Sesekali ia tersandung, tak kuasa menahan tekanan dari sana sini. Ribuan kilatan blitz yang membutakan mata itu terus menyerbunya tanpa ampun seolah ia bidadari yang baru turun dari surga. Beberapa penjaga dan polisi kekar yang memagarinya ikut terhempas dorongan kuat para pemburu berita yang ngotot mengambil gambar terbaik untuk headline koran dan televisi masing-masing. Tak peduli garis muka si objek berita yang penuh gurat penyesalan, keputusasaan yang mendalam, kemerosotan reputasi dan harga diri, hingga—

kebencian. Hingga tak tersisa satu otot wajahpun untuk sekedar tersenyum sambil melambai ke kamera.

Lelaki itu hanya menutup sebagian wajahnya, sesekali terganggu poni pirangnya seiring terombang-ambingnya tubuh tinggi dengan bahu kokoh yang berlapis rompi kuning cerah itu dalam perjalanan kecil yang terasa panjang dari pintu masuk gedung pemeriksaan hingga ke van hitam besar yang terparkir di lobby, kendaraannya menuju bui.

Ia lelaki yang baru turun ke neraka dunia.


Harry Potter © JK. Rowling

.

.

.

Stockholm Syndrome © Gallatrance Hathaway

"And I won't hold you back
Let your anger rise"

.

.

.

PROLOGUE


Sekedar mengucapkan 'hai' dari sendi-sendi bibirku yang sekarang kaku pun mustahil.

Dunia telah merebut segalanya dariku. Dunia yang serasa makin menyusut, sekecil lubang para rayap. Atau bahkan rayap pun tak mungkin bisa masuk dalam duniaku. Kedua duniaku.

Dunia pertama, sudah cukup membuat air mataku beku. Membuat Lysozyme-ku tak berfungsi sebagaimana mestinya. Meski segala hal di dunia pertamaku bisa membuatku berjalan dengan dagu terangkat di lorong-lorong jalan manapun. Tapi tidak di detik-detik terakhir. Dentaman doktrin ayah kandungku sendiri, rengekan haus ambisi si bayi tua Voldemort, propaganda di kalangan kaum penyihir darah murni, telah melemparkan angan-angan masa kecil dan remajaku ke ujung lautan. Sejak saat itu, aku mulai menyimpan tawaku rapat-rapat.

Dunia kedua, yang kupikir aku benar-benar bisa memulainya dari nol. Tapi lagi-lagi aku salah. Dunia pertamaku memberi andil yang kuat pada dunia selanjutnya. Ketika aku harus membiasakan diri tanpa tongkat tua lapuk yang menyenangkan dalam satu jentikan, mengagumi malam sunyi tanpa perempuan, dan berbaur bersama para muggle Britania Raya untuk bekerja. Berusaha menekuri seluk beluk dunia yang aku ludahi ketika berada di dunia pertama.

Bekerja mengembangbiakkan perusahaan Malfoy Corp yang jatuh di tanganku.

Sendirian.

Ha, aku adalah Draco Lucius Malfoy, si bocah sebatang kara.

Namun akhirnya aku berakhir disini juga. Kuakui ini sedikit lebih menyenangkan daripada meringkuk di Azkaban. Tidak akan ada yang menyedot kebahagiaan secara cuma-cuma, apalagi kebahagiaan terbesarku saat ini hanyalah: aku masih bisa bernapas. Makanannya juga cukup memuaskan lidah.

Iris biruku yang dulu dipuja-puji banyak mulut ini menangkap bayangan manusia yang berada dalam lingkaranku. Aku dikumpulkan satu sel bersama pencuri dan penipu seperti mereka. Dan mereka tak mungkin memuji-muji iris biruku penuh euforia lagi seperti yang dulu menggelitik di telingaku. Papan catur dibawah keremangan sebiji lampu neon terlihat cukup menyenangkan bagi mereka.

Aku seperti tidak ditakdirkan untuk hidup. Tepatnya untuk hidup bahagia, menggunakan segala macam rasa-rasa kehidupan dan variasi ekspresi wajah.

Aku kena batunya. Dari kehidupan pertama.

Berakar dari dagu yang kuangkat tinggi-tinggi, sampai aku merasa yakin tidak ada seorang penyihirpun di Hogwarts yang sederajat denganku. Apalagi, si Darah Lumpur sialan itu.

Gigi besar seperti berang-berang, rambut besar serimbun jenggot Hagrid, manusia berdarah kotor yang menurutku merusak kemurnian dunia penyihir—bahkan aku tak sudi menganggapnya sebagai penyihir, walaupun nyatanya ia tercantum sebagai Pahlawan Perang Besar bersama teman rambut merah cabai dan kepala codetnya—, rasa kepercayadirian tinggi yang melebihi jeruji hitam rapat-rapat ini, mental baja atas segala bentuk penghinaanku pada kaumnya dan otak jenius yang dipuja-puja sebagian Professor—

—dan dengan semua itu dia berhasil menjebloskanku ke sini.

Terlihat dengan jelas oleh kedua mataku ketika binar dan senyum kemenangannya bertengger setia diiringi ketukan palu yang secara sukarela memberitahu gagalnya diriku di dunia keduaku ini. Bahkan ketika aku menunduk di depan publik untuk pertama kalinya, senyumnya seolah tak bosan-bosannya bertengger manis, berbalur lipstik buah persik kemilau dan bayangan berkilat di kelopak matanya yang kehitaman. Seakan masuk melalui pori-pori kulit dan menusuknya tepat pada serambi kiri jantungku.

"Kau harus membayarnya, Malfoy."

Dasar jalang.

Seringai tajam dan nada mencemooh. Ia mencuri segalanya dariku. Dan aku?

Harus menangis tersedu-sedu seperti perempuan ketika aku melayangkan ekspresi yang sama dengannya barusan beberapa tahun silam? Dan itu untuknya?

Aku tidak suka karma.

Satu kata lima huruf yang selalu tersirat dalam wajah Darah Lumpur itu setiap kali aku menatapnya dengan sorot tajam, untuk sekedar meminta penjelasan mutlak atas segelintir perlakuan balas dendamnya padaku.

Ya, dia balas dendam. Aku terkekeh sendiri sampai kekehanku berubah menjadi batuk berdahak yang seakan menertawakanku besar-besar.

Aku lebih suka seperti ini. Kembali terpejam. Tenggelam dalam kegelapan. Daripada aku harus membuka mataku dan merasakan baju seragam abu-abu longgar tak layak yang membungkus tubuh atletisku beberapa tahun kedepan—

—sungguh membuatku muak.

Beberapa hari pertama berlalu dalam kehampaan selama aku berusaha berjuang keras melawan kilasan buram rasa lelah dan terpuruk yang menyertaiku sejak bangun hingga tidur. Aku bangun pagi-pagi, memaksa tubuhku bangkit dari lantai dingin dan keras, lalu makan pagi seadanya bersama sepuluh orang lainnya.

"Nona Granger ingin bertemu denganmu," ujar Kiernan, salah satu sipir berperawakan pendek gemuk sambil membuka gembok sel-ku dengan rentetan kunci yang menggantung di lehernya.

Tak sengaja aku menunduk, menatap kaki telanjangku yang begitu menyedihkan. Kubayangkan pantofel kesayanganku dulu bergemeletuk sesuai irama di lantai suram lorong penjara ini. Bukannya jempol-jempol berbulu dengan kuku-kuku panjang pucat yang menggelikan. Yang sama sekali tidak berirama. Seperti halnya hidupku.

Beberapa pasang mata mengamatiku dengan tatapan lapar seolah aku ini daging segar yang montok ketika aku berjalan dengan tangan diborgol melewati sel-sel tahanan penjahat kelas kakap. Rasanya aku ingin mem-Bombarda Maxima-kan tempat kumuh ini.

Aku perlu tahu apa motifnya ingin bertemu denganku lagi. Sebuah cara untuk memastikan kehidupanku disini membosankan dan dingin seperti yang ia harapkan, eh? Menertawakanku tepat di hidung sembari mengibaskan rambut besarnya agar aku kelilipan hingga buta?

Ular yang sudah kehilangan bisanya, dan dijenguk oleh seekor singa.

Desakan rasa takut itu semakin menggebu-gebu di dalam diriku, tapi aku menggertakan rahang dan memejamkan mata erat-erat hingga kelopak mataku terasa sakit. Semoga jika sampai pecah kantung mataku ini bisa menampungnya terlebih dahulu.

Draco Malfoy, tetaplah Slytherin. Gryffindor, tetaplah pecundang busuk.

Terdengar konyol ketika aku berusaha menyemangati diriku sendiri.

.

.

.

TBC

Semua orang mendambakan kebahagiaan. Tapi sayangnya, tidak semua orang mendapatkannya.


Thanks for reading. Review?:)))