Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya membungkuk hormat. Usianya yang menginjak 26 tahun sudah menjadi Presdir dengan kemampuan otak jeniusnya, membuat laki-laki itu dihormati orang. Bukan karena nama Cho yang tersandang padanya, namun kemampuannya dalam berbisnis yang diajarkan Sang Ayah diusia 17 tahun, membuat pemuda itu sadar, selama sepuluh tahun kebelakang, Tuhan seperti mengizinkannya istirahat sejenak, sebelum akhirnya disibukkan dengan segudang pekerjaan melelahkan.

Masyarakatpun seperti sudah lupa dengan kasus yang sempat gempar karena menghilangnya putra Keluarga Cho. Tapi tidak dengan laki-laki berambut ikal hitam itu. Dia masih mengingatnya. Bahkan masih sangat jelas meski sepuluh tahun sudah berlalu.

Tiap detik yang dia lalui dengan orang itu masih terekam sempurna. Dia sengaja menjaga rekaman itu pada sebuah rak disudut memorinya, agar ketika dia merindukan sosok 'Hyung'-nya itu, dia akan memilah kembali, kenangan mana yang paling ingin ia lihat.

Laki-laki itu terus berjalan dengan sesekali tersenyum sambil mengangguk saat beberapa karyawannya menyapa. Saat sampai didepan pintu kantor, ia kembali menghela nafas dengan wajah yang sedikit terdongak.

Seorang pelayan menghampirinya, menyampirkan mantel berwarna putih gading padanya lalu membuka pintu mobil bagian belakang.

Sekali lagi, laki-laki itu menghela. Dengan langkah yang berat, dia duduk dikursi penumpang. Selama perjalanan pulang, hatinya terus berdentum aneh dan tanpa sebab. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sesuatu yang selama ini ia simpan dengan sangat baik selama hampir dua puluh tahun. Sebuah kalung dengan bandul berbentuk salib kecil

"Kyu, dulu Umma Hyung memberikan ini agar Tuhan selalu menjaga dan melindugi Hyung. Hyung ingin kau juga menyimpannya, agar Tuhan selalu menjaga dan melindungimu saat Hyung tidak ada. Jangan menghilangkannya, arrachi?"

"Aku merindukanmu, Hyung…" gumamnya sebelum menutup mata sambil bersandar pada sandaran kursi mobil.

.

###

Terlihat seorang remaja berambut ikal sedang berkutat dengan beberapa peralatan dapur, menyiapkan sarapan untuknya dan untuk Hyung-nya sebelum ia berangkat kerja. Pemuda itu tersenyum dengan hasil kali ini.

"Kelihatannya tidak buruk." Ucapnya riang.

Bibir plumnya tidak lupa menyenandungkan lagu yang sering dia dengar di tempat kerjanya, sembari melangkah ke meja makan, meletakkan dua piring berisi pancake dengan topping madu, satu cangkir susu cokelat untuknya, dan secangkir kopi untuk Hyung-nya yang belum juga keluar dari kamar.

Pemuda itu mengambil selembar pancake dan melahapnya dengan nikmat. Sesekali dia berceloteh sendiri mengomentari hasil masakan yang dia pelajari baru-baru ini.

Merasa cukup, dia meneguk habis susu cokelatnya, mengambil tas selempang berwarna caramel lalu berjalan menuju sebuah pintu dan mengetuknya.

"Hyung, aku sudah menyiapkan pancake juga kopimu di meja makan."

Tidak ada sahutan dari dalam. Pemuda itu tersenyum sedih. Entah sejak kapan Hyung-nya seperti menghindarinya. Padahal ketika kecil dulu, Hyung-nya adalah orang yang sangat hangat dan ramah. Sering kali memanjakannya meski mereka hidup pas-pasan.

"Hyung, jangan lupa sarapanmu. Aku pergi kerja dulu."

Dia berbalik. Matahari sudah meninggi, dan dia tidak ingin terlambat datang.

Sepeninggal pemuda tadi, pintu itu terbuka dan keluarlah seorang pria yang hanya mengenakan kaos putih dan celana dasar berwarna biru dongker. Matanya menatap gusar pada meja makan, dimana sarapannya sudah tersedia lengkap. Diusap wajahnya dengan kasar.

"Mianhae, Kyu. Aku tidak bisa lagi menganggapmu adik kecilku. Mianhae jeongmal…"

.

.

.

Dilain tempat, seorang wanita berambut ikal kecokelatan keluar dari mobil yang dikendarai sahabatnya. Wanita itu melepas kacamata hitam yang bertengger dihidung mancungnya. Bibir tipis yang dipoles lipstick sewarna bunga sakura itu tersenyum simpul.

"Kupikir kau akan tiba besok, Ahra-ya." Seorang pria menghampiri wanita itu.

Wanita yang dipanggil 'Ahra' menyambut pelukan singkat sahabatnya yang sudah mengundangnya, Park Jungsoo. "Lebih cepat lebih baik, kan, Jungsoo-ya."

"Kami sudah menyiapka kamar untukmu. Istirahatlah. Perjalanan dari Busan ke Choengnam ini pasti membuatmu lelah."

"Aku ingin berjalan-jalan sebentar, boleh? Rasanya akan sangat sayang sekali jika aku tidak menyapa bunga yang bermekaran ini."

Jungsoo tersenyum mendengar penuturan sahabat lamanya itu. Sudah lama sekali dia tidak melihat suatu antusiasme dibalik celah mata beningnya sejak dia kehilangan adik lelaki satu-satunya.

"Kalau begitu kembalilah sebelum makan siang. Kru disini penasaran dengan seseorang yang membuat scenario indah itu dan mereka pasti sangat senang bertemu denganmu."

"Aku mengerti." Wanita cantik berusia 26 tahun itu perlahan meninggalkan sebuah halaman penginapan dan melangkah kesebuah ladang forshytia yang sempat dia lewati tadi.

.

Dengan langkah semangat, Kyuhyun, remaja yang baru saja merayakan ulang tahun yang keenam belas minggu lalu, berjalan melewati jalan setapak yang diapit oleh ladang bunga liar. Warga tidak mengusik ladang yang cukup luas itu karena ketika musim semi tiba, akan menjadi pemandangan indah tersendiri bagi warga desa.

Sama seperti sekarang, ladang-ladang itu memekarkan begitu banyak bunga liar, yang terus tumbuh cantik ketika musim semi tiba.

Langkahnya berhenti ditengah jalan. Dia menarik kedua tangannya kedepan, merenggangkan otot-otot tubuhnya sebelum bekerja nanti. Kemudian pemuda itu mengisi paru-parunya dengan udara segar pagi itu.

"Huuunngghh! Hah!" Ia hirup dan keluarkan nafasnya dengan senyum dibibir plumnya yang semakin merekah, lantas melanjutkan perjalanannya kembali.

Tidak tahukah kau, hei pemuda, bahwa bunga-bunga ini begitu malu karena senyummu mengalahkan kelopak indah yang mekar sempurna mereka?

.

Ahra memetik dua tangkai forthysia, lalu kepalanya mendongak keatas. Angin rebutan memainkan surai halus bergelombang wanita yang memiliki marga Cho itu. Dia jadi teringat kenangan yang sudah lewat. Kenangan bersama keluarganya ketika masih lengkap, berlibur ke pulau Nami.

Matanya seketika menutup saat bulir bening menggenang, membuatnya mengalir dan jatuh diantara bunga-bunga ilalang disekitarnya. Dia rindu keluarga harmonisnya dulu, sebelum sang adik pergi dibawa entah kemana. Membuat kehancuran perlahan pada keluarganya. Rasa kehilangan dan gagal memicu segala tindakan nekat.

"Umma, lihatlah, bunga-bunga ini cantik, kan? Apa secantik bunga disana? Aku merindukanmu, Umma… Aku merindukan keluarga kita…"

.

.O.

Ahra berjalan semangat saat menemukan pintu kamar inap ibunya. Dengan perlahan dia buka dan tersenyum menyapa. "Umma, hari ini aku membawakan bunga Azalea. Joha?"

Perempuan itu berjalan lagi, mendekati nakas, mengambil vas dengan bunga yang sudah layu, lantas menggantinya dengan bunga yang dia bawa. Dia menoleh lalu menghela nafas.

"Kenapa Umma tidak memakan buburnya?" Dia ambil semangkuk bubur yang sudah disiapkan pihak rumah sakit, menarik kursi disamping ranjang, dan duduk. "Umma, kusuapi ya…"

Kepala wanita yang sedng duduk dengan berandar pada kepala ranjang menggeleng lemah. Sorot mata wanita itu kosong. Sebagai seorang ibu, dia gagal menjaga anaknya. Perasaan bersalah yang menghantui membuatnya seperti cangkang kosong.

"Umma, bagaimana kalau nanti pingsan lagi? Appa sangat mencemaskan keadaan Umma…"

"Bagaimana… Umma bisa makan, Ahra-ya, sedangkan adikmu diluar sana saja Umma tidak tahu. Apa dia makan dengan baik? Apa makanannya enak?" bulir air mata kembali jatuh, menyusuri pipi yang mulai tirus. "Dia tidak suka sayur, Ahra. Diluar udara dingin, apa dia baik-baik saja? Bagaimana tidurnya? Nyenyakkah?"

"Umma… Mianhae… hiks… A-aku yang salah… Aku meninggalkan Kyunnie sendirian… Mianhae, Umma…"

Wanita itu menoleh, dimana putrinya menunduk sambil sesekali menghapus tepi matanya. Bibir pucatnya mengulas senyum tipis. Tangan dengan selang infus yang menempel itu terjulur, mengusap pipi halus putrinya.

"Bukan salahmu. Kau Noona yang sangat baik. Kau Noona terbaik yang pernah Kyuhyun miliki, Ahra."

Perempuan berusia 20 tahun itu terus sesungukan kecil. Semuanya saling menyalahkan diri sendiri atas hilangnya si bungsu Cho. Sang ayah yang merasa terlambat datang. Sang ibu yang telah lalai. Dan dirinya yang tidak becus menjaga adik kecilnya.

Nyonya Cho mengambil mangkuk buburnya dari tangan Ahra, "Nde, Umma akan makan asal kau berhenti menangis, oettae?"

Ahra buru-buru menghapus air matanya, lalu tersenyum dengan bibir yang bergetar. "Nde, aku sudah tidak menangis lagi, Umma, hehe…"

Dielusnya rambut Ahra. Entah sudah berapa lama dia tidak bertengkar dengan putri sulungnya itu. Biasanya Nyonya Cho akan memarahi Ahra jika putrinya diam-diam memberikan Kyuhyun permen, ataupun menjadi sukarelawan untuk menghabiskan sayur dipiring Kyuhyun. rasanya dia benar-benar merindukan keluarga kecilnya. Merindukan suasana dimeja makan yang ada suami, juga anak-anaknya.

"Buka mulutmu."

"Eh?" Ahra terlonjak saat Sang ibu menyodorkan sesendok bubur.

"Kau harus menemani Umma makan, arra? Cepat buka mulutmu." Perintah wanita itu.

Ahra tersenyum, dengan senang hati dia membuka lebar mulutnya. Terakhir kali dia beradu dengan sang ibu itu empat tahun yang lalu. "Ughh~"

"Wae?"

"Tidak enak~"

"Dan kau menyuruh Umma-mu memakan makanan tidak enak ini? Dasar anak nakal!" ditoyornya jidat Ahra, membuat perempuan itu merengut dengan bibir maju.

Namun sedetik kemudian dia tertawa kecil, membuka belah bibir tipisnya lagi agar Sang ibu kembali menyuapinya. "Aaaa~"

Hari itu, seperti tidak ada kejadian apapun, Ahra kembali bisa bermanja pada Umma-nya. Selama seharian, mereka banyak membicarakan hal-hal seputar perempuan. Ahra merasa sangat bahagia, ketika melihat cahaya kembali pada mata wanita cantik didepannya juga senyum yang kembli hadir dibibir wanita itu.

Umma-nya yang cerewet sudah kembali.

.O.

Semenjak menghilangnya Kyuhyun, Nyonya Cho mengalami depresi berat dan beberapa kali hampir ditemukan dalam keadaan sekarat. Entah itu menyayat pergelangan tangan, ataupun menenggak sebotol obat penenang, mengakibatkan kerusakan pada lambung juga otaknya. Ia sosok yang lemah sekarang. Tanpa senyum, tanpa celoteh berisik, tanpa tangis dari putra bungsunya, dia hanya sosok ibu menyedihkan.

Dia merasa tidak pantas menjadi ibu karena kelalaiannya. Dia tidak pantas dipanggil 'Umma' lagi.

.O.

Hari ini Ahra membeli beberapa majalah yang dulu biasa dibaca Umma-nya. Sebenarnya dia tidak begitu mengerti tentang entertainment, tapi Sang ibu yang notabene mantan model itu seringkali menyuruhnya untuk tampil dengan baju yang dirancangnya.

Cukup merepotkan karena Ahra tipe yang cuek dan sering membantah ucapan ibunya. Perempuan itu memutar knop pintu, namun hanya ruang kosong yang dilihatnya, menimbulkan kerutan pada kening perempuan itu.

Dimana Umma-nya? Apa sedang keluar dengan beberapa suster?

"Ah, Nona Cho?"

Dia berbalik, melihat seorang suster berdiri didepan pintu.

"Uisa, dimana Umma?"

"Syukurlah anda cepat datang. Ibu anda kami temukan dalam keadaan overdosis karena menenggak semua obatnya. Kini dia sudah dilarikan keruang ICU. Mari ikut saya."

Mendengar pernyataan suster barusan membuat kaki-kaki Ahra melemas. Dia buru-buru mengikuti langkah suster tadi dengan memeluk erat majalah yang baru saja dibelinya.

.O.

"Ahra, bagaimana keadaan Umma?"

Perempuan itu terus menunduk. Dia tidak ingin ayahnya melihat betapa lemahnya dia sekarang. Tapi perlahan, sebuah rangkulan hangat yang terasa melingkupi tubuhnya yang bergetar justru membuatnya terisak semakin kuat.

"Hiks… molla, Appa…"

Sang kepala keluarga Cho semakin merengkuh tubuh putrinya dengan sesekali mengecupi kening Ahra. Sejak diberitahu perihal keadaan istrinya, hatinya tak kunjung berhenti berdentum kuat. Seperti sebuah peringatan yang selalu dia lupakan.

Sampai akhirnya, ketika lampu ruang operasi berganti warna disusul keluarnya dokter, menjawab semua kegelisahannya selama empat tahun belakangan. Bahwa ia telah kehilangan separuh hatinya. Karena sang istri membawa cintanya ketempat yang sudah tak bisa ia jangkau lagi.

.O.

.

Desir-desir angin tak pernah berhenti membantu Ahra untuk mengeringkan tiap pipinya yang basah. Meski bibir yang terpoles lipstick itu tersenyum, namun disudut hatinya ia menjerit. Mungkin hanya gemerisik bunga-bungalah yang sadar, betapa memilukan hatinya kini.

Setelah berhasil mengembalikan kekuatannya, Ahra membuka mata lalu menghela nafas sebentar. Dia merogoh tas kecil yang dia bawa, mengambil tissue basah. Dia tidak mungkin kembali kepenginapan dengan wajah tak layak seperti sekarang, mata merah dan sembab.

.

Langkah Kyuhyun terhenti saat melihat pemandangan yang membuatnya mengkerutkan kening. Ini masih pagi, walau matahari sudah cukup tinggi, tapi dia malah menemukan sesuatu yang cukup membuatnya mendidih. Tanpa rasa ragu, dilangkahkan kembali kakinya, dan dengan sekuat tenaga dia lempar tas selempang miliknya kesalah satu laki-laki.

"YA!"

"Mwo?" wajah pemuda itu terangkat dan memandang angkuh para preman desa yang sedang mengepung seorang wanita.

"Kau!"

Kyuhyun berdecak. "Apa kalian tidak punya kegiatan lain? Ini masih pagi, dan kalian sudah merusak mataku."

Tiga preman lainnya perlahan mundur ketika tahu dengan siapa mereka berhadapan. Siapa yang mau cari mati dengan terlibat urusan bersama Choi Kyuhyun?

"Aish! Apa kau tidak ada urusan selain mengganggu kesenanganku, bocah?!"

"Seunghyun-ah, lebih baik kita pergi segera." Daesung, teman laki-laki tadi menarik bahu Seunghyun untuk segera pergi sebelum keadaan makin kacau.

Seunghyun berdecak kesal. Dia mengumpat singkat lalu memandang tajam Kyuhyun. "Jika bukan karena Hyung-mu, kau pasti sudah kuperkosa!" desisnya kemudian pergi meninggalkan Kyuhyun dan wanita yang hampir menjadi korban pelecehan.

Kyuhyun mencibir, mengambil kembali tas yang berisi seragam kerjanya, juga mengambil tas wanita cantik didepannya lalu menepuk kecil agar pasir yang menempel hilang. Tas ini pasti mahal. Sayang sekali kalau kotor, batinnya.

"Agasshi, gwenchanayo?"

"A-ah… Nde. Gomapseumnida." Ahra mengambil tas miliknya yang disodorkan pemuda yang sudah sangat baik mau menolongnya.

Kyuhyun tersenyum ramah, "Aku belum pernah melihatmu, apa kau baru datang kemari, Agasshi?"

Ahra mengangguk, "Aku baru datang dari Busan."

Kyuhyun mengangguk kecil, masih setia mempertahankan senyum khasnya. "Dimana tempatmu menginap? Aku akan mengantarmu sampai sana."

Wanita cantik bermarga Cho itu menoleh kearah si penolongnya. Pemuda itu cukup tampan, meski terkesan manis dengan kulit susu dan pipi yang sedikit tirus. Omo! Jantungnya berdentum aneh!

"Di-di penginapan Keluarga Park."

.

"Omo! Kau membuat kami semua khawatir, Ahra! Darimana saja kau?"

Ahra meringis, "Mianhae, Jungsoo-ya. Saking asiknya aku jadi lupa waktu, hehe."

Jungsoo hanya menggeleng, merespon perkataan sahabatnya.

.

Bibir tipis seorang wanita tersenyum ketika sepasang irisnya menangkap sosok dengan balutan baju kerja, yang terlapisi apron berwarna abu-abu, sedang melayani beberapa pesanan. Tak ia sangka bisa bertemu dengan pemuda itu lagi. Jodohkah?

"Ahra-ya, kedai ini akan kita gunakan dalam film. Aku sudah meminta persetujuan dari Bibi Kim, pemilik kedai. Kalau kau tidak suka, kita bisa…"

"Kedai ini saja. Terlihat lebih natural." Potong Ahra, dengan mata yang terus memandang kedepan, mengamati tiap gerik pemuda berambut ikal yang beberapa waktu lalu sudah menolongnya.

"Ah, baiklah. Aku akan mempersiapkan semua perlengkapan syuting. Kau bisa makan disini dulu, dan kau tidak perlu mengkhawatirkan rasanya. Putra Bibi Kim sangat pandai memasak." Jungsoo tersenyum sambil menepuk kecil pundak Ahra, tanpa menyadari arah pandang wanita itu.

Seperginya Jungsoo, kaki jenjangnya seperti memiliki pemikiran sendiri, perlahan melangkah pada satu meja. Dia sendiri tidak mengerti, seperti ada rasa familiar yang dia tangkap ketika melihat pemuda itu. Tampak seperti seseorang.

Ketika berusaha mencari, Ahra baru menyadari, bahwa sosok pemuda itu mirip dengan sosok malaikat yang tergambar pada naskah yang dia tulis. Sebenarnya itu bukan murni miliknya, tetapi dia menemukan catatan usang ketika memberesi kamar kedua orang tuanya. Ahra menemukan buku itu tergeletak disebuah kotak disalah satu lemari pakaian Ibunya. Buku itu terlihat seharga emas. Disimpan dengan baik agar rayap tak hadir mengerogotinya.

"Annyeong… ah! Agasshi?" Kyuhyun yang menghampiri meja nomor 3 kaget melihat siapa tamunya. Bibir plumnya mengulas senyum manis. Entahlah, Kyuhyun sering merasa aneh jika dia melihat wanita yang tengah membalas senyumnya. Rasa hangat yang begitu nyaman, yang dulu seringkali melingkupi hatinya. Dia sendiri sudah lupa, kapan pernah merasakan itu.

"Kau bekerja disini?"

Kyuhyun mengangguk.

"Kupikir kau masih sekolah…"

"Aku tidak punya uang sebanyak itu, Agasshi."

"Hm. Aku mau pesan menu paling enak disini."

"Semua makanan disini selalu enak, Agasshi. Apa kau ingin memesan semuanya?" canda Kyuhyun

Ahra tertawa kecil. Pemuda didepannya cukup menarik. Tubuhnya juga cukup proporsional. Jika jadi model pasti akan sangat banyak penggemar yang mengantri.

"Kalau begitu aku hanya ingin Daechucha."

"Hanya itu?"

Kini bibir tipis Ahra sedikit bergetar dengan tatapan mata yang menerawang jauh. "Ibuku seringkali membuat Daechucha untukku dan adikku ketika musim semi."

Tiba-tiba rasa ngilu terasa seperti menusuk, ketika melihat perubahan ekspresi pada wanita didepannya. Membuat rasa tidak nyaman. Dia suka wanita itu. Ah, tidak! Bukan rasa suka yang seperti itu. Tapi Kyuhyun suka melihat senyumnya. Sangat cantik. Dia sendiri bingung, rasanya ada rindu ambigu yang tertampung, mengendap didasar hatinya.

Kyuhyun untuk pertama kalinya terlihat kikuk saat Ahra menatapnya lurus. Seolah tengah menyusuri pikiran serta hatinya. Dia buru-buru kembali kebelakang, karena pesanan yang lain belum dia hidangkan.

.

Ahra kembali menyeruput Daechucha-nya lalu melihat keluar melalui jendela, dimana para kru sedang sibuk mempersiapkan peralatan untuk syuting sebentar lagi.

"Haahh~" Jungsoo menduduki kursi didepan Ahra sambil menghela nafas lelah. Sedikit bulir peluh yang mengalir dipelipisnya, menandakan dia cukup bekerja keras untuk film kali ini.

"Minumlah, aku sudah memesankannya untukmu." Ahra menunjuk Yuja-cha didepan Jungsoo.

"Ah, gomawo." Pria bermarga Park didepan Ahra langsung meminum teh herbal dengan buru-buru. Dia menatap mata Ahra yang mengarah kebelakangnya. Diputar sedikit tubuhnya, hingga dia bisa melihat siapa yang mampu menarik Ahra untuk terus menatapnya.

Melihat seorang pemuda berambut ikal kehitaman membuat Jungsoo tersenyum kecil dibalik gelasnya. "Aigoo~ Apa kau tertarik pada anak itu?"

"Huh?"

"Dia pemuda yang baik, juga ramah. Tapi Hyung-nya sangat protective padanya. Padahal banyak gadis disini yang berusaha mendekatinya."

"Dimana orang tuanya?"

"Yang kudengar sejak pertama mereka datang ke Cheongnam, kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan. Dia hidup berdua dengan Hyung-nya sejak usia enam tahun. Kasihan sekali."

Ahra menganggukkan kepalanya, membuat rambut kecokelatannya bergelombang.

"Ah iya, ada beberapa kru yang ingin menanyakan tentang naskahmu. Ada beberapa hal yang ingin mereka rubah karena menyesuaikan keadaan." Jungsoo mulai melahap nasi goreng kimchi dan Jukkumi yang sebelumnya sudah dipesan Ahra.

Ahra mengangguk mengerti, dia segera keluar dari kedai dan menghampiri beberapa kru yang sedang membincangkan naskah buatannya.

"Kyuhyun-ah, boleh kuminta Jukkumi satu porsi lagi."

Belum sampai di pintu depan, langkah wanita itu segera terhenti saat mendengar seruan barusan. Kyu-hyun? Kyuhyun?! bisa Ahra rasakan matanya tiba-tiba memanas dengan cairan yang terkumpul dipelupuk matanya. Ada seseorang yang memanggil Kyuhyun?! Kyuhyun-nya! Kepalanya bergerak kekanan dan kekiri, menelusuri dibalik wajah orang-orang yang lalu-lalang.

"Ju-Jungsoo, apa kau m-memanggil… Kyuhyun?"

Pria yang sedang melahap nasi goring kimchi itu mendongak. Ia menelan dulu makanan dalam kunyahannya, lalu mengangguk seperti anak yang tidak tahu apa-apa. "Waegurae?"

Dengan panic dan cepat, Ahra mengoprek isi tasnya, mencari secarik foto yang sejak sepuluh tahun lalu dia bawa. Hanya agar untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia memiliki adik laki-laki yang hilang. Dapat!

"Apa… Apa dia seperti anak ini?!"

Jungsoo mengangguk lagi. Dan hal itu membuat Ahra tersenyum bahagia, tanpa menyadari airmatanya sudah jatuh dua kali. Dia menghela lega beberapa kali. Dalam dadanya seperti bunga yang tiba-tiba mekar sempurna.

"Katakan padaku, dimana… Dimana dia, Jungsoo?"

Pria Park didepan Ahra hanya mengerutkan keningnya. Lalu pria itu memanggil seorang pelayan dan meminta untuk membawa seseorang yang bernama Kyuhyun.

"Aish! Kenapa memanggilku tiba-tiba, Changmin-ah? Kau tidak lihat apronku basah tersiram air cucian piring?!"

Suara makian tadi membuat Ahra membatu. Pasalnya, baru beberapa menit yang lalu dia mendengar suara itu. Untuk kali ini Ahra takut mengangkat wajahnya. Dia pejamkan mata, sekali lagi untuk menguatkan hati, dan menelan ludahnya susah payah.

Perlahan dia mendongak, dan ternyata dia gagal untuk tidak menangis. Melihat seorang pemuda yang beberapa waktu lalu menyelamatkan hidupnya. Tenggorokannya tercekat dan kering. Sosok didepannya… Kyuhyun-kah?

"Kyu…" susah payah Ahra menyebut nama adiknya itu.

"Agasshi, apa kau memerlukan sesuatu?"

"Cho Kyuhyun…" ini kali pertama dia bisa menyebut sempurna nama adik laki-lakinya yang sepuluh tahun hilang.

Tak terasa kini dia sudah dihadapan pemuda tampan yang tingginya hanya berbeda beberapa centi. Laki-laki didepannya hanya memandang bingung. Namun bagi Ahra, waktu seperti berhenti, hanya disekitaran dirinya, juga laki-laki didepannya. Laki-laki itu adiknya. Kyunnie-nya.

Sedetik tadi, Ahra merasa tenggorokannya tercekat. Dengan pelan, dia mengelus pelipis hingga pipi pemuda, ah tidak! Adiknya! Ya, adiknya!

"Kyunnie~"

Grep!

Rangkulan itu membuat Kyuhyun terkejut. Terlebih ketika Ahra makin menyeruk kelehernya. Rasanya geli.

"Kyunnie-ya…" sudah sepuluh tahun lamanya, dan akhirnya dia bisa menemukan adik laki-laki kesayangannya. Memanggil dengan nama kecilnya. Rasa haru dalam hatinya terus membuncah keluar, seperti air dalam gelas yang penuh kemudian tumpah ruah. Rasanya seperti mimpir bisa mengelus, mengusap dan memandang iris cokelat adiknya.

"Agasshi?"

"Noona…"

"Eh?"

"Kau tidak ingat Noona lagi, Kyu? Noona merindukanmu…"

Noona? Dia memiliki seorang Hyung, bukan seorang Noona. Tapi… sekelebat ingatan ketika dia masih kecil terlintas. Saat dia merengek dan seorang gadis mengabulkan rengekannya.

"Ahra… Noona…?"

"Nde, Kyu. Omo! Kenapa pipimu kurus begini? Apakah tidurmu Selama ini nyenyak? Kau tidak mimpi buruk, kan? Dulu, kau selalu menangis sampai Noona memelukmu…"

Grep!

"Noona~"

Wanita bermarga Cho itu semakin mengembangkan senyumnya dan membalas pelukan Kyuhyun. "Bogoshippo, Kyunnie. Jeongmal bogoshippoeyo…"

Pelukan Kyuhyun semakin erat, "Nado, Noona. Nado…"

Rangkulan keduanya terlepas pada waktu yang bersamaan. Baik Ahra maupun Kyuhyun sama-sama mengerti perasaan aneh yang belakangan melingkupi keduanya. Ternyata mau dipisah bagaimanapun, mereka tetap mengaliri darah yang sama.

"Noona, Bagaimana Umma dan Appa?"

Tubuh wanita cantik didepan Kyuhyun tiba-tiba kaku. "Appa sehat. Umma… sekarang sudah berada disuatu tempat, Kyunnie. Tempat dimana dia bisa menjagamu."

"Mwo? Apa Umma ada disini? Kenapa tidak mencari dan menemuiku?" bibir pemuda itu mengerucut, kontras dengan raut Ahra sekarang.

"Umma berada ditempat yang tidak bisa dikunjungi olehmu, aku, juga Appa, Kyunnie." Telunjuk Ahra mengarah keatas, karena mulutnya tidak sanggup mengatakan bahwa Sang ibu sudah tiada.

"Mak-sud Noona…?"

"Umma seperti kehilangan ruhnya ketika tahu kau menghilang. Umma sering ditemukan menyayat pergelangan tangan atau menenggak sebotol pil obat penenang… hiks… Umma sangat frustasi, Kyu…"

Lagi, Kyuhyun memeluk tubuh dengan tinggi hampir sama dengannya, membiarkan Ahra membasahi baju kerjanya. Matanya sendiri sudah berkaca-kaca. Membayangkan Umma-nya menyalahkan diri sendiri membuat ulu hatinya serasa ditusuk kuat. Dan ketika matanya terpejam, Kyuhyun tidak bisa membendung lagi saat merasakan sakit ditenggorokannya.

Umma-nya… Umma-nya yang penyayang… Umma-nya yang cerewet… Umma-nya yang selalu menyuruhnya memakan sayuran itu sudah… tiada…

"Mianhae, Umma…"

.

Setelah beberapa saat saling berpelukan, dan menumpahkan asa yang telah lama mengendap, Kyuhyun dan Ahra duduk disalah satu kursi. Masih begitu banyak rasa rindu yang belum lepas, bahkan mereka belum puas jika hanya satu hari ini.

"Lalu, Noona menjadi seorang script writer?"

Ahra mengangguk, "Kau ingin membacanya?" Wanita itu menyerahkan naskah asli miliknya yang sengaja ia bukukan.

"Angel?"

Ahra tersenyum lagi, "Bacalah. Aku membuatnya ketika mengingat rasa depresi selama hampir sepuluh tahun. Aku ingin memberi tahu pada semua orang, bahwa kehilangan adalah hal yang menyedihkan dalam hidup. Dan itu catatan yang ditulis Umma semenjak dia berhenti menjadi model." Tangannya mengusap lembut surai adiknya.

Baru sebentar Kyuhyun membuka buku naskah, dia diam dengam bibir yang sedikit mencebil. "Uhm, Noona, karena hari ini aku libur, bagaimana kalau kita kepasar malam?" merasa menemukan sesuatu yang menarik, Kyuhyun menatap kakak perempuannya dengan penuh binar.

Sedang Ahra terkekeh kecil, "Apapun untuk adik laki-lakiku."

.

.

Kyuhyun dan Ahra tertawa riang ketika sedang berjalan menuju rumah dimana Kyuhyun tinggal selama ini sambil bergandengan tangan, layaknya sepasang kekasih. Kyuhyun sudah menceritakan semuanya pada Ahra, bahwa Siwon bukanlah orang jahat. Laki-laki itu sedang kalut dan takut. Ahra sendiri tidak bisa berkata apapun ketika Kyuhyun mati-matian meyakinkan dirinya, kalau Siwon adalah orang yang sangat baik. Terbukti dengan Kyuhyun yang tampak sehat, meski badannya sedikit kurus.

Dada Kyuhyun memang berdebar dari tadi, tapi dasarnya dia tidak peduli, Kyuhyun mengabaikannya. Dia beranggapan jantungnya berdentum lebih cepat Karena rasa bahagia bisa tertawa bersama Noona-nya.

Akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah sederhana dengan cat berwarna kelabu. Ahra memandang sebentar rumah kecil didepannya. Dia sungguh tidak menyangka, ketika dia hidup dirumah yang terbilang mewah dengan fasilitas lengkap, Kyuhyun justru sebaliknya. Digelengkan kepalanya, menepis berbagai pikiran buruk yang datang. Dia harus mencoba ikhlas. Dia bukanlah anak kecil lagi.

"Noona, apa kau yakin akan pulang sendiri? Ini sudah larut, aku takut kau…"

"Sstt!" telunjuk Ahra membungkam mulut Kyuhyun. "Aku tidak apa-apa. Toh jaraknya hanya lima rumah dari sini. Cepatlah masuk, udara semakin dingin. Kau harus istirahat dengan nyaman, arra?"

Kyuhyun mengangguk patuh, seperti anak kucing. "Noona… Apa kau ingin menemui Siwon Hyung?"

Pertanyaan Kyuhyun membuat senyum Ahra hilang. "Nanti, jika aku siap, aku akan menemuinya, Kyunnie. Jja, masuklah."

Perlahan, Kyuhyun semakin maju kehadapan kakak perempuannya, lalu mengecup kening Ahra dengan lembut. "Mulai sekarang, izinkan aku melakukannya untukmu, Noona." Ucapnya sembari tersenyum manis.

"Kalau begitu, pulanglah, Kyu. Appa pasti sangat senang bisa bertemu denganmu."

Keduanya berbincang mesra, tanpa menyadari bulan diatas sana tengah tertawa geli. Sebentar lagi… Roda takdir yang sempat berhenti sejenak anak memutarkan kembali geriginya. Ketika saat itu tiba, maka tugas bulan sebagai Sang Pengawas akan usai.

.

.

"Baru pulang?"

Kyuhyun yang hendak menutup pintu terlonjak mendengar suara tiba-tiba Siwon. Pria itu sedang bersandar pada dinding pembatas ruang tamu dan ruang makan. Dia berdiri sambil melipat tangan depan dada dan kaki yang menyilang, memandang Kyuhyun tajam.

"N-ne, Hyung. Kedai sangat ramai…" Kyuhyun mengkeret mendapati Siwon tidak seperti biasanya. Dengan kepala yang tertunduk, dia mendekati Siwon perlahan.

"Kau sudah pandai berbohong rupanya. Siapa yang mengajarimu?"

Kepala Kyuhyun yang tertunduk itu menggeleng. Aura Siwon menakutkan, batinnya. "A-aniyo"

"Tatap aku jika kita sedang bicara, Choi Kyuhyun!"

Dengan ragu, pemuda berusia 16 tahun itu mengangkat kepalanya, memandang wajah Siwon yang terlihat garang, dengan mata yang seolah terhunus padanya. Dia tidak pernah melihat mata Siwon yang nyalang seperti itu. Mungkin terakhir ia ingat, Siwon pernah hampir membunuh Seunghyun yang menjahilinya. Sejak itu, Siwon benar-benar melindungi dari siapapun.

Kyuhyun makin berjengit saat Siwon sudah mencekal pergelangan tangannya dengan kuat.

"Siapa wanita tadi? Apa aku pernah mengajarimu untuk bersikap jalang, huh?"

Kyuhyun mengkerut tidak suka. Seumur hisup, tidak ada yang mengejeknya dengan kata-kata kasar. Bahkan Seunghyun sekalipun berbicara lebih sopan ketimbang Siwon sekarang. "Apa maksudmu, Hyung? Tadi kau melihatnya? Melihat Noona-ku?"

"Noona?"

"Ne. dulu aku sering menyebutnya padamu, kau ingat? Ketika aku kecil merindukan keluarga utuhku. Merindukan Appa, Umma dan juga Noona."

Siwon menghempas Kyuhyun pada lantai yang terlapisi karpet berbahan beludru berwarna oranye. Tatapannya makin tak suka ketika Kyuhyun terlihat seperti menantangnya.

"Sejak kapan kau berani membangkang perkataanku, Choi?"

"Tidak lagi, Hyung. Cukup aku menjadi adikmu selama sepuluh tahun. Sekarang aku kembali menjadi Cho! Cho Kyuhyun! dan kau tahu, Siwon HyungUmma-ku… meninggal…"

Bisa Kyuhyun rasakan cengkraman Siwon merenggang. Dia juga melihat raut terkejut pria diatasnya. Apa? Apa yang salah? Kenapa Siwon terkejut seperti itu? Kenapa berhenti memarahinya? Bicaralah lagi. Bicaralah lebih banyak lagi… Kenapa dengan raut bersalahnya itu?

"Wae?! Kenapa diam? Seandainya kau tidak membawaku, Umma-ku pasti masih hidup! Seandainya kau tidak membawaku, aku pasti bisa bersekolah dan hidup dengan layak! Seandainya kau…"

"CUKUP!"

Kali ini Kyuhyun benar-benar ketakukan menghadapi Siwon yang kembali menindih tubuhnya. Wajahnya semakin mengeras.

"Bisa kau tutup mulutmu, heh? Kau pikir aku tidak menderita? Selama sepuluh tahun, telingaku mendengar rengekanmu!"

"M-mwoh?" mungkin Kyuhyun tidak sadar, jika airmatanya sudah merembes dari tadi. Ditambah Siwon barusan, mengatakan seolah dia tidak ikhlas menerima keberadaannya.

"Ya! Harusnya kujual saja kau pada Yakuza itu, toh tidak ada ruginya untukku! Aku bisa terus bersenang-senang dengan wanita-wanita bar yang rela telanjang demi uang. Aku tidak harus terjebak miskin disini bersamamu! Aku tidak harus menanggung perasaan yang tidak seharusnya…"

"Berhenti… Siwon Hyung… hiks… kau menyakitiku…"

"Aku tidak bisa, Kyu. Kau bukan adikku. Sejak awal, kau memang bukan adikku! Aku mencintaimu!"

"MWO-eumhpt!"

Karena terkejut, airmata yang semula deras tiba-tiba berhenti. Kyuhyun makin melebarkan pupil cokelatnya ketika sesuatu yang lunak mengapit kedua belah bibirnya. Disesap dengan lembut. Bergantian. Gemuruh didadanya membuat dia semakin kesulitan bernafas.

Pemuda manis itu perlahan rileks dan menikmati perlakuan Siwon, bahkan tanpa sadar dia sudah memejamkan mata dan mulai membalas lidah yang tengah bermain dalam mulutnya. Menggelitiki langit-langit dan membuatnya merasa geli.

Sontak, saat lidah keduanya bertautan, Siwon membuka lebar matanya. Dan dari jarak sedekat ini dia bisa melihat wajah yang semula seputih susu itu terlihat memadam.

"Mi-mianhae…". Pria berusia 26 tahun itu beranjak dari atas tubuh Kyuhyun, mengelap bibir dan sekitarnya yang basah. Kemudian berlari kearah kamarnya.

Nafas Kyuhyun tersengal. Dengan mata yang setengah terbuka, memandang langit-langit ruang tamu. Perlahan, tangannya mengusap lembut bibirnya yang masih kelewat basah. Yang tadi itu… bukan mimpi, kan?

Siwon yang menciumnya tadi… bukan halusinasi?

Bisa pemuda manis itu rasakan, bibirnya berdenyut dan wajahnya semakin terasa panas. Tadi itu NYATA, Cho Kyuhyun!

.

.

Kyuhyun mengulet saat terusik dengan berisiknya kicauan burung dan cahaya matahari yang seenaknya masuk dari celah jendela. Awalnya dia ingin melanjutkan tidur karena semalaman dia kelewat terkejut dengan perlakuan Siwon. Namun perut dan hidungnya saling sinkron ketika tercium aroma manis cokelat kesukaannya.

Dengan langkah yang masih sempoyongan, dia mengucek mata sambil berjalan keluar kamar. Perutnya sudah bergemuruh minta diisi. Bahkan dia masih menggunakan piyama baby blue dengan motif bayi beruang.

Langkahnya terhenti saat nyawanya yang sempat tercecer entah kemana itu terkumpul sempurna. Bodoh! Kenapa dia malah keruang makan? Dan lebih bodohnya dia melihat Siwon sedang berkutat dengan masakan didepannya.

Ketika hendak berbalik, suara Siwon keburu menginterupsi langkah kakinya.

"Kalau sudah bangun, duduklah. Susumu sudah kusiapkan. Sebentar lagi omelette-nya matang."

Mau tak mau, Kyuhyun berbalik lagi sambil menggigit bibit bawahnya. Bahkan sampai sekarang dia masih bisa merasakan apitan bibir Hyung-nya semalam. Aish, jinjja! Jauhkan pikiran itu, Kyuhyun!

Dia terus menunduk dan memainkan ujung atasan piyama yang dia kenakan. Rasanya dia tidak tahu harus bersikap seperti apa setelah insiden semalam.

Terdengar dentingan spatula dan pan, membuat pagi itu tidak sunyi. Yah, setidaknya Kyuhyun bersyukur tidak harus terjebak dalam keheningan. Semoga saja Siwon tidak mendengar dentuman berisik yang tengah bersemayam dalam dadanya, yang saking kerasnya membuat Kyuhyun sedikit sesak.

Selesai dengan omelette-nya, Siwon memberikan saus diatas kulit luaran telur. Selesai, dia berbalik dan menghidangkannya didepan Kyuhyun juga didepannya.

"Makanlah."

"N-ne."

Siwon bersikap seolah tidak terjadi apa-apa semalam. Pagi ini, adalah pagi yang sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Hal yang berbeda sepertinya terlihat dari Kyuhyun yang tampak kaku dan kikuk menggunakan sendok. Dia bergerak seperti robot.

Berbanding terbalik dengan Siwon yang santai menyantap sarapan, menyeruput kopi dan membaca Koran paginya. Namun Kyuhyun tidak pernah sadar, kalau dia tengah diperhatikan sejak tadi. Siwon bahkan tersenyum geli mendapati mata Kyuhyun yang bergerak gelisah.

Habis dengan omelette-nya, Kyuhyun segera menyambar cangkir susunya, meniup sekilas sebelum ia minum. Dari balik cangkir, dia melirik Siwon dan ketika kedua mata itu bertumbuk maka Kyuhyun akan mengalih dengan gugup. Kemanapun. Sembarang arah. Asal tidak lagi kepergok diam-diam sedang mengamati wajah Siwon yang semakin tegas dan tampan.

Itu adalah salah satu pagi yang indah dalam hidup keduanya selama sepuluh tahun ini. Sebelum bunyi ketukan pintu yang seolah menghempas keduanya pada dunia masing-masing. Bahkan dalam mimpipun Kyuhyun tidak pernah berharap kalau dia akan berpisah dengan sosok yang selama ini ia panggil 'Hyung'.

Dan pagi itu juga kali terakhir Kyuhyun menangis ketika berpisah dengan seseorang. Kali terakhir dia melihat senyum dibibir tipis pria yang sudah membesarkannya selama sepuluh tahun. Kali terakhir… Dia menggenggam tangan besar yang hangat.

.

Under The Christmas Tree

.

###

Seorang pria tampak sedang digiring melewati lorong-lorong yang berhias terali besi. Semua mata yang memandangnya iri mendengus, berharap mereka seberuntung pria itu. Mampu menghirup udara bebas adalah keinginan terbesar para penghuni sel penjara Seoul.

Tiba diluar bergerbang, petugas yang membawanya kemudian berbalik kembali. Meningalkan pria itu menemui dua pria lain yang mengaku sebagai kerabatnya.

"Selamat datang kembali, kawan." Sambut keduanya.

Sedang pria itu tersenyum sambil menatap langit yang menghitam legam. Ini sudah bulan December. Ternyata waktu berlalu cukup cepat untuknya. Bisa dia rasakan udara yang berhembus kontras dengan udara yang ia rasakan sebagai seorang penjahat selama sepuluh tahun masa hukumannya.

Kini ia bebas. Hukumannya sudah selesai. Dan dia rindu seseorang yang dia dogma dengan sungguh-sungguh sebagai seorang adik.

"Bolehkah sekarang aku mengatakan… 'Aku pulang', Kyu?"

.

.

.

Lagi-lagi sudah malam. Kyuhyun menghela singkat lalu merapikan meja kerjanya. Menyusun berkas yang sudah dia tandatangani, dan ada sekitar 5 yang belum selesai dia masukkan kedalam laci. Malam ini dia sudah janji dengan Yoora, keponakannya, atau lebih tepatnya putri Ahra yang lima tahun lalu menikah dengan seorang pria bermarga Park.

Ini malam sebelum natal. Dia sudah keburu janji untuk membelikan beberapa kado dan berdandan konyol layaknya Santa Claus. Selesai dengan semuanya, Kyuhyun menepuk tangan dan tersenyum gembira. Ini sudah agak malam. Semoga masih ada toko yang masih buka.

.

Baru saja Kyuhyun sampai dilantai dasar, seorang resepsionis memanggilnya.

"Tadi sore ada yang menitipkan bingkisan ini untuk Sajangnim." Ucap wanita resepsionis itu.

Kyuhyun merengut. Perasaan dia tidak memesan apapun. Ah, atau kakak iparnya tahu dia akan datang terlambat lalu membelikan semua perlengkapan Santa untuknya? Tapi… kenapa besar seperti ini? Juga tidak begitu berisik ketika Kyuhyun sedikit mengguncangnya. Aneh, batinnya.

Uh? Ponselnya bergetar.

"Yeobosseo?"

"Kyu, hari ini dia bebas. Kau sudah berusaha sepuluh tahun menunggunya. Temuilah, Kyu…"

Pip!

Kening Kyuhyun mengerut saat mendengar suara Ahra tadi. Apa maksud Noona-nya itu? Ah, lebih tepat, siapa?

Setelah keras berpikir, dia buru-buru membongkar kado besar didepannya. Seketika genangan bening muncul dikelopak mata. Bibirnya terbuka, bergerak tak menentu, suara seolah tak berguna.

Dia mengambil secarik kertas yang tergeletak dipangkuan sebuah boneka beruang yang cukup besar.

"Hai, adik kecil. Kutepati janjiku untuk membelikanmu boneka beruang yang besar. Semoga kau suka, Kyu."

Laki-laki itu langsung berlari menuju mobil jemputan yang sudah berada didepan kantor. Bergegas dia menyuruh sang supir mengantarnya kesebuah pusat pertokoan di Myeongdong. Tak henti-hentinya Kyuhyun tersenyum bahagia memandang boneka beruang berwarna caramel, lalu memeluknya gemas. Sama seperti ketika dia berusia lima tahun yang mendapat boneka dari sang Ayah.

"Hyung, boneka Kyunnie rusak~" seorang bocah mengerucutkan bibir mungilnya, membuat kedua pipi puti terlihat mengembung layaknya bakpao yang baru matang.

Seorang pemuda lalu berjongkok didepan bocah itu, mengambil boneka beruang yang sudah rusak karena tersobek kait pintu rumah. Ia tersenyu sembari menangkup sepasang pipi yang mengembung milik bocah lucu didepannya. "Nanti, kalau Hyung sudah punya uang, Hyung janji akan membelikan boneka yang lebiihhh besaarr. Oettae?"

"Howaahh! Jinjja, Won Hyung? Sebesar ini?" bocah itu kembali bersemangat dengan melebarkan kedua tangannya yang masih pendek. Ia ingin boneka itu sebesar jangkauan tangannya.

Si pemuda sekali lagi tersenyum dan mengangguk.

"Bogoshippo, Hyung. Jeongmal bogoshippeoyo, Won Hyung…" racau Kyuhyun yang tak hentinya memeluk erat boneka beruang besar.

.

Seorang pria tampak tengah duduk bawah pohon natal berukuran jumbo. Beberapa kali dia menggesek kedua tangannya, kemudia menguapkan mulutnya agar terasa lebih hangat. Bulu-bulu halus yang membingkai rahang juga kumis tipis yang menaungi bibirnya belum ia cukur.

Lima jam lalu dia baru saja bebas. Dan betapa terkejutnya ketika dua orang yang dulu ia anggap teman menjemput. Mereka tinggal di Seoul sekarang dengan membuka bakery setelah kedai semakin ramai karena suksesnya sebuah film bertajuk 'Angel'. Kedai itu kini diurus oleh salah seorang Kim setelah kedua temannya memutuskan untuk menikah.

Mereka juga menceritakan sedikit kabar yang didapat selama ini tetang adiknya. Bocah yang dulu lucu dan menggemaskan kini berubah menjadi laki-laki dewasa yang berwibawa. Rasanya dia sudah tidak sabar bertemu.

.

Sampai ditempat tujuan, Kyuhyun segera berlari dengan tetap memeluk boneka beruangnya. Suasana toko sudah mulai sepi karena jam hampir tengah malam. Dengan nafas yang memburu, dia berharap orang itu belum pergi dan masih menunggunya.

Kyuhyun sampai di bawah pohon natal berukuran besar yang tinggi menjulang. Dia berhenti. Mengatur laju nafas yang keluar-masuk dengan terburu-buru. Bibirnya lagi-lagi terbuka lebar mendapati punggung besar yang sudah dirindukannya selama ini.

Tanpa melihatpun dia tahu, siapa pemilik punggung itu.

Grep!

.

Siwon terkejut saat tiba-tiba sepasang tangan melingkar didadanya. Tapi sedetik kemudian dia kembali mengulas senyum. Mengelus punggung tangan yang halus dan menghirup aroma manis yang menguar. Aroma yang sejak dulu dia hapal dan tak pernah dia lupa.

"Terima kasih…" ucapan yang disertai hela nafas tadi membuat Siwon semakin tersenyum lebar. Apa orang yang sedang memeluknya ini berlari cepat kemari sehingga dia bisa merasakan hawa hangat yang hilang-timbul dengan cepat.

Perlahan dia membalikkan tubuhnya, memandang lekat iris cokelat yang selama sepuluh tahun ini hilang. Dipenjaranya wajah dengan tinggi yang hampir sama. Seorang laki-laki dengan bentuk rahang yang sedikit tegas, meski pipi gempalnya tidak hilang.

Kini, keduanya terasa seperti de javu. Sama-sama tersenyum. Lalu terkekeh. Entah apa yang sedang dipikirkan masing-masing sehingga mereka bisa tertawa serempak.

"Terima kasih sudah membelikanku boneka beruang, Won Hyung."

"Kau suka?"

Kyuhyun mengangguk, "Sangat suka."

Diam seketika. Kyuhyun tampak malu-malu dan salah tingkah, sedangkan Siwon tidak melepas rangkapnya pada Kyuhyun. Dia takut ini mimpi. Ketika matanya beralih maka Kyuhyun akan hilang.

Dia lebih tepatnya terpesona. Wajah Kyuhyun memang tidak lagi menggemaskan seperti dulu dengan pipi seperti bakpao, tapi dia benar-benar tidak menyangka, Kyuhyun kecilnya telah menjelma menjadi seorang pria yang tampan sekaligus manis. Apalagi ketika dia menangkap rona merah diwajah seputih susu didepannya.

"Annyeong, siapa namamu?"

Kyuhyun mengangkat wajahnya dan memandang Siwon. Kini pria didepannya sangat berbeda dengan Siwon Hyung-nya. Wajahnya lebih tegas dengan rambut halus disekitaran rahangnya. Menambah kesan garang.

"Annyeong, Hyung. Cho Kyuhyun imnida. Apa yang Hyung lakukan disini?"

"Aku? Aku sedang mencari seorang bocah lelaki yang sedang memeluk boneka beruang besar."

"Kau sudah menemukannya?"

Siwon tersenyum, menatap teduh wajah didepannya, "Ya, aku sudah menemukannya."

Dibawah pohon natal, mereka merekap ulang kejadian duapuluh tahun lalu, dimana Bulan yang menggantung menjadi saksi pembukaan tirai pertunjukan. Sandiwara yang dimainkan oleh anak-anak manusia.

Pertunjukan itu belum tuntas. Tiraipun hanya ditutup sekilas. Setelahnya, sama seperti dulu, kedua tangan yang berbeda itu kembali bertautan. Kaki-kaki mereka perlahan berjalan keluar pertokoan, menikmati malam dengan bulir salju yang turun perlahan.

Meski tidak ada dialog yang terucap, namun pantonim sederhana sepertinya cukup untuk mengakhiri kisah kali ini. Bahkan bulan diatas sana berbisik sesuatu pada bintang-bintang untuk lenyap dan meninggalkan mereka hanya berdua.

Untuk kali ini, bulan izinkan panggung megah dibawahnya hanya dimiliki oleh dua anak manusia yang tengah melepas rindu tanpa buru-buru. Menikmati tiap friksi lembut yang menggetarkan dada masing-masing.

Bulan tersenyum, setiap yang menunggu dengan sungguh-sungguh, akan selalu ada hadiah manis diujung penantian. Tergantung siapa yang melihat dan siapa yang menilai. Kini Sang Bulan tersenyum lega, dan menutup tirai untuk kisah kali ini.

Semoga di kisah selanjutnyapun dia bisa menjadi Sang Pengawas.

.

END

.


Terima kasih untuk yang sudah mampir ^^

LOVE U~