Disclaimer : Jika Harry Potter milik saya, akan saya jodohkan sama Draco Malfoy /eh...

Warning : Gaje, Aneh, Abal, dan sebangsanya mewarnai jalannya cerita kali ini. /pundungg

HARRY POTTER © JOANNE KATHLEEN ROWLING

FIRDAUS RUNTUH LAGI © SACHIMALFF

.

.

DMHP

.

.

DRACO MALFOY AND HARRY POTTER

.

.

Harry Potter melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa, menyelip di antara ribuan siswa yang berlalu-lalang di sekolahan itu. Matanya tidak fokus, sesekali melirik ke kanan dan ke kiri, seolah-olah sedang mencari seseorang.

"Harry!"

Harry tersentak kaget ketika tangan seseorang menepuk bahunya. "Oi, Dean! Mengagetkanku saja!" pekik Harry sambil mengelus-elus dadanya.

Dean Thomas, lelaki berpostur tinggi tegap itu nyengir tak bersalah.

Harry mendesah pelan. "Ada apa?"

"Em—tidak. Ke kelas bareng?" tawarnya. Harry tertawa pelan, kemudian mengangguk setuju.

Harry dan Dean memang tak sekelas. Dean adalah teman sekelas Daphne, kelas mereka bersebelahan. Namun mereka kenal akrab, karena ibu Dean adalah teman Sirius dan Regulus.

"Kudengar ada murid baru di kelasmu. Benarkah? Yang mana dia?"
"Yang putih pucat runcing berambut pirang," jawab Harry seenaknya. Dean mengernyit heran.

"Kau seperti sedang menyebutkan ciri-ciri vampir, Harry," canda Dean. Harry tertawa mendengarnya.

Beberapa lelaki mendelik kearah Dean ketika mereka berdua menyusuri koridor di sekolahan itu. Harry mendesah bosan mengetahuinya, sedangkan Dean nampak tak ambil pusing. Sebelum—

"Oh, oh, oh. Pacar baru, eh, Harry? Tak kurasa kau cepat sekali dapat penggantiku."

Cormac McLaggen sedang menghalangi jalan mereka. Kedua tangannya ia silangkan didepan dada, memandang Harry dengan tajam, kemudian beralih untuk melotot pada Dean yang mengangkat alis.

"Apa maksudmu, Mac?" tanya Harry tajam. Matanya menyipit mengerikan kearah 'mantan pacar'nya itu. Mac, sapaan singkatnya, mendesis pelan kepada keduanya.

"Dean Thomas? Tak kusangka seleramu yang baru begitu buruk, Harry!" tukas Mac sambil tertawa mencela. Muka Harry memerah menahan amarah. Tangannya terkepal erat, namun tiba-tiba dia merasakan sebuah tangan menggenggam tangannya. Tangan Dean. Harry menoleh kearah Dean yang juga tengah menatapnya sambil tersenyum kecil.

"Tak usah kau pedulikan makhluk yang satu ini," ujarnya pada Harry. Harry memejamkan matanya, dan itu membuat Mac mengernyit heran.

"Kau yang buruk, Mac," jawab Harry. Kali ini nadanya nampak tenang. "Katakan saja kalau kau memang belum bisa lepas dariku, dan kini kau—apa namanya? Menggangguku? Kenapa kau tak cari pacar lain saja dan berhenti mengurusi urusanku?" desis Harry tajam. Matanya berkilat aneh, namun sebuah senyum mencela datang dari bibirnya.

Dan itu mau tak mau membuat Mac menggeram marah. "Aku tak pernah peduli dengan urusanmu, Harry. Tapi, oh, please! Dean Thomas?! Semua orang disini juga tahu jika aku lebih baik berkali-kali lipat darinya!"

"Oh yeah? Tapi aku tidak. Permisi, Mac, aku akan terlambat ke kelas," tukas Harry cepat, kemudian pergi dari sana, diikuti Dean yang masih menggenggam tangannya.

Mereka berjalan dalam diam, di antara beberapa pasang mata yang masih mengamati mereka. Harry mendesah lagi.

"Kenapa tak kaukatakan langsung saja tadi, jika kita tidak pacaran?"

Harry tersenyum jahil. "Nope. Hanya ingin mengerjainya saja. Semua orang tahu jika dia belum bisa move on."

Dean tertawa keras, dan itu membuat Harry mau tak mau juga ikut tertawa.

"Kau orang yang menarik. Dan narsis," kata Dean. Harry mengangguk.

"Kau belum mengenalku, Dean. Aku tak sepenuhnya baik," canda Harry.

Mereka menuju ke kelas masing-masing dengan mengobrol ringan. Harry tak pernah sadar, selama ini, bahwa Dean ternyata orang yang asyik untuk diajak ngobrol.

Mereka singgah sebentar ke loker mereka masing-masing, untuk mengambil beberapa buku dan perlengkapan untuk jam pertama mereka. Dean buru-buru menghampiri Harry ke lokernya setelah menenteng beberapa buku dari loker miliknya.

"Harry, maukah kau ke kantin bersamaku, nanti?" tawar Dean. Harry sedikit terkejut mendengarnya. Namun akhirnya dia mengangguk juga, membuat Dean tersenyum senang. Harry terkekeh melihatnya.

"Baiklah, Harry! Sampai bertemu nanti di kantin!" seru Dean sambil berlari ke kelasnya dan melambaikan tangan kanannya. Harry tertawa kecil melihatnya. Sampai dia tak menyadari jika ada seseorang yang mengawasinya beberapa meter dari tempatnya berdiri. Draco Malfoy.

Harry menoleh kearahnya ketika dirasanya ada seseorang yang mengawasi. Dan dia mengutuk dirinya sendiri ketika mengetahui siapa orangnya. Harry mendesis pelan, kemudian melanjutkan memasukkan buku-buku kedalam tasnya. Berusaha meredam detak jantung tak normal miliknya.

"Siapa dia? Aku baru melihatnya bersamamu," tanya Draco pelan.

Harry masih berpura-pura sibuk memasukkan beberapa buku. "Anak kelas sebelah."

"Temanmu?"

"Ya."

"Siapa namanya?"

Brak. Harry menutup loker miliknya dengan sedikit kasar, membuat Draco tersentak kaget. "Dean Thomas," jawabnya singkat, kemudian berlalu dari sana, meninggalkan Draco yang mematung.

Harry berjalan tergesa-gesa. Matanya mengamati dengan cermat satu persatu lelaki yang ada disana. Berharap salah satunya adalah orang yang dia cari. Dan—ketika dia melihat salah seorang lelaki sedang duduk di sebuah bangku kecil tepat beberapa meter darinya, dia langsung tersenyum dan berlari kearahnya.

"Theo!" panggilnya.

Sang pemuda tampan yang dipanggil itupun menoleh kesumber suara. Ketika disadarinya Harry yang memanggilnya, pemuda itupun langsung tersenyum kecil. "Harry? Ada apa?" tanyanya.

Harry, yang kini telah berdiri didepan Theo itupun berusaha mengontrol napasnya sejenak. "Aku ingin minta tolong padamu. Bisa?"

Theo mengernyit heran, kemudian menutup buku yang sedang dia baca. "Apa?"

"Huff—begini. Bisakah kita duduk bersama?"

Theo semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh Harry. "Maksudnya?"

"Yah—kita duduk semeja. Kau dengan aku, dan Blaise dengan anak baru itu," ujar Harry, lebih memilih frasa anak baru daripada menyebutkan nama. Theo, yang baru saja mengerti, mengangguk-angguk paham pada maksud Harry.

"Baiklah, nanti aku akan bilang pada Blaise. Tapi—kenapa kau mau pindah?"

Harry nampak bingung menjawabnya. Dia menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tak gatal. "Er—tak apa. Kupikir aku dan dia tak cocok. Dia terlalu—pendiam," ujar Harry sambil nyengir. Theo menggeleng-gelengkan kepalanya heran sambil tersenyum.

"Okelah kalau begitu. Nanti akan kubilang pada—itu dia! Oi, Blaise!" panggil Theo sambil melambaikan tangannya kearah belakang punggung Harry.

Harry menoleh kebelakang, tepat dimana Blaise Zabini, pemuda keturunan Itali yang digadang-gadang adalah pemuda ter-eksotis di sekolah ini, berjalan tegap kearah mereka.

"Ada apa, Theo?" tanyanya. Dia menoleh kearah Harry juga.

"Harry ingin agar kita tukar posisi," jawab Theo. Blaise melotot mendengarnya.

"APA?! Tukar posisi—maksudnya... kau yang top dan aku yang bot—"

"Aduh! Bukan itu!" seru Theo panik. Mukanya yang tiba-tiba memerah itu mau tak mau membuat Harry mengangkat kedua alisnya.

Blaise menghela napas lega. "Lalu?" tanyanya. Harry masih nampak berpikir keras. Lalu, beberapa detik kemudian, dia membelalakkan matanya horor menatap Theo. "Kalian pacaran!" teriaknya sambil menunjuk Theo dan Blaise bergantian.

Theo mendesah pasrah, sementara Blaise memutar matanya bosan.

"Kalian pacaran!" ulang Harry lagi.

"Yayaya. Kau sungguh ketinggalan be—"

"Aku baru sadar! Top! Bottom! Pasti itu adalah 'itu' kan? Yang dimaksud Blaise barusan?! Dan Theo adalah seorang b—" tangan Theo membungkam mulut Harry sebelum si pemuda bersurai hitam berantakan ini mengatakan hal yang aneh-aneh lagi.

Blaise memandang mereka berdua terhibur.

"Sudahlah! Blaise, dia ingin agar kau duduk dengan Draco. Dan aku dengan Harry," jelas Theo sambil menjauhkan tangannya dari muka Harry yang masih melotot pada Theo.

"Kenapa memang? Jangan-jangan kau mau mendekati Theo, eh, Harry?" tanya Blaise menyelidik. Harry memutar matanya bosan.

"Tidak, tidak. Aku tak berselera dengan seorang bott—oke, oke, jangan bungkam aku lagi, Theo!" teriak Harry ketika Theo hendak membungkamnya lagi. "Aku hanya malas semeja dengan anak baru itu..."

"Draco Malfoy?"

"Ya," jawab Harry singkat.

"Bukannya kalian cukup dekat?" tanya Blaise.

"Err—tidak. Kami tak cocok. Dia terlalu—pendiam untuk menjadi teman semeja orang cerewet sepertiku." Harry nyengir tak meyakinkan pada mereka.

Blaise menghela napas pendek. "Baiklah kalau itu mau kalian."

Harry meninju udara mendengar jawaban Blaise. Dia memeluk Blaise singkat sebagai ucapan terimakasih –Theo merengut melihatnya—. Dan kemudian, dia pergi dari hadapan sepasang sejoli itu.

"Bloody Git Potter," ujar Blaise sambil menggeleng-geleng heran, menatap punggung Harry yang menjauh dari mereka.

.

.

.

Pelajaran pertama Harry di hari itu adalah Sejarah. Harry duduk dengan Theo di depan. Pada saat Harry duduk di bangku Blaise, Ron dan Hermione langsung menghampirinya.

"Kenapa kau duduk disini, bukannya dibelakang kami?" tanya Ron heran. Hermione mengangguk.

Harry tersenyum kecil melihat ekspresi mereka. "Aku pindah duduk dengan Theo, Mione, Ron."

Hermione mengangkat kedua alisnya. "Kenapa?"

"Nope. Tak ada apa-apa. Aku ingin konsentrasi pada pelajaran. Mum akan membunuhku jika nilaiku turun lagi..."

"Bukan karena Draco?" tanya Hermione telak. Harry terhenyak, sementara Ron menatap sahabat perempuannya itu heran.

"Ada apa dengan Draco?" tanya Ron.

"Ya, ada apa dengannya?" Harry balik bertanya, memasang ekspresi sok tidak tahu. Hermione mendesah hiperbol.

"Kau ada masalah dengannya, ya?" tanyanya. Ron cengo. Harry menggeleng mantap. "No."

"Halo?" sapa Theo, baru saja datang bersama Blaise. Hermione menggeret tangan Blaise untuk mendekat kearah mereka.

"Kenapa kau pindah?" tanyanya.

"Karena Harry yang minta..."

"Kenapa kau minta pindah?" tanya Hermione pada Harry menyelidik.

"Karena aku ingin minta?" jawab Harry bergurau. Ron menahan tawa, sementara Hermione mendelik kearahnya.

Theo nampak mengernyit heran. "Err—Malfoy terlalu kaku untuk duduk dengan si cerewet ini. Dan—aku ingin minta tolong pada Harry dalam pelajaran Matematika dan Kimia. Nilaiku sangat buruk di pelajaran itu," ujarnya. Hermione nampak memandang Theo sejenak, kemudian melayangkan tatapan menyelidik pada Harry yang mengangkat bahu.

Kemudian gadis itu mendesah. "Oke," jawabnya final. Ron menggaruk kepalanya yang tak gatal, kemudian pergi meninggalkan mereka bersama Hermione.

Blaise nampak mengekor keduanya, menuju ke bangku belakang.

"Thanks, Theo."

Theo mengangguk pelan.

Beberapa menit kemudian, kelas sudah nampak penuh. Draco Malfoy datang dengan Daphne yang mengantarnya sampai depan kelas. Harry mendelik tajam kearah Draco.

Ketika sang pemuda pirang itu melangkahkan kakinya masuk kedalam kelas, matanya menyipit tajam melihat Harry yang duduk di depan. Dia kemudian menghampirinya.

"Kenapa kau duduk disini?" tanyanya. Harry mendongak menatapnya.

"Ingin konsentrasi pelajaran. Kau duduk dengan Blaise Zabini di belakang."

Draco melayangkan tatapan matanya kearah bangkunya di belakang, dan matanya menyipit ketika dilihatnya seorang pemuda berkulit cokelat sedang duduk di bangku yang kemarin-kemarin diduduki Harry, terlihat sedang mengerjakan sesuatu di bukunya.

Lalu Draco kembali menatap Harry. Kemudian menatap Theo disampingnya. "Baiklah..."

Dan pemuda itu berjalan melewati Harry.

Bola mata emerald Harry menatap nyalang papan tulis didepannya. Seketika, kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh ibunya kembali berkelebat dikepalanya. Dan itu membuat Harry semakin muak dengan Draco Malfoy.

Karena Harry sudah berjanji, akan melupakan Draco Malfoy seutuhnya. Kali ini tanpa paksaan. Tanpa ada hipnoterapi-hipnoterapi segala. Harry harus menjalani hidupnya sendiri. Membiarkan Draco bersama dengan Asto. Karena—tanpa Draco pun, hidup Harry juga baik-baik saja. Yah, setidaknya seperti itulah menurutnya—

"Blaise Zabini," ujar Blaise sambil mengulurkan tangannya pada Draco yang telah duduk manis di tempatnya. Draco menatap Blaise sejenak, kemudian menerima uluran tangan itu. "Draco Malfoy."

"Tak keberatan duduk bersamaku? Harry yang memintanya," ujar Blaise sambil melanjutkan kegiatannya.

Draco menatapnya. "Harry yang meminta?"

"Ya..."

Dan pandangan Draco melayang pada punggung Harry Potter didepan sana. Dia terlihat sedang berbicara dengan Theo, sambil sesekali mencoret-coret buku tulisnya.

Tak lama kemudian, Profesor Binns datang dengan setumpuk buku ditangannya. Pelajaran sejarah adalah satu-satunya pelajaran yang tak punya banyak peminat. Hampir semua murid –kecuali Hermione, Harry, Blaise dan Draco—terlihat meletakkan kepala mereka ke meja masing-masing dan mencoba untuk tidak mengantuk.

Konsentrasi Harry kerap terpecah ketika hatinya merasakan bahwa ada seseorang—di belakang sana—yang sedang mengawasinya. Instingnya menyuruhnya agar tak berbalik dan mencari pasang mata yang mengawasinya, karena dia tahu siapa. Pastilah Draco Malfoy.

"Tenang sebentar, anak-anak! Hari ini aku ingin kalian mengerjakan tugas kelompok," ucap Profesor Binns didepan kelas sembari mengangkat tangan kanannya. Kelas—yang memang sudah hening karena bosan dengan mata pelajarannya—itupun langsung memusatkan perhatian pada sang guru.

"Kali ini aku akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga siswa. Dan aku sendiri yang akan membaginya." Protesan seantero kelas menjawab kalimat guru mereka itu. Profesor Binns nampak tak menghiraukannya, kemudian membuka selembar kertas yang terlipat rapi.

Harry mendesah bosan, sayup-sayup, dia berdoa agar sekelompok dengan siapa saja kecuali Draco Malfoy.

"Hermione Granger, Blaise Zabini, Theodore Nott." Theo nampak menoleh kebelakang, kemudian nyengir nista pada Blaise. Hermione mendesah bosan.

"Jangan menyulitkanku, oke?" tukasnya pada Blaise yang duduk tepat dibelakangnya.

Harry memejamkan matanya erat. Dalam hati ia berseloroh—siapa saja kecuali Draco Malfoy.

"Gregory Goyle, Marietta Edgecome, Marcus Flint. Kemudian Neville Longbottom—"

...siapa saja kecuali Draco Malfoy...

"—Vincent Crabbe, Ezekiel Gerald..."

... siapa saja kecuali Draco Malfoy...

"Kemudian Lavender Brown, Seamus Finnigan, lalu Parvati Patil. Kelompok berikutnya, Harry Potter..."

Tolong—siapa saja kecuali...

"—Draco Ma—"

"Shit!" rutuk Harry. Suaranya mengagetkan Theo disampingnya. Kini, sang pemuda bersurai hitam itu meremas rambutnya frustasi.

"Ada masalah, Potter?" tegur Profesor Binns. Matanya menatap Harry dari atas kacamatanya. Harry, yang baru saja sadar jika umpatannya terdengar, buru-buru menoleh kearah gurunya itu, kemudian menggeleng pelan.

"Harry Potter, Draco Malfoy, Ron Weasley. Kemudian ada—" lanjut Profesor Binns, namun Harry terlanjur tak memperhatikannya. Dia masih sibuk merutuk pelan dalam hati, tak menyadari bahwa Draco Malfoy mengernyit heran dibelakang sana.

"Kenapa harus dengannya?" bisiknya lirih. Dia masih meremas rambutnya, sampai bentuknya seperti sarang burung. Theo mengangkat kedua alisnya bingung, seraya menatap Harry.

"Ada apa, Harry?"

"Bisakah aku tukar kelompok? Siapa saja asal tidak dengan pemuda aneh itu."

Theo nampak berpikir sebentar. "Kurasa tidak, Harry. Lagian—apa salahnya?"

"Salah sekali," ujar Harry sarkastik. Dia mendesah pelan, kemudian meremas rambutnya kembali. Merutuki nasib sialnya.

Dia hanya ingin menjauh dari Draco, hanya itu. Lalu—kenapa dia malah satu kelompok kali ini? Masak iya, mereka harus belajar bersama dirumah Harry? Atau dirumah Draco? Oh, itu semakin tidak mungkin. Harry sungguh tak ingin bertemu keluarga Malfoy. Dia masih tak menyangka, dia masih dendam dengan sifat ayahnya—

Kemudian...

"Ron!" panggil Harry lirih, seraya membalikkan badannya kearah Ron sementara Profesor Binns masih mengumumkan anggota kelompok lain. Sang pemuda dengan rambut merah menyala itu masih sibuk dengan perbincangannya dengan pemuda didepannya; Seamus Finnigan. Berkali-kali Harry memanggilnya, namun sepertinya telinga Ron harus dikorek lagi—

Maka Harry menyobek selembar kertas dari buku tulisnya, meremasnya dengan tenaga penuh, kemudian melemparkannya kearah Ron. Putra bungsu Weasley itu mengaduh pelan, kemudian matanya mencari-cari sang pelempar.

"Ron!" panggil Harry.

"Apa sih?" jawab Ron, nyaris tak terdengar, hanya seperti bisikan.

"Kita kerjakan tugas ini secepatnya, dirumahmu."

Ron nampak berpikir sebentar, kemudian kembali menatap Harry. "Kenapa?"

"Pokoknya dirumahmu saja!"

"Tapi tadi dia—" jeda, kali ini Ron menunjuk kearah Draco dengan jari telunjuknya, "—mengajakku—err—kau juga, kurasa, untuk mengerjakan ini dirumahnya."

"Aku tak peduli. Dirumahmu atau aku tak ikut mengerjakannya," tukas Harry. Dia langsung membalikkan tubuhnya, menatap lurus papan tulis, tak menghiraukan panggilan Ron.

.

.

.

"Aku tak mau tahu, Ron. Tugas ini harus cepat selesai. Hari ini aku akan kerumahmu," ucap Harry ketika dia dan Ron sedang berdiskusi mengenai materi mereka.

Draco menatap keduanya dalam diam. Maniknya terus menyorot kearah Harry.

Ron menghela napas. "Aku tak bisa, Harry. Bagaimana kalau kalian berdua saja dulu yang me—"

"Tidak!" tolak Harry dengan tegas. Tangannya menggebrak meja didepan mereka bertiga.

"Kenapa? Kau keberatan?" tanya Draco dingin.

Harry mendengus kecil. "Besok, dirumah Ron, jam empat sore, kalau begitu," ujar Harry, tak memedulikan pertanyaan Draco.

"Maaf, Harry. Mum berencana akan mengajakku dan Fred serta George untuk pergi ke rumah bibi Muriel," sahut Ron dengan tatapan kecewa.

Harry mengacak rambutnya. "Kalau begitu aku selesaikan separuh tugasnya. Kalian berdua lakukan sisa penelitiannya."

Draco membenarkan posisi duduknya, menatap Harry tajam, dan itu membuat Harry tak nyaman. "Kau keberatan mengerjakannya bersamaku saja? Apa kau meragukan kemampuanku dalam bidang akademik?" tanya Draco.

Harry mengangkat alisnya, tangannya masih dia silangkan di depan dada. "Tidak."

"Lalu kenapa kau bersikeras ingin mengerjakannya sendiri—atau tak mau kubantu?"

"Tidak apa-apa."

"Kau ada masalah denganku? Kenapa kau sampai pindah dengan Nott segala?"

Harry mengernyit mendengar perkataan Draco. "Itu semua tak ada hubungannya dengan kerja kelompok ini, Malfoy."

"Dan sejak kapan kau memanggilku Malfoy?" tukas Draco tajam.

Harry menunduk, menyembunyikan kernyitan di dahinya. Lama, kemudian dia mendongak menatap Draco, menantang. Mengabaikan Ron yang sedari tadi melongo karena tak mengerti dengan keadaan keduanya.

"Err—kalian ini..."

"Kenapa, Harry?" tanya Draco lagi, mendesak Harry yang hanya diam mematung menatapnya.

"Itu bukan urusanmu."

"Tentu saja itu urusanku."

" Kalau begitu berhenti mengurusinya."

Draco terhenyak. "Apa ini karena Asto?"

Harry terbelalak mendengarnya, begitupula dengan Ron.

"Harry, apa maksudnya kau de—"

"Kau gila," jawab Harry, sembari menggeleng pelan. "Untuk apa Asto diikutkan dalam masalah ini? Kaupikir aku menyukainya? Oh, maaf, aku tak tertarik dengannya, asal kau tahu saja. Takkan kurebut dia darimu, jika itu yang ingin kau dengar."

Draco mengamati Harry sejenak. "Bukan itu yang kumaksudkan."

Harry mendengus pelan. "Lalu—kau pikir, aku tertarik padamu, dan cemburu pada Asto? Itu hal paling menggelikan yang kupikirkan saja tak pernah."

Ron tambah melongo mendengarnya, sementara Harry dan Draco sendiri nampak tak sadar jika masih ada dia disana. Keduanya malah sibuk memberikan tatapan tajam dan menyelidik pada lawan bicaranya.

"Jangan berekspektasi lebih, Malfoy. Aku tak—"

"Harry!" pekik seseorang dibelakangnya, yang membuat kalimat Harry terinterupsi. Harry menoleh kebelakang, kemudian tersenyum mendapati ada Dean Thomas disana. draco menatap tajam kearahnya, sementara Ron terlihat memutar matanya bosan.

"Oh, Dean? Ada apa?" tanya Harry.

Dean mengangkat alisnya. "Ini sudah jam instirahat, Harry. Apa kau tak berniat untuk ke kantin?"

Harry membelalakkan matanya, kemudian menepuk jidatnya sendiri. "Oh! Aku lupa. Oke, oke. Tunggu sebentar, ya? Erm—kalian berdua lanjutkan saja diskusi materinya. Aku akan ke kantin dengan Dean," lanjut Harry seraya membereskan beberapa kertas sketsa yang sedari tadi dia anggurkan.

Ron melongo mendengarnya, kemudian merendahkan tubuhnya agar suaranya tak bisa didengar orang lain disana, kecuali mereka bertiga. "Kau yakin, Harry? Dengan Dean?"

Draco nampak menunggu jawaban dari Harry. Manik kelabunya menatap Harry intens, yang tak sekalipun ditatap balik oleh sang surai berantakan.

Harry mendengus, kemudian menggendong tas merahnya. "Yeah. Dia cukup oke."

Ron menghela napas panjang. Dan tanpa mengucapkan satu patah katapun pada Draco, Harry lalu meluncur menemui Dean yang masih berada disana.

"Siapa dia?" tanya Draco.

"Yang mana?"

"Yang datang menemui Harry tadi..."

Ron ber-Oh ria. "Dean Thomas. Anak kelas sebelah. Satu kelas dengan Daphne. Kenapa?"

"Dia pacar Harry?"

Ron tertawa hambar. "Tak mungkin. Harry bilang—"

Draco mengernyit mendengar kalimat Ron yang menggantung di udara. "Apa, Ron?"

"Err—tidak. Aku hanya baru teringat pada ucapan Harry beberapa hari yang lalu. Dia bilang, dia harus move on dari McLaggen."

"McLaggen?" tanya Draco.

Ron mendesah. "Kau memang belum mengerti. McLaggen adalah mantan pacar Harry. Mereka putus karena McLaggen selingkuh, tapi semua orang disini tahu, kalau dia masih mengejar-ngejar Harry sampai sekarang."

"Tak kusangka Harry begitu tenar, disini."

"Yeah. Harry lebih terkenal dari yang kaubayangkan. Siapa tak kenal Harry Potter disini? Kukira tak ada..."

Draco mendengus kecil. Ron balik menatapnya. "Kenapa? Ada apa dengan kalian?"

Hening.

"Tidak ada apa-apa. Aku mau pergi ke kantin. Kau tak ikut?"

Ron jadi salah tingkah. "Err—sebenarnya aku juga lapar, tapi, aku harus menemui Hermione di perpustakaan."

Draco mengangguk singkat, sebelum beranjak dari kelas itu.

.

.

.

Asto tetap tak mengerti.

'Asto bodoh! Asto bodoh! Asto bodoh! Kenapa air mata ini tak juga berhenti keluar?!' ujar Astoria dalam hati. Langkah kakinya terlihat tergesa-gesa menyusuri koridor yang memang penuh sesak dengan para murid—mengingat saat itu adalah jam istirahat—disana.

Dia berlari kecil menuju ke taman sekolah, mencari spot 'aman' untuk meredakan tangisnya. Beberapa murid mengernyit heran ketika Asto melewati mereka dengan muka penuh dengan air mata. Beberapa sapaan khawatir dia abaikan, lanjut berjalan tergesa-gesa menuju belakang sekolah.

Di dalam pikirannya, terus terngiang beberapa kalimat yang mampu memukul telak hati dan harapannya.

"Kau gila," jawab Harry, sembari menggeleng pelan. "Untuk apa Asto diikutkan dalam masalah ini? Kaupikir aku menyukainya? Oh, maaf, aku tak tertarik dengannya, asal kau tahu saja. Takkan kurebut dia darimu, jika itu yang ingin kau dengar."

—perkataan Harry Potter.

Dia mendengarnya ketika dia—dengan tak sengaja—lewat di depan kelas Harry. Saat itu Harry, Ron, dan Draco—tunangannya—sedang berbicara entah-tentang-apa. Dan tiba-tiba... Harry mengatakannya.

Memukul telak hati Asto.

Dan Asto tetap tak mengerti.

Kenapa takdir menempatkannya dalam posisi seperti ini.

Dilihat dari manapun juga, Asto bisa saja mendapatkan lelaki baik, pintar, tampan, dan sempurna manapun yang dia suka.

Tapi cinta memang tak pernah pilih-pilih. Sekali cinta menunjuk, sang cupid langsung menetapkan hatinya pada seorang Harry Potter. Yang Bi. Yang jelas-jelas tidak mencintai Asto.

Asto termenung ketika dirinya tahu-tahu sudah duduk di sebuah bangku di taman sekolah. Beberapa murid terlihat berbisik-bisik sambil melirik kearahnya, namun Asto tetap tak peduli—

Dia terus menerus memikirkan perkataan Harry.

Dulu, dia tak menyangka. Pertemuan awalnya dengan tetangganya itu bisa berubah menjadi perasaan suka. Oh—bukan suka.

Tapi cinta.

Dulu, entah berapa tahun yang lalu—Asto sudah tak ingat karena terlalu lama tenggelam dalam penantian akan Harry Potter—dia bertemu untuk yang pertama kalinya dengan Lily Potter dan Harry Potter, anaknya. Tetangga sebelah rumahnya yang baru. Keluarga Asto baru saja pindah dari Perancis, dan akan menetap disana seiring dengan kepindahan ayah Asto.

Singkat cerita, mereka berhubungan baik. Asto dan Daphne sering bermain bersama Harry dan Seamus, tetangga belakang rumahnya. Mereka sering bermain layaknya anak-anak normal. Hanya saja—Daphne terlihat tak terlalu suka dengan Harry. Simpel, Daphne hanya tak suka—kenapa Harry lebih menonjol daripada dirinya. Karena semua orang menyukai Harry. Karena Harry terlalu menarik perhatian. Karena Harry terlalu hangat.

Dan Asto harus rela tenggelam dalam citra seorang Harry Potter. Asto tenggelam, hingga tak sadar jika arus yang bernama 'cinta' itu menyeretnya terlalu jauh, dan menenggelamkannya terlalu dalam—

Asto tak peduli jika Harry seorang Bi. Yang dia tahu, Harry tak pernah bersungguh-sungguh dengan pacar-pacarnya terdahulu. Dengan Cho Chang, Harry tak pernah menunjukkan pemujaan berlebihan sama seperti pasangan-pasangan lainnya. Dengan McLaggen, apa lagi. Oliver Wood? Harry bahkan tak pernah mencintainya. Dia hanya dijadikan status sementara.

Dengan kata lain, selama ini Harry selalu mempermainkan cintanya sendiri.

Dan itu yang membuat Asto merasa bersemangat, merasa yakin jika, suatu hari nanti, dia akan dapat menarik hati sang emerald.

Namun dugaannya ternyata salah.

Salah besar.

Harry Potter tak pernah mencintai Astoria Greengrass.

"Kau gila. Untuk apa Asto diikutkan dalam masalah ini? Kaupikir aku menyukainya? Oh, maaf, aku tak tertarik dengannya, asal kau tahu saja. Takkan kurebut dia darimu, jika itu yang ingin kau dengar."

Dan kalimat itu terus menerus menari di kepala Astoria...

.

.

.

"Kau ingin pesan apa?"

"Choco Bubble Tea. Kau, Dean?"

"Taro Bubble Tea. Oke, tunggu disini, akan kupesankan."

Harry mengangguk sambil tersenyum ketika Dean beranjak dari kursi di depan Harry. Harry mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan kantin. Terlihat penuh sesak dengan murid-murid Hogwarts.

Beruntung Dean dapat memperoleh meja ini.

Tak lama kemudian, Dean datang menghampiri Harry, membawa dua minuman pesanan mereka.

"Jadi tadi, yang namanya Draco Malfoy?"

"Yeah."

"Lumayan menarik. Apa kau berteman akrab dengannya?"

Harry memutar matanya bosan. "Bisa kita hindari topik itu?"

Dean nyengir pada Harry. "Sori."

Harry mendesah pelan. "Dia menyebalkan. Salah satu orang yang tak ingin kudekati, si Malfoy itu. Melihatnya dan memikirkannya membuatku muak, kau tahu? Aku menyesal telah berbaik-baik padanya kali pertama dia datang kesini."

Dean mengangguk. "Apa dia menyebalkan?"

Harry mengangkat bahunya. "Entahlah. Yang pasti, aku membencinya."

"Uh-oh. Kurasa dia begitu rugi dibenci oleh orang menarik sepertimu."

Harry tertawa keras-keras. "Aku tak semenarik kelihatannya."

"Tapi kau asyik."

"Uh? Benarkah?"

"Yeah."

"Oh-oh, kau belum tahu sisi setanku, Dean. Jangan dekat-dekat denganku, oke?"

"Dan bagaimana bila aku ingin dekat denganmu?"

"Kau akan bernasib sama seperti Diggory dan McLaggen."

"Yang selalu menyembah di kakimu?"

"Yep. Yang selalu menyembah di kakiku."

Dean tertawa kecil mendengar penuturan Harry. Baru beberapa saat berbincang dengannya saja, Dean merasakan bahwa Harry bukan seperti orang kebanyakan. Aura positif dan pembawaan Harry yang hangat membuatnya terpesona.

"Err—Harry?"

"Hm?"

"Kurasa Malfoy menuju kesini."

Harry mengerutkan keningnya, kemudian matanya mengikuti arah pandang Dean. Ketika manik emeraldnya mendapati sosok Draco yang memicingkan mata seraya mendekat kearah mereka, Harry menatapnya tajam.

"Err—Harry..."

"Ada apa kau menyusulku, Malfoy? Kupikir diskusi kita tentang tugas kelompok sudah selesai."

Draco diam. Harry menatap tajam kilau kelabu milik Draco, menantangnya. Sementara Dean nampak mengerutkan dahinya.

"Ron bilang dia tidak bisa. Jadi, sepertinya kami yang akan kerumahmu. Kau mau setuju atau tidak—kami akan tetap kesana besok," jeda, kali ini dia beralih menatap Dean.

Dean mengangkat kedua alisnya begitu kelabu itu menatapnya intens, seolah sedang menilai dirinya.

Harry berdehem pelan, memutuskan kontak mata mematikan milik Draco. "Akan kupikirkan. Akan kutanyakan pada Mommy."

"Ron sudah bertanya dengan Aunt Lily, dan ibumu setuju. Kami akan kesana puk—"

"Oke, oke! Aku paham! Tak perlu kauulangi lagi," teriak Harry frustasi.

Draco mengangguk paham, kemudian menatap Dean lagi.

Harry, yang menyadarinya, langsung melotot tidak suka pada Draco. "Sudah selesai, kan? Apa ada yang ingin kauutarakan lagi? Kalau tidak—kau bisa pergi."

Draco berbalik menatap Harry, kemudian mengangguk paham. Dia berjalan meninggalkan kantin, tanpa memedulikan beberapa pekik girang anak perempuan di kantin itu.

Harry mendesah hiperbol. Dia mengacak rambutnya.

"Ada apa, Harry?"

"Aku benci dia."

"Yeah. Aku juga. Tadi sejenak aku berpikir bahwa dia tak suka kalau aku dekat-dekat denganmu. Dia menatapku begitu tajam..."

Harry mendengus tak suka. "Aku tak peduli. Aku membencinya."

Dean tertawa, kemudian mereka membelokkan arah pembicaraan. Mood Harry terlihat memburuk semenjak kedatangan Draco. Namun, beberapa menit kemudian—

"—dan aku tak menyu—Harry? Ada apa?" tanya Dean terkejut, ketika disadarinya Harry sedang menyeringai kecil.

"Ah, tidak. Aku hanya sedang mendapatkan ide yang bagus."

"Ide—apa?"

Harry tersenyum kecil pada Dean. "Ide bermain."

"Bermain apa?"

Harry tertawa kecil ."Ah, tak apa-apa. Aku jadi ingat jika aku mau 'bermain' sebentar dengan Malfoy."

Dean nampak semakin bingung. "Err—sejujurnya, Harry. Aku tak paham maksudmu."

Dan Harry tak lagi menghiraukan Dean yang masih mengernyit bingung.

Karena di otak Harry, kini sedang memproses sebuah 'permainan' yang akan dia mainkan bersama dengan 'teman' masa kecilnya; Draco Malfoy.

TBC

A/N : Oke saya tahu, ini sudah berbulan-bulan tak di update. Ada yang masih ingatkah? Saya kembali dari hiatus karena UN /banzai!/
Finally, Harry balas dendam juga di chap depan sama Drakipo XDDD Enaknya di apain ya /eh?