bisa melihat wajahnya berangsur memerah sampai ke kuping. "—aku tak ingin jadi gendut karena nanti Akashi-kun menjauhiku karena jijik."

Hee, ternyata ini memang tentang dirinya, eh?

Akashi tertawa kering sejenak. Kuroko mengernyit, menyaksikan tingkah Akashi yang (menurutnya) berlebihan. Ia terus terkekeh sampai di sofa, malahan sekarang ia tergelak. Kuroko sampai merinding, seperti inikah kalau Akashi sedang tertawa? Duh, mungkin ia harus menelpon Midorima untuk meminta bantuan. Akashi butuh psikiater, ia tahu itu.

"Duduk disampingku, Tetsuya." sang kaisar menepuk-nepuk bantalan empuk di sampingnya. "Aku tidak terima penolakan."

Bukannya rasa lega yang ia dapatkan. Kuroko justru takut saat ini. Biasanya kalau Akashi sudah memintanya mendekat semuanya akan baik-baik lagi. Namun—barusan 'kan ia sudah terus terang.

Bagaimana kalau Akashi yang memintanya menjauh setelah ini?

Takut-takut ia melangkah. Duduk di sofa yang sama dengan sang pemilik manik ruby dengan jarak tertentu di saat seperti ini cukup menyiksanya. Membuat batasan berhari-hari saja sudah galau, sekarang ia harus tahan selera lagi. Mengapa berat badannya harus naik, sih? Terlebih—mengapa ia harus gemukan saat pacarnya sendiri memiliki tubuh yang begitu ramping? Lamunan-lamunan kecil mulai mampir di benaknya.

Dan saat itu Akashi mengerutkan dahi.

"Tetsuya memang mau menjauh dariku atau bagaimana?"

"Memangnya...Akashi-kun tidak jijik padaku?"

"Hm? Haruskah?"

"Jangan balik tanya, Akashi-kun."

Kuroko cemberut lagi. Akashi kembali tertawa kecil.

"Sini." tangannya terjulur, menggapai pundak si baby blue. "Jangan sering-sering cemberut. Tahu tidak kalau 43 urat di bawah kulit wajah terpaksa bergerak saat Tetsuya cemberut?"

"Bohong, ya?"

"Tetsuya bisa tanya pada ayahnya Shintarou."

Ia diam saat kepalanya disandarkan atas gerak pria bersurai scarlet itu. Wangi raspberry yang manis bercampur dengan hangatnya mint, ah. Sudah berapa lama ia tak menghirup aroma ini? Bahkan sehari saja terasa tahunan untuk Kuroko. Serius, ia memang minder gara-gara ucapan Kagami.

"Aku ingin bertanya satu hal." jemari ramping mulai menyusuri helaian surai birunya, membuatnya nyaman. "Apa yang Tetsuya sukai dariku?"

"Eh?"

"Jawab saja."

"Etoo—"

Apa ya? Tidak ada sifat baik yang bisa dibanggakan dari Akashi. Otoriter dan sistem absolute yang ia miliki sudah cukup jelas membuat Kuroko sebal setiap waktu. Kalau melihat fisik, Akashi memang tampan. Tapi bukan itu incaran Kuroko, Kise juga bisa dikategorikan pria ideal yang masuk kriterianya—apalagi kalau melihat tinggi badan. Atau masalah bentuk tubuh, mungkin? Ah, Aomine punya yang lebih sempurna dari Akashi. Ia tegap, atletis, kulitnya juga seksi. Apakah Akashi selembut Momoi? Tidak juga, kadang Akashi sering 'main kasar' di waktu dan tempat tertentu. Lalu mengapa memilih Akashi?

"Aku—tidak tahu." hanya itu yang bisa ia katakan. "Aku tidak punya alasan untuk itu."

"Kalau umurku berada jauh di atas Tetsuya, lalu aku jadi gemuk dan pesakitan tanpa masa depan, apa Tetsuya masih mau bersamaku?"

Itu menggelikan. Kuroko tergelitik dalam hati membayangkannya.

"Tentu. Aku akan membantu Akashi-kun untuk berubah ke arah yang lebih baik, itupun jika Akashi-kun mau." jawabnya yakin, mata azurenya mengatup. "Umur dan masa depan mungkin bukan hal yang mudah ditutupi, namun yang lainnya masih bisa diusahakan."

"Apa Tetsuya tahu alasanku begitu menyayangimu?"

Pemilik manik jernih itu menggeleng pelan. Akashi tersenyum sementara tangannya tak kunjung absen membelai rambut selembut benang sutra itu.

"Aku tak punya alasan apapun sebenarnya, sama sepertimu." tangan lain yang bebas mulai bergerak, merengkuh tubuh di sandarannya lebih dekat. "Meskipun Tetsuya jadi keriput ataupun obesitas sekalipun, aku tak akan terpengaruh. Aku tetap mencintai Tetsuya yang selalu berkata pedas padaku."

Wajah Kuroko memanas. Ia mendongak untuk memastikan kalau-kalau Akashi iseng menggodanya atau mungkin kaisar itu lanjut tertawa setelah menyelesaikan kalimatnya. Namun yang ia dapati hanya sepasang netra merah yang menatap teduh sebagai balasan. Ah—Akashi serius, huh?

"Jadi Tetsuya tidak perlu mendengarkan ocehan orang lain tentang kekurangan yang Tetsuya miliki." kali ini sepasang tangan kokoh menangkup wajahnya, membuatnya terpaku. "Cukup pikirkan aku yang selalu menyukai Tetsuya yang apa adanya."

"A-aku—" Kuroko memutar matanya, malu. "Etoo—"

"Lihat kesini, Tetsuya."

Ugh, satu hal lagi yang sangat menyebalkan dari Akashi. Ia selalu suka bicara dengan berpandangan tanpa jarak seperti ini. Kuroko terpaksa menurut. Lagipula ia tak ingin Akashi marah, sebenarnya. Cukup dirinya saja yang merajuk, jangan Akashi juga.

"A-aku mengerti." jawabnya kemudian.

Akashi tersenyum. "Bagus." wajahnya mendekat, Kuroko refleks terpejam. "Ingatlah kalau aku menyayangi Tetsuya yang seperti ini lebih dari apapun."

Kuroko mengangguk sementara Akashi menyeringai.

"Jadi—mulai malam ini kita bisa tidur bareng lagi, kan?"

"Alex, aku berangkat! Cukup hangatkan makanan di microwave dan jangan membuat kekacauan dirumahku. Mengerti?"

"Oke, Taiga~ serahkan semuanya padaku."

"Jangan berkeliaran! Aku berang—"

JLEB—KRAKK

"GYAH! What the fucking matters is it?!"

"Ada apa, Taiga? Kau har—eeh?"

Sepasang manik crimson dan emerald memaku tatapan pada pintu rumah yang baru terbuka setengah. Merinding. Mereka mendapati sebuah kertas bergulung abstrak yang tertancap oleh sebuah gunting berwarna khas disana. Takut-takut pria beralis ganda itu mencabutnya. Gila, melepasnya saja harus pakai tenaga.

"A-apa itu, Taiga?"

"Jangan tanya aku, Alex! Aku juga—eeh?"

Melotot, ya. Pelebaran mata yang tak normal terjadi pada gestur Kagami Taiga dan Alexandra Garcia. Mereka mulai celingukan, mencari sumber penyerangan namun nihil.

"M-mungkin hari ini aku akan ijin dulu, Alex. Tiba-tiba—perutku mulas parah."

"H-hei—! Tunggu, Taiga!"

Sang pria ngeloyor masuk tanpa banyak berpikir sementara kertas di genggamannya terbang terhembus angin. Wanita sintal berambut pirang itu menutup pintu segera dan mengejar si pria bertubuh besar, tak lupa mengunci pintu sebelumnya.

Kertas memo itu berhenti mengapung. Benda itu jatuh terlentang, menampakkan deretan tulisan tangan yang rapi meski sudah terkoyak gunting barusan. Kalimatnya simple, lalu mengapa Kagami segan?

'Bidikan guntingku meleset sekarang. Tapi untuk yang selanjutnya di sekolah—Bersiaplah, Kagami Taiga.'

Gyaaaah ini apa coba?! Bukannya ngelanjutin Erase malah bikin fluff geje gini -_-|| sumpah moodku lagi ga bagus banget gara-gara dikatain bongsor sama senior, jadi bisa dibilang fic ini emang pelampiasan _ maaf kalo ceritanya ga jelasss, buat Erase aku pasti lanjut ko

Ini sebenernya multichap sih, jadi emang Kuroko dibikin galau sama masalah kecil khasnya cewek ABG. Well, kita tau Kuroko bukan cewek tapi tetep ajaaaaa manisnya ga ketulungan X3 dan pelaku utamanya posesif!GOM sendiri ahaha tapi paraaaah AkaKuro OOC bener ,

Spoiler dikit, ah. Kalo respon kalian bagus chap 2 tersangkanya mantan cahaya Kuroko nih ehehe. Kesimpulannya, lanjut atau buang?

OMAKE

"Tetsuya tidak menyebutkan nama orang yang berkata seperti itu. Siapa dia?"

Kuroko menoleh dalam diam. Duh, mau jawab apa? Yang ada nanti si Emperor itu malah cemburu berlebih.

"Teman sekelas. Jangan dipikirkan, Akashi-kun. Ayo tidur."

"Tidak, tidak. Aku perlu tahu siapa yang membuat calon istriku cemas setengah mati gara-gara hal sepele. Dia pasti memiliki nama, bukan?"

"Tidak, Akashi-kun. Dia anonim."

"Tetsuya sudah pintar berbohong, ya?"

"Serius, Akashi-kun. Dia itu—"

"Kupikir aku harus mengurungkan niat untuk membeli vanilla milkshake berukuran jumbo soalnya Tetsuya mau diet, katanya. Dan—ah, lupakan novel lainnya juga. Aku akan berjalan-jalan berdua saja dengan Nigou. Lalu kami—"

"Kagami Taiga-kun. Tolong jangan berbuat sesuatu yang aneh-aneh padanya kalau tidak ingin aku marah lagi, Akashi-kun."

Akashi tersenyum, jurusnya untuk membuat Kuroko iri memang tak pernah meleset sekalipun. Dan apa barusan? Kagami Taiga? Ah, baguslah. Setidaknya ia dapat satu nama, membuatnya tak dapat menahan seringai.

"Tentu. Aku hanya ingin tahu saja, kok. Ayo tidur, kupastikan besok pagi akan ada kejadian seru di sekolah."

Akashi menggapai kepala Kuroko, membawanya kedalam rengkuhan. Si baby blue masih agak bingung.

"Kejadian apa?"

"Rahasia." kecupan ringan dilayangkan. "Yang penting seru."

"Ah, baiklah. Selamat malam, Akashi-kun."

(╯3╰)