Sumimasen minna... Aku baru update sekarang. Entah mengapa, writer's block ini jadi masalah yang sangat mengganggu. Semoga bagian ketujuh ini sedikit memuaskan hati pembaca sekalian. Aku benar-benar minta maaf... (TwT)


BAGIAN KETUJUH

Hari-hari berganti dengan sangat lambat bagi Takashi. Baru tiga hari berlalu sejak hari terakhirnya bertemu Shuuichi dan ia sudah merasa kesepian. Memang ia tidak melupakan kewajibannya sebagai mahasiswa, dan sebenarnya para senior serta teman-temannya mulai mencurigai bahwa ia bersahabat baik dengan Shuuichi setelah menyaksikan kebersamaan mereka di kafe tiga hari yang lalu. Namun, mengalihkan pikirannya dengan kegiatan kampus tidak menghilangkan kekhawatirannya terhadap Shuuichi. Shigeru terus mengawasi Takashi agar tidak pergi ke tempat lain selain kampus dan rumah, bahkan ponselnya untuk sementara disita oleh beliau. Takashi baru mengetahui sisi Shigeru yang overprotective ini. Di satu sisi, Takashi merasa tersanjung karena Shigeru berniat melindunginya agar tidak terluka di kemudian hari. Di sisi lain, ia berharap Shigeru tidak perlu menyita ponselnya agar bisa tetap berkomunikasi dengan Shuuichi.

Di bagian taman kampus, Takashi duduk di sebuah kursi panjang, tepat di bawah sebuah pohon rindang. Tas punggungnya diletakkan di sisinya, sementara sebuah buku tebal tentang komunikasi ada di pangkuannya. Ia terlihat sedang membaca buku itu, tetapi sesungguhnya pikirannya melayang jauh. Tentu saja, ke tempat Shuuichi berada. Takashi menduga-duga apa yang saat ini dikerjakan lelaki itu. Ia menghela nafas berat.

"Aku bertanya-tanya apa makna dari helaan nafasmu itu?" tanya Matoba Seiji, menghampiri Takashi dan duduk di sebelahnya.

"Matoba-san, apa yang Anda lakukan di sini?" Takashi balik bertanya. Kehadiran lelaki setampan Seiji di kampusnya dengan mengenakan yukata jelas sangat menarik perhatian.

"Tolong jangan bersikap kaku padaku. Panggil saja aku Seiji, seperti kamu memanggil Shuuichi," Seiji meletakkan sebelah tangannya di atas sandaran kursi. "Aku ke sini karena ingin bertemu denganmu."

"Apa ada yang ingin Anda bicarakan dengan saya? Atau apakah terjadi sesuatu pada Shuuichi?" tanya Takashi, khawatir. Terlebih karena ia tidak tahu perkembangan apa pun mengenai pria itu diakibatkan ponselnya yang disita Shigeru.

"Tidak, Shuuichi baik-baik saja. Dia malah sangat bersemangat," bantah Seiji. Melihat Takashi menghela nafas lega, Seiji melanjutkan, "Jangan menikah dengan Shuuichi, Natsume-kun." Ucapannya itu kembali mendapat perhatian dari Takashi.

"Kenapa?"

"Tidakkah kau merasa bahwa pernikahan ini terlalu terburu-buru? Kau pikir, Akio-san mudah tergerak atas segala janji-janji yang diberikan Shuuichi?"

"Ya… Saya juga merasa kalau rencana kami untuk menikah diputuskan terlalu cepat. Akan tetapi, saya kira Natori-san sudah menyetujui hubungan kami dengan beberapa syarat."

"Kamu tahu apa saja syarat itu?" Seiji kembali bertanya.

Takashi menutup buku yang tadi ia baca, kemudian memasukkannya ke tas, lalu berkata, "Jika tidak salah ingat, beliau ingin Shuuichi kembali ke seni tradisional Jepang dan mengikuti seminar-seminar yang berkenaan dengan hal tersebut."

"Hanya itu yang dia katakan padamu? Dan kamu percaya kalau cuma itu yang disetujui Akio-sama agar kalian bisa menikah?"

"Apa yang sebenarnya ingin Anda katakan, Matoba-san? Saya memercayai Shuuichi. Jika ia berkata bahwa ayahnya akan mengerti tentang hubungan kami, aku memercayainya."

Seiji terkekeh. "Sebesar itukah rasa percayamu terhadap Shuuichi, meski dia memiliki rencana yang tak mungkin kamu terima dengan mudah?"

Takashi menghela nafas. "Kalau kedatanganmu ke sini hanya untuk membuatku meragukan perasaanku terhadap Shuuichi, sebaiknya Anda pulang saja. Saya tidak bisa menerima ucapan Anda yang terkesan menjelek-jelekkan Shuuichi." Takashi bangkit dari tempat duduknya.

"Dia akan mengubahmu demi mendapatkan keturunan, Natsume-kun. Kamu tidak akan sempat lagi menghindarinya jika kamu menerima pernikahan itu," ujar Seiji. Takashi berbalik untuk memandang Seiji dengan pandangan penuh tanya. "Kamu sendiri sudah tahu, hal inilah yang menjadi masalah inti atas ketidaksetujuan Akio-san terhadap hubungan kalian. Setidaknya aku sudah memperingatkanmu untuk menolak pernikahan kalian." Seiji pun bangkit dan meninggalkan Takashi yang tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Ia tersenyum penuh kemenangan saat berjalan pergi.

-==00==-

Shuuichi sedang berada di sebuah ruangan luas yang biasa digunakan untuk menyambut para tamu. Duduk bersimpuh dengan sehelai kertas tipis yang kedua sisi terpendeknya diberi pemberat. Di samping kertas terdapat tinta dan kuas yang siap digunakan untuk melukis sebuah lukisan tradisional Jepang.

Lelaki itu hendak membuat lukisan, sesuai dengan janji yang ia buat kepada Sang Ayah, yang menginginkannya untuk menekuni seni tradisional Jepang dan berhenti berakting. Alasannya memilih seni melukis adalah karena melukis satu dari dua hal dari seni tradisional Jepang yang paling ia sukai dibanding yang lainnya. Segala perasaannya dapat tersalurkan melalui lukisan, terlebih lagi apabila disertakan bersama dengan puisi yang ia buat, yang merupakan hal kedua yang ia sukai. Dua unsur yang saling mendukung satu sama lain antara puisi dengan lukisan. Puisi memberikan keindahan dalam situasi apa pun, lukisan memberikan kehidupan bagi puisi tersebut, hingga seolah mampu membuatnya menjadi nyata.

Kini, lukisan yang Shuuichi coba untuk buat yaitu mengenai kerinduannya terhadap Takashi. Sosok Takashi yang saat ini jauh darinya, bagai berada di bulan yang selalu sama setiap malamnya, memberi keindahan meski sebagian tertutup awan. Sementara dirinya terkurung di rumah itu dengan berbagai macam kegiatan duniawi, terjebak dalam rencana untuk mencapai bulan yang entah kapan dapat tercapai.

Yah, satu minggu seharusnya tidak lama. Namun, tiga hari terpisah dari Takashi tanpa bisa berkomunikasi sama sekali dengannya dapat membuat Shuuichi nyaris hilang akal. Ia merasa tidak akan mampu melewati hari-harinya di rumah lebih lama lagi jika tidak mendengar kabar dari Takashi, meski ia memiliki kegiatan yang sebenarnya bermanfaat bagi dirinya dan masa depan.

"Tuan Shuuichi, saya membawa pesan dari Nona Jun," ujar Madara dari lorong.

"Masuklah, Madara," perintah Shuuichi.

Madara pun menarik pintu geser sedikit, kemudian masuk seperti yang diperintahkan majikannya, lalu berkata, "Nona Jun sudah menghubungi kenalannya di Amerika, bulan depan Julian baru bisa datang."

"Begitu? Baiklah. Sampai Julian datang, lakukan persiapan yang lainnya. Bagaimana dengan desain cincin yang kuminta itu?"

"Masih dalam proses pembuatan, Tuan. Cincin platinum yang Anda inginkan rencananya akan selesai dua hari lagi."

"Bagus. Kamu boleh pergi," Shuuichi mengangkat tangannya untuk memberi isyarat pada Madara. Lelaki itu pun meninggalkan majikannya dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

Sepeninggal Madara, Shuuichi mengubah posisi duduknya agar lebih rileks dan tampak menyerah untuk melukis. Tidak ada inspirasi yang bisa ia dapatkan jika pikirannya sedang tertuju pada hal lain. Ia memikirkan rencana yang diutarakan Jun dua hari yang lalu, mengenai transgender. Ide tersebut memang menarik bagi Shuuichi, yang berharap dapat melanjutkan hubungannya dengan Takashi dan bisa memberikan keturunan seperti yang diinginkan ayahnya. Di sisi lain, ia tidak yakin Takashi akan menerima keputusan itu sebab ini hanya keputusan sepihak yang dibuat oleh keluarganya, tanpa pembicaraan lebih dalam dengan Takashi. Shuuichi yakin, Takashi akan membencinya jika mengetahui rencana ini.

Masih ada waktu satu bulan, harus ada rencana cadangan jika terjadi sesuatu dalam rencana transgender itu, demikian pikir Shuuichi. Aku tidak ingin hubungan kami retak karena masalah ini.

Shuuichi membaringkan tubuhnya dan mendesah. Kepalanya berdenyut-denyut memikirkan banyak hal. Selain masalah Takashi dan pernikahannya, ia juga harus menghadapi keluarganya yang kelihatannya masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya gay, kemudian mengenai masalah bisnis keluarga yang semakin naik daun sejak pengumuman pengunduran dirinya dari dunia akting tersebar di berbagai media. Shuuichi lelah dengan semua hal itu. Seandainya ia bisa menghubungi Takashi saat itu, pasti segalanya akan terasa lebih mudah.