Disclaimer : Jika Harry Potter milik saya, akan saya jodohkan sama Draco Malfoy /eh...

A/N : Ini Alternative Universe. Harry Potter dan kawan-kawannya ada di tahun terakhir mereka di High School. Hubungan Gay dirasa cukup 'diterima' disini.

Ini fanfiction pertamaku yang aku publish tepat di hari ulangtahunku yang ke-17 yeay! Karena mungkin, disini nanti akan menuju ke rated M /ehh/ mungkin lhoo /nyengir/

Warningnya, fic ini nggak layak untuk disebut teaser karena kepanjangan. Banyak typo karena saya nubi /nyengir/ Slash, karena saya seorang Fujo XDDD Judul nggak nyambung sama cerita, karena memang saya suka banget sama kata-kata itu hehe

Well—bagi yang tidak berkenan, bisa meninggalkan laman ini ^^

HARRY POTTER © JOANNE KATHLEEN ROWLING

FIRDAUS RUNTUH LAGI © SACHIMALFF

.

.

DMHP

.

.

DRACO MALFOY AND HARRY POTTER

.

.

Harry Potter, seorang pemuda manjayang cukup untuk memasuki kriteria cantik—setidaknya menurut para lelaki disekitarnya—, kali ini sedang menyusuri beberapa koridor yang sudah semakin sepi, menuju ke kelasnya.

Naas baginya, hari ini, Ibunya, Lily Potter, harus menahannya sebentar untuk bertanya apakah nanti dia ada ekstra tambahan atau tidak. Dan imbasnya, sekarang ini, dia sudah tak tahu lagi... akan apa yang akan terjadi di pelajaran pertamanya di Senin yang cerah ini.

Mengabaikan beberapa sapaan orang dan siulan menggoda yang datang dari para lelaki playboy disekitarnya, dia melanjutkan berlari menuju ke kelasnya.

"Terlambat seperti biasa, Potter?" pertanyaan itu langsung menyambutnya ketika dia baru saja membuka pintu kelasnya. Dan bodohnya dia, dia lupa bahwa jam pertama pelajarannya dihari yang sial itu diampu oleh—Profesor Snape. Oh crap!

Harry lebih dari tahu, bahwa Snape bukannya membencinya. Namun, Snape hanyalah tak suka pada James Potter, mendiang ayahnya—yang meninggal dunia saat ia berumur dua tahun, dalam kecelakaan lalu lintas—yang tak lain dan tak bukan adalah musuh bebuyutannya sendiri. Dan Harry lebih dari tahu, bahwa Severus Snape dihadapannya ini hanyalah tak suka pada sikapnya yang terlampau ceroboh, disamping rasa sayangnya yang tak terhingga pada dirinya.

Harry masih tak bergeming dari sana, sebelum Snape mempersilakannya duduk. Dia bisa melihat, bagaimana Snape dengan tenangnya berjalan mengelilingi kelas, memeriksa apakah semua siswa membawa alat praktik Kimia yang telah dia suruh.

"Aku sangat menyayangkan sikapmu yang seperti ini, nak. Padahal nilai-nilai pelajaranmu sungguh diluar ekspektasiku. Kuharap kau akan lebih baik kedepannya," sambung Snape sebelum mengangguk singkat kearah Harry.

Nah, ini baru Severus Snape yang dia kenal, batin Harry riang. Dia mengangguk singkat, sebelum menuju kearah sebuah bangku kosong yang ada dipojok kelas.

"Kau tak pernah lelah mengecewakan Profesor Snape, Harry," ujar Hermione, teman wanita yang cukup akrab dengannya, yang kini duduk didepannya. Harry memutar bola matanya bosan. "Bukan salahku. Mum memaksaku untuk pulang lebih awal hari ini," jawabnya santai.

"Mum juga memaksaku untuk bolos ekstra. Katanya, keluarga Black akan mengadakan pertemuan keluarga besar," sambung Ron Weasley, sahabatnya yang lain, yang duduk tepat disamping Hermione.

"Benarkah? Apa itu alasan Mum kenap—"

"Tolong berhenti berbicara dengan temanmu dan buka buku panduan halaman duabelas, Mr Potter."

Harry langsung ciut, sementara Ron terlihat menahan diri untuk tak tertawa. Langsung, tanpa menunggu komando dua kali, Harry mengeluarkan bukunya dan membuka halaman duabelas, sampai pada saat Snape meneruskan berbicara.

"Seperti yang dikatakan oleh Kepala Sekolah langsung padaku tadi pagi, rupanya ada seorang murid pindahan dari sekolah Durmstrang."

Terdengar beberapa decak kagum yang dilontarkan anak-anak diseluruh kelas, menanggapi berita ini. Durmstrang adalah sekolah elite dari Rusia, yang pamornya sudah sampai ke kancah Internasional. Dan Harry cukup bermimpi untuk dapat sekolah kesana, dua tahun yang lalu, ketika dia sampai harus meringkuk didepan kaki Lily agar disekolahkan kesana.

"Dan," suara Snape kembali mengintimidasi seluruh kelas. "Kuharap kehadirannya disini bisa diterima dengan baik oleh kalian. Silakan masuk," lanjutnya.

Sontak, semua mata tertuju kearah pintu kelas, dimana beberapa detik setelah suara Snape ditenggelamkan oleh suasana hening kelas, menguap. Disana, pintu kelas itu, terbuka oleh sesosok pemuda yang Harry kira beberapa senti lebih tinggi darinya. Tubuhnya bisa dibilang cukup atletis, dipadu dengan garis wajah tegas dan dagunya yang runcing, serta rambut pirang platina yang tertata rapi. Semua anak perempuan dikelas itu memekik kagum padanya, beberapa malah ada yang dengan gemetar memandangnya. Dan Harry sungguh heran akan semua ekspresi yang membuatnya geli itu.

"Draco Malfoy," ujar Snape mendiamkan seluruh ocehan kekaguman yang diutarakan oleh kaum hawa disana. "Kalau kau tak keberatan, kau bisa duduk disamping Mr Potter diujung kelas."

"Tidak, Sir. Terimakasih," ujarnya singkat, sebelum kemudian mata abu-abunya mengedarkan padangan keseisi kelas, mengacuhkan lirikan-lirikan nakal dari anak perempuan disana, mencoba mencari posisi tempat duduknya.

Dan irisnya bertubrukan dengan seorang lelaki dengan kacamata kuno, yang menghalangi pancaran iris emeraldnya. Merasa diperhatikan, Harry-pun sontak mengangguk pada sang anak baru.

"Harry Potter," sapa Harry ramah ketika Draco meletakkan tasnya diatas meja mereka berdua. Sejenak, Draco mengamati Harry. Meneliti raut wajah Harry, dan ini membuat Harry merasa risih.

"Aku tahu."

Alis Harry mengerut. "Darimana kau ta—?"

Draco menunjuk badge name miliknya sendiri. Harry, yang baru saja sadar, menepuk keningnya sendiri.

"Pindahan dari Durmstrang, ya?" tanya Harry lebih menyerupai bisikan, tak mau Snape memergokinya sedang berbicara lagi.

Draco mengangguk singkat.

"Apakah disana enak?" tanya Harry lagi. Kali ini, Draco menatapnya. "Tidak."

Harry nampak terkejut. "Benarkah? Aku dulu ingin sekali kesana. Lalu, kenapa kau pindah kesini?"

Draco diam sejenak. Beberapa detik dalam keheningan yang membuat rikuh, Harry mengernyitkan keningnya memandang Draco. "Ikut keluargaku pindah kesini," jawabnya pada akhirnya.

Harry mengangguk setengah kecewa. Ternyata, tampilan Draco yang penuh kharismatik berbanding terbalik dengan sifatnya yang dingin. Merasa menyerah, mereka tak saling bicara selama pelajaran hari itu.

Sampai pada saat jam istirahat, beberapa anak perempuan –kecuali Hermione yang lebih memilih ke Perpustakaan setelah berkenalan singkat dengan Draco—menyambangi meja tempat Draco dan Harry duduk.

"Hai, Draco. Mau ke cafe?"

"Akan kuantar kau berkeliling, Draco. Mau?"

"Atau kau mau ke taman? Sekadar untuk udara sejuk?"

Beberapa kalimat ini membuat Harry tertawa geli, membuat beberapa perempuan itu mendelik tajam kearahnya. Tak ambil pusing, Harry lalu mengambil jaket merahnya yang tersampir dikursinya, kemudian memakainya sebagai bantalan.

Draco nampak tersenyum tipis, membuat mereka semua memekik kegirangan. "Maaf. Tapi aku bawa bekal dari rumah. Dan kebetulan aku sudah diajak berkeliling oleh Profesor Snape tadi pagi. Sementara mengenai udara sejuk, kupikir keberadaan kalian disini bahkan lebih membawa kontribusi pasif akan ketenangan udara disekitarku. Tapi, terimakasih tawarannya," jawabnya membuat beberapa gadis melongo tak mengerti, beberapa diantaranya malah masih terpesona oleh senyum menawannya. Harry mendengus memandang mereka-mereka yang melongo seperti ikan koi. Dan dalam hati memuji bagaimana nada sarkastik milik Draco berhasil dikemas secara indah seperti itu. Kalau Harry bukan orang pintar, pasti dia sekarang akan mengerutkan keningnya. Haah, kalau saja si Draco ini rambutnya bukan pirang, tapi hitam eboni sebahu. Pasti Harry yakin, dia adalah anak Severus yang-entah siapa- ibunya.

Perlahan-lahan, kerumunan para-penggemar-Draco dadakan itupun membubarkan diri mereka sendiri-sendiri. Meninggalkan Draco dan Harry sendirian didalam kelas itu.

"Kau sungguh bawa bekal? Aku juga," ujarnya seraya mengambil sebuah kotak makan persegi berwarna merah mencolok. Draco mengamatinya lagi. "Tidak."

Harry mengernyit heran ketika dia mulai membuka bekalnya. "Kenapa tadi kau katakan bahwa kau bawa bekal kalau begitu?"

Draco mendengus kecil, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tak bisa makan dengan beberapa wanita seperti mereka disekitarku."

Harry cengo. "Kupikir kau tipikal playboy."

Draco memandangnya skeptis. "Hanya karena kau sering digoda beberapa anak lelaki disekolahan ini, yang notabene anak yang tampan, kau langsung menuduhku seperti itu?" tanyanya heran.

Harry kembali melongo. "Da—kau tahu darimana riwayat hidupku?!"

Draco tersenyum kecil. "Aku tadi mendengar beberapa anak menyebut-nyebut nama Potter. Nama yang cukup aneh, menurutku. Dan—kupikir, nama Potter adalah nama yang langka dan kurasa mereka berbicara tentangmu."

"Tentang apa?"

"Mereka bilang kau target mereka selanjutnya."

Harry mendengus. "Orang-orang tolol seperti mereka memang tak pernah berubah," ujarnya. Draco memandang Harry terkejut. "Kau straight?"

"Tidak, aku Bi," ujarnya kelewat santai. "Hanya saja, mereka tak pernah sadar jika aku takkan pernah mau berkencan dengan orang-orang ber-IQ rendah seperti mereka-mereka itu."

Draco menatapnya dengan mata membulat. Harry agak ngeri ditatap se-intens itu. "Apa?"

"Kau—menarik."

Harry terkejut mendengar penuturan Draco barusan, kemudian beringsut menjauh. "Kau membuatku ngeri. Seperti mengingatkanku pada mereka-mereka saja."

Draco terkekeh. Harry tambah cengo. "Kau—kau bisa tertawa juga rupanya?"

Draco memutar bola matanya.

"Dan kau juga memutar matamu!"

Draco mengernyit kali ini. "Ada yang salah dengan itu?"

"Tidak, hanya saja—aku juga melakukannya! Ketika aku bosan," tukasnya nyengir. Draco tersenyum kecil.

"Kenapa kau sedingin itu tadi padaku?" tanya Harry sembari mengendus sandwich buatan ibunya.

Draco nampak menimang. "Entahlah. Aku memang seperti itu. Seperti sudah di-set otomatis."

Harry mengambil satu sandwich miliknya, kemudian disodorkannya bekal itu pada Draco.

Mengetahui hal itu, Draco nampak mengerutkan keningnya. Harry memutar matanya lagi. "Sudahlah. Ini tak beracun."

Draco menatapnya tak percaya. "Kenapa aku harus percaya padamu?"

"Oh, ayolah. Kita baru kenal tiga jam yang lalu, dan aku sudah membawanya sejak enam jam yang lalu. Dan, lagipula, aku tak pernah tahu jika hari ini akan ada kau!"

Draco tersenyum padanya, kemudian mengambil sandwich itu dari tangan Harry. "Menarik."

Harry nyengir penuh kemenangan. "Kita sudah bukan orang asing lagi, kan? Kita sudah berteman. Jadi—jangan dingin seperti tadi lagi padaku," ujarnya.

"Memang kita bukan orang asing."

"Pardon?" tanya Harry bingung.

Draco terkesiap, dilihat dari tubuhnya yang menegang. Namun, parahnya Harry, tak mengetahuinya. "Tidak, tidak apa-apa," jawab Draco final. Harry mengangkat bahunya santai, lalu menggigit bekalnya sampai merasa kenyang.

Setelah menelan gigitannya yang terakhir, Harry menatap Draco disampingnya yang sedari tadi ternyata menatapnya juga. "Apa?" tanya Harry.

"Kau makan seperti orang kerasukan. Padahal Cuma sepotong," katanya.

Harry mengelap sudut bibirnya dengan tissu yang dia bawa. "Maaf. Aku belum sempat sarapan. Tadi Mum menyuruhku untuk pulang awal. Sepertinya akan ada urusan keluarga."

Draco terdiam disampingnya, sembari menggigit cuilan sandwich terakhirnya. Sementara Harry yang telah mengantuk setelah menghabiskan bekalnya, lebih memilih merebahkan kepalanya pada jaket yang ada diatas meja. Sebelum—

"Heey, Draco, sayang..."

Harry sontak menoleh kesumber suara, sementara Draco menghentikan proses mengunyah makanannya. Dan denga sekali telan, gigitan itupun luruh menuju tenggorokannya.

Harry mengernyit tajam. "Daph?"

Wanita bersurai pirang indah itupun langsung menatap Harry bosan saat dia mencapai meja mereka. "Oh," serunya singkat. "Hai Harry."

Draco memutar matanya bosan.

"Hey, Drake! Mau makan siang bersamaku?" tanya Daphne Greengrass sambil menggelayut manja dilengan Draco. Harry pura-pura meludah disamping kanannya.

"Stop it, Daph," erang Draco, yang kemudian menggeret tangan Daphne untuk menjauh darinya. "Aku sudah makan."

Daphne mengernyit. "Kapan?"

"Baru saja," sambung Harry. "Bersamaku."

Kerutan dikening Daphne bertambah. "Jangan sekali-kali berusaha menggateli Draco, Harry. Dia i—"

"Kubilang hentikan, Daph!" seru Draco. Daphne berjengit mendengar teriakannya, kemudian memandang mereka berdua tajam.

Harry terkekeh pelan, sebelum Daphne melanjutkan, "Alright, Draco. Aku hanya ingin mengunjungimu. Rasanya sudah rindu sekali."

Draco hanya bergumam pelan, sementara Harry menatap mereka berdua dengan tertarik.

"Yeah, kau sudah menemuiku. Ada apa lagi?"

"Yah, kuharap kau tak lupa dengan acara kita nanti malam, kan?" tanya Daphne sambil melirik sejenak kearah Harry yang bersiul pelan.

Draco mengangguk pelan. "Ya. Dan jika kau sudah selesai, kau bisa pergi."

Daphne berdecak kesal, kemudian melanjutkan lagi, "Baiklah kalau itu maumu. Sampai jumpa nanti malam, sayang," ujarnya –sok—manis pada Draco, sebelum memberikan Harry tatapan membunuhnya. Harry memutar matanya bosan, lalu memandang Draco geli.

Merasa diperhatikan seperti itu, Draco menangkap maksud tatapan Harry. "Dia bukan pacarku."

Harry mengangkat sebelah alisnya. "Kupikir seperti itu. Habisnya, mesra sekali, sih."

"Yah, dia memang seperti itu..."

"Aku tahu. Aku sudah menjadi tetangganya sejak aku lahir, bayangkan! Bloody hell! Neraka!" jawab Harry excited.

Draco mendengus padanya. "Kau kelihatannya tak akur padanya?"

"Yeah. Aku lebih suka pada adiknya, Astoria. Dia tipikal gadis baik-baik, da—"

"Suka?" tanya Draco dengan keningnya yang makin mengernyit.

"Sifatnya, maksudku," ujar Harry. "Dia baik. Kau juga kenal Asto?"

"Yah, seperti itulah..."

"Kau," Harry mengerutkan keningnya, seakan mencoba membaca raut wajah pria disampingnya. "—seperti tak suka dengan mereka. Kenapa?"

"Aku? Seperti itu?" tanya Draco—berusaha—tenang. "Memang kelihatan sekali, ya?"

Harry memutar bola matanya bosan. Lalu, sejenak kemudian, dia ingat sesuatu—

"Hey, Draco..."

Dan yang dipanggil, hanya bergumam tak jelas.

"Sepertinya, aku pernah mendengar nama Malfoy sebelumnya. Rasanya—tak asing ba— kenapa kau terkejut seperti itu?" tanya Harry menyelidik.

Draco, yang tubuhnya menegang disampingnya, rasanya terlalu susah untuk mengembalikan keterkejutannya.

"Hey, ada apa?"

"Ti—dak. Tidak ada apa-apa."

Harry mendesah pelan. "Oke, kembali ke pertanyaanku. Aku rasanya pernah mendengar nama Malfoy. Tapi—dimana? Apa kau sebelumnya pernah ti—"

"Tidak. Aku tak pernah tinggal disekitar sini," ujar Draco cepat-cepat.

Harry semakin bingung dibuatnya. "Aku kan belum meneruskan pertanyaanku!"

"Aku bisa menebaknya."

"Oh yeah?" tanya Harry dengan nada merendahkan. Draco mengangguk bosan. "Rasanya aku tak pernah merasa sebegini dekat dengan orang yang baru kukenal. Apalagi dengan lelaki."

"Kenapa dengan lelaki yang baru kaukenal? Kaupikir aku semacam pedofil atau om-om hidung belang?" tanya Draco sarkastik. Harry tersenyum sambil membulatkan matanya.

"Yah, aku terlanjur menempelkan imej yang buruk pada lelaki-lelaki yang berusaha dekat denganku," ujar Harry seraya mendesah. "Bagaimana denganmu? Kuperkirakan, kau straight ya?"

"Tidak tahu," jawab Draco singkat.

Harry melongo. "Kenapa bisa seperti itu?"

"Aku belum pernah pacaran."

"APA?!"

Draco sontak menutupi kedua telinganya, perlindungan agar gendang telinganya tak pecah. "Bisa tidak sih pelankan suaramu didepan telingaku?!" protes Draco.

Namun Harry tak menghiraukannya. "Kau becanda! Pasti becanda!"

"Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku sedang becanda?"

"Karena..." Harry nampak mencari-cari alasan. "Kupikir kau idola seluruh wanita—maupun pria didunia ini! Merlin! Kupikir dengan wajah tampanmu, style yang kaupunya, dan semua plus-plus lain didiri—Apa?" tanya Harry heran ketika Draco menyeringai kearahnya.

"Apa sih?"

Draco berdehem kecil. "Kupikir tadi kau mengataiku tampan?"

Harry mulai terlihat kikuk. "Kapan?"

"Baru saja."

"Kau salah dengar."

Draco semakin tersenyum inosen. "Oh ya?"

"Y—yeah."

Draco magut-magut. "Aku harus berhati-hati pada Bi sepertimu. Bisa saja kau suka padaku, kan?" tukas Draco. Mata emerald Harry membulat seketika.

"No way!"

Draco terkekeh pelan, kemudian mengacak rambut Harry gemas, membuat suara protes terdengar dari bibir Harry. "Berhenti mengacak rambutku!"

"Mau diacak berapa kalipun akan tetap sama," jawab Draco enteng. Harry merengut. Dan Harry tak bisa memungkirinya. Keadaan saat mereka berdua berbincang, atmosfer yang diciptakan Draco setiap kali mereka bertukar kalimat, seperti—tak asing bagi Harry. Seperti mereka telah lama saling kenal saja. Hal yang mustahil bagi seorang Harry Potter...

...dan juga bagi Draco Malfoy.

Hari itu, seorang anak laki-laki datang ke London. Membawa serta sebuah keinginan dan angan kuatnya hingga sampai pada titik pertemuannya dengan kehidupan baru. Bisa kuberi satu contoh. Pemuda bermata zamrud yang kini menjadi teman sebangkunya disekolah, misalnya. Dan masih banyak lagi. Dan masih banyak lagi.

Dan mereka berteman. Mereka berteman, setidaknya diawalnya.

Yah, begitulah.

.

.

.

.

"Harry, son. Kau lama sekali?" sambut Lily saat Harry pulang dari sekolahnya. Harry mencopot sepatunya, lalu menaruhnya ditempat sepatu dipinggiran ruang tamu.

"Maaf, Mum. Bareng teman baru."

Lily mengernyit heran. "Teman baru? Laki-laki atau perempuan?" tanya Lily penuh selidik. Harry mendesah bosan. "Laki-laki."

Alis Lily terangkat sebelah. "Kuharap yang ini tak seperti McLaggen."

Harry, yang sedang meminum orange juice miliknya yang ditaruh dilemari es, sukses tersedak mendengar kalimat ibunya itu. "Mum!" protesnya.

Lily tertawa terhibur.

"Dia hanya temanku! Bukan pacar baruku. Oh, tolonglah..."

"Baiklah, baiklah. Sekarang, cepat mandi dan siap-siap."

Harry memandang ibunya bingung. "Siap-siap?"

Lily, yang menyadari ketidaktahuan anaknya, tiba-tiba saja teringat jika dia belum memberitahunya tentang agendanya malam ini. "Maaf, son lupa memberitahumu. Malam nanti kita akan pergi ke Mansion keluarga Black."

"Benarkah?" sorak Harry penuh semangat. Lily mengangguk.

"Wow! Menyenangkan sekali! Aku sudah kangen berat dengan Sirius! Memangnya ada apa?"

"Ada acara keluarga. Dan Walburga meminta kita untuk datang. Kupikir Weasley juga akan datang. Fabian bahkan juga diminta pulang dari Korea oleh Walburga sendiri."

"Sepertinya penting sekali," ujar Harry sambil mengambil sepotong kue yang tergeletak dimeja makan. Masih hangat, rupanya.

Lily menatap Harry dengan tatapan memeringatkan, yang kemudian ditanggapi pemuda berambut hitam itu dengan erangan malas. "Baiklah! Aku akan mencuci tanganku dulu."

Lily tersenyum penuh kemenangan. "Sekalian mandi, lalu kita langsung makan malam, dan kita bisa pergi tepat waktu."

"Bukankah disana kita nanti juga akan dijamu?" tanya Harry kesal, sambil berjalan santai menyusuri beberapa anak tangga untuk mencapai kamarnya.

Sayup-sayup, dia masih bisa mendengar ibunya menjawab, "Yah, kalau kau mau memasak masakan Italia semua. Kau tahu, kan? Keluarga Black?"

Harry mendengus bosan. Yah, dia lebih dari tahu. Semua kunjungannya di kediaman Black tidak berlangsung seru setiap saatnya. Kadang, pada jamuan makan malam, dia harus rela hanya makan pie apel. Alasannya, karena disana jamuannya hanya makanan Itali! Dan dia benci makanan Itali...

.

.

.

.

Sesampainya mereka sampai dikediaman keluarga Black, Lily langsung mencari Walburga Black, sang empunya rumah, untuk meminta maaf atas keterlambatannya.

"Maafkan aku, Walburga. Kau tahu, kan? Anakku satu-satunya itu susah sekali untuk bersikap rapi sedikit saja. Yah, imbasnya aku harus menata ini dan itu," desah Lily.

Walburga mengangguk mafhum. "Tak apa, Lily. Lagipula, acaranya belum mulai. Nah, sekarang dimana James mini itu?"

"Oh, entahlah. Mungkin bersama para Weasley yang lain. Dia itu, susah sekali untuk diatur. Sungguh, aku bahkan sangat heran kenapa semua sifat dan sikap James menurun padanya..."

"Apakah sikap James yang narsis juga menurun padanya?" tanya sebuah suara dibelakang Lily.

"Oh, bahkan yang itu ju—Cissy!" Lily tak meneruskan jawabannya, setelah menoleh kesumber suara. Dibelakangnya, berdiri seorang wanita—lebih tua darinya—, memakai baju berwarna biru laut yang panjang menutupi kaki jenjangnya. Rambutnya yang pirang tergerai lurus melewati pundaknya, senyumnya masih hangat, sama seperti terakhir kali mereka berdua bertemu.

"Oh! Sungguh kejutan, Cissy! Ya ampun, kapan kau kembali? Aku tak percaya!" seru Lily antusias sambil mendekap erat Narcissa—Malfoy.

"Kejutan untuk semuanya. Bahkan aku baru datang kesini sekitar dua jam yang lalu," jawab Narcissa—atau lebih akrab dipanggil Cissy—santai.

Lily bersedekap. "Harusnya kau memberitahuku."

"Dan... atas dasar apa?"

"Lucius! Oh, aku lupa kalau kau suami Cissy dan pastinya kau ada disini juga!" teriak Lily heboh sambil menggenggam tangan Lucius Malfoy erat-erat. "Sudah lama tak bertemu denganmu, dan rupanya kau masih seperti dulu, Luce."

Lucius menatap Lily tajam atas panggilan usil darinya. Lily terkekeh, sementara Cissy tersenyum lembut.

"Aku nampak konyol kau panggil seperti itu," dengus Lucius. Lily mengangkat alisnya terhibur.

"Baiklah, baiklah, duduklah kalian! Jangan bicara sambil berdiri," ujar Walburga. Lily langsung menyeret Cissy keruang tengah, dimana disana sudah ada Molly Weasley—ibu dari Ron Weasley—dan suaminya, Arthur Weasley. Molly nampak sedang membahas sesuatu yang asyik dengan Andromeda Black, kakak dari Cissy sendiri. Dan Arthur rupanya sedang bercengkerama dengan Regulus Arcturus Black, adik dari Sirius Black, ayah baptis Harry. Bellatrix Black—kakak Andromeda dan Cissy—, terlihat sedang tertawa terbahak-bahak dengan Fred dan George Weasley—anak kembar dari Molly dan Arthur.

Semua yang disana menyapa Lily dengan ramah. Bahkan Andromeda memeluknya erat. Lily dan Cissy langsung mencari sofa yang kosong, supaya mereka bisa berbincang dengan leluasa.

"Bagaimana Rusia?" tanya Lily mengawali pembicaraan.

"Dingin sekali. Seperti akan turun salju setiap hari saja. Dua tahun Draco disa—"

"Oh, Merlin! Dragon? Oh ya ampun, kenapa aku lupa dengannya? Dimana dia sekarang, Cissy?" tanya Lily.

"Dia belum datang. Kusuruh mampir kesuatu tempat dulu," jawab Cissy.

Obrolan mereka makin seru, sesekali disela oleh tawa antara keduanya, saling bertukar cerita mengenai apa-apa saja yang terjadi, selama belasan tahun mereka berpisah. Sampai—

"Aunt Lily, Aunt Lily!" teriak seorang berambut merah dari kejauhan—Lily sudah yakin jika itu salah satu dari anak Weasley— memanggil nama Lily.

"Astaga, Ron. Tenanglah. Ada apa kau teriak-teriak seperti itu, hah?" bentak Molly, ibu Ron.

"Yeah, Ronnykinkins. Apa sesuatu masuk dalam lubang telingamu kananmu..."

"...dan harus keluar dari perutmu..."

"...seperti ibu-ibu melahirkan?" sahut Fred dan George.

"Diam kalian! Aunt Lily, Harry—Harry..."

"Ada apa dengan anak itu?" tanya Lily penuh curiga.

"Harry... terluka... —hosh hosh— Tangannya kena—hosh—petasan saat kita bermain—hosh—bersama Siri—"

"Sirius!" teriak Lily sambil beranjak dari sofanya, meninggalkan Cissy disana dan menghampiri Sirius yang dia tahu benar sedang bersama yang lain di halaman belakang. Fred dan Geroge mengikutinya—karena langsung excited dengan acara Harry dan Sirius—bersama dengan Ron yang masih terengah-engah.

"Sirius!" teriak Lily saat mereka hampir sampai kehalaman belakang. "Siri! Apa yang terjadi dengan Harr—"

Kalimatnya terpotong. Disana, Harry tidak bersama Sirius. Dia bersama seseorang yang sekilas nampak asing dengannya. Seorang pemuda. Seumuran dengan Harry, mungkin. Namun tinggi mereka jelas tak sama. Mungkin beberapa senti lebih tinggi dari Harry. Wajahnya tampan, putih pucat dengan dagu runcing dan terlihat sedang berkonsentrasi membebat tangan anaknya. Mendekat, Lily masih mengamati anak muda itu, bukannya Harry—

"Draco!" teriak Ron dibelakang Lily. Lily terkejut, menoleh kebelakang. Matanya membulat sempurna. Draco?

Ron melewati Lily, menuju kearah Harry –yang masih meringis kesakitan—dan Draco yang menoleh sejenak kearahnya. "Oh, syukurlah kau bisa mengobatinya!" ujar Ron.

Sejenak kemudian, Sirius datang tergopoh-gopoh dari dalam rumahnya, datang dengan membawa sebuah kotak persegi berisi obat-obatan. Lily memandangnya tajam. "Apa. Yang. Terjadi."

Sirius nyengir tak bersalah. "Sedikit bermain-main dan tak sesuai prosedur," jawabnya enteng. Lily menggeram marah, lalu menghampiri Harry.

"Mum..." keluh Harry yang matanya berkaca-kaca.

"Oh, tanganmu terluka? Kenapa bukan rambutmu yang terbakar, ya?"

"Jangan!" teriak Sirius dan Harry bebarengan. Walaupun mungkin maksud 'jangan' itu berbeda.

"Nanti dia bukan replika James lagi..."

"Nanti tak ada yang akan tertarik padaku lagi..."

Lily merengut pada keduanya. "Sirius, dia masih anak kecil –'Mum! Aku sudah enam-belas tahun!' protes Harry—dan aku tak akan mengizinkannya meniru jejak James."

Sirius bergumam tak jelas. Jelas dia sangat tak terima dengan perkataan Lily barusan. Lily mengalihkan pandangannya dari Sirius. Dan menatap Draco yang sedang menatap Sirius dengan terhibur.

"Oh, anakku!" teriak Lily dengan tatapan memuja. Harry melotot horor, sementara Draco diam saja. Hal ini membuat Harry mau tak mau berpikiran jika ibunya punya anak dengan pria lain, dan Draco adalah saudaranya lain ayah!

"Draco, oh, nak. Sudah lama tak bertemu denganmu," sambungnya sambil mendekap Draco. Draco, yang merasa rikuh, membalas pelukannya. Dibalik punggung Draco, Harry menatap ibunya mencela.

"Apa?" tanya Lily.

"Kenapa kalian saling kenal?" tanya Harry dengan nada agak—err... cemburu.

Lily memutar matanya bosan. "Harry, dia ini Draco –'Aku sudah tahu!' jawab Harry—dan dia ini anak dari teman Mum."

Harry hanya ber-Oh ria. "Dia Draco, teman baru yang kuceritakan tadi."

"Benarkah?" tanya Lily antusias. "Kau juga sekolah di Hogwarts, Draco?"

"Yes, Aunt Lily..."

Lily terperangah. "Oh, sweety, rupanya kau masih mengingatku."

Draco mengangguk, sementara kernyitan dikening Harry makin bertambah. "Masih?" tanyanya.

"Rupanya kalian harus segera masuk kalau kalian tak mau Walburga marah-marah lagi. Tadi dia sudah marah pada Kreacher empat kali dalam setengah jam."

Mereka semua menoleh.

"Dad..." ujar Draco pelan. Lily tersenyum padanya.

"Draco dan kau seperti Harry dan James, ya?" tanya Lily. Sirius mendengus. Lily memelototinya tajam.

"James dan Harry lebih macho," jawab Sirius. Lily makin melotot mendengarnya. Harry protes, merasa tak terima jika dirinya dikatakan macho. Mungkin dia lebih suka dikatakan manis.

"Aku tak minta pendapatmu, Sirius. Dan—terimakasih perbandingannya, Lily," ujarnya memandang mereka disana bergantian. Dan tatapannya terhenti pada Harry.

Mereka semua menuju kedalam rumah, dimana diruang keluarga, semuanya sudah berkumpul. Sirius nyengir pada Harry dan menatap Lily dengan tatapan mencela.

"Kau tahu, ibumu berlebihan sekali, Harry."

"Aku dengar itu."

Harry menahan diri untuk tertawa, sementara ibunya sekarang sedang berbincang dengan Draco disamping kanannya, dan Lucius Malfoy disamping kirinya, menuju keruang keluarga.

Harry duduk disamping Sirius sebelum Cissy dan Lucius menghampirinya. Cissy nampak sangat kaget melihat Harry disana. Perlahan, raut wajah Cissy berubah sendu.

"Kau pasti Harry Potter," sapanya. Harry mengangguk malu-malu. Kemudian, Cissy langsung memeluk Harry erat. "Sudah lama aku ingin sekali bertemu denganmu."

"Err— Mrs..."

"Cissy. Panggil Aunt Cissy."

"Err—ya, Aunt Cissy."

"Draco sudah cerita pada Aunty jika dia sekelas denganmu. Benarkah begitu?" tanya Cissy. Harry mengangguk sambil tersenyum.

"Kuharap kalian bisa berteman lagi."

"Ehh?"

"Maaf, apa aku telat?"

Semua yang disana menoleh kearah pintu masuk. Beberapa terkejut, beberapa mengernyit heran—Harry dan Lily salah satunya—, dan beberapa malah masih sibuk mengambil pie apel diatas meja.

"Oh, tidak, nak! Tidak, tentu saja. Sini, bergabunglah. Oh, ya? Mana Nicole dan Willy 1)?" tanya Walburga, ketika sang tamu mengangguk dan menyeruak diantara para tamu yang lain. Bellatrix dan Walburga yang paling nampak senang. Sementara Lucius hanya mengangguk singkat, dan Cissy nampak begitu kikuk.

"Mum dan Dad ada urusan sebentar, Mrs Walburga," ujar si gadis.

Harry memandangnya heran, sementara Draco nampak tak menghiraukan kehadirannya.

"Asto?" Harry berbisik lirih.

Sirius memandangnya. "Kupikir dia namanya Daphne?"

"Bukan, itu kakaknya. Asto lebih baik berkali-kali lipat dari Daphne."

Sirius kembali memandang Harry. Namun, kali ini, dia memasang senyum jahil.

"Apa?" tanya Harry.

"Kau suka padanya, eh?"

"Ap—oh, tolong, deh. Dia hanya temanku. Dan aku tak mau berpacaran—dulu."

Sirius mengangguk –iyainajadeh- paham.

"Tapi—kenapa keluarga Greengrass juga ada disini?"

"Kenapa Potter juga ada disini?" tanya Fred jahil.

"Dorea Potter dulunya juga Black, tahu!" jawab Harry kesal.

"Emm—entahlah. Aku juga bingung. Hey, Cissy, kenapa ada Greengrass disini? Dan apa-apaan hanya seekor saja yang datang?"

"Jaga bicaramu, Siri!" Regulus memukul kepala Sirius dengan buku ringan yang dibawanya. Sirius mengaduh kesal.

"Nanti kau akan tahu sendiri," jawab Cissy. Harry mengerutkan keningnya bingung. Sementara Sirius mendengus.

"Aku tak suka yang seperti ini," ujarnya.

"Seperti apa?" tanya Harry dan Ron bebarengan.

"Situasi seperti ini."

"Seperti apa, sih? Rame? Bukankah kau suka keramaian?" tanya Harry lagi. Sirius –hampir—menepuk jidatnya sendiri.

"Pertemuan sebuah keluarga besar dengan keluarga besar yang lain. Kau tahu apa artinya itu?" tanya Sirius pada Harry. Mungkin lebih mengarah pada menebaki, ya?

"Arisan," sahut George.

"Atau warisan?" tambah Fred.

Sirius memutar matanya bosan. "Perjodohan."

"APA?!" teriak Harry, Ron, dan sikembar Weasley bebarengan. Semua menoleh kearah mereka. Sirius nampak frustasi.

"Maaf," ujar Harry pelan. Diseberang sana, Astoria sedang berbincang dengan Lily dan Walburga. Ketika Harry menatap Asto, tanpa disadari, Asto membalas menatapnya, kemudian tersenyum. Draco, yang duduk agak jauh dari Harry, juga menatap sang pemuda beriris hijau dengan cermat. "Apa sih?" tanya Harry bingung.

Draco menghela napas pendek.

"Tapi—siapa yang mau dijodohkan. Harry, ya?" tanya Fred. Harry menatapnya horor, kemudian menatap ayah baptisnya.

"Tentu saja bukan. Jika Harry mau dijodohkan, akulah orang pertama yang akan menolaknya. Yah—selama Harry keberatan. Kupikir, Harry sudah bisa mencari pendampingnya sendiri," ujar Sirius sambil menepuk bahu Harry lembut. Harry menatap Sirius dengan tatapan memuja.

"Lalu?"

"Tentu saja—"

"Siri—" potong Regulus.

"Apa?"

"Bukan hakmu mengumumkan perjodohan anak orang," jawabnya. Sirius mencibir.

Harry mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Meneliti wajah anak-anak –atau remaja?—disekitar sana. Jika Asto akan dijodohkan, dan ini adalah mediasi antara keluarga Greengrass dan keluarga Black, pastilah calon Asto ada disini, kan?

Dan pandangannya terhenti pada Draco. Yang juga menatapnya. Intens lagi. Harry merutuk dalam hati. 'Kenapa sih, dia melihatku seperti itu—terus?' batinnya.

Merasakan bahwa Harry risih dipandang seperti itu, buru-buru Draco mengalihkan pandangannya.

Astoria diajak oleh Lily supaya duduk berdekatan dengan Draco dan dirinya. Harry mendesah melihat kelakuan ibunya.

"Cheese cake, Harry, son?" tawar Cissy padanya, membawakan nampan penuh dengan potongan Cheese cake. Harry mengambil satu, seraya bergumam terimakasih pada Cissy.

Diseberang sana, Lily rupanya sedang membujuk Draco supaya mau berbicara dengan dia dan juga Asto, walaupun nampaknya Draco sungguh-sungguh tak tertarik. Sesekali, Harry memergoki Asto sedang melirik kearahnya, kemudian buru-buru mengalihkan tatapan matanya.

"Kau sudah besar, sekarang," kata Cissy. "Dulu, dulu sekali. Aku masih ingat, bagaimana kau baru bisa merangkak dan mulai bisa berceloteh riang."

Harry memandang Cissy heran. "Err—Aunty nampak sangat mengenalku. Apa—kita sangat dekat dulunya?"

Kini, ganti Narcissa yang memandang Harry dengan tatapan apa-maksud-perkataanmu. "Kau sama sekali lupa?"

"M—maaf?"

"Kau lupa?" tanya Cissy lagi. "Kau benar-benar tak ingat pada Draco?"

Eh?

Harry mengernyit heran.

Cissy mendesah pelan. "Pasti gara-gara itu."

"Gara-gara—apa?"

"Tidak, tidak," kata Cissy mengelak. Namun Harry tahu Cissy hanya tak mau mengatakannya.

Harry merenungi ucapan Cissy.

'Aku? Tak ingat pada Draco? Draco Malfoy? Lelaki yang baru kukenal pagi tadi, maksudnya, ya? Yang kubagi sandwich itu? Yang pindahan dari Durmstrang, kan? Itu Draco anaknya Aunt Cissy kan?' ujarnya dalam hati.

Beberapa saat kemudian, orangtua Asto dan Daphne tiba disana. Gadis itu memandang Harry dengan tatapan tajamnya seperti biasa, kemudian langsung menempel pada Draco.

Walburga langsung memanggil Cissy untuk berbincang bersama mereka yang baru saja datang, membuat Harry semakin mengerutkan alisnya.

"Taruhan, yang mau dijodohkan adalah Draco," bisik Ron ditengah keramaian disana. Harry tersentak kaget, memandang Ron dengan horor.

Harry melayangkan tatapannya kearah Draco. Dia disana, sedang berbicara serius dengan ayahnya, sesekali dengan berbisik-bisik, seakan tak mau pembicaraan mereka didengar oleh siapapun. Dalam pembicaraan mereka, Harry bisa mengamati dengan jelas, terkadang Draco melotot horor, kadang alisnya mengerut tajam, atau kadang memijat pelipisnya frustasi.

Harry menengadah, menatap langit-langit. Sebersit perasaan aneh muncul mengganggu perutnya, seperti gejolak yang meraung ketika Draco memandangnya tadi. Terakhir kali perutnya melilit seperti ini—saat dia diracuni obat pencuci perut oleh beberapa teman wanitanya yang iri saat dia menjalin kasih dengan McLaggen. Dan terakhir kali dia merasakan jantungnya bertalu seperti ini, saat terakhir dia menyukai Cedric Diggory, cinta tak berbalasnya.

"Sandwich?"

Harry menoleh kesumber suara. Draco rupanya. Harry bisa merasakan bagaimana wajahnya kini memerah karena kedatangan Draco yang tiba-tiba itu. Gelagapan, Harry malah menggosok belakang kepalanya.

Draco mengangkat alisnya. "Well?"

"Ehh—"

Draco mengambil satu sandwich diatas nampan yang dibawanya.

"Aku tidak lapar, Dray."

Harry menggeser duduknya kesamping tempat Sirius duduk tadi. Draco mendudukkan diri disamping Harry. "Temani aku makan, aku lapar."

Harry mengangguk, lalu menggigit kecil sandwich yang diberikan Draco. Sambil memalingkan muka dari hadapan pria blondie disampingnya, menenangkan perasaan aneh yang sedari tadi bergemericik didalam perutnya.

"Kau sakit? Wajahmu merah," ujar Draco pelan. Harry sontak menoleh kearahnya, makin kikuk dengan pertanyaan barusan.

"Be—benarkah?"

Draco mengangguk. Sedetik kemudian, tangan kanannya terangkat keudara, mendekati wajah Harry yang tentu saja melotot horor, mencoba menjauhi tangan Draco. Merasa dihindari, Draco mendelik menatapnya. "Aku hanya ingin memastikan kau sedang tidak sakit," dengusnya.

"Aku tidak sakit, kok," jawab Harry kikuk. Draco mendengus pelan, menurunkan tangannya. "Jadi, ini acara apa?"

Draco memandang Harry lekat. "Ini—"

"Ehm—perhatian, semuanya," ujar Walburga. "Terimakasih telah meluangkan waktu untuk hadir di acara keluarga besar Black. Mungkin sebagian masih bingung, kenapa aku dan Orion mengadakan acara keluarga seperti ini," sambungnya dengan seringaian kecil yang dia tujukan pada Lily yang tersenyum antusias.

Harry mengernyit menatap ibunya, yang sepertinya tahu apa yang terjadi disini.

"Karena hari ini, adalah pertunangan antara Miss Greengrass dengan pewaris tunggal keluarga Malfoy," seru Walburga riang sambil bertepuk tangan.

Harry membelalakkan matanya horor. Kemudian melirik Draco yang masih duduk disamapingnya. Si pria blondie itu sedang menunduk sambil menghela napas panjang.

Dan kemudian, Harry merasakan gejolak aneh dalam dirinya. Merasakan suatu raungan aneh menyapa hatinya, seperti ada yang terbakar, atau tertonjok. Bak palu godam yang dipukulkan kedalam hati kecilnya, jauh dalam hati kecilnya. Dia tak paham akan apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Mengikuti insting, dia menundukkan kepala, mencoba mengurangi rasa sakit di dadanya dan rasa heran akan dirinya sendiri.

Oh, Tuhan—

XXX

XXXXXXXXX

XXX