Harusnya aku tahu sebelum semua terlanjur terasa manis. Harusnya aku bisa menebaknya sebelum aku terlanjur terpikat. Harusnya aku bisa menghentikannya sebelum aku terlanjur melihatnya. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Saat aku tersadar, aku sudah terjebak.

Terjebak dalam perangkap yang bernama : Jatuh Cinta.

Last Chance, Last Hope

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Genre : Hurt/Comfort, Drama

Pairing : NaruHina

Rated : T(eens)

Warning : semoga tidak typo, AU, OOC

Don't like? Just review ^v^

.

.

.

Empat orang gadis remaja yang tak kukenal tengah mengobrol dengan suara cekikikan mereka yang mengesalkan. Aku mengacak-acak rambutku yang menyisakan jejak tidur tak nyenyakku. Aku mengurungkan niat untuk menegur mereka saat mendengar topik pembicaraan yang mereka angkat.

"Ne, ne, ne. Kalian tahu? Dia akan bertunangan, lho?"

"Dia siapa?"

"Nona besar itu… yang selalu berada di ruang kesehatan."

"Benarkah? Dengan siapa? Jangan bilang-"

"Tentu saja bukan."

"Tapi, bukannya mereka sudah sangat dekat?"

"Memangnya aku peduli? Yang pasti aku bahagia, karena Nona besar itu takkan berani mendekati pangeran lagi."

"Tapi…"

"Hei. Kamu ingin pangeran direbut olehnya?"

"Bu-Bukan begitu."

"Ya sudah, kau tidak perlu merasa prihatin. Toh, kita tidak melakukan apapun yang salah. Apa yang salah dengan mendo'akan Nona Besar bahagia dengan tunangannya?"

"Iya,"

Benar, tak ada yang salah dengan mendo'akan kebaikan orang lain. Aku juga tahu baik tentang itu. Hanya saja…

"Naruto-san? Kau sudah bangun?"

Saat sosok Nona Besar yang mereka bicarakan menjadi tujuan do'a mereka, hal itu menjadi hal yang sangat sulit. Karena, akulah yang seharusnya membuatnya bahagia.

"Ya, aku sudah bangun,"

Bukan pria lain.

"… Hinata."

.

~SIMPLY ABSURDITY~

.

Aku masih ingat hari dimana aku bertemu dengan Hyuuga Hinata. Bukan untuk yang pertama, karena aku telah sering mendengar kabar tentangnya, atau sekedar berselisih jalan.

Sebagai sesama keturunan dari pemilik perusahaan besar di Konoha, dan bersekolah di institusi yang sama, wajar kalau kami mengetahui nama dan paras masing-masing. Karena, kami tak ingin terlibat satu sama lain dan kukira, aku akan menghabiskan masa SMA-ku tanpa pernah bertegur sapa dengan gadis itu.

Namun, hari itu, adalah hari dimana aku benar-benar berinteraksi dengan gadis bersurai indigo itu. Aku tidak menyangka. Kecerobohanku dalam berlatih telah membuatku melukai kakiku yang berharga dan harus dibawa ke tempat persembunyian gadis itu. Sebuah ruang tiruan rumah sakit yang tak pernah kusukai baunya.

Dia membantu melilitkan perban di pergelangan kakiku di tengah keributan yang dibuat teman satu tim-ku yang ikut menemaniku. Dengan wajahnya yang tenang, ia memberikan perawatan terhadap kakiku yang terkilir. Ia seakan tak terganggu, atau mungkin, ia memang tak mempedulikan keadaan sekitarnya.

"Sudah selesai."

Hanya sepatah kata yang terdengar dingin yang kudengar pertama kali dari bibirnya. Aku pun tak menghiraukan pun membalasnya dengan ucapan terima kasih. Kukira, aku tak perlu membawa interaksi kecil ini ke hubungan yang lebih dekat.

Tidak perlu.

Bruk

Aku menoleh pada sumber suara kecil yang biasanya kuacuhkan. Namun, entah mengapa, kali ini aku bersikap lain dari yang biasa. Aku melihat gadis itu tengah merapihkan buku yang berantakan.

Aku tak percaya.

Ini kali kedua aku dilibatkan dalam lingkup kehidupannya. Tetapi, aku tak keberatan menghabiskan sedikit waktuku untuk memperhatikan lengannya yang terulur mengambil dan meletakkan buku-buku itu kembali ke posisi sebenarnya. Ini sama sekali bukan gayaku. Seharusnya, pada saat inilah aku menghentikan diriku.

Seharusnya.

Akan tetapi, aku malah membiarkannya dan akhirnya harus terjatuh. Dalam.

.

~SIMPLY ABSURDITY~

.

"Apaan, sih?"

"…eh?"

"Ekspresimu itu menyebalkan, tahu? Jangan bereaksi seolah kamu tidak mengerti, dong."

"Tapi, aku-"

"Sudahlah, aku malas berbicara denganmu."

Bruk.

Aku mengusap bahuku yang ditabrak kasar oleh kedua gadis yang tak kukenal. Ini sudah ketiga kalinya dalam minggu ini, ada orang yang tiba-tiba mengajakku berbicara. Eh, itu bisa dibilang berbicara tidak, ya?

Aku mengambil bukuku yang ikut terjatuh karena terlepas dari pelukanku. Namun, ada tangan lain yang mengambil buku tersebut. Aku mendongakkan wajahku dan menemukan sosok yang tak biasa.

Mataku mengikuti manik sapphire-nya yang kelam. Ia sama sekali tak mengeluarkan emosi di matanya. Dan tak mengucapkan apapun.

Ah, aku mengenalnya. Dia idola klub basket, yang mendapat jabatan kapten di akhir tahun pertamanya di sekolah ini. Kalau tidak salah, dia kemarin terkilir dan sempat absen dari kegiatan klub. Setidaknya itu yang kudengar.

"T-Terima kasih."

Aku mengucapkan rasa terima kasihku sebagai sopan santun, karena ia mencoba membantuku. Namun, ia tak menanggapi kata-kataku lagi. Ia langsung berbalik arah dan berjalan menjauh.

"Yah, yang penting aku sudah bilang terima kasih."

Aku melanjutkan perjalananku menuju ruang kesehatan. Tempat favoritku setelah perpustakaan. Apalagi, setelah aku mendapat izin dari suster sekolah untuk ikut mengurus dan belajar sedikit tentang pertolongan pertama. Dan lagi, sekarang ruang kesehatan sedikit lebih tenang dibanding perpustakaan. Karena banyak siswa yang memakai lorong sepi perpustakaan untuk hal 'lain'.

Sesampainya di ruang kesehatan, aku membuka jendela dan membiarkan angin segar musim semi memenuhi ruangan. Lalu, aku merapihkan kasur-kasur yang mungkin telah dipakai siswa lain untuk beristirahat sebelum jam makan siang tadi. Setelah itu, aku mengambil catatan harian dan mulai menulis.

"Nngghh…"

Aku membuka mataku dengan berat.

"Ya ampun, aku pasti tertidur."

Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Tersisa 10 menit sebelum kelas yang kuambil dimulai. Aku terbelalak dan langsung berdiri.

Srek.

Aku merasakan bahuku sedikit berat. Aku menarik kain yang melilit di bahuku. Kain putih yang kukenal. Aku melirik kasur yang ada di dekatku. Benar saja, selimut tipis di kasur itu sudah berpindah tempat ke bahuku. Tapi, siapa yang memindahkan?

.

~SIMPLY ABSURDITY~

.

Aku pasti sudah gila!

Bahkan Kiba yang selalu mendukung perbuatanku, menanyakan apa ada yang aneh dengan diriku hari ini. Aku, Namikaze Naruto. Kenapa aku membiarkanku terlibat dalam perselisihan wanita? Mungkin Kiba benar. Aku mungkin harus menenggelamkan diriku ke sungai agar pikiranku jernih.

Tapi, ada yang aneh dengan gadis itu. Aku tak pernah melihat sesosok perempuan dan tak berkomentar tentang fisiknya dalam 3 detik. Apakah matanya yang bening itu membuat otakku lumpuh?

Eh?

"Aaaah! Aku memang sudah gilaaaa!"

Aku kembali mengacak-acak rambut pirangku. Dan mengacuhkan teman satu tim-ku yang memandangku heran dari tengah lapangan.

"Hoi, Naruto! Kalau otakmu belum sembuh, lebih baik kau main dulu sana."

Kiba menghampiriku dan berbisik sambil menyeringai jahil.

"Dia menunggu di lorong sastra."

Sial.

Kiba kembali membuat janji untukku tanpa konfirmasi denganku. Aku mendelik tajam untuk menandakan rasa kesalku. Tapi, rasanya tidak ada salahnya. Lagipula, aku harus mengisi rasa bosanku di tengah larangan masuk lapangan yang diberikan pelatih padaku.

Aku menyeret kakiku menuju lokasi yang diberitahu Kiba. Dan, aku menemukan gadis yang sejak kemarin dikenalkan Kiba padaku. Kalau tidak salah, dia baru saja melakukan debutnya sebagai aktris setelah lama berkecimpung di dunia modelling.

Gadis berambut panjang itu tersenyum manis ke arahku. Aku duduk di kursi baca dan menunggu apa yang akan dilakukan gadis ini selanjutnya. Ia mendekatiku tanpa ragu dan duduk di pangkuanku dengan melingkarkan lengannya di bahuku.

Hmm, mungkin ini akan menarik.

Gadis ini langsung melumat bibirku dan memulai pertarungan. Aku membiarkan gadis ini melakukan apa yang dia bisa. Dia mulai meletakkan tangannya di dadaku dan mencengkeram kemejaku. Dia masih menyerangku terus-terusan dan berusaha membuatku naik.

Ugh.

Aku mendorongnya menjauh. Dia langsung mengernyit tak mengerti.

"Ada apa, Naru-kun?"

Dia bertanya dengan nada suara yang dibuat imut. Andai aku bisa menjawabnya. Aku sendiri tidak mengerti. Kenapa aku menghentikan gadis ini?

"Tidak apa. Lanjutkan."

Dia kembali melingkarkan lengannya dan mulai menciumku. Dia memakai lidahnya dan mencari lidahku untuk bermain.

Ugh.

Lagi-lagi.

"Naru?"

Aku mendorongnya turun dari tubuhku. Dan aku langsung keluar dari perpustakaan. Tak sekalipun berbalik untuk melihat keadaannya yang mungkin akan murka. Lalu, aku masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahku. Setelah berkumur dua kali, aku merasa jauh lebih baik.

"Haaah…"

Aku menghela napas dan menumpukan badanku pada wastafel. Aku melihat pantulan wajahku di cermin dan memeriksa apakah ada yang salah dengan tubuhku. Kulit wajahku yang berwarna kecoklatan tampak sedikit pucat.

"Apa aku masuk angin, ya?"

Aku memutuskan bahwa sikapku yang aneh hari ini, itu dipengaruhi kondisi tubuhku yang kurang sehat. Ya, pasti begitu. Kalau tidak, mana mungkin aku menolong Hyuuga dan menolak gadis model tadi. Untung aku belum loncat ke dalam sungai yang pasti masih sangat dingin. Bisa-bisa otakku membeku.

Ya, cukup minum obat, dan tidur sebentar di ruang kesehatan, aku pasti akan kembali normal. Pas…ti….

Gadis Hyuuga itu tengah tertidur di meja ruang kesehatan dengan pensil mekanik yang masih digenggamnya. Wajahnya tertempel pada lengan kirinya yang menumpu tubuhnya pada meja terebut. Terlihat sebaris kalimat yang tengah ia tulis.

'Kenapa Namikaze ada disana, ya? Kita kan tidak pernah mengobrol sebelumnya. Apa-'

Mataku terbelalak.

A-Apa? Apanya yang apa? Dia ingin menulis apa tentangku? Gadis ini, dia berniat menulis apa di buku hariannya? Apa dia akan memujiku? Tidak mungkin. Apa dia akan menghinaku? Tidak boleh. Aaaaaarggh. Aku penasaran!

"Ngghh…"

DEG

Aku tersentak mendengar dengkuran halus darinya. Kulitnya putih sekali. Hidungnya tidak mancung. Pipinya juga tidak tirus. Gembul. Ah, pipinya empuk. Aku menusuk-nusuk pipinya dengan telunjukku. Ng, bulu matanya juga panjang. Aku mengusap kelopak matanya dengan punggung tanganku.

Eh? Tunggu sebentar. Apa yang sedang kulakukan?

Plak.

Aku seketika menjauh dari gadis itu dan memukul-mukul pipiku. Aku mengurut keningku yang terasa pusing.

Aku sudah mulai tidak beres. Aku lantas mengambil sebotol obat yang bertuliskan paracetamol dan mengambil sebutir tablet di dalamnya. Setelah itu, aku langsung menelan tablet itu bulat-bulat.

"Ngghh…"

Gadis itu kembali menggeliat halus. Aku menoleh dan menghela napas panjang. Aku mengambil selimut tipis yang berada dalam jangkauanku.

"Yah, aku memang sudah gila."

.

~SIMPLY ABSURDITY~

.

"Ah, kau sudah pulang, Naruto?"

Aku menoleh pada sosok pria berambut pirang yang merupakan ayah kandungku.

"Ayah pulang cepat?"

"Urusan di kantor tidak banyak tadi. Bagaimana sekolahmu?"

"Yah, begitulah."

Ayahku, Namikaze Minato adalah pemilik perusahaan yang bergerak dalam bidang elektronik. Sudah banyak produk yang laku keras di pasaran lewat tangan dingin orang-orang yang mengabdi pada beliau. Yah, walau akibatnya, Ayah tak memiliki banyak waktu untuk beristirahat.

Melihat Ayah di rumah sebelum makan malam, adalah hal yang terjadi beberapa minggu sekali. Aku melihat Ibu sedang berkutat di dapur memasakkan semua makanan favorit Ayah. Wajahnya tampak berseri-seri.

"Kamu masih main basket, Naruto?"

"Tentu saja, Yah. Kenapa?"

"Kamu tidak berniat menjadikan itu profesimu, kan?"

Pembicaraan ini lagi.

Aku bukannya tidak senang terhadap kehadiran Ayah di rumah. Tapi, jika ia di rumah, obrolan yang ada hanya seputar apa yang akan kulakukan di masa depan. Dan harapannya mengenai keterlibatanku di perusahaannya.

"Aku belum tahu, Yah. Mungkin aku akan serius. Mungkin juga aku akan beralih ke bidang lain."

"Ayah ingin kamu melanjutkan usaha Ayah."

"Yah…"

"Ayah tidak akan memaksa. Ayah cuma ingin kau mempertimbangkan keinginan Ayah."

Aku menggulirkan bola mataku. "Tapi Ayah sangat berharap aku menurut, kan?"

"Well, Ayah cuma mengarahkan masa depan yang belum kau pikirkan sama sekali. Mungkin ini yang terbaik untuk nantinya."

Aku mendecih dan mulai menyantap makan malamku. Tak berniat melanjutkan pembicaraan yang pasti akan berakhir dengan ultimatum yang Ayah berikan.

"Pokoknya, kau coba saja dulu. Nanti kau akan jatuh cinta pada pekerjaan ini. Ayah yakin."

Tuh, kan?

Semua hal yang berhubungan dengan dunia Ayahku, akan berkesinambungan dengan kelas sosial yang penuh dengan basa-basi. Jamuan rapat, pertemuan dengan klien, perayaan hari jadi kantor, atau undangan minum teh. Ah, atau yang akhir-akhir ini sedang populer, pesta kebun.

Seperti kali ini. Aku kembali terjebak dengan pertemuan bisnis yang berkedok pesta kebun. Untungnya sang pembuat pesta tidak membuat dress code yang merepotkan atau mengemasnya menjadi acara formal. Setidaknya dengan ini, aku bisa mengenakan jeans favoritku.

Aku melihat Kiba yang melambaikan tangannya dari kejauhan. Ia menggandeng gadis model yang ia kenalkan padaku kemarin di sebelah kirinya, dan gadis cantik yang sering kulihat di pesta seperti ini di sebelah kanannya. Kiba membisikkan sesuatu pada kedua gadis itu sebelum membawa mereka kehadapanku.

"Hei, Naruto. Tak biasanya kau terlihat sangat kesepian di dalam pesta."

Aku mendengus tak mempedulikan ledekan yang merupakan pancingan itu. Si maniak anjing ini pasti merencanakan sesuatu lagi. Kalau saja kondisiku tidak aneh, aku pasti sudah mengikuti permainannya. Hanya saja akhir-akhir ini, aku merasa aneh dengan diriku sendiri.

"Pergilah, Kiba. Aku sedang tidak mood," ujarku sambil menyeringai. Kiba terkekeh geli dan akhirnya mengusir gadis-gadis itu dengan dalih ingin menghiburku.

"Kau kenapa? Kudengar dari Alice, kau kemarin menolaknya," ujar Kiba sambil menghabiskan wine yang ia ambil tanpa sepengetahuan waiter yang menjaga meja minuman.

"Alice? Siapa itu?"

"Gadis model yang tadi."

"Rasanya namanya bukan Alice. Dia masih satu sekolah dengan kita, kan?"

"Itu nama panggungnya. Aku tidak ingat nama aslinya."

Aku memberikan tatapan tak percaya pada Kiba. Kebiasaan buruknya tidak mengingat nama wanita yang ia kenalkan padaku tidak pernah sembuh. Tapi Kiba hanya tertawa ringan seakan tidak menganggap hal itu penting.

"Ah, apa mungkin seleramu sudah berubah, Naruto?"

"Apa maksudmu?"

Kiba menunjuk seorang gadis yang memakai gaun yang sedikit terbuka di bagian bahunya. "Kau dulu suka yang seperti itu."

Kiba lalu menunjuk gadis yang memakai dress lengan panjang dengan panjang bawahan jauh di atas lutut. "Apa kau sekarang suka yang seperti itu?"

Kiba terkekeh dan lantas menunjuk gadis lain yang memakai long dress dengan menampilkan punggungnya. "Atau kau suka yang itu?"

"Kau pikir aku maniak, hah?"

Kiba tergelak keras. "Lalu? Kau kenapa, hah? Apa kau mau bertobat untuk tidak main wanita lagi?"

"Bodoh."

Kiba menghentikan tawanya. "Ah, jangan-jangan kau tertarik pada model wanita seperti dia?"

Kiba menunjuk seorang gadis dengan dagunya. Aku menoleh mencari gadis yang dimaksud Kiba. Aku melihat sesosok gadis yang mengenakan kimono musim panas bermotif bunga matahari. Gadis bersurai indigo.

"Nona besar itu benar-benar hebat. Masa dia datang ke pesta kebun bergaya barat dengan busana Jepang. Benar-benar berhati keras."

Aku mengikuti gerakan gadis beriris amethyst itu. Ia berjalan mengiringi pria paruh baya yang juga mengenakan kimono. Pria itu tampak mengobrol singkat dengan orang di sekitarnya sementara gadis itu hanya memberi hormat lalu berdiri di samping ayahnya itu. Tanpa memperlihatkan ekspresi kesal, lelah, ataupun senang.

"Oi, Naruto."

Aku menoleh pada Kiba. Kali ini raut wajahnya menunjukkan bahwa ia menyembunyikan sesuatu.

"Apa?"

"Kau tidak ingin mengerjai Nona Besar itu sekali saja?" Kiba terkekeh senang dengan rencananya. Aku mengernyitkan keningku.

"Jangan macam-macam. Kau ingin aku dibunuh Ayahku di acara sahabatnya ini, hah?"

"Tenang saja, kau tak perlu mengotori tanganmu itu."

Aku mendelik tajam. Apa maksud Kiba? Apa yang ia rencanakan? Kiba kembali mengarahkan pandangan matanya kepada gadis itu. Sekarang, dia tengah berdiri sendirian di sudut keramaian. Jemarinya tengah menelusuri kue-kue kecil yang dihidangkan di meja-meja cantik.

"Lihat kesana, Naruto."

Aku mengikuti informasi yang diberikan Kiba. Tampak seorang waiter tengah menghampiri gadis itu dengan gelas-gelas wine yang tertata di nampannya. Aku terperanjat.

Kiba masih terkekeh menantikan rencananya berjalan.

"Kau…"

Kiba menoleh padaku dengan heran. "Hei, kau jangan tegang begitu, Na-Oi! Naruto!"

Aku tak lagi mendengar seruan yang dari Kiba. Yang kulihat, hanyalah sosok gadis itu yang terlihat semakin jelas. Mata beningnya yang tenang. Ekspresi dinginnya yang bergerak perlahan berbalik. Dan raut wajah terkejutnya saat bertukar pandang denganku.

"Namikaze-san?"

Yah, hanya itu.

to be continued~

Ada seorang anak perempuan yang mengetik di kamar kosannya di keheningan malam. Ia melirik ke arah sudut layar laptopnya dan melihat hari telah berganti. Jemarinya lantas terhenti dan ia seketika menjerit tertahan, dan dalam benaknya terus terulang kata-kata yang sama.

"...besok deadline struktur,"

Absurd: "thor, jangan curcol deh"

Simply : "orderan dari job-mu juga belum disentuh, kan"

*hiiiiiiieeeeeeee

Absurd : "jangan ditambahin, Ply,"

Simply : "minggu depan juga UTS, tiga mata kuliah."

*aaaaaaaaaah, bunuh saja akuuuu! bunuuuh sajaaaaaaaaaaaaaa!

Simply : *menghela napas* tapi masih sempet aja ngerjain yang lain, ckckck

Absurd : "etoo~ karna author-nya kabur, aku cuma mau bilang, fic ini dibuat untuk memuaskan keegoisan author ditengah deadline tugasnya. jadi, mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan dan keterlambatan update. reviewnya jangan lupa yaaa"