Kelanjutan fanfiksi ini dapat dibaca di Wattpad/AO3 Aratte.

Update! 23/11/2016: Untuk info selengkapnya serta alasan mengapa saya memindahkan dan menghapus keseluruhan cerita ini dari FFN, saya telah mencantumkan penjelasannya pada profil FFN saya. Bila ada yang berkeberatan dengan keputusan ini, harap langsung mengontak saya secara pribadi via email (info contact ada di profil FFN saya).

Terima kasih.

PS: Di bawah ini adalah bab 1 dari FANBOY yang bisa dibaca di sini. Untuk bab 2 dan seterusnya, silakan dibaca di AO3 dan Wattpad.

.

.

FANBOY by ARATTE

"Eren Jaeger, 15 tahun, seorang fanboy."

Rewritten, edited, and republished. ONESHOT.

Fanfiksi ini pertama kali dipublikasi di FFN dan AO3 pada April 2014. Saya rewrite dan publish ulang untuk meramaikan wattpad. Selamat membaca!

Disc: Shingeki no Kyojin/Attack on Titan belongs to Hajime Isayama. This is only a work of fiction, solely a not-for-profit fan work. | Genres/warnings: Alternate Universe, Modern AU, YAOI slash, romance, drama, language, real brands, lemon | Pair: Levi*Eren /RivaEre/RiRen

Warnings: dubcon/rape

Idenya nyata-nyata datang setelah menonton episode 9 SnK: Anime Chimi Chara. Di situ ada Eren yang fanboying dengan wajah blushing, berfantasi betapa perkasa Heichou sanggup mencabik 10 titan dengan tangan kosong, sampai bela-belain minta tanda tangan sebelum mati.

Fanboy!Eren di dunia AU masa kini (Referensi mengacu pada tokoh Eren di Kyojin Chuugakkou (進撃!巨人中学校)/serial SnK School AU buatan Hajime Isayama):

1. Menggilai apa pun yang sedang ia gilai dan hanya fokus kepada hal yang ia gilai tersebut. Penuh passion, pantang menyerah mendapatkan apa yang ia mau. Sebagaimana karakter aslinya.

2. Makanan favorit adalah hamburger keju

3. Menggilai media sosial

4. Suka main game

5. Agak ansos

6. Tidak peka

7. Bodoh dalam akademis terkecuali rajin belajar. Senang dengan pelajaran olahraga atau yang memicu adrenalin.

.

.

.

.

.

.

Distrik Shiganshina, Kota Maria, meniupkan hawa terendahnya pada suhu 29° Fahrenheit.

Butiran salju meleleh di atas ubun remaja berambut cokelat. Pandangan mengabur, Eren Jaeger tidak gentar. Ia keratkan syal merah di sekitar lehernya, terus berlari menerjang salju. Panik, ia melirik jam digital pada smartphone-nya.

Eren melewati tikungan terakhir menuju belokan rumah bertingkat dua. Jantungnya menggebu dua kali lebih cepat. Ia dobrak pintu. Tak mau buang waktu lepas sepatu. Langkahnya berisik menggebuk-gebuk lantai koridor.

Carla Jaeger, ibunya, menyembul dari balik kulkas dengan melotot. "Eren?"

"Nanti, Bu! Jangan sekarang!"

Meluncur indah dengan lututnya ke depan televisi, Eren meraih remote. Saluran televisi menampilkan film drama Action yang baru memutar separuh dari lagu pembuka. Attack on Titan! Eren menghela napas kuat-kuat. "Yeah!" Eren menarik kepalan tangan ke dadanya, dan berseru, "Nein, wir sind der Jäger!"

Carla, di ambang pintu, menatap hampa remaja laki-lakinya.

Adegan pembuka drama itu menampilkan dataran hijau dengan tiupan angin yang menggoyang batang-batang rumput. Tampak sang protagonis duduk di atas kuda hitam, menyipitkan mata menatap langit. Eren pun ikut menyipitkan mata. Jubah hijau berbentuk lambang sayap kebebasan berkelebat. Dua pedang di sisi tangan sang protagonis.

"Titan dari arah selatan!"

"Eren, bagaimana hasil tesmu di kelas?"

Mata Eren tak melepaskan layar kaca. "Di dalam tasku."

"Kalau kau mendapat nilai jelek—"

"Aku tahu."

Sementara Carla sibuk merogoh ransel, Eren sedang berlutut sambil mengepalkan tangan.

"Levi-heichou! Ada dua titan di belakang kita dan satu di depan."

Kamera menyoroti dari jarak dekat wajah sang kapten protagonis. Mata abu-abu gelap yang bersinar redup kebiruan. Pendek tampan. Rambut hitam legam yang memperkukuh fiturnya sebagai kesatria terkuat umat manusia. Sang kapten memacu kuda. "Kuurus dua di sebelah sana. Petra, kalian urus satu di depan."

"Hm, kau mendapat nilai bagus lagi," Carla mengomentari.

"HEICHOU! DIA MUNCUL, BU! LIHAT!" pekik Eren.

Carla mengangkat bahu. "Sudah beberapa bulan sejak nilaimu meningkat drastis, tapi Kau mengajukan syarat aneh; tiap kali mendapat nilai bagus, Kau ingin diberi hadiah uang saku. Aku tak masalah, Eren. Hanya penasaran untuk apa uang-uang itu kau kumpulkan."

"HEICHOU! DIA MENEBAS DUA SEKALIGUS!" pekik Eren.

Carla menghela napas.

Seseorang bersuara di belakang mereka. "Eren memang agak obsesif ya, Bibi Carla?"

Eren tidak memedulikan kepada siapa ibunya berbicara, sibuk memerhatikan gaya Kapten Levi yang sedang mengelap pedangnya.

Carla tertawa. "Dulu aku sama sepertinya. Kalian masuk dan duduklah."

Punggung Eren ditampar keras dari belakang. Jean Kirstein, Armin Arlert, dan Connie Springer berdiri bersedekap di belakangnya.

"Hoi! Kau itu umur berapa sih, Eren? Tontonan untuk cowok seusiamu harusnya yang benar-benar bisa membuatmu 'tegang.'"

Eren mendelik. "Jean? Armin? Connie?! Sudah kubilang kalian jangan datang hari ini! Aku butuh waktu istirahat."

Jean menyabotase bantal duduknya. "Menungging di depan layar kaca ini yang kausebut istirahat."

"Hei, tapi serial drama Attack on Titan memang keren. Aku penggemar tokoh Komandan Erwin Smith." Armin duduk bersila. "Marco, Bertholdt, dan Reiner ikut mengantre kemarin demi mendapat merchandise kaus AOT."

Eren menyergah, "Apa?! Mereka beli di mana? Apa-apaan mereka tidak mengajakku!"

"Yang terpenting ayo segera kita kerjakan tugas kelompok."

"Kalian gila! Dramanya baru saja dimulai. Biarkan aku menonton sampai selesai."

"Apa sih istimewanya—Ri-vai-heichou? Levi. Dia aktor yang mendapat banyak penghargaan padahal tingginya lebih pendek dariku."

Eren menghantam kepala Jean dengan bantal. "Berisik kau, Muka kuda! Jangan sepelekan kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh pendek perkasanya itu. Dia kapten sejuta umat."

"Sakit, bodoh! Oh? Kekuatan macam apa memangnya."

Di dalam layar kaca, Kapten Levi berputar-putar dengan alat manuver tiga dimensional. Dengan mantap, ditusuknya leher belakang seekor titan. Meski darah memercik ke sudut mulut, tampak bibir tipis itu menyeringai.

Mata kehijauan Eren berpendar. "Dia bisa menghabisi sepuluh ekor titan sekaligus dengan tangan kosong! Tentu saja!"

"Hee—Dasar tokoh yang overpowered."

"Ya dia memang sangat kuat, tentu saja! Humanity's greatest soldier! Kekuatannya sebanding dengan seluruh pasukan itu sendi—Lihat! Lihat gaya Levi Heichou menghajar raksasa barusan! Hei, kau lihat tidak sih. Armin tutup dulu laptopmu itu."

"Sasha dan Marco juga menyukai serial AoT. Kudengar ada shooting di pinggiran Kota Maria dekat sekolah akhir minggu ini," ujar Armin.

"Aku sudah tahu. Info-info yang kudapat lebih cepat dari kalian semua." Eren nyengir bangga.

Connie menggaruk kepalanya yang gundul licin. "Hei Eren, tidak apakah kami menginap di rumahmu malam ini?"

"Tak ada tempat untuk kalian di sini."

"Oi, seingatku kamarmu cukup luas. Tidur di lantai pun kami tak masalah. Dasar berengsek," cibir Jean.

"Tidak. Tidak ada seorang pun yang boleh masuk kamarku—Oh! Yes! LIHAT HEICHOU DIA MENEROBOS TIGA EKOR TITAN SENDIRIAN."

Tiga temannya saling menoleh.

.

Eren sedang mencuci piring kotor saat teman-temannya pamit pulang. Carla yang mengantar mereka sampai pintu depan, melambai tangan dengan ucapan: "Datanglah lagi besok. Temanilah Eren dan bawa Mikasa kemari."

Oh, terima kasih banyak Ibu.

"Eren, belajar untuk sekolah memang penting. Nilaimu sudah bagus. Tapi tetaplah bergaul dengan teman-temanmu. Beberapa bulan terakhir ini kau banyak berubah. Kau lebih sering menghabiskan waktu di kamar dengan laptop."

Eren menggosok piring asal-alasan. "Aku sudah bukan anak kecil, Bu. Aku punya hobi dan kesenanganku sendiri."

"Asal itu bukan sesuatu yang negatif." Carla mengangguk. "Aku sering dengar suara kasak-kusukmu di malam hari."

"Ibu?! Tolong jangan mengintip ke dalam kamarku."

"Jangan terlalu memforsir dirimu untuk belajar dan istirahatlah yang cukup."

Eren berjalan gontai sambil menyeret ransel ke arah tangga. "Sebaiknya aku masuk kamar sekarang, mengerjakan PR sebentar lalu tidur. Selamat malam, Bu."

Suara Carla teredam langkah-langkah berisik Eren pada lantai kayu. Koridor lantai 2 rumahnya hanya dipasangi penerangan lampu minim. Eren berjalan tertunduk sambil meraba-raba dengan kaki. Sebuah kunci dikeluarkan dari saku. Ia membuka pintu kamar, masuk dengan cepat, menguncinya lagi. Gelap gulita menyambut, tercium bau plastik dan kertas manufaktur. Eren menarik napas dalam-dalam. Berhati-hati ia melangkah untuk tidak menendang bantal-bantal satin yang berserakan di karpet. Lampu dinyalakan.

Mata Eren langsung disambut deretan poster idolanya yang terpanjang di dinding; Kapten Levi dalam berbagai gaya dan sudut artistik. Wajah sang aktor menyorotinya dengan sepasang mata setajam elang. Di poster lainnya, tampak Levi sedang berpose membelakangi kamera bersama pedang dan jubah berlumur darah. Poster yang terdekat dengan tempat tidur Eren, berukuran manusia dengan pose tangan menyilang dan wajah menyamping.

Puas melihat koleksi pajangan dinding, Eren meletakkan ransel di sebelah konsol Play Station. Stereo memutar lagu dari album OST Attack on Titan. Figurin Kapten Levi berbagai model berserakan di atas meja belajar. Eren menghela napas. "Ah, kuselesaikan malam ini." Lalu ia duduk menyingkirkan buku pelajaran dan bekerja dengan mainan plastik.

Jam dinding bermotif sayap kebebasan berdetak setiap detik. Eren menyeka keringat, mengambil cangkir hitam bergambar punggung Kapten Levi, menuangkan susu cair. Bibirnya menyusuri pinggiran porselen gelas, kemudian meneguk pelan-pelan.

"Apa yang harus kulakukan kalau minggu ini bertemu dengan Levi-san?" Eren bertanya-tanya. Penanya yang tumpul mengukir notes bersampul tokoh Levi versi chibi. "Minta tanda tangan adalah hal yang paling utama. Mungkin berfoto. Dan aku harus menyiapkan hadiah."

Eren membuka laptopnya, mengetik cepat di atas keyboard berkover stiker Levi of Attack on Titan. Internet Browser Google Search "Levi Ackerman's favorite things."

"Menurut wawancara majalah, Levi Ackerman menyukai teh hitam. Dia juga penggila kebersihan. Err-wow, bulan depan akan dirilis game ARPG terbaru Attack on Titan! Pre-order berhadiah photobook Kapten Levi? Shit, uangku belum cukup."

Facebook Attack on Titan memuat berita terbaru tentang komik masa lalu Kapten Levi berjudul 'A Choice with no Regrets' yang kabarnya akan segera dibuat film layar lebar. Halaman blog untuk fans memuat berita kekasih misterius Levi Ackerman, foto selfie Hanji Zoe dengan penampakan aneh di belakangnya, parfum baru Mike Zacharius, kontes cosplay Attack on Titan, sampai berita skandal Levi Ackerman membawa seorang anak kecil ke dalam apartemennya.

Eren termenung di depan desktop wallpaper bergambar wajah idola, mengambil foto laptopnya sendiri. Foto tersebut dikirim beserta tulisan singkat ke halaman media sosial Path dan Twitter.

"Levi-san sangat keren. Aku ingin menjadi aktor sepertinya setelah lulus nanti. Harus kupertimbangkan saran Arminlert untuk masuk agensi."

Balasan dari Armin muncul tiga menit kemudian.

"YeagerEren Jangan lupa paper bab 11."

" Arminlert Sori, laptopku rusak."

" YeagerEren Jangan bohong Eren, aku bisa melihat dengan jelas foto layar tampilan laptopmu."

Laptop ditutup, Eren menjatuhkan diri ke tempat tidur. Kaus dan celana dilempar ke seberang ruangan. Teringat dengan artikel wawancara fetish Levi terhadap kebersihan, Eren buru-buru memunguti pakaian kotor di lantai.

Selimut biru tua menyingkap satu set seprei, bantal dan guling katun bergambar tokoh Kapten Levi secara eksplisit. Eren membungkuk, menciumi bantal dan seprei. Baru seminggu ia membeli bedding set tersebut dari sebuah toko online dakimakura, kini fabrik tersebut sudah mengambangkan bau tak sedap. Eren mengerutkan dahi. Ia tidak sadar telah melakukan aktivitas berkeringat di malam hari yang membuat cairan tubuh menempel pada seprai. Di mana binatu yang tepat untuk mencuci satu set kover tempat tidur? Binatu yang bukan merupakan langganan Carla dan bisa menjaga rahasia Eren sebagai seorang otaku dan wota Levi.

Eren mengguling diri ke bawah selimut. Tangannya memeluk sebuah guling berukuran 50cm x 150cm. Guling tersebut menampilkan fitur keseluruhan Kapten Levi, tubuh 1:1, dari kaki hingga puncak kepala. Pose yang cukup sugestif untuk para wanita penggemarnya, begitu komentar di media sosial. Kapten Levi berbaring dengan satu tangan terangkat ke atas dan tangan lain di depan dada seolah ingin mengoyak kemejanya sendiri. Sesuai karakter tokohnya, wajahnya ganas, matanya hampir-hampir buas, ekspresi mengintimidasi yang membuat Eren teguk ludah. Pelan-pelan Eren menyandarkan kepala di atas dada Kapten Levi, menghirup aroma parfum Windex dan kayu-kayuan yang disemprotkan ke kainnya. Ia merasakan isi guling yang padat empuk. Dada Levi yang asli jelas tergurat sempurna dengan otot-otot muskular dan dengan segala pesona maskulinitas yang membuatnya gigit jari. Eren membayangkan dada Levi yang sesungguhnya, pada sisi wajahnya, lebih hangat dan lebih kukuh daripada isi bantalan guling.

Eren memeluk guling Levi kuat-kuat seperti ingin meremukkan.

"Shit! Kata-kata pertama apa yang harus kuucapkan ketika bertemu Levi-san minggu ini."

Eren membawa guling Levi ke atas tubuhnya, berhadapan langsung dengan wajah Levi. Ini adalah posisi favorit Eren dalam memeluk gulingnya. Levi berpose seakan-akan sedang memerangkap Eren di bawahnya. Eren memejamkan mata dan melingkarkan kedua kaki.

.

Info tentang lokasi shooting AOT tersembunyi di hutan cagar alam dekat sekolah Eren adalah nyata adanya.

Mereka tidak sendirian.

Sasha, Marco, Reiner, Bertholdt, dan Eren terjebak di antara kerumunan fans penguntit. Tak satu pun bisa melihat apa yang terjadi di balik punggung orang-orang.

Sasha menariki rambut ikat satunya. "Errgh, sudah kuduga kita harusnya datang lebih pagi."

"Aku bisa melihat Erwin Smith," seru Bertholdt.

"Persetan dengan tinggi badanmu, Berth."

Eren berjinjit, seketika mengidamkan baling-baling bambu di atas kepalanya.

"Oi, Cewe kentang, katanya punya kenalan jurnalis? Kita bisa menyusup masuk ke tenda aktro AOT untuk modus wawancara."

"Mereka menolak wawancara. Datang ke sini hanya untuk shooting."

"Oh wow, alat-alat manuver tiga dimensional yang asli. Wow. Lihat."

"Levi! Levi-Heichou di seberang sana!"

Telinga Eren spontan berdenging dalam hiruk pikuk teriakan fans.

"Brengsek! Aku tidak bisa melihat." Eren berpegangan pada bahu Bertholdt, melompat-lompat. Kilatan zamrud dari iris matanya berpendar.

Hanya bisa melihat sedikit di antara celah garis tubuh orang-orang, senyum Eren mengembang lebar. Yang nyata jauh lebih baik ketimbang replika propertinya!

"Levi! Astaga dia melihat kemari!"

Eren mengangkat kedua tangan ke atas, senyum paling lebar seumur hidupnya. "HEICHOU." Kemudian tubuhnya tenggelam di antara himpitan massa. "Sial." Dari celah di antara telinga Bertholdt dan rambut pirang seorang gadis, ia bisa melihat sosok Levi.

Sapuan biji mata dingin itu hanya sekilas. Kontak mata hanya nol koma sekian detik. Mulutnya menggumam sesuatu—yang Eren tangkap sekilas—berbunyi seperti "Berisik". Levi Ackerman bersiap-siap memasuki set. Kuda hitamnya berpacu dengan dolly track melintasi lapangan, berbelok ke dalam hutan.

Klepper dibuka dan ditutup, sutradara berteriak "Action!". Jubah sayap kebebasan Levi berkembang keren, lalu menghilang di balik pepohonan. Eren hanya bisa mengambil foto penampakan punggung itu dari jarak beberapa kilo.

Syuting bergerilya hingga sore hari. Eren terduduk linglung di rerumputan, membalas ratusan komentar di Instagram tentang foto penampakan punggung Heichou miliknya. Reiner dan Bertholdt datang membawakan jus kalengan. Sasha berkutat dengan seplastik kentang keriting. Wajah mereka separuh kecewa, terkecuali Bertholdt.

"Area hutan tempat lokasi syuting utama dibarikade. Tak ada yang bisa masuk ke sana," terang Marco.

Gadis-gadis berlarian di depan pintu masuk area cagar alam, menunggu di sana seolah-olah para aktor akan berjalan keluar kapan saja. Mereka bercakap-cakap dengan salah satu penjaga. Tiga gadis berhasil masuk melewati rantai penjaga.

"H-Hei, kenapa mereka boleh masuk?"

"Mungkin kru."

"Bukan. Mereka itu groupie. Sepertinya sudah dikenal oleh aktor incarannya masing-masing."

"Groupie?"

"Istilah untuk fans maniak yang rela ditiduri."

"Ya, mereka memang selalu menguntit ke mana aktor mereka pergi dan menunggu tiba saatnya untuk menawarkan diri."

Sasha terbatuk menelan keripik kentang. "—Yah begitulah. Menurutku murahan sekali."

Dahi Eren berkerut. "Para aktor itu bersedia tidur dengan fans? Aku tidak percaya."

Sasha angkat bicara, "Tapi kenyataannya banyak para groupie yang berhasil mendekati idolanya. Kalau aktornya tidak keberatan, kenapa tidak."

"Betul juga."

Eren menunduk, mengangguk-angguk. "Mungkin kita bisa menyamar menjadi groupie untuk menyusup ke dalam pondok dan meminta tanda tangan."

Reiner menyemburkan teh lemonnya ke wajah Eren. "Apa yang barusan kudengar? Kau masih belum mengerti apa artinya groupie?"

Eren mengusap wajahnya yang serius. "Hanya pura-pura. Bilang saja ke penjaga kita adalah groupie dan sudah membuat janji dengan aktornya."

"Memangnya mereka akan percaya?"

"Kita tidak tahu sebelum mencoba."

"O-Oi Eren? Shit."

Eren berjalan tegap mendekati sekuriti berbaju hitam. Keseriusan tingkat akut memancar dari mata hijaunya. "Permisi."

Sekuriti mengangkat alis. "Yeah?"

Eren berkata yakin, "Aku seorang groupie."

"Lalu?"

"Aku ingin masuk ke tenda-um tenda Levi-san."

"Groupie Sir Levi?" Pria itu memutar matanya. "Yeah, aku memang mendengar rumor bahwa dia-tapi kukira dia bukan tipe yang suka menerima fans. Mana bukti kau diundang olehnya?"

"Aku-Kalau sudah bertemu ia akan mengenaliku." Eren meneguk ludah, dalam hati mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana jika Levi marah?

"Aku ragu," jawab sekuriti.

"Tolonglah, tadi kau bisa memasukkan beberapa gadis. Mereka adalah groupie!"

"Aku kenal mereka. Kalau kau? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya."

Alis mata Eren menukik tajam. "Sekarang kau bisa mengingat wajahku."

"Maaf, aku masih kurang percaya Tuan Levi mengundang seorang groupie."

Eren menghela napas, menatap nanar pada jalanan setapak menuju pondok peristirahatan para aktor. "Aku hanya ingin minta tanda tangan. Tidak lebih dari lima menit!"

"Pergilah, Nak. Kau bisa mendapat masalah."

Menyerah, Eren mengambil langkah mundur. Dari kejauhan wajah-wajah tertawa Jean dan kawan-kawan menyorotinya.

Sebuah truk makanan kotakan diparkir di samping pos penukaran tiket masuk. Seorang pria separuh baya turun, meneriaki asistennya untuk menjemput tumpukan paket nasi kotak dari kontainer.

Eren berseru, "Hannes-san!"

"Eren?"

"Sedang apa di sini?"

"Mengantarkan makanan untuk para aktor! Kebetulan perusahaan kita adalah salah satu sponsor serial drama ini. Kau yang sedang apa?"

Ide cemerlang berputar seperti kincir angin, Eren berbisik dengan nada berbisnis. "Hannes-san? Aku butuh pertolonganmu."

.

Di bawah topi berlabel merek makanan cepat saji, Eren menenteng belasan nasi kotak dan berjalan melewati sekuriti.

"Trims, Hannes-san."

Hannes menghela napas. "Sampai sebegitunya kau menyamar segala. Lantas sekarang kau tahu tidak yang mana pondok aktor idolamu itu?"

Eren menatap sekeliling, wajah anak tersesat. "Uh."

Kru-kru berjalan lalu lalang tanpa menoleh ke arah mereka. Beberapa membawa lampu, properti besar, perlatan rias, lampu, tripod, dan kamera. Tiga gadis groupie yang sebelumnya melewati sekuriti sedang berdiri di depan sebuah pondok.

"Aku tidak tahu tapi mungkin di sini adalah tempat para pemain film beristirahat.

"Yeah!" Jantung Eren berdentum lebih cepat saat mereka melewati ketiga groupie.

Hannes melangkah masuk lebih dulu menutup wajah antusias sang remaja. "Permisi. Pesanan nasi kotak datang!"

"Oh, terima kasih."

Wanita berambut sewarna jahe menghampiri Hannes dan mengambil satu persatu kotaknya. Eren langsung mengenalinya sebagai pemain tokoh Petra Ral, gadis yang menjadi prajurit paling setia Kapten Levi.

Pondok kecil berukuran persegi hanya membuat beberapa meja dan sofa tempat beristirahat. Kru penata rias menepuk-nepuk pipi para aktor dengan spons di depan cermin. Salah seorang pria yang duduk paling ujung adalah Erwin Smith. Eren tidak bisa berhenti menatapnya. Oluo, Dieter, Mike Zacharius, Moblit Barner, Hanji Zoe, dan pemeran AoT lainnya sedang bercakap-cakap di satu meja.

"Oi, Eren. Bantu aku membagi nasi."

"Y-Yessir!" Eren membungkuk tanpa melewatkan kesempatan untuk mengedarkan pandangan.

Tatapannya jatuh pada sosok pria dengan tinggi badan di bawah rata-rata yang sedang bersandar pada sofa. Jantung Eren berhenti berdetak.

Levi!

Paras Eren memanas hebat saat Petra mengambil nasi kotak dari tangannya. Eren tidak perlu diminta untuk membagikan nasi. Ia langsung berjalan ke arah sosok sang idola.

"Per-permisi. A-Aku membawa nasi! Um. Er."

Shit! Dia kehilangan kata-kata.

Levi sedang mengisap rokok, tidak menoleh sama sekali. Ia hanya memberi gestur dengan memiringkan kepala, meminta Eren meletakkan makanannya pada meja kopi. Eren tidak pernah tahu Levi seorang perokok. Lihat bagaimana rokok itu terselip pada bibirnya yang tipis-

Eren setengah membungkuk, mengintip takut-takut kepada sang aktor.

Levi Ackerman. Kapten Levi. Heichou. Begitu nyata. Asli! Hanya berjarak kurang satu meter darinya!

Eren bisa mencium wangi parfum maskulin yang tidak jauh berbeda dengan aroma parfum komersial merek Levi: Windex menguar dari tubuh itu. Jantung Eren berdegup gila. Kakinya bergetar. Eren membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Tenggorokannya tercekat seolah-olah suaranya sedang dicuri.

Levi melirik sekilas. Mata yang sama dengan poster close up di kamar Eren. Tajam, mengintimidasi, hipnotik. Ekspresi asli Levi Ackerman tidak berbeda dengan tokoh enigmatis Kapten Levi itu sendiri.

"Ada apa, Bocah?"

Suara bariton berat berdering secara live di telinga Eren.

"Aku-a-aku." Shit! Shit!

Levi membuang abu rokoknya. "Bisa kau ambilkan tehku di atas meja?"

Eren langsung mengangguk. "Siap! Teh hitam itu?" Dan tanpa basa-basi langsung berbalik ke arah meja.

"Well-"

"Silakan." Teh itu Eren letakkan pada meja kopi. "Ada lagi yang Anda butuhkan?!"

Suara tawa familier Komandan Erwin berkemandang. "Levi? Ada fansmu yang menyusup kemari lagi ya?"

"Lumayan juga kalau ternyata seorang groupie," Hanji berceletuk. "Mungkin bisa menghilangkan jenuhmu, Levi."

Dada Eren mencelos.

Levi mematikan api rokoknya. "Apa maumu, Bocah?"

Eren spontan mengeluarkan notes bersampul wajah Chibi Levi. "Rivai-Heichou! Aku penggemar berat Anda! Aku ingin minta tanda tangan!"

Levi mengambil notesnya dengan dahi berkerut, terang-terang ia tidak menyukai gambar chibi tokohnya pada kover. Ia membuka lembaran pertama, kemudian diam menatap Eren.

Eren mematung, sadar ia lupa membawa pena.

"Bocah, persiapkan segala sesuatunya sebelum berperang." Ia mengambil pena dari kantong jas, menorehkan tulisan tangan otentik. "Siapa namamu?"

Eren membuat gestur menepuk dadanya. "Eren. Eren Jaeger, sir!"

"Kenapa fans-fansmu selalu semanis ini?" goda Hanji. "Ada yang menyamar jadi pengantar Pizza, ada yang menyamar jadi stripper."

Hanya sepesekian detik, Eren melihat bibir Levi membentuk seringai tipis. "Sudah takdirku." Dia sodorkan buku notes itu ke Eren. "Ini."

Eren membungkuk serendah mungkin. "Terima kasih. Terima kasih banyak, Levi-san!"

"Sama-sama."

Eren menghabiskan waktu beberapa detik untuk diam di sana, meraup sebanyak mungkin dan secara rinci pemandangan wajah sang idola. Lihat bagaimana jas hitam kelam membungkus tubuh atletis Levi. Bagaimana ekspresi wajah datar itu seakan sudah menjadi topeng permanen.

Eren masih menatap Levi bahkan sampai Hannes menyeretnya keluar.

"Nak. Nak. Halo? Kau sudah puas, Nak?"

"Levi, 'Untuk Eren Jaeger.'" Eren membelai tanda tangan Levi. "Sial! Aku lupa berjabat tangan!" Eren menggosok sampul notesnya dengan telapak tangan yang berkeringat dingin. "Tapi setidaknya masih tersisa hangatnya di sini. Um. Bahkan ada wangi rokoknya. Sedikit. Ini adalah hadiah natal paling hebat untukku!"

Hannes putar mata. "Aku gagal paham dengan remaja zaman sekarang."

Bola mata Eren bergerak-gerak, meremat buku notesnya dalam kepalannya yang tremor. "G-Gila. Aku masih berdebar sampai sekarang."

Segegasnya Eren memotret tanda tangan itu, meng-upload di media sosial dan mengetik status.

"Terima kasih tanda tangannya, Levi-san. AckermanLevi Semoga kita bisa bertemu lagi."

Eren menghabiskan waktu seminggu lebih membawa notes itu ke mana pun. Ke sekolah, ke kafe, ke warung internet. Berdiri di atas meja, menyeringai bocah melihat wajah cemburu Sasha, Marco, Reiner, dan Bertholdt. Memotret ulang dan memublikasikannya di berbagai media sosial. Eren memajang tanda tangan Levi Ackerman dengan pigura di atas meja belajar.

Ia mengecek akun media sosial Twitter milik Levi setiap satu jam sekali. Tak ada balasan mention. Tak ada status baru.

Sampai seminggu setelahnya, Levi memposting sebuah status singkat:

"Jangan lupa membawa pena ke mana pun kalian pergi."

.

.

Armin Arlert. 5 jam yang lalu. "Ada kabar para pemain filem AoT akan melakukan syuting di Shiganshina Theme Park. Termasuk acara temu fans dalam rangka tahun baru." Tag Eren Yeager Bertholdt Fubar Gadis Kentang Reiner Braun. 29 Suka. 43 Komentar

Jean Kirstein. "Oi Armin Kau ini fanboy terselubung?" Bertholdt Fubar liked this

Armin Arlert. "Aku penggemar Erwin Smith sejak lama." 4 people like this

Gadis Kentang. "Guys, aku punya ide. Ayo pergi ke theme park sambil memakai topi ini. Kita tidak terpisah lagi seperti kemarin. Ingat! Kita harus selalu bersama. :-)" 2 people like this

Pengguna Facebook bernama Gadis Kentang mencantumkan sebuah foto tumpukan topi berlogo Wings of Freedom. Eren menekan tombol jempol di bawah komentarnya.

Eren Yeager. "Aku setuju dengan dresscode atau apapun asal kalian tidak mengajak Mikasa."

Armin Arlert. " Mikasa Ackerman tidak keberatan denganmu mengidolakan seseorang."

Armin! Dasar sahabat menusuk dari belakang. Untuk apa ia me-mention Mikasa? Eren berdecak sebal.

Jean Kirstein. "Kau tidak tahu bersyukur memiliki gadis seperti Mikasa di sisimu, Eren Yeager."

Reiner Braun. "Mikasa seperti bodyguard yang keberadaannya membuat Eren sejajar dengan selebriti macam Levi."

Historia Reiss. "Itulah rasa sayang Mikasa padamu." Ymir like this

Leonhart. "Kenapa dengan Mikasa?"

Eren Yeager. "Aku punya privasi."

Kesal, Eren menutup aplikasi Facebook, mematikan telepon pintarnya.

Di rumah, Carla sedang memasak beef ragout yang menarik perhatian Eren untuk pergi ke dapur.

"Hasil tesmu bagaimana?"

"Nilai 8 untuk Matematika."

"Kuharap hasil jerih payah dan uang saku tambahanmu ditabung untuk masa depan."

"Tentu saja." Dalam kepala Eren sedang menghitung-hitung jumlah uang untuk membeli game terbaru AoT. "Aku naik dulu, Bu. Belajar untuk tes besok."

"Jangan terlalu lelah."

Eren mengunci pintu kamar dan melemparkan ransel. Membuka laptop, ia melihat berita dari halaman Facebook Attack on Titan.

Attack on Titan. Kemarin pukul 19. spesial oleh para pemain AoT untuk merayakan tahun baru terbuka bagi semua pengunjung Shiganshina Theme Park, dan akan ada sesi interaksi...7,897 Suka. 968 Komentar

Eren mendadak galau.

Acara tahun baru di Shiganshina Theme Park adalah satu-satunya kesempatan bagi fans bersalaman, berfoto, memberikan kenang-kenangan. Eren harus berdiri pada barisan terdepan. Levi harus bisa melihatnya di antara jutaan fans. Bagaimana caranya? Hadiah apa yang harus dibeli selain sekotak teh hitam dari pasar lokal?

Eren rebah ke ranjang. Tubuh menelungkup, guling bergambar tubuh Levi di bawahnya. Eren duduk di atas perut Levi, menunduk menatap wajah sang idola. Tangannya membelai dada yang bidang, berfantasi dapat bisa merasakan detak jantung dan otot-otot yang sungguhan sekal.

Dada Eren berdegup kencang, tanpa dimengerti tenggorokannya kering tercekat. Ia menelan ludah. Isi bantalan guling yang terdiri dari latex menekan balik, mengeras di bawah bokongnya. Shit. Eren memaki pelan. Shit. Bulu-bulu halus di sekitar pahanya meremang saat Eren menggesekkan bagian bawah tubuhnya ke permukaan fabrik. Wajah Levi tidak berubah. Eren dapat melihat seringai kecil, menertawakan hasratnya yang mulai meletup-letup. Kakinya bergetar. Eren menurunkan celananya sendiri hingga ke pangkal paha.

Suara ketukan pintu.

Eren terlonjak hingga nyaris berguling jatuh dari tempat tidur. Matanya mengerjap panik.

"Eren? Aku ingin bicara." Suara perempuan yang bukan suara Carla Jaeger.

Buru-buru Eren menaikkan celana, menutup bantal dan guling dengan selimut. Ia berlari sambil meringis, memaki ketika mengintip sosok dari lubang pintu.

Eren melemparkan raut wajah sebal. "Ada apa datang kemari?"

Mikasa Ackerman menanggapi kekesalannya dengan tenang. "Aku ingin minta maaf. Aku mencemaskanmu, aku masuk ke dalam kamarmu hari itu untuk-"

"Untuk mengomentari dan merusak hobiku yang menurutmu buruk. Please, Mikasa, aku bukan adikmu atau apa. Dan aku punya hak untuk menyukai sesuatu!"

Mata hitamnya menjelajah isi ruangan, menatap satu-satu pajangan. Diam-diam mendengarkan musik piano lagu Reluctant Heroes mengalun dari stereo. "Aku mengerti. Kuharap kau mau memaafkanku," kata Mikasa pelan.

Eren menggaruk kepala. "Sudah kumaafkan. Jangan diulangi. Aku punya hak untuk menyukai idolaku tak peduli itu pamanmu atau siapa dan berbuat apa pun yang kumau."

Mikasa memalingkan wajah. "Tentu saja. Dan Figurin itu. Aku ingin mengganti kerusakannya."

"Tidak apa."

"Eren, kau tidak keberatan aku datang ke acara tahun baru, kan?"

Eren bersandar pada bingkai pintu. "Asal kau tidak memintaku pulang dan mengikutiku ke mana pun seperti bocah."

"Aku berjanji." Mikasa menyerahkan kotak makanan. "Kubelikan hamburger keju kesukaanmu."

"Trims." Eren mengambilnya. "Aku ganti uangmu."

"Tidak perlu." Mikasa melongok ke dalam kamar, mata kembali menyelidik seisi ruangan.

"Tak ada yang menarik di dalam kamarku. Kukira Kau sudah melihat semuanya."

"Aku tak mau mengganggu istirahatmu. Sampai jumpa, Eren."

"Yeah, trims."

Pintu kamar dikunci lagi.

Eren menghabiskan waktu sejam sebelum tidur mengikuti setiap hashtag #Levi dan #Attack on Titan di media sosial.

.

"#Lautanmanusia #ShiganshinaThemePark #Attack on Titan aku sudah tidak sabar melihat Levi-san lagi."

Shiganshina theme park dipenuhi lautan manusia.

Secara otomatis, keyword 'lautan manusia' menjadi hashtag terpopuler dalam waktu beberapa jam ke depan. Media sosial Instagram dibanjiri foto kepala-kepala dan tubuh-tubuh berdesakan seperti sandwich.

Kemasan teh hitam dalam bungkus kado sudah siap di dalam ransel. Topi fans di atas kepala. Parfum dalam botol mungil hijau bertuliskan Levi sudah disemprotkan ke hampir seluruh tubuh; wangi khas kayu-kayuan maskulin dan Windex yang menyegarkan. Eren mengenakan coat cokelat gelap, celana hijau tua dan syal merah yang melindungi leher dari udara dingin.

Di taman utama, mereka sudah berdiri pada spot pilihan Marco. Jean sibuk memutar-mutar topi dengan jari.

"Kenapa aku harus ikut-ikutan memakai topi ini?!"

"Jean, kau adalah bagian dari kelompok kita."

"Eren, update statusnya nanti dulu. Kita harus bergerak sekarang."

"Armin, lihat, Erwin Smith baru saja update status."

Armin langsung mengintip layar Android Eren. "Mana? Kau bohong!"

"Aku tidak bisa pulang terlalu pagi. Ibuku sedang sakit," keluh Connie.

"Setelah acara selesai, kita pulang. Kalau ingin berpencar silakan saja, tapi titik pertemuan kita adalah di sini. Oke?"

"Nanti katanya akan ada acara kejutan. Pemain AoT akan hadir di antara pengunjung dan melayang-layang dengan 3DMG."

"Benarkah?"

"Berapa menit lagi acara dimulai?"

"Lima menit lagi jam 6 sore."

Eren menyipitkan mata memandangi kerlap-kerlip merah kuning hijau di atas kepala.

Lampu tiba-tiba padam. Pengunjung terkesiap.

Raksasa titan mengerang dari balik pepohonan. Tangan hologram mengibaskan rambut para pengunjung. Variasi teriakan terdengar.

"Wow, titan 4 dimensi! Ini yang akan menjadi wahana baru, kan?"

"Atraksinya sudah dimulai? Aaaah!"

Dua ekor titan merangkak dari pepohonan yang berlawanan, salah satu di antaranya mencakari pohon. Lampu menyoroti sosok-sosok gelap di atas reranting.

Teriakan Arminyang paling kencang.

Erwin Smith muncul, berpakaian lengkap sebagai komandan Recon Corps, berlutut di atas dahan pohon dengan bilah pedang di masing-masing tangan. Tangan transparan titan menggapai ke puncak daunan. Erwin tiba-tiba menukik turun, mengejutkan semua orang.

"Yahoo!" Hanji Zoe berteriak, menghajar seekor titan tepat di pundak dengan pedang yang memantulkan sorotan lampu. Satu titan ambruk dengan bunyi efek suara menggelegar. Pengunjung bisa merasakan empasan angin dan getaran di bawah kaki mereka.

Beberapa ekor titan ukuran dua hingga tiga meter berhambur keluar hutan, mengingatkan Eren pada sepasukan zombie. Tipe yang satu ini bukan hologram, karena mereka bisa memegang pengunjung. Teriakan heboh terdengar. Pengunjung bersemangat, berteriak, beberapa berlarian.

Jean gelagapan mundur. "H-Hei, ini hanya atraksi, kan?"

"Kau takut, Wajah kuda?!"

"Mereka orang di dalam properti, atau mungkin sejenis robot? Ada yang hologram ada yang tida-shit! Apa yang menempel di rambutku?!"

Seekor titan berhasil menangkap seorang gadis yang tengah merekam video dari ponselnya, merengkuh dalam pelukan erat. Si gadis berteriak antara takut dan senang.

Dari atas kepala mereka efek angin berembus kencang. Ujung syal merah Eren menampar-nampar muka pucat Armin. Suara sabetan pedang dan efek darah menghambur ke tanah. Titan yang menyandera si gadis berhasil dijatuhkan, berguling ke tanah. Serentak suara teriakan pengunjung menggema.

Serentak semua pengunjung menjerit. "Levi-Heichou!"

Manik mata zamrud bergerak-gerak, mulut Eren menganga takjub.

Kapten Levi melompat turun, langsung membantu gadis itu berdiri. "Kau tidak apa?"

Si gadis korban berteriak kegirangan. Teriakannya lebih kencang melampaui ketika ia sebelumnya digerayangi titan. Sebelum lebih banyak lagi pasang tangan menggapai jubah hijaunya, Kapten Levi sudah melayang ke atas. Ia berlalu tepat di atas kepala Eren. Adegan aksi akrobatik dengan alat manuver tiga dimensional menjadi seni utama pertunjukan. Ratusan pasang mata mengikuti dengan tepukan tangan.

Mikasa tiba-tiba maju ke depan, menarik Eren ke arahnya. "Eren, awas!"

Tanah bergetar lagi. Pengunjung berlarian menyingkir dari seekor titan gundul yang maju dengan gerak menyeruduk.

"Titan abnormal!" Eren berseru penuh semangat.

Mikasa bersiaga. "Eren, menyingkir! Dia sedang berlari kemari!"

Titan itu mengayun tangannya yang panjang ke arah Sasha yang sedang menggigiti kentang. Connie secara refleks menarik Sasha ke belakang. Eren, kebetulan berdiri di sebelah mereka, memekik kaget saat jari-jari gigantis itu menyergap kakinya. Salah tangkap. Si titan tak peduli. Daging perempuan atau laki-laki sama-sama mengenyangkan. Titan gundul menyeringai menatap Eren, dan Eren menyengir balik, kemudian meringis merasakan tangan-tangan meremas pinggangnya. Mikasa berjuang menyelamatkan Eren, tendangannya ditahan oleh Armin. "Demi Tuhan, Mikasa, ini hanya atraksi hiburan!"

Seruan pengunjung menggelagar. Kapten Levi berdiri di atas kepala gundul si titan. Eren mengalami kesulitan bernapas.

"Hei, harusnya korbanmu si wanita," Levi menggumam sebentar sebelum menebas tengkuk belakang titan itu.

Eren memekik, jatuh hampir mengempas tanah.

Levi meluncur di udara, menangkap Eren dengan sebelah lengan. Piston manuver tiga dimensi ditembakkan ke pepohonan, Levi melayang membawa Eren terbang ke atas dengan kecepatan dua kali gravitasi.

Bulu kuduk langsung meremang. Eren menjerit kuat-kuat, melingkarkan lengannya pada Levi.

Eren dibawa ke atas dahan, jauh dari jangkauan tangan-tangan lapar. Tepuk tangan dan sorak-sorai berkemendang dari segala penjuru. Hanya Mikasa yang tidak bertepuk tangan. Eren melihat sekilas wajah pucat pasi gadis oriental itu.

"Bocah, kau sudah bisa melepaskan pelukanmu," kata Levi datar.

Tersentak kaget, Eren melepaskan Levi dan terhuyung ke belakang, nyaris terjatuh dari pohon. Ditangkap lagi oleh Levi. Tepuk tangan masih membuat telinganya mendenging.

"Levi-san?" Suara Eren tercekat, syok dan takjub bercampur baur. Satu tangannya mendorong dada Levi yang berotot.

"Selamat menikmati atraksinya," kata sang kapten, melemparkan sekilas senyum tipis, dan menukik turun ke seekor titan di bawah hidungnya, menebas dengan gerak berputar.

Eren merasakan sesuatu yang vulgar seolah-olah tangan titan mengoyak dadanya. Jantung berdegup gila.

Atraksi-atraksi menarik berlanjut di udara. Eren menatap keseluruhannya dari atas pohon. Kapten Levi bergabung denga regunya menjatuhkan beberapa ekor titan, meliuk lagi di udara ketika tangan-tangan raksasa hendak menangkapnya. Kemudian melayang kembali ke dahan di mana Eren berada; tempat yang menjadi pos pemberhentian. Eren terlalu sibuk memerhatikan jubah hijau Kapten Levi dan bagaimana bentuk potongan rambut ala tentara itu bergerak-gerak tiap kali angin bertiup.

Lima belas menit pengunjung dimanjakan oleh tarian udara. Beberapa anggota Recon Corps menyingkap kain hitam yang menutupi panggung utama. Sorakan penonton menyusul. Erwin Smith langsung berdiri di tengah panggung, berteriak kepada seluruh pasukannya untuk berkumpul.

Levi menarik tangan Eren, memintanya berpegangan erat.

"Eh? Eh?!"

"Kita turun, Bocah." Tanpa aba-aba ia melompat ke bawah.

Eren merasakan seluruh helai rambutnya naik ke atas dalam keadaan terjun bebas. Ia tidak sempat berteriak, kakinya sudah menapak lagi.

Kapten Levi terbang ke arah panggung. Eren menatap terpana.

Armin yang baru saja berlari menjemput Eren, berhenti ketika Erwin menyapa pengujung, fokusnya kembali ke arah panggung. Eren bergabung semenit kemudian. Jantungnya masih berdegup kencang. Sosok Levi berdiri tegap di sana dengan wajah dingin, keras, tanpa ekspresi. Beberapa saat yang lalu bibir itu melengkungkan senyum tipis ke arahnya.

Reiner menepuk punggung Eren. "Bagaimana rasanya melayang dan terjun dari atas pohon?"

Eren meremas dadanya sendiri. "Rasanya gila. Heichou terlalu keren."

Mikasa melemparkan raut cemas. "Kau tidak apa-apa?"

"Entahlah, berdiri terlalu dekat Levi-heichou, rasanya aku sudah tidak peduli lagi dengan apa pun."

Acara jumpa fans berlanjut dengan tanya jawab, foto bersama, perlombaan. Prajurit Recon Corps menarik beberapa pengunjung untuk naik ke panggung. Mikasa menjadi salah seorang peserta beruntung –tak ada ekspresi semangat pada wajah gadis itu. Di luar dugaan Eren, Mikasa dapat menjawab semua pertanyaan kuis tentang AoT. Kapten Levi yang menyerahkan hadiah. Eren gigit jari.

"Ini untukmu, Eren." Mikasa turun dari panggung dan menyerahkan kotak mungil itu pada saudaranya. "Kukira kau akan menyukainya."

"Itu milikmu, Mikasa." Eren menggaruk pipi. "Aku tidak ingin menerima hadiah yang bukan dari hasil jerih payahku."

Eren tidak sempat melihat rona di pipi Mikasa. Perhatiannya teralih kepada Erwin.

"Lima belas menit sebelum jam 00.00 tepat, kita akan berkumpul lagi di sini," Erwin mengumumkan. "Sampai bertemu di detik-detik penghujung tahun!"

Musik progresif berputar keras. Satu per satu pemain film mundur ke belakang panggung. Eren melihat pemain Petra Ral berjalan beriringan di sebelah Kapten Levi. Mereka menghilang di balik asap tebal. Serombongan fans berlari ke belakang panggung, mencari aktor-aktor kesayangan mereka. Musik pengiring dari band terkenal mengisi acara selanjutnya.

Armin memulai, "Sesi istirahat. Masih ada waktu tiga jam sebelum jam 12 malam. Sekarang ke mana?"

Sasha mengangkat bahu. "Aku belum makan malam."

"Mungkin kita bisa mengisi waktu mencoba beberapa wahana."

"Ide bagus. Kita berpencar atau bagaimana?"

Eren membenarkan topinya. "Karena sepertinya kita punya tujuan masing-masing, kurasa tidak apa berpencar. Ingat saja jangan mematikan handphone, dan kita berkumpul lagi di tempat ini setengah jam sebelum acara final."

"Reiner dan aku akan pergi ke restoran di sana. Siapa yang mau ikut dengan kami?"

Sasha langsung mengangkat tangan. Jean dan Connie mengikuti.

"Aku menyusul," kata Eren.

Mikasa menoleh kepada Eren. "Mau ke mana?"

"Hanya ingin berkeliling sendirian." Eren melambaikan tangan. "Aku menyusul nanti."

Eren langsung bertolak arah, menyusup seperti asap di antara kerumunan. Lepas dari jangkauan mata Mikasa.

Di jalan utama pertokoan suvenir, Eren mengembuskan napas dalam-dalam. Jantungnya yang berdegup kencang kini mulai tenang.

Sesuai informasi online, banyak dijual merchandise spesial Attack on Titan dengan harga relatif murah di toko tersebut. Eren langsung menyasar kaus putih berlengan panjang dengan siluet besar Kapten Levi di punggungnya. Jaket cokelat dengan lambang pakaian tentara Recon Corps. Celana ketat dengan icon busana Kapten Levi.

Di dalam koridor ruang ganti pakaian, Eren mengambil kamar pas yang terujung. Tak sabar ia langsung mencobai kaus-kaus itu, berselfie, dan mempostingnya di media sosial.

Eren sedang mengangkat kausnya ketika gorden hitam kamar pas tersingkap. Seseorang masuk, mendorongnya ke kaca.

"Mmfh?!"

Mulut Eren dibekap. Pipinya membentur cermin dingin. Mata Eren membelalak lebar, bola matanya nyaris keluar.

"Maaf," bisik si pria penyusup di belakangnya. "Boleh aku pinjam baju dan topimu?"

Amukan Eren tertahan di dasar tenggorokan ketika ia melihat sosok dari pantulan kaca.

Levi Ackerman.

Suara Eren tercekat. "Ri-vai-heichou?!"

"Sshh! Aku tidak mau ketahuan. Bisa bantu aku atau tidak?"

Eren yang masih syok diputar ke arah pria itu.

"Hanya kalau tidak keberatan. Aku butuh bantuan," kata sang aktor, urgen, merogoh dompetnya. "Aku beli bajumu. Berapa pun." Ia menyelipkan uang ke dalam kantong celana Eren.

Eren nyaris memekik saat tangan Levi menjamah kulitnya dari luar kausnya, membuka paksa.

"Aku tidak punya banyak waktu. Cepat, Bocah."

"A-Ah aku-aku."

Levi menarik napas dalam-dalam. "Aku bisa mencium wangi parfumku dari tubuhmu." Tangan-tangan gesit melucuti pakaian si bocah yang terdesak. "Jangan bilang kau adalah salah satu fansku. Aku sedang melarikan diri dari kejaran fans di luar sana dan-"

"Se-sebentar!" Eren meneguk ludah. Dingin AC menjilati dada telanjangnya. "Sebentar-"

"Tidak. Aku serius menginginkan jaket, topi, kaus, dan celanamu sekarang juga, Bocah," kata Levi, melepas jaketnya sendiri, kaus hitamnya menyusul. Mata hijau Eren membulat maksimum menyaksikan siaran langsung atraksi Kapten Levi membuka pakaian, jarak kurang dari sepuluh senti. Levi menurunkan resleting celana.

Eren mendorong dada berotot Levi dengan lembaran uang di tangan. "Levi-san! Tunggu sebentar."

Levi menatap wajah Eren lebih lekat, menyipitkan mata. "Kau bocah yang tadi."

"Eren Jaeger, Sir." Eren gelagapan, menunduk serendah mungkin. "Kita pernah bertemu di pondok. Aku yang mengantar makanan dan meminta tanda tangan-"

Levi mengambil topi Eren yang tergantung. "Oh, aku Ingat sekarang." Dan memakai topi berlogo AoT fans itu di atas kepalanya sendiri. "Aku harus membayarmu berapa." Levi mengeluarkan dompetnya lagi.

"S-S-Sir aku tak apa kalau Anda membutuhkan bajuku." Tiba-tiba Eren tidak peduli kalau ia harus keluar dengan hanya berpakaian dalam sekalipun. Pikirannya berkabut.

"Maaf." Levi melanjutkan membuka celana. "Kubayar belanjaanmu."

Paras Eren memanas, ia membuang mukanya.

"Eren Jaeger, kan? Bisakah kau rahasiakan semua ini?"

"Aku berjanji!" balas Eren setengah menjerit ketika Levi memakai kausnya. Levi yang itu sedang memakai pakaiannya. Pakaian yang dari lemari kayu Eren yang berstiker Attack on Titan-

"Muat," komentar sang aktor. "Agak sedikit ketat."

Degup jantung Eren menggila.

"Bisa kau lepas celanamu?"

"Uh? Y-Ya bisa. Bisa." Eren memutar tubuh dan menurunkan resletingnya secepat kilat.

Tatapan mata Levi seolah-olah bisa membolongi punggungnya, Eren tak sanggup melihat bagaimana ekspresi mukanya dari pantulan cermin. Ia menyerahkan celana jeans berwarna pudar kepada Levi, terus menunduk.

Levi memakai celana Eren. Celana yang kemarin dijemur oleh Carla, kini dipakai oleh Levi. Celana yang Eren pakai seharian, kini dipakai oleh Levi. Sang remaja menatap idolanya tanpa berkedip sampai tersadar kini ia hanya mengenakan pakaian dalam.

Sepasang mata tajam milik Levi tidak melepaskan Eren yang sedang terburu-buru mengenakan pakaian baru. "Kau adalah fansku, benar?"

Eren terkejut dengan pertanyaannya. "Y-Ya, Levi-san."

Levi menyingkap gorden hitam. "Keluar duluan. Tunggu aku di meja kasir. Akan kususul kau."

Eren berjalan keluar dari kamar pas dengan langkah terhuyung. Sekuriti mengamatinya di sebelah meja kasir, mengira-ngira apakah Eren akan melarikan diri dengan setelan baju yang belum dibayar.

Menunggu Levi, menunggu idolanya datang. Eren ingin menulis sesuatu di media sosial, tapi tak ada kata yang bisa menjelaskan perasaannya saat ini.

Levi keluar dari ruang pas dengan topi yang membuat bayangan gelap pada rahangnya menegas. Ia nyata-nyata mengenakan pakaian Eren, seperti seorang remaja wota, dengan topi berlogo fans AoT. Tak ada yang tahu jati dirinya. Dihampirinya Eren tanpa kata, membayar kasir dengan uang kas. Eren ingin mencubit pipinya sendiri kuat-kuat.

Mereka keluar dari toko secara diam-diam.

"Kau datang kemari menonton acara kami?" tanya Levi.

"Be-Begitulah." Shit kenapa aku tidak bisa bicara dengan benar. "Lebih tepatnya aku datang untuk menontonmu, Levi-san."

Levi diam.

Eren membeku di tempat, mengira-ngira apakah ia terlalu frontal dalam berbicara. Apakah ia terdengar creepy?

"Sayang sekali," balas sang aktor. "Kalau ingin menontonku malam nanti, aku tak akan berada di sana."

"Eh?"

"Aku tidak berencana ikut acara tutup tahun. Harusnya kau bisa menebak alasanku berjalan-jalan dengan pakaianmu."

Eren mengerjap. "Anda melarikan diri—"

"Silakan mengataiku egois. Tahun-tahun sebelumnya dan tahun ini aku tidak pernah mendapat privasi untuk menjalani tahun baru sesuai keinginanku." Levi menengadah. Eren bisa melihat dagunya yang runcing dan matanya yang gelap di bawah lampu kemerahan. "Sesekali aku ingin melakukan apa yang kumau. Terserah kau akan menganggapku apa, Bocah."

"Oh. Aku mengerti."

"Kau mengerti."

Eren menggaruk kepalanya. "Maksudku—yah Anda adalah seorang aktor besar dan terlalu sibuk sehingga tidak punya waktu untuk diri sendiri. Di tempat bermain seperti ini, aku pun pasti memilih untuk bermain sepuasnya ketimbang harus bekerja."

Di luar dugaan Eren, Levi mengangguk. "Well said, bocah. Kau mengumbar isi pikiranku. Aku tinggal mencemaskan apakah kau akan mengumbar sikapku ke media sosial."

Eren mengangkat tangan. "Tidak! Sebagai penggemar, aku mendukung kegiatan Anda, dan keinginan Anda. Aku tidak akan melakukan hal-hal buruk seperti itu."

Levi maju ke depan, melirik kepada Eren di bawah topiku. "Mendukung setiap hal yang kuinginkan? Sekalipun itu bukan hal yang baik menurutmu?"

Eren memalingkan mata. "Aku percaya Anda bukan orang yang akan berbuat hal yang—er, buruk? Sebagai aktor terkenal, Anda adalah manusia biasa dan sudah sepantasnya menginginkan hiburannya sendiri."

"Kau teman Mikasa Ackerman, kan? Tadi saat atraksi aku melihat keponakanku itu berdiri di sebelahmu."

Dada Eren terasa menyempit sedikit, ia menjawab, "Eh, begitulah."

Levi bersedekap. "Sudah makan malam?"

Dengkuran cacing di perut Eren yang menjawab pertanyaan Levi. Eren berdiri kaku, wajahnya langsung merah.

Wajah datar Levi perlahan melunak. "Oke, aku akan mentraktirmu makan di suatu tempat."

"Tidak! Maaf, aku tidak ingin merepotkan."

"Benarkah? Tawaranku tidak akan datang dua kali, Bocah."

Eren menggigit bibir. "Apa tidak keberatan d-denganku?"

"Jangan membuatku menunggu." Levi sudah berjalan melintasi trotoar. "Ikut aku."

.

Sebuah restoran siap saji terdekat dengan toko suvenir dipilih oleh Levi.

Saat mereka masuk, Eren terlonjak di tempat mendengar bunyi-bunyian terompet.

Badut berpakaian gembung multiwarna mendatangi Eren. "Kalian berdua adalah pasangan ke—maaf, maksudku dua orang paling beruntung malam ini. Pengunjung restoran ke-500 pada hari ini mendapatkan tiket VVIP Cinderella."

"Apa?!"

Si badut menyerahkan dua lembar tiket, agak memaksa. "Ya begitulah, Nak. Intinya kau memenangkan tiket ini. Kau bisa berkeliling Shiganshina Theme Park semaumu sampai batas waktu jam 12 malam. Tidak perlu mengantre, seluruh wahana adalah gratis milik kalian berdua. Selamat!" Kemudian si badut pergi.

Eren menggenggam tiket itu erat-erat, dan melirik kepada Levi.

Levi berjalan ke konter makanan. "Kau bebas memakai tiket itu berkencan dengan Mikasa."

"Aku tidak berkencan dengan Mikasa!"

"Pesan apa?"

"Aku- Um, sosis panggang saus tar, hamburger keju mozarella-"

"Kau bisa mengambil kursi selagi aku memesan?"

"Seharusnya Anda yang menunggu selagi aku memesan. Biarkan aku yang memesan makanan."

"Ingat siapa yang mentraktirmu, Bocah. Cepatlah cari kursi."

Melihat sekilat tatapan menusuk dari sang idola, Eren langsung mundur seratus langkah. Ia menduduki kursi terdekat dari konter makanan.

Lihat, Eren. Ia sedang berada di restoran bersama Levi. Berdua saja. Levi memesan makanan, ia duduk menunggu di kursi. Jantungnya kini berdetak seperti palu mengetuk rusuk. Matanya membulat dengan binaran paling bahagia. Kalau benar ini mimpi, Eren berharap Mikasa tidak datang ke kamar dan membangunkannya.

Eren mengetik cepat di media sosial Twitter.

"Ini adalah malam paling indah untukku. Aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa."

Levi datang meletakkan baki di atas meja mereka. "Apa yang kau tulis di media sosial?"

"A-Aku tidak menulis apa pun. Tidak tentang Anda."

"Hm."

Levi duduk di sebelah Eren. Siku tangannya menyenggol lengan Eren, membikin kulitnya berdesir nikmat sesaat. Kemudian Levi makan dengan elegan. Hanya menatap cara sang aktor makan saja Eren sudah kenyang.

"Kau tak makan?"

Eren mengusap wajahnya yang panas berkeringat karena gugup. "Um, i-iya."

Kemudian ia dikejutkan oleh getaran ponsel di meja. Eren langsung membuka pesan notifikasi Twitter.

MikasaAckerman: " YeagerEren Kau di mana?"

"Eren, makanlah."

"Ya! Terima kasih, Levi-san."

Eren menyelipkan handphone ke dalam saku dan mengambil hotdognya.

Pilihan makanan Levi adalah kentang dan bistik di atas piring. Eren sibuk mengamati bagaimana Levi menuangkan saus pada daging panggang tersebut, membelah dengan pisau, memegang pinggiran gelas jus. Mata gelap Levi melirik dari samping.

"Apa yang kau lihat?"

"Um, tidak." Eren langsung memasukkan sosis besar dalam mulutnya.

Kini Levi memerhatikan. Eren bertanya-tanya apakah ada yang salah dari cara makannya.

"Sejak kapan kau menjadi penggemarku?"

"Beberapa bulan, Sir."

"Sejak serial drama AoT diputar? I see."

Eren menelan bulat-bulat daging roti. "Aku mengumpulkan segala merchandise AoT dan tokoh Kapten Levi."

"Oh? Berapa usiamu. Kukira kau belum bekerja."

"Aku masih lima belas."

"Sudah kuduga. Kau bocah manja yang meminta uang kepada orang tua untuk dibelikan mainan."

"Tidak! Aku mengumpulkan uang saku tambahan."

"Maaf," balas Levi ringan. "Mungkin aku terdengar seperti seorang ayah. Tapi bagaimana nilaimu di sekolah."

Eren mengangkat dagu. "Nilai-nilaiku bagus. Aku berhasil mendapat uang saku tambahan dari hasil tesku."

"Begitu. Maaf aku mengataimu sebelumnya." Levi menyeka mulut. "Kebanyakan anak seusiamu terlalu larut dengan hobi akan melupakan kewajiban penting. Dengan kata lain, aku bangga memiliki seorang fans sepertimu."

Eren merasakan daging sosis menyangkut di tenggorokannya, ia terbatuk.

"Kau datang kemari bersama teman-temanmu?"

"Yeah, aku akan menyusul mereka. Tapi mengetahui Anda tidak ikut acara berikutnya. Hmm. Entahlah. Apa yang akan Levi-san lakukan sekarang?"

"Aku bermaksud pulang ke rumah, tapi tidak bisa kulakukan sekarang. Dengan setiap mata yang mengikuti privasiku."

"Kenapa Anda tidak mencobai setiap permainan dan wahana," kata Eren, impuls. "Tiket ini tidak boleh disia-siakan."

Levi diam.

Eren menunggu jawaban sambil mengulum hotdog dan menjilati saus tar.

Bibir tipis Levi tertarik naik. "Tidak buruk. Boleh saja."

Sesaat Eren lupa cara bernapas.

.

Mereka berdiri di bawah tiang lampu tertinggi di taman bermain. Eren sedang mengeja satu per satu nama wahana pada peta.

"-Dan Bianglala Jumbo. Mana yang Anda ingin datangi pertama kali."

Levi memiringkan wajah. "Aku mengikutimu, Bocah."

"Eh?"

"Catatlah satu fakta tentang idolamu; sejak kecil hingga sekarang, aku hampir tidak pernah pergi ke taman bermain. Aku tidak tahu wahana macam apa yang menarik."

"Oke! Mari kita jadikan malam ini tahun baru yang istimewa untuk Levi-san. "Eren melipat peta, bersemangat luar biasa. "Yang terdekat dari sini adalah Rumah Miring. Aku juga belum pernah masuk."

"Judulnya tidak buruk."

"Kita pergi sekarang?"

"Lead the way, Kid."

Eren mengepalkan tangan dan berjalan memasuki rumah bergaya country abad pertengahan. Koridor utamanya berlapis cat cokelat dengan kayu bepernis. Eren berdeham dan melangkah mendahului Levi. "Berhati-hatilah, Levi-san. Rumah ini berbeda dengan rumah biasa. Kelihatan sama tapi sesungguhnya, um, apa Anda merasa pusing?"

"Tidak."

Eren memegangi kepala sendiri. Dia yang pusing.

Levi berpegangan pada dinding. "Lantai terasa semakin miring."

Eren merentang kedua tangan. "Ya! Aku pun merasa demikian!"

Semakin memasuki rumah, Eren melihat dimensi lain. Sofa dan meja berdiam dalam kemiringan tertentu yang membuat kepalanya ikut membentuk sudut beberapa dejarat. Pada tikungan tajam, Eren tersandung, menjerit, terpelanting ke belakang.

Levi menangkap tubuh Eren dengan kedua tangannya. Ikut terdorong hingga punggungnya menubruk pajangan dinding yang sudah miring.

"Hati-hati, Bocah."

"Ma-maaf!" Eren gelagapan, melompat dari pegangan tangan Levi. "Lantainya licin."

"Ingin aku berjalan di depan?"

"Tidak! Aku bisa menuntun Anda."

"OK."

Levi berjalan tepat di belakang, dengan kedua tangan merentang lebar seolah-olah siap menangkap Eren kapan saja. Berdebar keras, Eren meneguk ludah.

Semakin ke dalam, Eren semakin dipusingkan dengan kondisi dapur yang sumbu kompornya bergelantungan 360 derajat. Beberapa pengunjung berhenti mengambil gambar di sebelah wastafel yang keran airnya menyala terbalik.

"Kita sudah hampir sampai di luar!" pekik Eren bersemangat melihat cahaya lampu pintu belakang, ia hampir-hampir setengah berlari, lupa bumi pijakannya tidak sedatar biasanya.

"Oi! Awas!" seru Levi.

Eren terjatuh dengan suksesnya ke sebelah kiri, kemudian menggelinding mundur ke belakang, mendarat tepat di atas tubuh kukuh sang aktor. Lagi-lagi menubruk dinding. Levi menahan tubuh sang remaja dengan pelukan erat.

"Shit." Levi memeluk pinggang Eren. "Kau lumayan berisi juga."

Tersentak sadar, Eren langsung melompat mundur. "Maaf, Levi-san!"

"Aku mulai berpikir kau sengaja membawaku kemari untuk menggodaku."

"Menggoda? Aku tidak punya maksud bercanda atau-"

Levi memijat-mijat pelipisnya. "Ayo keluar dari sini, Bocah."

Eren melewati pintu keluar, menghela napas berat. Semangatnya tidak putus sampai di sana. Ia membuka peta menuju wahana kedua.

"Tempat selanjutnya akan sangat menarik!"

Levi bersedekap. "Kejutkan aku."

Dengan dada membusung, Eren berjalan melewati barisan antrean seperti seorang bos. Wahana selanjutnya adalah sebuah rumah bergaya minimalis dan beratap sederhana.

Levi menunduk di bawah gorden hitam. "Ini adalah?"

Eren mengangguk saat puluhan pasang mata zamrud miliknya berkedip dari pantulan cermin berlapis. "Rumah cermin. Segalanya cermin, jadi-"

"Kita harus mencari jalan keluar dan tidak dengan bodohnya menubrukkan dirimu ke cermin."

"Benar!" Eren mengangguk semangat. "Aku atau Levi-san yang berjalan di depan?"

"Kau di depanku, Bocah."

Eren berjalan melewati deretan cermin pertama dengan langkah lebar. "Kanan atau kiri?"

"Kiri."

Eren berbelok ke kiri. Dari pantulan cermin, ia melihat Levi mengikuti. Dadanya berdentum penuh semangat.

"Jalan bercabang tiga."

"Jalan yang kanan buntu."

"Kiri atau lurus?"

Levi hanya menatap ke tubuh remaja di depannya. "Lurus."

Mereka meneruskan berjalan hingga sepuluh menit berlalu. Eren merasakan kesunyian yang aneh seperti ketika ia baru memasuki bangku sekolah dasar, dengan puluhan pasang mata menusuk sosoknya.

"Jalan buntu lagi."

"Hm."

Eren memahami sosok sang idola yang tidak banyak bicara. Ini membuatnya gatal ingin bicara sesuatu. Apa pun.

Eren memulai. "Levi-san? Bagaimana menurut Anda tentang tokoh Kapten Levi."

Banyak pasang mata milik Levi mengikuti Eren lewat cermin. "Bagaimana menurutmu."

"Aku sangat menyukainya!" Eren mundur lagi setelah menemui jalan buntu. "Sangat kuat, sangat keren, dia idolaku."

"Kau tidak merasa sosoknya terlalu datar?"

"Tidak. Heichou memang tidak punya banyak ekspresi, um," Eren menyadari aktor aslinya pun demikian. "Tapi itu memang sifatnya. Aku suka dengan sifatnya yang keras, tegas, blak-blakan dan berbicara kasar walau sebenarnya baik-"

"-dan sadis," potong Levi. "Dia memiliki sifat sadis dan kejam dalam dirinya. Kau suka dengan tipe seperti itu? Kau masokis."

Mereka berhenti di depan persimpangan dinding penuh cermin yang efeknya membuat kedua tubuh mereka menyatu.

"Menurutku Kapten Levi tahu kapan harus kejam. Dia pemimpin yang bertanggung jawab."

Eren berbelok ke kanan tanpa meminta saran Levi.

"Begitu. Setelah bertemu dengan aktornya, bagaimana menurutmu?"

"Anda tidak berbeda dengan Levi-heichou yang asli!" Eren tertawa, kemudian berhenti, mengusap keningnya. "Maaf, maksudku-"

"Tidak apa."

Dari pantulan cermin, Eren melihat senyum tipis terpatri pada wajah tegas sang aktor.

Eren mengulum senyum canggung, menggaruk kepala. "Aku menyukainya. Segala tentang Anda—buntu lagi."

Levi berjalan memutar, matanya masih mengikuti pergerakan sang remaja lewat cermin. "Aku jarang bertemu seorang fans yang tidak palsu dan impulsif sepertimu. Cukup refreshing."

Eren tidak bisa menyembunyikan luapan kegembiraan. "Menurutku beberapa koridor lagi kita akan menuju pintu keluar!"

"Pimpin jalan, Bocah."

Melalui cermin, Eren dapat melihat sepasang mata Levi yang tidak berhenti mengikuti gerak-gerik punggungnya.

.

Wahana terdekat selanjutnya adalah wahana Dora the Explorer dan wahana Stone Age. Eren menggaruk kepala. Wahana mana yang kira-kira paling sesuai untuk mendongkrak semangat sang idola?

Membayangkan ia dan Levi bersama-sama mendaki jalur terjal, melewati rintangan-rintangan, mengalahkan jebakan suku primitif, melawan mumi, mendapatkan harta karun. Berpetualang bersama si prajurit terkuat! Eren bergetar.

Selanjutnya adalah Dora the Explorer!

"Kudengar dari temanku ini merupakan wahana paling seru! Tidak sembarang orang bisa mencapai level terakhir. Mungkin terlalu mudah bagi Anda tapi apakah Levi-san mau mencoba?"

"Kedengarannya tidak buruk."

Eren menggulung lengan baju, menarik pundak, membusungkan dada. Pengalaman diajak oleh Jean mencobai alat fitness sudah membuatnya lebih berotot (walau hanya sekali coba). Levi mungkin akan kagum padanya.

Di depan pintu masuk megah yang kanan kirinya meniru pintu goa dengan tumbuhan bersulur, tiket VVIP Cinderella ditolak.

"Ini tiket emas. Seharusnya kami boleh masuk wahana mana pun!" Eren ngotot.

"Maaf tapi ada peraturan khusus untuk wahana ini," terang si petugas bertopi. "Kau boleh masuk, tapi pamanmu tidak." Telunjuknya mengarah kepada sebuah papan.

"Hee?"

Nikmati Sensasi berpetualang ala Dora the Explorer!

Patuhi peraturan demi keselamatan:

1. Memiliki jantung yang sehat

2. Fisik yang kuat dan tinggi badan minimal 165cm

3. Keberanian :-)

4. Memakai kostum yang disediakan

5. Dilarang membawa makanan dan minum

6. Dilarang membawa kamera

7. Dilarang membawa benda tajam

8. Dilarang-

Eren mendelik. "Apa yang salah?!"

"Poin ke-2."

Eren berkeringat dingin.

Aura dahsyat pekat menggelegar kehitaman serupa awan kelabu mendesiskan petir sebelum badai. Eren tidak tahu harus takut atau berdebar menyaksikan secara live amukan dingin Kapten Levi.

Levi memutar topinya dan berkata, "Aku juga tidak akan mau bermain di wahana anak-anak."

"Maaf, Sir."

Levi tidak berbicara banyak ketika melewati deretan antrean 1,7 meter. Eren mendengar suara menggerutu pelan. Gawat. Apakah Levi sebal.

Agar suasana tetap ceria, Eren berteriak dengan semangat berlebihan, "Wahana berikutnya adalah Stone Age! Itu wahana paling menyenangkan! Di sebelah kiri kita."

Sorot mata Levi dingin.

Shit.

Apa pun harus ia lakukan untuk memperbaiki suasana!

"Anda tidak akan menyesal." Eren berlari melompati antrean terdepan. "Levi-san, ayo kita duduk di depan."

Petugas menawarkan jas hujan. "Kemungkinan akan basah. Perlu baju-"

"Tidak usah." Suara ketus Levi.

Eren meneguk ludah. "Aku juga tidak."

Mereka memasuki gua gelap dengan aliran air sungai buatan dan perahu kecil untuk enam orang. Eren mendapat tempat duduk di bangku terdepan, Levi di belakangnya.

Perahu kecil bergerak pelan pada rel di bawah air, menyusuri lorong gua gelap yang sempit. Sesaat Eren melupakan efek horor dari percikan aura dingin aktor pendek di belakangnya.

Aura gelap Levi ikut mereda ketika perahu kecil mereka berlayar ke luar gua. Langit malam dengan bintang-bintang yang jatuh tepat di atas kepala mereka. Manik kehijauan Eren bergerak-gerak, senang bukan main. Eren mendongak sampai lehernya melengkung dan kepalanya menubruk wajah lain di belakangnya. Levi, duduk di belakangnya, berdecih. Eren langsung menegakkan badan.

Pemandangan langit malam berakhir ketika kapal memasuki gua yang kedua. Cahaya obor pada dinding gua membuat mata Eren menyipit. Suara musik terdengar. Di kanan kirinya mulai membentuk ruang-ruang yang mengimitasi rumah tinggal jaman purba. Paduan visual 3D dan boneka automaton mengungkap aktivitas manusia-manusia di masa lalu. Ada yang sedang berlenggok memasak. Memotong daging. Membuat api. Membuat sangkar untuk tidur. Warna-warni palet dinding rumah gua dan kejayaan masa lalu menari-nari dalam bola mata Eren. Apakah Levi sedang melihat pemandangan yang sama? Eren melirik ke belakang.

Levi menatap tak berkedip atraksi automaton yang sedang mengasah pisau dari batu. Eren diam-diam tersenyum.

Keluar dari gua, pemandangan langit malam dan sekilas pemandangan dunia fantasi dari balik semak-semak menyambut. Bianglala jumbo berputar dari kejauhan, kerlap-kerlip lampunya membias di atas danau.

"Levi-san. Bagaimana menurutmu? Lihat, indah sekali bukan?"

Levi diam.

Eren mendengar suara-suara berisik di belakangnya. Ia melupakan fakta mereka sedang tidak berduaan.

Memasuki beberapa gua dengan tulisan dan lukisan prasejarah, mereka mencapai garis final wahana. Perahu mereka bergerak lebih cepat. Semakin kencang hingga rambut Eren bertiup ke belakang. Perahu bergerak dengan kecepatan maksimum di atas danau yang airnya menciprat ke segala arah.

"K-Kurasa ini terlalu kencang, Levi-san. Tidakkah-"

"Nikmati saja, Bocah."

Eren membelalakkan mata saat kemiringan rel semakin menanjak. Ia terdorong ke belakang, dengan tubuh Levi menahannya. Eren sontak berpegangan pada sisi perahu supaya tidak terdorong ke belakang. Perahu semakin menanjak kira-kira 30 meter dari bumi hingga berhenti pada puncak tertinggi, Eren bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dia adalah orang pertama yang menjerit.

"LEVI-SAN KITA AKAN JATUH UWAAAAAA."

"Berisik, Bocah—shit."

Perahu mungil meluncur turun dari ketinggian 30 meter.

Eren berpegangan pada kedua tangan Levi yang melingkari pinggangnya. Jeritan Eren mengundang semua kepala pengunjung di luar wahana untuk berputar melihat areal wahana Stone danau memercik, menciprati ia dan Levi yang duduk paling depan.

Basah kuyup, Eren melompat keluar dari perahu. Dalam hati mengutuk dirinya sendiri karena sudah berteriak dengan tidak elitnya di depan seorang Levi. Pakaian AoT miliknya hampir basah sepenuhnya sampai melekat pada dada dan perut. Dalam sekejap, udara dingin merasuk. Eren bergidik, merangkul tubuhnya sendiri.

"Levi-san apa kau basah-"

Levi selamat dari semburan air karena mengandalkan tubuh Eren sebagai tameng. Ini adalah contoh pengorbanan fans terhadap idola.

Sepasang manik kelabu menatap fitur tubuh Eren secara menyeluruh, begitu analitis. "Kau basah, Bocah," Ia mengobservasi dengan matanya kembali menjilati bagian dada Eren yang agak menonjol.

Eren tertawa. "Begitulah. Kulihat Levi-san selamat dari cipratan airnya."

Levi mengambil handuk dari meja petugas, meletakkan handuknya di atas kepala Eren. "Nak, basuh tubuhmu."

Eren melingkarkan handuk ke pundaknya, menyeka pipinya yang menghangat. "Um terima kasih, Sir."

Melepas jaket, Levi menyerahkannya kepada Eren. "Pakai jika tidak ingin masuk angin."

"A-aku tidak usah. Terima kasih."

"Jangan menolakku, Bocah." Levi membungkus tubuh Eren dengan jaket. "Pergilah ke toilet. Lepas kausmu."

Sensasi hangat luar dalam melingkupi Eren. "Terima kasih." Ia menghirup aroma natural sang idola yang melekat pada jaketnya sendiri.

"Ingin pulang sekarang?"

"Tidak! Tidak. Malam masih panjang dan masih banyak wahana yang belum kita datangi!" Eren langsung berbalik arah. "Arah sini adalah roller coaster yang terkenal." Eren bersumpah akan menjaga agar tidak kelepasan menjerit ketakutan kali ini. "Ayo kita-"

Mendadak Levi menarik tangannya, menyeret sepanjang trotoar.

"Levi-san?!"

"Sini."

"Anda takut naik rolle-"

"Bukan, dasar bocah! Sudah ikuti saja aku."

Menoleh ke belakang, Eren melihat sekelompok pria berbaju gelap dengan label nama kru AoT mengejar mereka. Eren langsung pucat.

Levi menarik Eren ke arah komidi putar raksasa dengan kuda-kuda bercat warna-warni. Antrean panjang didominasi anak-anak. Dengan seenaknya Levi menarik Eren melewati pagar pembatas. Penjaga mencegat mereka.

"Hei, tidak bisa dua orang, semua kuda sudah terisi penuh."

"Kami naik berdua," jawab Levi.

"HA?!"

Eren diseret menuju kuda berwarna hitam, langsung melompat naik dan berpegangan pada tiang. Levi duduk menggencet Eren dari belakang. Panik, Eren menatap sekeliling melihat wajah polos anak-anak dan orang tua mereka. Panik lagi, ia melihat dua orang kru AoT mulai mengejar mereka, melompati pagar pembatas.

"Levi-san! Apa tidak sebaiknya Anda mendatangi mereka?"

Suara Eren teredam bunyi terompet yang mengawali perjalanan komidi putar. Kuda-kuda menyala dengan lampu multikolor yang menarik perhatian pengunjung. Eren merasakan kuda mereka bergerak naik dan turun. Levi memeluk pinggulnya dari belakang.

"Sir Levi!"

Dua orang kru acara memanggil, mencoba mengejar kuda mereka. Eren berpegangan pada tiang ketika korsel berputar semakin kencang. Di saat bersamaan, kedua tangan Levi memeluk tubuhnya semakin erat.

Dua orang kru berhasil melompat ke atas platform komidi putar tepat sebelum mereka memasuki areal danau. Salah satu dari mereka jatuh terpeleset. Pengunjung di atas kuda masing-masing menjerit kaget, sebagian tertawa menganggapnya sebuah atraksi. Eren tidak sempat melihat pemandangan, terlalu sibuk melotot ke belakang.

"Me-mereka mengejar!"

"Cih."

Levi membenarkan topinya, mendadak mengangkat Eren turun dari kuda.

"Berpegangan!"

"LEVI-san?!"

Sambil menggendong Eren, Levi berlari di antara kuda-kuda korsel yang bergerak naik turun. Kecepatan larinya mengimbangi kecepatan komidi putar. Eren mabuk, tidak tahu lagi mana atas mana bawah, ingin muntah. Samar-samar ia melihat dua orang yang mengejar di belakang mereka sedang bersusah payah berdiri. Setelah berputar melewati danau, Levi mengeratkan pegangannya pada Eren. Mereka melompat dari komidi putar. Berguling ke tanah. Topi AoT terjatuh dari kepala Levi.

Para pengunjung langsung mengenali muka Levi.

"Levi Ackerman!"

"Itu Levi!"

Entah suara siapa yang pertama kali memicu kehebohan. Penyamaran Levi terbongkar, penggemar berlarian dari segala penjuru dengan histerianya masing-masing. Dalam kepanikan Eren menggapai tangan Levi, menarik pria itu ke dalam sebuah gang kecil yang menyambung ke depan gerbang wahana rumah hantu.

"Ke sini! Ke sini!" teriak Eren heboh, mencoba menyembunyikan tubuh Levi dengan tubuhnya sendiri. Gagal.

Keluar dari gang, Levi sudah mendahului larinya. Mereka menembus antrean terdepan wahana rumah hantu, masuk ke dalam pintu setelah mendorong penjaga. "Oi! Senternya!" teriak si penjaga. Suaranya tenggelam bersama jeritan riuh para fans menggelegar di belakang.

Kegelapan membungkus mereka berdua.

Eren terengah, berlutut, menatap nanar sekeliling. Hanya ada cahaya obor di kanan dan di kiri. Selebihnya gelap.

"Levi-san?" panggil Eren.

"Aku di sini, Bocah."

Eren menghela napas dan berdiri. "Untuk sementara waktu kita selamat."

Dari pantulan redup cahaya, Eren melihat Levi bersedekap. "Mungkin mereka sudah menunggu di depan pintu keluar wahana ini."

Eren menggaruk kepala, frustrasi. "Sekarang bagaimana?"

"Kita ada di mana?"

"Uhn, aku tidak terlalu—oh kita berada dalam wahana rumah hantu."

"Oh." Datar.

Sapuan angin dingin mengelus leher Eren yang berkeringat basah. Remaja itu langsung meloncat dari tempatnya.

Bunyi-bunyian aneh terdengar dari dalam lorong gelap. Tanpa senter. Tanpa nyali. Malam hari di dalam wahana rumah hantu Shiganshina Theme Park yang terkenal paling angker bukan karena atraksi misterius di dalamnya. Oke. Dia tidak bisa menunjukkan gelagat ketakutan atau menjerit dengan tidak elitnya seperti di wahana Stone Age. Tidak. Akan.

"Kalau tak mau terpisah." Levi sudah maju ke depan. "Jangan jauh-jauh dariku."

Eren menenangkan diri. "Um, he he he, aku pernah dengar dialog serupa diucapkan Kapten Levi dalam film."

Levi diam.

Eren menelan ludah. "Kita tidak membawa senter."

"Pakai lampu ponselmu."

"Oh ya."

Ketika lampu terang dari ponsel pintarnya menyala, Eren berjengit mundur melihat penampakan genangan di depannya.

Levi memerhatikan penampakan yang sama. "Hanya darah buatan. Sepertinya tempat ini adalah bekas pembantaian."

"A-Ah? Aku sudah dengar cerita dari temanku yang pernah masuk ke sini. Ia tidak menyebutkan apa-apa tentang darah."

"Oh? Mungkin sudah direnovasi untuk edisi malam tahun baru."

"Ya, mungkin." Eren menggaruk kepala. "Ha ha ha." Tertawanya terdengar lebih garing dari apa pun.

Mendadak suara tawa garing Eren bergema sepanjang koridor dengan bunyi berulang. Bulu kuduknya meremang.

"Um, kenapa sepi sekali?" Eren mengisi suasana pada belokan berikutnya, melompati onggokan daging buatan dan tengkorak-tengkorak.

"Mungkin yang lain sudah di depan," sahut Levi tenang.

Mereka berjalan melewati koridor suram dengan ruang-ruang kosong menyerupai sel penjara di kanan kiri. Eren dengan sengaja tidak mengarahkan cahaya ponselnya ke dalam sel.

Suara bedebam keras dari depan mengentak Eren. Terdengar seperti suara gendang yang sengaja dipukulkan. Dari arah kiri, Eren merasakan sesuatu yang basah menyenggol pipinya. Dari dalam sel, tangan setengah busuk berbelatung menggapai-gapai.

Eren terkesiap.

Levi ikut tersentak kaget, menoleh ke dalam dengan dahi berkerut. "Crap. Bukan menyeramkan. Hanya mengejutkan."

Tangan-tangan setan menghilang.

Tanpa sadar Eren sudah mengambil sepuluh langkah mendahului Levi. Ia berada di ujung koridor, membelalakkan mata melihat untaian rambut sangat panjang di atas kepalanya. Suara serak wanita.

Eren memaki, terjatuh ke belakang, menutup mata.

Tangan lain menyergap dari belakang. Eren berteriak sejadi-jadinya.

"UWAAAAAAAAH."

"Bocah! Ini aku!" Levi menutup mulut Eren dengan tangannya, mendekap bocah itu dari belakang. "Jangan berisik dan jalan pelan-pelan ke depan."

Kaki Eren langsung lemas, hampir-hampir ambruk menimpa badan Levi.

Rencana ingin terlihat keren di depan idolanya gagal sudah.

Levi melepaskan pelukannya setelah melewati sel penjara terakhir. "Bocah, kau penakut rupanya."

"Aku—Itu tadi terlalu meny—mengagetkan."

Levi berdecih, menarik lengan Eren. "Kubilang jangan jauh-jauh dariku."

Eren membiarkan tubuhnya diseret ke sana kemari oleh Levi. Kepalanya terus menunduk. Wajahnya pucat dengan pipi merona panas.

SUDAH TIDAK KUAT?

Sebuah papan besar berdiri di sebelah kanan dengan pintu keluar bertuliskan 'Exit' menyala terang.

"Kita bisa keluar dari sini," cetus Levi.

"Aku masih kuat dan tidak takut sama sekali!"

"Bocah, kau lupa kenapa kita bisa masuk ke sini."

Eren mengusap wajahnya yang pucat. "Benar. Izinkan aku yang berjalan di depan."

"Go on."

Eren mendorong pintu besinya dan mengintip keluar. Tak ada apa pun kecuali sebuah jalan setapak menuju jalan utama. Di luar sana hanya ada pejalan kaki.

"Sepertinya aman."

"Oke."

Mereka menghirup udara segar di jalanan utama. Ketenangan tidak berlangsung lama.

Jeritan fans gila dan suara puluhan pasang kaki berlari berbondong-bondong. Levi memaki. Eren mengambil langkah seribu. Mereka berlari sepanjang pertokoan suvenir, kembali lagi ke tempat semula.

"Brengsek! Memang tidak ada tempat aman untukku di sini!"

Eren melihat bianglala raksasa dari kejauhan, membulatkan mata.

"Levi-san?! Mungkin aku tahu satu tempat! Ikuti aku!"

Eren membawa Levi menyusuri jalanan kecil yang terhubung ke dalam wahana taman dinosaurus. Memutari danau raksasa yang airnya memantulkan bianglala raksasa dari kejauhan. Mereka berlari mendekati gerbang pintu keluar untuk petugas taman bermain. Tak ada siapa pun yang menjaga.

Gerbang kecil membawa mereka ke jalan setapak lainnya menuju pohon-pohon tinggi. Eren merangkak pada jalanan mendaki. Levi di sebelahnya, mengertakkan gigi melihat separuh dari fansnya yang masih mengejar.

"Ke sini!" teriak Eren, terus bergerak mendaki bukit kecil yang menjadi jalan pintas menuju jalan besar.

Mereka tiba pada sisi sebuah jembatan. Eren melompati pagarnya, bernapas terengah-engah. Levi mengikuti dari belakang. Tak ada lagi fans yang mengikuti. Hanya sedikit mobil yang melintas di atas jembatan. Tak ada pejalan kaki. Menoleh ke samping, di bawah mereka adalah danau raksasa Shiganshina dan pemandangan taman bermain dari ketinggian bukit.

"Ah! Sudah kuduga tak ada siapa pun di sini." Eren berjalan menyusuri sisi jembatan, melihat ke arah taman bermain. "Wow, untung aku masih mengingat cerita-cerita Jean yang pernah bermain kemari."

Levi diam, menatap taman bermain dari kejauhan. Tampak wewarna lampu yang membentuk kerangka bianglala raksasa dalam bola mata Levi yang kelabu.

"Tidak buruk," desah Levi. "Jam berapa sekarang?"

"Pukul dua belas kurang—tiga menit lagi adalah tepat jam 12!" Senyum merekah di wajah Eren. "Tentu saja! Bahkan kita bisa melihat letusan kembang api dari sini."

Levi menyipitkan mata, menengadah ke langit gelap. Ia tiba-tiba menunjuk. "Letusan kembang api pertama harusnya dari sana."

Eren memiringkan kepala ke arah Levi. "Dari mana?"

"Dari bianglala. Puncaknya."

"Oh."

"Letusan pertama yang disusul dengan kembang api berbentuk raksasa titan."

"Benarkah?!"

"Lihat saja," bisik Levi.

Eren berdiri terlalu dekat hingga ia bisa merasakan embusan napas Levi di pipinya. Gugup, ia menarik diri. "Um, dua menit lagi," tuturnya, berpegangan pada sisi jembatan.

Di sampingnya, Levi memejamkan mata, membiarkan angin malam menerpa wajahnya yang keras. Eren mengamati bentuk kelopak matanya yang menonjol, dan kantung mata yang agak kehitaman.

Kedua mata Levi terbuka. Eren memalingkan wajah ke arah bianglala jumbo lagi.

"Kita hitung mundur?" usul Eren.

"Hm. Silakan, Bocah."

"Um, masih semenit lagi."

Levi mendengus. "Aku tidak percaya akhirnya bisa menikmati tahun baru secara privat, lumayan memaksa."

"Maaf." Eren menggaruk kepala. "Anda jadi harus melewati tahun baru bersama—yah bersama denganku."

"Aku tidak keberatan."

Setitik rasa hangat menebar di dada Eren.

Letusan kembang api yang pertama mewarnai angkasa gelap. Eren langsung membulatkan mata ke arah bianglala. Bianglala jumbo memercikkan laser dan bunga api dari tiap gondola. Bunga-bunga besar meletus menjadi serpihan bunga-bunga api kecil kemudian meredup menghilang. Secara serentak, seluruh penjuru taman bermain menembakkan kembang api. Sebaran warna-warni bergradasi pelangi mengisi warna hitam. Wow. Inikah yang disebut efek psydelic yang sering dibicarakan oleh Armin?

Levi menumpukan dua tangan ke susuran jembatan, menikmati dengan tenang sapuan warna kembang api tahun baru pribadinya.

"Selamat tahun baru, Levi-san." Eren menggigit bibir, masih tidak percaya bisa mengatakannya secara langsung bukan dari media sosial. Jantungnya berdebar kuat. Telinganya mendenging bersamaan dengan ledakan kembang api berikutnya. Darahnya berdesir. Ia menjatuhkan ransel dan mengambil sekotak berlapis sampul kado. Kado teh hitam untuk Levi. "Semoga Anda mau menerima ini."

Levi mengambil hadiah itu dari tangan Eren tanpa kata. Ia menatap sekilas. "Boleh kubuka?"

Eren mengangguk.

Levi mengoyak kertasnya secara berhati-hati, matanya yang sipit membulat perlahan. Jarinya yang panjang membelai kotak kemasan teh hitam favoritnya.

Eren tidak mengharapkan jawaban apa pun.

"Tidak buruk," bisik pria itu, dan Eren memahami arti kata tersebut adalah jenis pujian tertinggi bagi idolanya. "Thanks."

Eren tersenyum dengan gigi menyeringai, menatap pantulan kembang api pada permukaan hitam air danau. "Aku senang jika Anda suka. Bukan hadiahku saja, tapi tahun baru Anda, kuharapkan tahun ini menyenangkan, kuharap Anda senang menikmati setiap wahana yang kita masuki. Kudoakan pekerjaan Anda semakin lancar dan, um, apa pun keinginan Levi-san terpenuhi."

Levi diam mendengarkan.

Permukaan air danau memperlihatkan bentuk tubuh raksasa titan, Eren mendelik, menatap angkasa.

"Atraksi utamanya," kata Levi. "Kembang api hidup dipadu sinar laser, permainan hologram raksasa, lalu-"

"Gila! Keren sekali!"

"Hanya sedikit peningkatan dibanding tahun lalu."

Satu kembang api raksasa lenyap, yang lain menyusul, semakin meriah pada puncaknya. Suara hiruk pikuk terdengar hingga ke puncak bukit. Eren mengambil gambar dengan ponselnya, meng-upload cepat ke sejumlah media sosial.

"Malam tahun baru paling indah."

Saat kemeriahan perlahan usai, Levi bertanya, "Apa yang akan kau lakukan sekarang."

"Eh? Aku akan pulang. Mungkin tidak bersama teman-temanku. Aku bisa pulang kapan saja naik kereta."

Levi diam sejenak, tampak berpikir. Eren mengerutkan dahi.

"Boleh minta sesuatu?"

"Apa pun jika aku bisa!" Eren menepuk dadanya sendiri meniru gerakan salut prajurit AoT.

"Boleh aku menginap di rumahmu?"

Eren menjatuhkan smartphone Android-nya.