.

What is Happiness?

A Naruhina fict by Uzumaki Shizuka

Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto, disini saya hanya meminjam karakternya

Rate: T

Warning: Newbie author; ide pasaran (mungkin?), diksi standar, diusahakan tidak terlalu OOC, disini latar yang digunakan zaman Jepang kuno tapi tidak terlalu berasa karena kekurangan author, selebihnya nilai sendiri ya :D

.

Chapter 1

Cit.. Cit.. Cicicicit

Indahnya..

Kicauan burung terdengar merdu di telinga Hinata. Seakan ingin memberikan semangat tersendiri kepadanya untuk memulai harinya. Bersama semilir angin yang mengibas lembut rambut indigo sepinggangnya, Hinata berjalan sambil tersenyum menikmati suasana pagi yang syahdu tersebut.

Wuzzz... Hinata merasakan ada yang berbeda pagi ini, hawa dingin yang belakangan menerpa sedikit menghangat. Mengerti, ditengoknya sisi kanannya. Iris amethys-nya melebar saat melihat pemandangan di depannya. Tepat di sekitar pagar tinggi yang cukup jauh dari pelataran yang sedang disusurinya, terlihat hamparan belasan pohon sakura yang sedang menumbuhkan pucuk-pucuk bunga sakura –berlatar pagar cokelat dengan tanah basah sisa tumpukkan salju di bawahnya dan langit biru yang luas di atasnya.

Hinata tertegun, hingga tanpa sadar langkahnya terhenti.

Tahun kelima, batinnya.

Ya, musim semi menandakan waktu telah berjalan lima tahun sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di kediaman Namikaze –tepat lima tahun lalu pada musim yang sama.

Tidak pernah ia lupakan masa-masa itu, masa dimana Hinata terbebas dari tali penderitaan yang menjeratnya bertahun-tahun. Sekaligus masa dimana ia bertemu sosok bagaikan cahaya yang menariknya dari kehidupannya yang gelap. Cahaya yang kemudian menjadi penyemangat baginya untuk melanjutkan hidup. Cahaya yang menenangkan dan membebaskan batinnya dari jerat bayang-bayang masa lalu yang mencekam. Cahaya yang membantunya mengumpulkan kembali puing-puing harga diri. Serta cahaya yang membuatnya mampu merasakan hidup yang terisi kebahagiaan. Singkatnya, cahaya yang membuatnya dapat merasakan "hidup" yang sebenarnya setelah sekian lama.

Cahaya itu adalah, Namikaze Naruto. Seorang pemuda yang lima tahun lalu menghalau amukan amarah ayah angkat Hinata –pemilik kedai sake tempatnya bekerja– yang lagi-lagi akan menghukumnya akibat perlakuan Hinata menampar pengunjung yang meremas pantatnya (baca: melecehkannya). Naruto yang notabene putra tuan tanah tersebut membeli Hinata dari ayah angkatnya.

Jangan salah, bukannya Naruto jatuh cinta atas keberanian gadis berusia dua belas tahun yang membela harga dirinya tersebut, atau sekedar tertarik dan bermaksud ingin memiliki Hinata sebagai budaknya. Melainkan ia melakukan itu karena dihadapkan pada kondisi yang menuntutnya untuk membeli Hinata agar tidak memperpanjang masalah dengan ayah angkat Hinata. Sebab, pria tambun tersebut berang dan tidak terima atas tindakan pemuda berusia enam belas tahun yang tiba-tiba saja ikut campur dan mengganggu urusannya tersebut. Dengan demikian, Naruto tidak hanya menolong Hinata tetapi juga membebaskannya dari ayah angkatnya selamanya.

Naruto –yang statusnya menjadi pemilik Hinata– kemudian mengajak Hinata ke kediaman Namikaze untuk mempekerjakannya sebagai pelayan. Tak ada yang mengetahui bahwa Hinata adalah seorang gadis yang dibeli Naruto –sang putra tunggal sekaligus tuan muda keluarga Namikaze. Anggota keluarga Namikaze dan seluruh pelayan hanya mengetahui Hinata sebagai pelayan baru yang dipekerjakan pemuda keluarga itu. Hinata memilih ikut saja, jika Naruto bersikap seperti menginginkan orang lain hanya menganggapnya sebagai pelayan biasa. Atau mungkin malah Naruto melupakan status Hinata sebagai gadis yang dibelinya dalam artian membebaskannya.

Sejak saat itu, Hinata merasa sangat bersyukur atas kehadiran Naruto dalam hidupnya. Tidak berlebihan jika Hinata menganggap Naruto bagai dewa penyelamat sekaligus tuannya. Bagi Hinata, Naruto adalah orang yang paling ingin ia balas budinya, orang yang paling ingin ia layani seumur hidupnya, orang yang paling ingin ia jaga senyumannya, dan jauh di lubuk hati gadis berhati lembut tersebut, Naruto adalah pujaan hatinya.

Ya, Hinata tidak menyangkal bahwa Naruto memang telah mengambil hatinya. Laki-laki pertama yang mengisi kekosongan dalam hidupnya. Dan laki-laki pertama yang dicintai gadis itu setulus hatinya.

Tidak ada yang bisa menyangkal ketampanan dan kegagahan yang dimiliki seorang Namikaze Naruto tapi di mata Hinata, kebaikan hati Naruto jauh beribu-ribu kali dikaguminya dibandingkan ketampanan dan kegagahannya. Baginya, kehangatan yang selalu dipancarkan senyum ceria pemuda itu kepada sekitarnya serta sikap melindungi dari tubuh gagah dan bahu kokohnya –bahkan kepada pelayan sekalipun– itulah Narutonya yang tanpa sadar menyemikan benih cinta di hati seorang gadis dua belas tahun yang ditolongnya tersebut, hingga sekarang.

Namun Hinata sangat menyadari perasaannya ini tidak seharusnya. Tidak ada cinta bagi seorang tuan kepada pelayannya. Sungguh hal mustahil perasaannya akan terbalas. Status sosialnya telah menjadi tembok pembatas yang kokoh antara realita dan harapannya sejak awal. Hinata sangat menyadari tidak ada harapan cintanya akan berakhir manis di kenyataan.

Tapi bagi Hinata, bisa mencintai Naruto saja sudah menjadi kebahagiaan baginya. Ia tulus mencintai Naruto, tak peduli pemuda itu tidak akan membalas perasaannya, atau bahkan sama sekali tidak melihat ke arahnya. Ia mencintai Naruto, karena pemuda itulah yang mengajarkan cinta kepadanya.

"Hinata!"

"Hai." Hinata tersentak. Panggilan Ayame –rekan sesama pelayan– menyadarkannya.

"Sedang apa kau di situ, ayo cepat pelayan dapur sudah menunggu kita," seru Ayame namun tetap terdengar lembut melihat Hinata yang hanya berdiam diri di belakangnya. Di saat mereka seharusnya sudah berada di ruang makan kediaman Namikaze untuk menyiapkan ruang makan.

"Sumimasen, Ayame-san," jawab Hinata kemudian yang merasa tidak enak hati sambil berlari kecil. Saat telah menyamakan posisi di samping Ayame, Hinata berjalan tertunduk malu menyadari dirinya lagi-lagi membayangkan masa lalunya dan Naruto tuannya.

.

-What is Happiness?-

.

Hinata POV

"Itadakimaasu!" seru Minato-sama, Kushina-sama, dan Naruto-sama bersamaan yang menandakan kegiatan makan baru saja dimulai.

"Mmm.. Kaa-syan, kao yakin syup ini kao syendiri yang membuatnyua?" Hihi, suara Naruto-sama yang mulutnya penuh berisi makanan terdengar lucu.

Ah tidak, tentu saja tawaku hanya bisa kuekspresikan dengan senyuman tipis. Karena sangat tidak sopan jika pelayan sepertiku sampai tertawa –lebih-lebih menertawakan tuannya sendiri– saat kegiatan sarapan keluarga Namikaze seperti ini.

"Kenapa kau meragukannya Naruto?" Kushina-sama bertanya sambil mendelik ke arah putra satu-satunya.

"Habis, rasanya enak seperti biasanya."

Glek, Naruto-sama meneguk habis makanan di mulutnya, sepertinya celotehnya belum selesai.

"Aa paling-paling Chiyo-baasan yang meramu bumbunya kan, sedangkan kaa-san hanya memasukkan sayur dan mengaduknya saja kan? Ne.. Ne.. Ayolah mengaku saja."

"Kau..", wajah Kushina-sama memerah mendengar penuturan putranya.

"Naruto, hargailah usaha Kaa-san-mu. Walaupun hanya mengaduk setidaknya kan sudah ada kemajuan. Hahaha.." Setelah dari tadi menyimpan suaranya, Minato-sama akhirnya bersuara juga. Wajah dan suara tawanya yang tenang berbanding terbalik dengan raut wajah Kushina-sama yang kesal dan menatap tajam ayah dari putranya tersebut.

"Minato, kau ini sama saja."

"Augh, ugh, ugh. Kushina, supku hampir tumpah."

"Biar," sahut Kushina masih memukuli lengan kokoh suaminya. Dan Minato-sama, terlihat sangat pasrah atas perlakuan istrinya.

"Hahaha... Kaa-san dan tou-san mesra sekali, ya. Membuatku iri saja.."

"Diam! Ini semua gara-gara kau, Naruto." Kali ini Naruto-sama yang mendapat hadiah tatapan tajam dari Kushina-sama.

"Haha.. Sudah-sudah lebih baik kita lanjutkan saja makannya sebelum supnya menjadi dingin."

"Ne.. Ne.. Baiklah tou-san.."

"Huh, dasar!"

Kushina-sama pun memutuskan mengikuti saran suaminya dan melanjutkan menyantap sarapannya dengan tenang.

Tak lama kemudian hening menggantikan suasana penuh kehangatan keluarga yang barusan kusaksikan.

.

-What is Happiness?-

.

Aku terhenyak.

Apa.. tadi Naruto-sama mengatakan iri dengan kelakuan mesra orangtuanya?

Apa itu berarti Naruto-sama juga menginginkan memiliki keluarga suatu hari nanti. Dan, bisa mengulang kehangatan yang sama?

Dasar bodoh. Tentu saja dan tidak perlu ditanyakan lagi, Hinata.

Semua pria seperti Naruto-sama pasti menginginkan memiliki keluarga yang hangat dan dapat diayominya suatu saat nanti. Apalagi Naruto-sama sudah 21 tahun sekarang. Ia pun pasti menyimpan keinginan yang sama.

Naruto-sama.. Apakah ada kesempatan suatu saat nanti saya akan mendampingi Anda dan membangun keluarga yang hangat bersama-sama. Jika iya, sudah pasti saya akan membuatkan sarapan dengan keahlian tangan saya sendiri sepenuh hati. Ah tidak-tidak.

"Kau kenapa, Hinata?" Gawat, tanpa sadar kepalaku menggeleng menghalau lamunanku yang tidak-tidak.

"Ti-Tidak apa-apa, Ayame-san, a-aku hanya sedikit melamun." Argh, malu rasanya belum sejam sudah kedapatan dua kali melamun oleh Ayame-san.

Ayame-san terlihat kembali fokus ke meja makan di depannya. Fiuuh.. Syukurlah Ayame-san tidak memperpanjang masalah ini. Tentu saja, Hinata. Ayame-san pasti tahu tempat.

Atau, mungkin saja pertanyaan Ayame-san tadi hanya sebuah teguran untuk mengingatkanku agar kembali fokus bekerja.

Benar juga, aku hanya seorang pelayan di rumah ini. Hinata, berhentilah memupuk impian yang terlalu mustahil.

.

-What is Happiness?-

.

"Aa, kebetulan sekali. HINATAA!"

Hinata yang merasa dipanggil menolehkan kepala ke arah pemanggilnya. Tampak Inuzuka Kiba –salah seorang penjaga kediaman Namikaze yang sedang bertugas– sedang melambaikan tangan ke arahnya.

"A-Ada apa, Kiba-kun?" Sahut Hinata setengah berteriak.

"Bisa kau kemari sebentar?"

"H-Hai".

Hinata mengerti dan menghampiri Kiba.

"Kau tidak sedang sibuk, kan, Hinata?" tanya Kiba kepada Hinata yang tengah menghampirinya.

"T-Tidak, a-apa ada yang bisa kubantu, Kiba-kun?" tanya Hinata kepada pemuda di depannya.

"Tadi ada yang ke sini menyerahkan jahitan pakaian Naruto-sama, aku tidak bisa menyerahkannya ke dalam karena sedang berjaga sendirian. Nah, apa kaubisa mengantarkan ini ke kamar Naruto-sama, Hinata?" ujar Kiba kemudian mengarahkan buntalan paket yang berisi baju kepada Hinata.

"Sou ka, hai, serahkan padaku, Kiba-kun," sahut Hinata dengan riang beserta senyum manis di wajahnya –yang menurut Kiba semanis gula-gula yang pernah Akimichi Chouji, rekannya bagikan. Membuat Kiba yang melihatnya menjadi salah tingkah dan mengusap tengkuknya sendiri.

"Ahaha, baguslah Hinata, aku terbantu sekali," ujar Kiba kepada Hinata yang telah menyambut sebuah paket lumayan besar dari tangannya. "Arigatou gozaimasu."

"Hai, douitashimashite, Kiba-kun," sahut Hinata. "Kalau begitu saya permisi dulu, Kiba-kun."

"Aa, silakan, Hinata."

Kiba masih memperhatikan Hinata yang berjalan menjauhinya setelah sedikit membungkukkan diri kepadanya.

Guk.. Guk..

Tiba-tiba Akamaru, anjing penjaga yang tanpa sadar sudah berada di sampingnya menggonggong nyaring –yang terdengar seperti sedang menggodanya oleh Kiba.

"Ah, dasar Akamaru. Kenapa kau tidak pernah membiarkanku senang sedikit saja, heh?"

Ujar Kiba sambil tersenyum mengusap manja kepala Akamaru. Akan tetapi senyumnya sepertinya mengandung arti lain.

Dasar Hinata, kenapa kau manis sekali, sih.

.

-What is Happiness?-

.

Hinata berjalan menyusuri pelataran yang gelap namun diterangi pencahayaan yang cukup untuk melihat dengan jelas. Hinata yang sebelumnya ada keperluan sengaja berbalik arah menuju kamar Naruto untuk menyerahkan paket pakaian tuannya sebelum hari semakin malam –dan ada kemungkinan Naruto sudah tertidur.

Hinata berjalan sambil memeluk paket yang cukup besar di dadanya. Hinata malu sendiri menyadari baju yang saat ini dipeluknya adalah milik pemuda pujaan hatinya. Kepalanya yang menunduk sontak menggeleng. Tidak, tidak, jangan mulai lagi Hinata, serunya di dalam hati mengingatkan diri sendiri. Le- lebih baik aku memikirkan kata-kata apa yang harus kuucapkan kepada Naruto-sama, pikir Hinata.

'P-Permisi tuan, saya Hinata membawakan kiriman baju Anda yang telah selesai dijahit.' Ah, kaulupa menambahkan 'maaf apakah saya mengganggu', Hinata, bla..bla..bla.. Begitulah antusiasnya Hinata yang padahal mungkin hanya bertemu beberapa detik saja untuk menyerahkan paket tersebut. Pikirannya yang sedari tadi sibuk pun terhenti saat menyadari telah berada di depan kamar tuan mudanya.

Naruto-sama..

Entah kenapa keberanian Hinata menyusut mengingat sebentar lagi ia akan berhadapan dengan sosok pemuda yang dicintainya.

Srek

Namun tiba-tiba, di saat belum sempat mengumpulkan keberaniannya kembali, Hinata dikagetkan dengan pintu yang bergeser di hadapannya dan menampilkan sosok yang menyibukkan pikirannya sedari tadi.

"Na- Naruto-sama!" sontak bibir mungil Hinata terbuka setelah menggumamkan nama pemuda yang saat ini di hadapannya dengan bola mata yang membulat.

"Hinata..," Hinata dapat mendengar suara lirih Naruto yang memanggil namanya.

Belum sempat berpikir apa-apa, kekagetan Hinata bertambah saat sang pemilik rambut blond dan iris mata sapphire sebiru langit tersebut hampir rubuh menimpa tubuh mungilnya.

"Na- Naruto-sama!" Beruntung tubuh mungil Hinata sigap menangkapnya. Hingga paket yang dibawanya terlempar begitu saja di depan kamar Naruto.

"Naruto-sama, A-Anda baik-baik saja?" Hinata merasa ada yang tidak beres dengan tuannya tersebut. Tuannya sedang tidak baik-baik saja, pikirnya. Ia panik. Kepanikannya seperti menutup kesadarannya sendiri bahwa ia sedang dalam posisi merengkuh tuannya sekarang.

Hawa panas menguar dari sosok gagah nan kokoh di pelukannya. Ia memberanikan menyentuh dahi Naruto dan panas ia rasakan. Naruto-sama demam, kiranya.

Sadar harus berbuat sesuatu, ia arahkan lengan kanan Naruto melingkari bahunya yang kecil sedangkan tangan kirinya melilit pinggang Naruto. Ia bawa kembali Naruto ke dalam kamarnya dan ia rebahkan pelan-pelan ke atas futonnya.

"Naruto-sama, bertahanlah. Saya akan kembali dengan membawa kompres air hangat,"ujar Hinata tanpa gagap. Kemudian berlari ke arah pintu untuk keluar menuju dapur. Sementara itu, sebelum menggeser pintu, dapat ia dengar suara lirih Naruto mengucapkan terima kasih kepadanya.

.

-What is Happiness?-

.

Drap. Drap. Drap

Kaki kecil Hinata membawanya kembali ke kamar seorang pemuda yang sedang membutuhkan bantuannya. Kedua tangannya sedang menggenggam sebuah baskom sedangkan dua lap bersih tersangga di bahunya.

Sreek

Dibukanya pintu geser kamar Naruto dan ditutupnya kembali.

Dengan sigap ia bubuhkan kening Naruto dengan lap bersih yang sudah dibasahi air hangat. Sementara lap satunya ia gunakan untuk mengelap wajah dan sekitaran leher Naruto. Dilihatnya Naruto yang sepertinya sudah tertidur.

Tidak biasanya muka Hinata tidak memerah saat sedang memandangi Naruto sedekat ini. Ia memang akan merasa beruntung jika bisa melihat Naruto dari jarak dekat tapi sungguh, tidak dalam keadaan Naruto sakit seperti ini. Hinata mengerutkan dahi. Seingatnya Naruto masih baik-baik saja saat makan malam.

Bodoh! Rutuk Hinata di dalam hati sementara tangannya masih bekerja. Ia merutuki diri sendiri yang tidak menyadari tuannya sedikit berbeda dari biasanya. Naruto tidak banyak becanda saat makan malam tadi. Sepertinya ia telah merasakan tidak enak badan saat makan malam tetapi mengindahkannya dan berniat mencari obat sendiri saat merasa demamnya semakin tinggi.

Ah iya, aku harus mengambil obat dan air untuk Naruto-sama, sadar Hinata.

Bergegas Hinata keluar dan menyusuri kembali pelataran yang gelap dan sunyi ke arah dapur. Maklum saja karena jam sudah menunjukkan pukul 10 lebih.

Setiba di dapur, ia buka kotak penyimpanan obat. Ia temukan bundelan obat bertulisan 'obat panas' setelah mengacak-acak isinya. Setelah memastikan telah mengambil obat yang benar dan menutup tutup obatnya kembali, Hinata mengambil air putih dan kembali ke kamar Naruto. Ne, kenapa kau begitu yakin dengan obat yang kauambil eh, Hinata?

.

-What is Happiness?-

.

"Na-Naruto-sama! Naruto-sama, bangun! Anda harus minum obat dulu." Hinata menggoyang-goyangkan pundak Naruto dengan lembut untuk membangunkannya.

"Ngh.." Terdengar lenguhan dari bibir Naruto yang merasa tidurnya terganggu.

Ia dapati sosok seorang gadis remaja tanggung menyongsong penglihatannya yang kembali bekerja.

"Hinata, kau?" Naruto yang telah memperoleh kembali kesadarannya mencoba mendudukkan diri.

"Pelan-pelan, Naruto-sama!" seru hinata lembut sambil membimbing Naruto ke posisi duduk.

"A-Anda demam tinggi, sa-saya menemukan Naruto-sama di depan pintu karena bermaksud menyerahkan paket pakaian Naruto-sama yang baru selesai dijahit kepada Naruto-sama, ja-jadi saya yang membawa Naruto-sama kembali ke dalam kamar, Naruto-sama. Ma-maaf atas kelancangan saya, Naruto-sama," Hinata mencoba menjelaskan keadaan yang membuatnya berada di dalam kamar Naruto dengan posisi bersimpuh dan setengah membungkuk.

"Hn, tidak apa-apa. Aku malah harus berterima kasih karena kau telah membantuku," ujar Naruto sedikit parau. "Aku memang sedang tidak enak badan sejak sore tadi dan mengacuhkannya."

"Tadi aku bermaksud mencari obat sendiri ke dapur karena pusingku belum hilang, malah sepertinya semakin parah tapi rupanya sebelum sampai dapur badanku sudah limbung. Haha~" Naruto mengusap tengkuknya sendiri yang tidak gatal. Ia berujar ramah untuk meredam rasa tidak enak hati Hinata yang menurutnya tak perlu.

"A-Anda seharusnya tidak perlu memaksakan diri menahan sakit Anda, Naruto-sama. A-Anda harusnya memperhatikan kesehatan dan tubuh Anda sendiri. Bagaimanapun kehadiran tuan muda seperti Anda pasti sangat ditunggu banyak orang," Hinata tampak antusias sekali menceramahi Naruto seperti menceramahi teman dekatnya saja, sampai melupakan ucapan terima kasih Naruto.

Naruto tertegun. "Ne, baru kali ini ada gadis manis yang menasihatiku," ujarnya kemudian yang terdengar menggoda tapi sebenarnya tulus.

Blush!

Tentu saja efek ucapan Naruto tersebut menyebabkan wajah Hinata memerah tapi kemudian terhenyak karena tersadar dan segera meminta maaf atas kelancangannya.

"Ma-Maafkan kelancangan saya, Naruto-sama," Hinata menunduk lagi meminta maaf sekaligus menutupi wajahnya yang disadarinya pasti sedang memerah.

Melihat tingkah Hinata, Naruto tahu gadis di depannya ini sedang malu. Sedikit geli tetapi juga merasa bersalah sehingga Naruto mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ne, katanya kaumau menyuruhku minum obat kan? Mana obatnya?"

"Ah iya, maaf! I-Ini obatnya, Naruto-sama. Silakan diminum," Hinata menyerahkan obat dan segelas air putih yang tadi diletakkannya di atas meja kepada Naruto sambil menahan malu menyadari kesalahannya di depan Naruto yang kesekian kalinya.

Hinata.. Kenapa kau ceroboh sekali sampai lupa menyerahkan obat untuk Naruto-sama..., rutuk Hinata di dalam hatinya, sampai menceramahi Naruto-sama segala. Ingatlah posisimu di sini hanya seorang pelayan. Naruto-sama juga kenapa sampai menggodaku segala. Ah, mungkinkah Anda juga seperti ini pada perempuan lain di luar sana.

"..ta.. Hinata"

"Hoi Hinata, kau melamun, ya?"

"E-Eh? A-Ada apa Naruto-sama?" ujar Hinata panik dan langsung mundur ke belakang karena mendapati wajah Naruto hanya tinggal 30 cm di depan matanya.

"Ini! Aku ingin menyerahkan gelas ini kepadamu tapi kau kupanggil-panggil tidak menyahut," ujar Naruto menjelaskan sembari menyerahkan gelas kosong yang isinya sudah kandas beralih ke dalam lambungnya.

"Ma-maafkan saya, Naruto-sama," ucap Hinata menerima gelas itu dan lagi-lagi tak enak hati. Sedangkan pemuda di hadapannya malah tersenyum geli karena kali ini adalah yang keempat kalinya Hinata meminta maaf kepadanya.

"Apa ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" inisiatif Naruto karena melihat kelakuan Hinata dari tadi.

"Atau kau sedang ada masalah ya?" lanjutnya lagi. "Kalau kaumau, kaubisa menceritakan masalahmu kepadaku. Begini-begini aku pintar menyimpan rahasia, lho," kata Naruto mengerling dan mengarahkan jempol ke arah dirinya percaya diri.

Hinata sedikit terperangah tak menyangka aksi pemuda di depannya. Tapi kemudian menunduk menyadari ketidakmampuannya. Na-Naruto-sama, ba-bagaimana mungkin saya menceritakan hal yang mengganggu pikiran saya kalau itu berkaitan dengan perasaan saya kepada Anda.

"Te-Terima kasih atas kebaikan Anda, sa-saya sangat menghargai kebaikan Anda, Naruto-sama. Tapi.. sa-saya tidak bisa menceritakannya, gomenasai," jawab Hinata masih menunduk sambil meremas kain baju di atas lututnya. Atau lebih tepatnya saya tidak mampu, Naruto-sama.

"Ne, tidak apa-apa. Tapi ngomong-ngomong kauboleh memanggilku Naruto saja lho, Hinata. Naruto-nii juga boleh~ Hitung-hitung agar aku bisa merasakan bagaimana rasanya mempunyai adik perempuan, hehehe," ujar Naruto dengan jenakanya.

Hinata mengedip dua kali merasa takjub karena tak menyangka. Tapi..

Benar juga, paling jauh Naruto-sama hanya mengganggapku sebagai adik, entah kenapa Hinata tertunduk murung mendengar penuturan Naruto. Kenapa? Bukannya kau sudah menegaskan tidak berharap pemuda itu membalas perasaanmu eh, Hinata?

Naruto yang menyadari perubahan gadis itu menghentikan gelaknya. Niatnya untuk semakin menghangatkan suasana sepertinya belum berhasil jadi ia mencoba kelakar lainnya.

"Ne, Hinata. Mengobrol denganmu membuatku lupa kalau aku sedang sakit, eh. Sepertinya kehadiran gadis manis sepertimu benar-benar obat mujarab buatku~," ujar Naruto yang kali ini sengaja berniat menggoda Hinata.

Hinata mengangkat kepala sembari berujar, "N-Naruto-sama berkata apa. T-Tentu saja Naruto-sama merasa lebih baik karena pengaruh kompres dan obat yang Naruto-sama minum," Hinata berkilah padahal mukanya sudah memerah semerah tomat.

"Hahaha~" Hinata yang digoda hanya bisa menunduk malu sedangkan Naruto yang merasa candaannya berhasil malah tertawa senang.

Hinata benar-benar tidak habis pikir, orang di hadapannya ini benar-benar bisa merontokkan hatinya dan melambungkannya sekaligus secara tiba-tiba.

Begitulah, malam Hinata dan Naruto berubah menjadi obrolan yang sama sekali tidak disangka keduanya.

Ugh! Tiba-tiba Naruto merasakan panas menerjang tubuhnya. Jantungnya memompa lebih kencang sedangkan napasnya terengah-engah dan darahnya berdesir tak karuan.

"Na-Naruto-sama, daijobu desu ka." Hinata kaget melihat perubahan tiba-tiba Naruto dengan wajah memerah seperti menahan sesuatu.

"Panas, Hinata.." Hinata yang panik dengan keadaan Naruto sama sekali tidak bisa berpikir dan malah menyingkap pakaian atas yang menutup dada Naruto karena mendengar lirihan pemuda itu.

"Begini bagaimana, Naruto-sama?" ujar Hinata masih dilanda panik. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa tangan lembutnya yang menggesek kulit dada Naruto justru memperburuk kondisinya.

"Hi-Hinata, obat apa yang kauberikan padaku?" ujar Naruto dengan terengah-engah dan napas yang sedikit berat. Sepertinya ia mulai mengerti dengan keadaan yang dialami tubuhnya.

Hinata yang mendengar pertanyaan Naruto terkejut dan sedikit takut kalau keadaan Naruto sekarang adalah buah kecerobohannya, "O-Obat? T-Tentu saja obat penurun panas," ujarnya.

Hinata termenung.

T-Tidak, mungkinkah aku salah mengambilnya. Akhirnya ia sadar. Tapi.. Hinata sangat yakin ia telah mengambil obat panas yang benar.

Obat panas?

"Ha?" Hinata terbelalak. Ia seperti baru menyadari obat panas yang diambilnya bukanlah obat penurun panas yang ia inginkan, melainkan obat perangsang yang tidak ia mengerti kenapa bisa ada di sana.

"Na.. Naruto-sama." Hinata pun mengerti dengan keadaan Naruto sekarang. Ia memandang Naruto nanar, kemudian hampir menangis mendapati Naruto yang seperti tersiksa menahan penderitaannya. Entah seberapa dosis yang Naruto konsumsi hingga menghasilkan efek seperti itu.

Kamisama, a-apa yang harus kulakukan?, Hinata merasa bersalah, sekaligus sangat tidak tega melihat keadaan Naruto yang semakin tersiksa karena birahinya.

"Naruto-sama, maafkan saya.. hiks," ujar Hinata bergetar dengan sudut mata berisi bulir air mata yang siap turun.

Ti-Tidak ada jalan lain, pikir Hinata.

"Hinata, apa yang kaulakukan?"

Naruto terbelalak melihat apa yang Hinata lakukan.

Apa yang Hinata lakukan? Yang pasti sesuatu yang sangat tidak diharapkan Naruto saat ini.

"Naruto-sama, saya telah berbuat ceroboh. Izinkan saya membantu Naruto-sama menghentikan penderitaan yang Naruto-sama rasakan, " ujar Hinata dengan lantang.

Hinata sudah sangat yakin dengan keputusannya. Ia tidak tega melihat Naruto yang menderita oleh karena perbuatannya. Satu-satunya yang terpikir oleh Hinata adalah meredam gejolak yang Naruto rasakan dengan menjadikan dirinya sebagai penyalur dorongan hasrat dari tubuh Naruto. Atau, tuannya tersebut sama sekali tidak akan bisa tidur malam ini.

Tidak boleh, Hinata menggeleng berusaha mengenyahkan pemikirannya akan penderitaan lebih lanjut yang akan Naruto rasakan jika ia tidak mengambil keputusan ini. Alhasil, Hinata memberanikan diri mengambil tangan Naruto dan menempelkannya pada tubuh bagian atasnya yang telah terbuka karena disingkapnya tadi.

Kamisama, maafkan aku.

"Hinata, ini sama sekali bukan salahmu. Keluarlah sekarang juga! Ini perintah." Naruto berusaha meneguhkan akal sehatnya.

Naruto tahu Hinata bukanlah wanita murahan seperti wanita lain di luar sana yang rela menyerahkan tubuhnya untuk dinikmati oleh laki-laki yang tidak berstatus suaminya. Naruto sangat mengerti Hinata melakukan ini untuk menebus rasa bersalahnya. Dan Naruto tidak akan membiarkan itu.

Bahkan saat Hinata telah menyerahkan tubuhnya dengan kesadarannya sendiri seperti sekarang, Naruto tidak setega itu untuk memanfaatkan Hinata. Bagaimana pun Hinata adalah Hinata, gadis yang dikenalnya sangat baik dalam menjaga harga dirinya. Selain itu juga karena jauh di dalam hatinya, ia menyayangi Hinata dan ingin melindunginya.

Susah payah Naruto melawan birahinya. Diangkatnya pandangannya ke arah Hinata. Berharap dapat melihat Hinata yang menangis atau ketakutan untuk mengatrol akal sehatnya. Tapi apa yang didapati Naruto? Sesuatu yang malah membelalakkan matanya. Pandangan Hinata yang dilihatnya sama sekali tidak menyiratkan keragu-raguan dan ketakutan, hanya kebulatan tekad yang berasal dari dalam hatinya.

"Hinata.." Direnungkannya kembali pilihannya dengan memejamkan mata dengan napas masih memburu.

"Baiklah," ujar Naruto membuka matanya. Naruto mengalah. "Tapi kuharap kau tidak akan menyesal setelah ini," ujarnya. "Dan satu lagi, jangan ragu mengatakan kepadaku jika aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku ini, Hinata," tambahnya yakin.

"Hai," Hinata mengangguk menerima. Dan tak lebih dari lima detik kemudian posisi Hinata telah diapit di antara futon dan tubuh besar Naruto.

Maafkan saya, Naruto-sama. Saya tahu pelayan seperti saya sama sekali tidak pantas berada di kamar Anda dan melakukan perbuatan seperti ini. Kesucian saya juga bukan sesuatu yang bisa saya berikan kepada sembarang orang. Tapi malam ini, izinkan saya memberikan harta berharga saya yang selama ini saya jaga. Atashi wa.. anata ga.. daisuki desu! Hontou ni suki desu!

Hinata, maafkan aku.

Dan malam itu, mungkin hanya satu malam biasa yang terlewati seperti malam-malam biasanya bagi kebanyakan orang. Tetapi, merupakan malam yang akan menentukan nasib seorang wanita ke depannya bersama laki-laki yang dicintainya.

.

To Be Continued

.

A/N: Otanjoubi omedeto gozaimasu, Hinata-chan.. :D Hinata oh Hinata.. Sosok wanita dengan kelembutan dan kegigihan sekaligus, benar-benar sosok keibuan banget! Ga heran tanggal lahirnya ga jauh dari hari ibu (haha yang ini sepertinya ga nyambung).

Aa senang rasanya rencana mem-publish fict NaruHina pertama saya tepat di hari ulang tahun Hinata terlaksana.. Senang rasanya bisa membuat disclaimer, warning, n author note seperti yang lainnya.. Intinya, senang akhirnya bisa jadi author :'D

Nah, teman-teman sekalian, karena saya masih baru saya sangat terbuka dengan saran, masukan, bahkan kritik dari para reader dan/atau flamer sekalian. (Walau dengan dibaca aja saya sudah senang sih.)

Selanjutnya, saya mau mengucapkan terima kasih kepada para senpai yang sudah memberikan dukungan dan masukannya, Zecka S. B. Fujioka, Kuro Mie MI, Masahiro 'Night' Seiran, dan lain-lain. Hontou ni arigatou gozaimasu..

Semoga saya bisa menyusul menjadi penulis produktif seperti kalian ;)

Mind to Review?