Semua orang mengenal Rivaille sebagai koki bertangan dingin, dan dingin adalah bagian dari dirinya. Rivaille sendiri menyadarinya. Ia menggunakan 'dingin' untuk 'menutupi' apa yang ia simpan di dalam. Ia tidak suka menunjukkan dirinya dengan terlalu banyak mengekspos ekspresi. Seberapa berkecamuk pun emosi di dalam diri sang Koki Utama, ia bisa menutupinya dengan wajah yang sering orang analogikan dengan danau.

Danau itu tenang dan dalam, hampir tak berarus. Dan kadang menakutkan, Rivaille harus mengakui.

Rivaille bukan tipe yang impulsif, ia selalu berpikir sebelum bertindak, selalu rasional sebelum emosional, dan kini ia mempertanyakan kemana hilangnya dirinya yang seperti itu. Ia kehilangan kemampuan berpikir begitu seorang Petra Ral mengadilinya tanpa tahu apa yang sebenarnya sang Koki rasakan. Ia tidak peduli, katanya. Mempertimbangkan hubungan kerja, katanya. Anggap tidak pernah ada, katanya. Hell, bukan Petra yang berada di posisi kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan malam kemarin. Bukan Petra yang impuls-impuls syarafnya meletup-letup karena sebuah ciuman halus di bibir. Bukan Petra yang mengalami pergolakan batin di mana moralnya sebagai pria terhormat bertarung sengit dengan naluri buasnya sebagai lelaki. Koki pastri itu tidak tahu siksaan macam apa yang Rivaille derita setelahnya.

Gadis itu, ia tidak tahu apa-apa sama sekali.

Dan ia harus membayarnya.

Ya. Rivaille membatin. Ia harus membayarnya.

Sang Koki utama berpapasan dengan Erd dan Gunther di lorong ruang briefing. Erd mengangkat lengannya sembari tersenyum ramah dan menyapa,"Bonjour, Chef. Comment allez-vous aujourd'hui (apa kabarmu hari ini)?"

Rivaille menjawab dengan wajah datarnya yang biasa, kendati ia mati-matian berusaha supaya tidak menggigit lidahnya sendiri ketika menjawab, "Jamais mieux (tidak pernah sebaik ini) …."


Disclaimer: I don't own Attack on Titan/進撃の巨人Isayama Hajime does. No benefits or some commercial advantages had been taken, no Trademark Infringement is intended. Cover's fanart isn't mine. All credits dedicated to the respected artist.

Notes: OOCness ensue, swearing


Chapitre 3: Accueil


"Petra, kau pucat." Hanji menatap Petra dari seberang meja kerjanya, menekan kacamata segi empatnya dengan telunjuk. "Sepertinya kau benar-benar sakit, kau yakin bisa kerja?"

Lima menit berlalu semenjak Petra menginjakkan kakinya di ruang manager, berdalih jika ia butuh aspirin karena kepalanya sakit dan ia tahu Hanji menyimpan kotak obat di ruangannya. Alasan sebenarnya adalah ia ingin berada sejauh mungkin dari dapur dan ruang briefing, mengingat tempat-tempat tersebut adalah wilayah kekuasaan 'orang itu'.

Petra tersenyum. "Aku baik-baik saja," Bagaimana aku bisa baik-baik saja? Chef Rivaille baru saja mendesakku ke loker! batin Petra kalap. Dan wajahnya hanya berjarak sehelai rambut dengan wajahku! Dan aromanya sangat enak! "Mungkin ini hanya pengaruh cuaca, bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Aku masih sanggup kerja setelah ini kemudian lari maraton ke rumah." Tidak, aku hampir tidak bisa berjalan sekarang, kaki-kakiku serasa terbuat dari gelatin. Aku penasaran apa merek aftershave yang ia pakai—

Petra menampar dirinya imajiner.

"Err, kau yakin?" Hanji mengerutkan dahinya. "Mungkin sebaiknya kaupulang saja jika merasa kurang fit."

Petra menggeleng lemah. "Kurasa ini bukan karena kondisi tubuhku."

Kerutan di dahi Hanji menghilang. "Ah, aku mengerti. Kau sedang berada di masa-masa sulit sekarang ini."

Petra hampir terjengkang dari kursinya. Dia tahu? Miss Hanji tahu peristiwa di ruang briefing?

"A-a-aku—"

Hanji menghembuskan napas panjang. "Putus cinta memang menyakitkan, Petra. Aku tahu apa yang kaurasakan."

Petra mengerutkan dahi, tidak tahu arah pembicaraan sebenarnya. "E-eh?

"Dulu ketika aku seusiamu, aku juga pernah jatuh cinta," kata Hanji, wajahnya lesu, benaknya entah di mana. "Di tempat kuliahku ada gerombolan mahasiswa teknik, mereka menamai diri mereka Titan …."

Ja-jadi ini sebenarnya tentang apa? Petra membatin bingung. "Miss Hanji—"

"—Namanya Moses, bukan?"

Petra terkesiap. "Eh?"

"Mantan pacarmu, namanya Moses, bukan?" ulang Hanji. "Kudengar kalian hampir bertunangan."

Moses. Jadi ini tentang si Brengsek itu. Aku sama sekali tidak menyangka kalau ini—tunggu sebentar. Jika diingat lagi, hari ini aku sama sekali tidak memikirkan pecundang itu, padahal kemarin aku menangisinya tanpa malu di hadapan Chef Rivaille ….

Chef Rivaille.

Loker.

Petra membenturkan kepalanya ke meja. Hanji terlonjak dari kursinya.

Jika dipikirkan kembali, seharian ini pikirannya penuh dengan sang Kepala Chef, dengan kejadian malam sebelumnya, dan peristiwa loker. Bukan Moses. Ajaib.

"Petra, kau baik-baik saja?"

"Hm." Petra mengangguk di permukaan meja. "Jamais mieux."


Petra masih berharap jika ia tengah bermimpi, bahwa semua hal yang terjadi akan buyar menjadi sulur-sulur memori begitu ia terbangun, kemudian terlupakan. Tetapi ia tahu ia hanya sedang mengasihani diri, ia tahu jika semua nyata dan jernih. Ia tahu bahwa, tanpa di duga, sesuatu tengah berlangsung antara dirinya dan Rivaille. Petra tidak bisa berkata bila ia menyukainya, tetapi ia juga tidak membencinya.

Petra selalu mengagumi Rivaille. Ia adalah salah satu koki terbaik di negeri ini. Tetapi bukan itu yang menjadi persoalan. Ia selalu menyaksikan Rivaille ketika Sang Kepala Koki mengolah bahan-bahan mentah menjadi sesuatu yang bisa diapresiasi tinggi-tinggi. Semua orang bisa memasak, mungkin. Tetapi bila berbicara tentang Rivaille, Petra merasakan sesuatu yang berbeda. Rivaille memasak seperti hanya itulah hal yang penting di dunia. Ia mencurahkan seluruh dirinya; determinasi, presisi, kesempurnaan, hal itulah yang selalu Petra lihat setiap kali sang Kepala Koki mengiris potongan filet atau menyaring kaldu. Ketika memasak, Rivaille seakan melupakan dunia. Ia terlihat tenggelam, dan sekelilingnya terlihat terbawa olehnya. Semua orang tertular. Ia membuat memasak menjadi hal yang terlihat menyenangkan, dan keren, Petra harus menambahkan.

Petra menghormatinya, sebagai seseorang yang berprofesi sama, juga seseorang yang memberinya semacam nyawa dalam olahannya. Setiap kali Rivaille bergerak di depan tungku, setiap kali Rivaille membalik daging di atas panggangan, setiap kali Rivaille memutar piringan oven, ia seolah memberitahu Petra apa yang harus ia lakukan. Ia tahu bagaimana ia harus menghidangkan olahannya sendiri. Bukan berarti Petra tidak kompeten, tetapi rasanya yang ia lakukan akan terasa berlipat-lipat kali lebih menyenangkan jika sembari melihat Rivaille dan gerak-geriknya di dapur.

Yah, Rivaille terkadang bisa begitu menakutkan, tetapi itu bukan masalah besar.

Garapan mereka jelas bertolak belakang. Rivaille dengan olahan asin, pedas dan panasnya, sementara Petra dengan hidangan manis, asam dan dinginnya. Tetapi, dengan Rivaille, ia tidak melihat perbedaan. Mereka satu rasa, dan itulah makna dari Brigade de Cuisine yang sebenarnya.

Petra mengaguminya, seperti semua pekerja dapur mengaguminya. Hanya itu. Itu yang selalu ia pikirkan.

Dan ia akan selalu berpikir demikian.

Petra tertawa, menyadari jika ia terlalu menganggap sulit situasi selama ini. Apa yang dikatakan Rene benar, Petra terlalu berlebihan. Apa yang terjadi antara dirinya dan Rivaille semalam tidak seharusnya mengganggu arus masing-masing, mereka akan terus menjadi—

Karena setelahnya kau tidak berhenti menghantuiku, wajahmu tidak pernah lepas dari pikiranku, tubuhku tidak pernah melupakan bagaimana kau menciumku.

Petra menyurutkan tawanya. Mungkin, mungkin, ia memiliki pemikiran yang salah selama ini.

Dan Eren yang tengah mengelap kaca pintu di sebelahnya mengerutkan dahi, setengah terkejut setengah takut melihat Petra tertawa sendiri dan murung bagai mendung beberapa detik setelahnya. Lebih dari itu, Eren heran mengapa Petra membersihkan kaca pintu masuk bersamanya di saat ia seharusnya hanya fokus di dapurnya, dengan pekerjaannya sendiri.


"MEREKA DATANG!" Petra melihat Hanji terburu-buru berlari dari bilik kasir dengan cengiran lebar, matanya terpaku ke pintu masuk utama. "ARMIIIIIIIIIN, CHRISTAAAAAAAAA!"

Petra menghentikan kegiatannya ketika melihat sosok-sosok yang berjalan masuk ke dalam restoran. Hanji membuka daun pintu, dua sosok kecil berambut pirang dan berseragam taman kanak-kanak menghambur dan menyerbu sang Manager dengan pelukan.

"Auntie Hanji! We miss you!" pekik dua bocah berusia di sekitaran empat tahun itu bersamaan, kemudian terkikik ketika Hanji mencium pipi mereka satu per satu.

"I miss you two more," balas Hanji. "Lihat diri kalian! Kalian tumbuh besar selama tiga minggu ini, eh? Tanganku tidak cukup besar lagi untuk memeluk kalian bersamaan."

"Daddy bilang aku tumbuh dua inchi," kata bocah yang laki-laki, menunjukkan tiga jari kepada Hanji. "Daddy bilang sebentar lagi kami akan sebesar raksasa!" ia merentangkan lengannya lebar-lebar, terlihat begitu senang.

"Aku tidak mau jadi raksasa! Armin saja yang jadi raksasa!" Yang perempuan merengut. "Aku mau jadi putri, dan setiap putri memiliki ibu peri. Kau mau jadi ibu periku, Auntie Hanji?"

Hanji menepuk dadanya. "Aku akan menjadi teman raksasa dan ibu peri paling hebat untuk kalian."

"YEEEEY!"

Petra tidak bisa menahan senyum ketika melihat interaksi Hanji dengan kedua pendatang cilik itu, hingga ia merasakan tepukan halus di bahu dan mendapati Eren telah berdiri di sebelahnya. "Siapa anak-anak itu, Mademoiselle?" tanyanya.

"Oh, kau baru dua pekan magang di sini, 'kan, Eren? Pantas saja kau tidak tahu," timpal Petra, mulai mengelap meja kembali. "Mereka adalah si Kembar Smith Junior."

"Kembar Smith Junior?" Eren mengerutkan dahi. "Maksudmu mereka adalah anak-anak Monsieur Smith?"

Petra mengangguk. "Bos selalu membawa mereka ke tempat ini kalau ada waktu. Mereka sangat memesona, 'kan?"

Petra melihat pintu depan terbuka kembali, sosok bermantel Erwin Smith masuk sembari memapah seorang wanita berkacamata bundar berambut keperakan sebahu di sampingnya. Senyuman Petra menyurut.

"Dan itu istrinya?"

"Hm," Petra mengiyakan. "Itu Madam Rico."

Eren terlihat menggaruk pipinya. "Ma-maaf kalau aku terdengar tidak sopan, tetapi aku merasa Madam Rico ini terlihat agak … aneh."

Jika yang Eren maksud dengan aneh adalah ekspresi bingung di wajah Rico Smith, juga bagaimana ia bergantung kepada bimbingan Erwin untuk berjalan, maka Petra tidak bisa menyalahkan pemuda itu.

Petra menghela napas, murung. Kemudian benaknya terbagi antara mengatakan hal yang sebenarnya atau menyembunyikan beberapa bagian kepada Eren. Rasanya tidak benar menceritakan masalah pribadi atasannya kepada orang asing. Tetapi Eren bukan orang asing, ia adalah bagian Le Connâitre. Lagi pula cepat atau lambat Eren akan tahu, baik dari mulutnya sendiri atau orang lain.

"We-well, Madame Rico tidak sedang berada dalam kondisi bagus—kondisinya memang selalu tidak bagus, sebenarnya. Tiga tahun yang lalu, Madam Rico divonis mengidap dimensia."

Eren terkejut hebat, tetapi ia berhasil menguasai diri dan, alih-alih berteriak, ia berbisik kecil, "Dimensia? Ma-maksudmu Alzheimer? Tetapi Madam Rico terlihat masih muda."

"Ia memang masih muda, tetapi itu kenyataannya, Eren." Petra tersenyum pahit. "Ia masuk dalam kategori satu berbanding sejuta kemungkinan penderita dimensia di usia muda. Dan kudengar kondisinya semakin memburuk akhir-akhir ini, terapi yang ia jalani tidak membuahkan hasil," Petra melanjutkan. "Monsieur Erwin tidak pernah menutupi kondisinya dari kami, ia sering mengajak istrinya makan malam di tempat ini, restoran yang mereka bangun bersama. Ia sangat mencintai istrinya, dan tidak pernah berpikir jika kondisi Madam Rico adalah hal yang patut ditutupi."

"Je me sens désolé pour les (aku merasa simpati untuk mereka)," kata Eren. "Aku tidak tahu kalau Monsieur Smith—"

"AUNTIE PETRA!"

Dua pasang mata biru yang membulat kini menatap Petra dengan binar yang begitu lucu. Armin dan Christa Smith memeluk masing-masing satu dari kaki Petra, membuatnya tersenyum sembari merendahkan tubuhnya dan menepuk lembut kepala-kepala pirang di bawahnya. "Halo, Armin. Halo Christa. Apa hari kalian menyenangkan?"

"Hm." Armin yang mengangguk. "Miss Sasha menyuruh kami menggambar makanan favorit kami hari ini. Ia memberi contoh, dan ia menggambar kentang, kentang yang sangat-sangat besar." Armin merentangkan lengannya, membentuk lingkaran. "Aku dan Christa menggambar parfait yang diatasnya ditaruh ceri yang besar. Dan Miss Sasha menyukai gambar kami. Daddy juga!"

Petra bertepuk tangan. "Benarkah? Kalian kereeeen!"

"Kami menunjukkan ke Mommy juga, Daddy bilang Mommy akan senang melihat gambar kami."

Hati Petra terasa dicubit ketika melihat raut wajah menyuram Christa yang bicara barusan. Petra bisa membayangkannya, merasa buruk karena ia bisa membayangkannya. Ia berharap jika bukan tanggapan dinginlah yang anak-anak ini dapatkan dari ibu mereka. Ia berharap Rico Brzenska Smith merespon, sekecil dan sesederhana apa pun, tersenyum atau menepuk kepala mereka dan menunjukkan jika ia bangga, bukan ekspresi kosong yang mengatakan jika ia tidak mengenal anak-anaknya.

Rico sudah sampai pada tahap itu, dan tidak ada jalan kembali.

"Mommy pasti senang," Petra berbohong, kepada anak-anak Rico, juga kepada dirinya sendiri. "Dia pasti bangga kepada kalian."

Senyuman Petra sepertinya menaikkan mood si Kembar. Walaupun kecil, mereka ikut tersenyum. Tetap saja, ada bagian dari Petra yang merasa bersalah karena telah mengatakan hal yang jauh dari kebenaran, nyaris palsu. Anak kecil ataupun bukan, mereka tidak layak dibohongi.

Petra merasakan pelukan di kaki-kakinya mengerat, kemudian tersenyum kecil mendapati si Kembar menatap Eren dengan tatapan penasaran yang malu-malu.

"Bahasa Inggris," Petra berbisik, menyikut rusuk Eren lembut. "Bahasa Perancis mereka belum begitu lancar."

Yang menjadi objek tatapan merendahkan tubuh dan mengulurkan lengannya, tersenyum ramah. "Hallo, aku Eren. Aku siswa magang yang bekerja di restoran milik orang tua kalian."

Armin dan Christa bergantian menjabat tangan Eren.

"Sebenarnya," suara dalam, rendah dan maskulin mengalihkan perhatian Petra. "Mereka bersikeras menyeretku kemari karena ingin makan parfait yang sama persis dengan yang mereka gambar, Petra. Mereka tahu siapa pâtissier-nya. Mereka tidak sabar untuk menemuimu sejak kujemput mereka di gerbang sekolah." Erwin Smith tersenyum kepadanya dari salah satu meja, dengan hati-hati membantu Rico duduk.

"Hm, benarkah?" Petra sengaja mengerutkan dahi, kemudian mengelus dagunya dan berpura-pura memasang wajah bingung. "Aku tidak tahu, gula bisa merusak gi—"

"—Kami akan menggosok gigi sebelum tidur!" Armin nyengir lebar. "Kami janji!"

Christa mengangguk, ia memasang wajah memelas yang membuat Petra ingin menggigit pipinya. "Please, Auntie Petra …."

Petra terkekeh. "Bien. kalian ingin parfait rasa apa?"

"Cokelat dengan sirup rasberi—

"—Vanila dan stroberi!"

Petra tersenyum lebar. Ia mengangkat lengannya ke dahi, memberi hormat a la Angkatan Laut. "Siap laksanakan, Kapten!"

"YAAAY!"

"Aku mendengar suara berisik masuk dapur, ternyata asalnya dari kalian."

Petra membeku. Oh, ia lupa jika ia masih mempunyai masalah.

"Uncle Livai!" Armin melambaikan lengannya ke arah pintu ruangan staff, sementara Christa sudah berlari terlebih dahulu untuk Rivaille sambut ke dalam gendongannya.

"Kau semakin berat, Christa," kata Rivaille sembari membawa Christa ke meja Erwin, berpapasan dengan Petra tanpa meliriknya sama sekali. "Kautahu? Aku hampir tidak bisa mengangkatmu."

"Itu karena Uncle Rivaille adalah pria tua!" sahut Hanji girang dari samping Rico.

"Hanji, manisku. Jangan sampai jiwa-jiwa polos ini mendengar panggilan sayangku yang lain untukmu, Erwin bisa menendangku ke neraka."

Petra tidak perlu mendengar lebih jauh, ia mengangkat kakinya menuju dapur.


Ia kembali ke aula pelanggan dengan membawa dua gelas besar olahan eskrim di atas baki. Hal pertama yang ia lihat adalah lingkaran para pemegang saham di tengah aula: Erwin, Rivaille, Rico dan Hanji duduk mengelilingi meja bundar sambil menikmati champagne. Armin dan Christa ada di antara mereka, duduk di kursi tinggi yang disiapkan seseorang—Eren, sepertinya.

"Ini dia," Petra berkata ceria sembari menaruh parfait-parfait itu di depan pemesan mereka, sebisa mungkin menghindari tatap muka dengan sang Kepala Koki. "Tetapi ingat janji kalian, ya?"

"'Kay!" sahut si Kembar bersamaan, sebelum sibuk dengan kudapan mereka masing-masing.

"Kalau begitu aku undur diri, aku harus mengembalikan tatakan—"

"—Nah, jangan ke mana-mana, Petra." Erwin mencegah. "Duduk dan berbincang bersama kami."

Petra menahan keinginan untuk mengangkat alis tinggi-tinggi. Ia? Ditawari duduk bersama para petinggi? Hari apa ini?

"Er," Petra mencari alasan paling bagus untuk menolak tawaran Erwin, di lain hari mungkin ia akan menerima dengan senang hati, tetapi hari ini berbeda. "Eren—"

"—Eren akan baik-baik saja," lagi-lagi Erwin memotong. "Kau dekat sekali dengan pemuda itu sepertinya, padahal ia baru berada dua pekan di sini."

Petra tersenyum. "Ia pemuda yang sangat manis, aku menyukainya."

Semua orang, kecuali si Kembar dan Rico, menatap Petra seolah ia baru saja menumbuhkan satu lagi kepala.

Petra segera menyadari apa yang salah dengan ucapannya barusan. "Bu-bukan seperti itu! Aku tidak menyukainya—tidak, tentu saja aku menyukainya, tetapi bukan seperti yang kalian pikirkan. Maksudku, Eren masih terlalu muda, walaupun aku yakin ia akan sangat memesona jika beberapa tahun lebih tua—bukan berarti aku akan tertarik jika dia lebih tua." Petra tertawa gugup, wajahnya terasa sangat panas. "Kalian mengerti, 'kan?"

Hanji kentara tertawa. "Kami mengerti apa maksudmu, Petra. Santai saja. Tetapi aku setuju denganmu, beberapa tahun lagi pemuda itu akan mengalahkan kharisma pria-pria ini." Ia mengarahkan tatapannya bergantian ke Erwin dan Rivaille, kemudian mengedip kepada Petra. Erwin terkekeh, Rivaille memutar bola mata, sang Koki Pastri nyengir masam.

"Sekarang duduk." Erwin menatap Petra, jarinya menunjuk kursi di sebelah Rivaille.

Seperti Petra akan menurut saja. "Tapi—"

"—Demi Tuhan duduk saja Petra, kau tidak akan mati hanya karena duduk, bukan?"

Dikatakan dengan otoritas absolut, sinisme dan sarkasme yang tidak diragukan lagi siapa pemiliknya.

Petra mati-matian menurut, agak tersakiti dengan nada bicara Rivaille barusan. Ajaib, akhir-akhir ini ia menjadi begitu sensitif dengan semua kepahitan Rivaille, padahal biasanya ia tidak akan terpengaruh walaupun sang Chef melempari semua orang dengan pisau dagingnya.

Yang terakhir itu pengandaian. "Yes, Chef," katanya pelan.

Ia merasakan tatapan Erwin dan Hanji bergantian fokusnya kepadanya dan Rivaille. Mungkin mereka merasakan udara intens yang tercipta antara ia dan sang Kepala Koki, atau mungkin juga tidak. Apa pun itu mereka tidak membiarkan situasi kaku berlama-lama, karena Hanji memutuskan untuk bernostalgia, menceritakan kembali masa-masanya dulu di universitas.

Yang segera Petra tahu jika bukan Hanji saja. Ia, Erwin, Rivaille, Rico dan seseorang bernama Ian Dietrich ternyata satu universitas.

"Kita masih muda ketika itu!" Hanji bersorak. "Aku ingat Rivaille masih sekecil seperti ia sekarang!"

Ada yang meletakkan gelas champagne-nya dengan tenaga yang melebihi wajar. "Perlu kuingatkan jika manusia berhenti tumbuh setelah akhir masa pubertas, jangan bertingkah seolah kau bertambah beberapa inchi lebih tinggi selama ini, Mata Empat."

Hanji berpura-pura terkejut. "Kau sudah melewati masa pubertas? Benarkah? Tetapi kau nampak tidak seperti itu bagiku."

Rivaille mengernyit. "Apa maksudnya itu?"

Hanji menyeringai. "Tepat seperti apa kedengarannya."

"Berhenti menjadi bocah, Guys—"

"—Lihat siapa yang bicara," Levi memotong interupsi Erwin. "Dulu kau tidak berkata apa pun ketika perempuan ini menyiksaku dengan lisannya, selalu membelanya, bicara tentang adil."

Erwin terkekeh. "Apa aku sedang mendengar Rivaille merajuk? Lagipula kau tidak terlihat seperti pihak yang sedang disiksa ketika itu."

"Yeah, Rivaille selalu membantingku setelah dia marah, bicara tentang gentlemen."

"Oh, maaf. Kau tidak terlihat seperti perempuan bagiku saat itu."

Hanji melinting lengan kemeja putihnya. "Kau mengajakku berkelahi. Positif."

"Jika kau berinisiatif."

"Guys, please …."

Saat itulah Petra tahu jika ia seharusnya tidak berada di situ. Ia tidak ada di dalam dunia mereka sebelumnya, dan ia juga tidak berniat untuk tahu. Ia hanya orang luar yang kebetulan bergabung dengan brigade memasak mereka selama dua tahun ini.

Dan melihat Rivaille dan Hanji, antagonistik yang mereka tunjukkan selalu membuat mereka terlihat seperti pasangan yang sudah lama menikah baginya. Petra penasaran mengapa mereka tidak menikah saja. Mereka bersinkronisasi dengan baik sebagai teman, hal yang sama tentunya akan berlaku sebagai pasangan.

Ia mengutuk hobinya yang senang memasangkan ini dan itu.

Tetapi bila dipikir sekarang, ide tentang Rivaille menikahi Hanji terasa sangat salah untuknya. Ia bahkan tidak bisa membayangkan Rivaille menikah dengan siapa pun, tidak setelah apa yang pria itu lakukan terhadapnya beberapa saat sebelumnya.

Oh, Petra merasa konyol. Rivaille hanya mendesaknya ke loker sembari mengucapkan kata-kata luar biasa yang membuat jantungnya melompat-lompat setiap kali ia mengingatnya. Bukan hal yang patut untuk mengikat Rivaille untuknya seorang.

Ia tidak bisa berpikir seperti ini. Ia masih terluka karena mantan pacarnya, dan sekarang ia sudah tidak bisa berhenti memikirkan pria lain karena Petra mencium pria itu ketika mabuk.

Dan Rivaille menciumnya balik, dan berkata jika ia tidak bisa melupakan Petra sesudahnya.

Petra merasa sakit dan bingung dalam waktu bersamaan. Hanji benar, seharusnya ia pulang saja.


"Dan setelah itu Rivaille drop out di semester ke tujuh karena ingin belajar memasak. Pantas saja ayahnya murka dan hampir mengeluarkannya dari silsilah keluarga. Hanya selangkah dari cum laud. Jika aku jadi ayahnya aku juga pasti melakukan hal yang sama. Aku tidak akan mau melihat wajahnya lagi seumur hidupku."

Rivaille tidak lagi menanggapi apa yang ia namakan 'siksaan lisan' dari Hanji, karena kini perhatiannya terpusatkan secara rahasia kepada sosok berambut pirang strawberi tertentu. Petra terlihat siap terbang meninggalkan meja mereka kapan saja, setidaknya bagi sang Kepala Koki. Ia hanya menimpali percakapan dengan tersenyum atau menjawab singkat jika ditanya, atau sesekali mengajak bicara si Kembar. Ia ada di sana, tetapi tidak menjadi bagian dari mereka.

Rivaille tidak tidak terlalu terkejut. Petra memang gadis yang manis dan supel, tetapi ia juga bukan tipe yang bisa nyaman di mana pun, kapan pun, dan dengan siapa pun. Ia selalu tersenyum namun senyumannya tidak selamanya cerah. Petra mempunyai isunya sendiri, sama seperti orang lain, sama seperti dirinya. Kemarin malam Petra berkata jika Rivaille membangun dinding dalam dirinya, mungkin ia bisa berkata seperti itu karena dirinya juga melakukan hal yang sama.

Petra tidak selalu seperti bunga mungil berwarna cerah.

"Dan itulah sejarahnya Rivaille bisa menjadi koki, padahal nilai-nilainya begitu menakutkan saking bagusnya. Terlihat seperti sedang mengolok-olok, 'kan, Petra?"

Petra tertawa kecil. "Aku tidak tahu, aku bukan akademisi jadi tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya."

Jawaban bagus. Hal terakhir yang Rivaille inginkan saat ini adalah Petra ikut memojokkannya juga.

"Oh, iya!" Hanji bertepuk tangan sekali. "Kami hanya tahu kalau kau lulusan Universitas Lenôtre. Dan karena dasarmu langsung di kuliner berarti kau sudah berkeinginan menjadi koki sejak lama. Apa yang membuatmu ingin berkecimpung di dunia kuliner, Petra?"

Dan ini dia. Rivaille bisa melihat sorot mata Petra menyurut, hanya sekilas, sebelum ia dengan lihai kembali menjadi Petra pada umumnya ketika menjawab, "Ibuku juga seorang pâtissier, sejak kecil aku sudah menyaksikannya berjibaku dengan makanan penutup, bisa dibilang aku tertular olehnya."

"Begitu?" Hanji terlihat kagum dan bersemangat. "Kalau boleh tahu di mana ibumu sekarang? Aku bertaruh ia pâtissier di hotel internasional."

Petra menggeleng sembari tersenyum, lagi-lagi senyumannya tidak mencapai mata. "Ibu sudah meninggal."

Wajah Hanji terlihat seperti baru saja kena tinju. Rivaille tidak bisa merasa senang, walaupun ia sebenarnya ingin.

"Maaf," kata sang Manager, tidak terlihat nyaman dengan senyumannya sendiri. Ia bertukar pandang dengan Erwin sebelum melanjutkan, "Aku tidak bermaksud mengingatkanmu kepada kejadian pahit."

"Tidak apa-apa, lagi pula ia meninggal ketika usiaku empat belas tahun, jadi sudah tidak terasa berat lagi." Petra nyengir sembari menggaruk pipinya dengan telunjuk. Rivaille mendapat impresi jika apa yang dikatakan Petra adalah kebohongan total.

"Aku mengerti." Hanji mengangguk.

"Dan kau juga hanya menggunakan visa bekerja untuk menetap di negara ini, bukan? Apakah artinya suatu saat kau akan kembali ke Spanyol?" kali ini Erwin yang bertanya.

Petra terlihat berpikir. "Sejujurnya aku tidak tahu." Petra tertawa miris. "Tetapi sebelum Dinas Imigrasi memutuskan untuk mengusirku kupikir aku akan terus bekerja di negara ini, atau hingga aku menikah dengan warga negara Perancis dan bisa menetap permanen." Kali ini tawa Petra lepas.

Jadi karena itu ia begitu frustasi ketika diputuskan pacarnya. Ah, ia bilang jika siapa pun pria bodoh itu adalah harapannya.

"Bisa disimpulkan jika kau tidak ingin meninggalkan Perancis," tutur Hanji yakin.

"Ada alasan khusus mengapa kauingin tinggal di sini?" sambung Erwin. "Aku yakin kesempatanmu di Spanyol juga tidak kalah bagusnya mengingat kau adalah pâtissier handal."

"Aku punya tujuan, kalian tahu to—"

"Erwin …."

Perhatian mereka teralihkan secara tiba-tiba kepada sosok yang selama ini diam. Rico kini menatap Erwin, matanya hidup. Ia tidak lagi terlihat seperti wanita yang menderita kerusakan sel otak. Ia terlihat begitu normal.

"Rico?" Erwin mencondongkan tubuhnya mendekat kepada istrinya, terlihat bersemangat. "Kau mengingatku?"

"Mommy ingat?" Christa sepertinya tertular antusiasme ayahnya. "Mommy, ini aku!" Christa meninggalkan sendok parfait-nya dan menarik ujung lengan mantel Rico.

Rico menatap Christa, ia menyimpulkan senyum. Rico terlihat begitu manis dengan menunjukkan sedikit ekspresi. Ia mengangkat lengannya ke kepala Christa, menepuknya lembut beberapa kali. Petra tidak bisa menahan senyum ketika melihat wajah Christa yang mencerah. Anak itu nyengir lebar ketika Rico berkata, "Anak manis."

Tetapi setelahnya, semua orang seolah ditimpa atap runtuh ketika Rico mencondongkan tubuhnya mendekat ke Erwin dan berkata, "Siapa anak ini? Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Dan omong-omong mengapa kalian ada di sini?" Ia menatap Hanji dan Rivaille bergantian. "Bukankah seharusnya kalian berkunjung ke apartemenku? Kita akan merayakan pertunanganku dengan Ian, kalian lupa?"


"Tolong bawa Armin dan ikut aku ke dapur."

Bisikan Rivaille adalah hal konkrit pertama yang ia dengar ketika Petra kembali dari mati rasa sesaat yang ia rasakan setelah menyaksikan Rico terang-terangan tidak mengenali Christa. Hal selanjutnya yang ia sadari adalah ekspresi tersiksa di wajah Erwin dan Hanji, mungkin ia juga berwajah seperti itu, Petra tidak tahu.

Ia melihat Rivaille berjalan ke ruangan staff sembari membawa Christa yang meringkuk dalam gendongannya. Tubuh anak malang itu gemetaran dan Petra tahu jika ia tengah menangis. Ia melirik Armin yang sudah berhenti memasukkan parfait ke mulutnya, tatapannya terpaku ke bawah.

"Armin," Petra berkata lembut ketika menghampirinya. "Ikut dengan Auntie Petra, ya?"

Armin mengangguk, Petra merasa beruntung karena ia adalah anak yang pintar dan cepat menyadari situasi, namun dalam waktu bersamaan merasa prihatin karena anak seusianya tidak seharusnya mengerti akan apa yang tengah terjadi saat ini. Petra mengulurkan tangan untuk membawa Armin ke pangkuannya.

Tepat ketika mencapai ambang pintu, Petra melirik trio yang kini masih tersisa di ruang pelanggan. Ia bertatapan dengan Erwin, pria itu tersenyum, namun kepahitan masih kentara di matanya. Ia mengucap maaf dan terima kasih tanpa suara kepada sang Koki Pastri, yang dibalas Petra dengan anggukan yang bermakna jika ia mengerti. Ia juga melihat Hanji yang berusaha keras kembali menjadi dirinya lagi dan menyambung percakapan dengan Rico. Saat itulah Petra sadar jika sejarah para petinggi restoran tempat ia bekerja jauh lebih panjang dari yang ia dengar beberapa saat yang lalu.


Ia menemukan Rivaille di dapur besar, tengah berbicara dengan Christa yang ia dudukan di atas pantrinya. Petra tersenyum kecil. Ia tahu jika Rivaille adalah sosok ke dua yang Christa anggap sebagai ayah di dunianya. Hal yang sama berlaku bagi Hanji. Perempuan berkacamata itu adalah ibu ke dua anak-anak ini.

Armin menegang di pangkuannya, Petra lagi-lagi tersenyum mendapati si Sulung mengeratkan pelukannya di leher Petra.

"Armin, kaumau menghampiri Christa?"

Armin terdiam sejenak, kemudian menggeleng pelan.

Petra mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Aku tidak suka melihat Christa menangis," jawabnya. "Aku juga tidak suka melihat Daddy sedih. Aku tidak suka Mommy melupakan kami."

Armin mulai menangis.

"Shhh, Baby, poor baby," Petra berbisik di telinga Armin. "Tidak apa-apa, Armin. Tidak apa-apa."

"Aku tahu kalau Mommy sakit, tetapi aku juga tidak mau Mommy melupakan kami," kata Armin di sela-sela isakannya. "Kami cinta Mommy, kami ingin dipeluk Mommy seperti ketika masih bayi."

Kini Petra tahu seberapa beratnya semua hal ini bagi mereka. Pastinya sangat menakutkan jika tahu seseorang yang kaucintai dengan pasti akan melupakanmu, sedikit demi sedikit.

"Shhh, Baby, poor baby, there's nothing can hurt you now," Petra membisikkan lagu masa kecil favoritnya. Ia tidak tahu kata penghiburan yang tepat saat ini. Satu-satunya yang bisa ia pikirkan adalah lagu. "Mama will cover you with the nicest blanket, Papa will sing you a song of moon and stars. Mr. Rabbit brings you chocolate, warm warm chocolate, he says Mr. Wolfy is gone. Shhh, Baby, poor baby, there's nothing can hurt you now …."

Sementara Armin terisak, Petra terus bernyanyi sembari membayangkan dirinya dalam versi lebih kecil, aman dan nyaman dalam pelukan ayahnya yang menyanyikan lagu serupa.


Christa gemetaran di pelukannya, menggelepar seperti anak burung yang rapuh. Rivaille tahu tidak ada yang bisa ia lakukan ketika anak-anak ini tidak bisa lagi dikelabui, ketika mereka mengerti apa yang tengah terjadi. Semua kata penghiburan akan terasa seperti kebohongan, dan kebohongan bisa menyakiti mereka seperti kebohongan menyakiti para dewasa. Mereka hanya perlu berkompromi dengan kenyataan, dan itu sesulit seperti apa yang terdengar.

Anak-anak malang ini harus mengerti hal rumit yang bahkan orang dewasa pun terkadang tidak bisa beradaptasi, dan mereka hanya anak-anak.

"Tidak apa-apa Chirsta, aku ada di sini. Apa itu cukup?"

Konyol. Ia tidak bisa melakukan apa pun selain menawarkan dirinya sendiri.

Christa menggeleng. "Aku benci Mommy."

"Hush, jangan berkata seperti itu. Benci adalah kata yang jahat. Kau tidak mau jadi putri yang jahat, bukan?"

Christa menggeleng lagi.

Rivaille memperbaiki posisi Christa di gendongannya. "Dengar, kautahu Mommy sedang sakit, bukan? Sangat-sangat sakit, sehingga ia harus berjuang setiap hari, ia sangat menderita."

Christa mengangguk. "Apa Mommy akan sembuh?"

Rivaille menghela napas panjang. Apakah ia harus menanggapi serasional dokter? Atau para pendo'a pemberi harapan? Well, setidaknya ia bisa memberikan kejujuran. "Aku tidak tahu, dan mungkin suatu saat Mommy akan benar-benar melupakan kalian, tetapi itu bukan masalah. Lupa atau tidak, Mommy akan tetap mencintai kalian."

Gemetar Christa berkurang. "Sungguh?"

Rivaille mengangguk, kemudian mendudukan Christa di atas pantri. "Apa aku harus melakukan sumpah jari kelingking?"

Christa tersenyum, memberi warna lain kepada wajahnya yang merah karena tangis. "Aku tidak akan melupakan Mommy."

Rivaille mengusap puncak kepala Christa lembut. "Anak baik."

"Aku tidak akan menangis lagi."

Rivaille mendengus. "Semua orang menangis. Dan kalian anak-anak mempunyai keistimewaan untuk menangis semau kalian. Jadi tidak apa-apa jika ingin menangis."

"Tetapi kau tidak pernah menangis."

Ia harus mencerna kata-kata itu sejenak sesaat sebelum menjawab, "Bodoh, tentu saja aku pernah menangis."

Setelahnya ia menyadari kehadiran Petra di sekitarnya, dengan Armin yang terisak di gendongannya. Kemudian Petra mulai bernyanyi pelan, dan Armin mulai tenang sementara sang Koki Pastri memeluk bocah itu lebih erat.

"Auntie Petra punya suara yang bagus, aku suka mendengarnya."

Rivaille menatap Christa. "Kau suka?" Ia melihat Petra lagi. "Kautahu? Kurasa aku juga."


Mereka adalah anak kecil pada dasarnya, setelah lelah menangis maka mereka akan jatuh tertidur. Beberapa menit setelahnya Hanji dan Erwin mengambil mereka untuk dibawa pulang, seiring dengan bermunculannya para pekerja dan mereka harus segera memulai segala hal untuk dinner party nanti. Koleksi wine terbaik telah mengisi masing-masing meja bersama gelas-gelas kristal cantik. Para pramusaji telah mengenakan seragam terbaik mereka, dan petugas persiapan pantri telah berjibaku dengan segala alat dan bahan memasak yang akan digunakan nanti.

Para koki inti seperti biasa memulai briefing terlebih dahulu. Petra duduk di kursinya sambil mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Kemudian ia merasa konyol karena sempat merajuk seakan dirinya adalah orang paling malang di dunia. Nenek Ral pasti akan mendampratnya habis-habisan jika tahu.

Kemudian Rivaille masuk dengan membawa tumpukan kertas yang tidak diragukan lagi ia dapatkan dari Hanji. Ia berjalan melintasi ruangan menunju kursinya di ujung meja besar, dan memulai rapat. "Mereka memilih paket empat menu lengkap, yang termahal." Ia mengangkat alis. "Direktur perusahaan asuransi terbesar di negeri ini memang bukan main. Tetapi ini dia yang harus kalian eksekusi." Ia mengambil jeda sebentar. "Erd, tujuh puluh porsi filet de boeuf apéritif (beef tenderloin appetizer), dasar bagguete dan foccacia loave-nya harus sempurna, saus lobak pedasnya tidak boleh terlalu pedas dan asam, seimbangkan dengan rasa kaviar-nya, dan beef tenderloin harus dipanggang sempurna. Ingat, medium."

"Yes, Chef!" salut Erd sambil menerima kertas resep dari Rivaille.

"Untuk hidangan pembangkit selera. Auruo, tujuh puluh porsi soupe de carotte crémeuse (creamy carrot soup) dengan star anise dan dill. Kautahu harus bagaimana: tidak boleh terlalu bermerica, rasa star anise-nya tidak boleh melibas rasa wortelnya sendiri. Dan yang terpenting, supnya harus creamy."

"Aye!"

"Gunter, kita mendapat yang sulit: poêlée de foie gras (pan-seared foei gras) dengan buah ara mostarda dan potongan ara segar. Kau bertanggung jawab pada panggangan foei gras-nya, aku akan memperhatikan semuanya jadi kau tidak boleh melakukan kesalahan. Saus ara mostarda-nya biar aku yang sajikan. Harus aku yang sajikan."

"Yes, Chef!"

"Terakhir, berhubung aku tidak berpengalaman dengan makanan penutup, maka kuserahkan semuanya kepadamu, Petra." Ia tidak menatap sang pâtissier, dan Petra pun tidak keberatan. "Puding kelapa tiga tekstur dengan saus mawar dan filling rasberi yang dikaramelisasi, tujuh puluh porsi. Harus dingin."

Petra tersenyum kepada dirinya sendiri. "Oui, Chef."

"Dua jam dari sekarang yang berpesta akan segera datang, jadi mulai bergerak saat ini juga dan katakan kepada asisten kalian masing-masing untuk bekerja sebaik mungkin jika tidak mau kuceramahi hingga tengah malam. Bubar."


Petra mengusap keringat di pelipisnya dengan tisu yang asistennya sodorkan, tersenyum kepada perempuan berambut hitam dikuncir itu sembari berterima kasih. Setengah isi botol air mineral sudah habis ia tenggak.

"Kerja yang bagus, Ilse, filling rasberinya sempurna, terima kasih atas bantuannya."

Asistennya, Ilse langnar tersenyum kecil. "Pesan terakhir Chef de Cuisine yang kaukatakan tadi membuat semangatku meletup-letup." Ia tertawa. "Tetapi sungguh, aku sudah beratus-ratus kali menyaksikanmu membuat adonan puding tiga tekstur itu, tetapi rasanya hingga sekarang otakku masih buntu."

Petra tertawa. "Suatu hari aku akan memberitahumu."

"Tetapi memang, memasak dalam porsi banyak dalam waktu bersamaan itu rasanya … kacau." Ilse menghembuskan napas panjang. "Aku tadi sempat berebut pan saus dengan Auruo, untung saja Chef Rivaille tidak melihat."

"Kau beruntung." Petra meminum air mineralnya lagi. "Nasibmu tidak seburuk beberapa orang tertentu."

Dirinya, contohnya.

"Tetapi syukurlah, para tamu hari ini sepertinya puas dengan hidangannya. Dan kautahu, Chef? Tadi aku sempat mengintip ke aula pelanggan, tidak ada satu piring dan mangkuk pun yang tidak kosong."

"Itu—"

"—Petra!"

Hanji muncul dari balik pintu dapur pastri sambil nyengir lebar. "Ikut aku, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."

Petra mengerutkan dahi. "Siapa?" tanyanya sembari menghampiri Hanji. "Ilse, sisanya kuserahkan kepadamu, ya?"

"Oki doki!" Ilse memberi hormat.

"Direktur yang jadi tamu kita sekarang ingin bertemu denganmu," Hanji berkata ketika mereka mencapai lorong menunju aula pelanggan. "Bukan hanya kau saja, sebenarnya. Semua koki utama diundang untuk minum wine di mejanya. Yang lain sudah ada di sana."

Petra meringis. Hal terakhir yang ingin ia lakukan saat ini adalah minum alkohol lagi.

"Aku rasa aman jika aku mengasumsikan ia jatuh cinta kepada tempat ini dan masakan kalian," Hanji melanjutkan. "Ia bilang ia ingin mengadakan pesta pertunangan putrinya di sini bulan depan, dan sudah membuat reservasi tadi. Acaranya akan lebih besar dari ini. Aku rasa aku harus mulai mencari band …."

"Apakah hari ini akan ada pesta lagi?"

Langkah-langkah Hanji terhenti, ia memutar badannya untuk berhadapan dengan Petra. "Ajaib sekali, Rivaille juga bertanya hal yang sama tadi."

Jeda sejenak. "Eh?"

"Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi di antara kalian, tetapi sepertinya kalian kompak hari ini. Ya ampun, aku masih belum bisa melupakan masker kalian." Hanji tertawa kecil.

Temperatur di wajah Petra naik. "I-itu tidak lucu."

"Maaf, maaf." Hanji menepuk bahu Petra. "Tidak akan ada pesta setelah ini, Petra. Aku tahu kau dan Rivaille tidak dalam kondisi fit, kalian pastinya ingin cepat pulang. Rivaille bahkan mengeluh kepalanya sakit tadi."

Petra mengangguk.

"Hanya beberapa menit beramah-tamah kepada tamu, ok? Aku janji setelahnya kau boleh pulang."

"Terima kasih," kata Petra sungguh-sungguh.

Mereka terus melintasi lorong hingga sampai di pintu ganda kaca, dan tidak lama setelahnya mereka sampai ke aula pelanggan. Hanji membimbingnya melewati deretan meja-meja bundar yang terokupasi para tamu.

"Itu orangnya." Hanji diam-diam menunjuk pria gemuk bersetelan necis di meja paling tengah. Para koki utama telah duduk bersamanya. "Monsieur Delacour, ini dia pâtissier-nya."

Langkah Petra terhenti. Ia tidak bisa merasakan lutut-lututnya.

"Petra? Ada apa?" tanya Hanji yang menyadari perubahan sikap Petra.

Penampilan sang Direktur memang mengingatkannya kepada mafia Italia, tetapi bukan pria itu yang membuat tubuhnya mendingin. Ada pria lain di sebelahnya, tinggi dan tampan, rambutnya pirang dan memakai setelan abu-abu.

"Mo-Moses?" bisiknya.


À suivre (to be continued)


A/N: hai, adakah yang masih ingat cerita ini?

Saya mau minta maaf yang sebesar-besarnya karena udah mengabaikan fic ini selama berbulan-bulan. Dan seperti biasa saya akan mengkambinghitamkan WB dan aktivitas di real life yang makin hari makin hectic, tapi setelah ini saya usahakan agar bisa apdet cepet supaya fic ini cepet beres :''')

Semoga chapter ini bikin puas, ya?

REPLIES!

Loyal Yeoja: waduh maksih udah dibilang bagus . aku dengan senang hati mau bertanggung jawab kalo kamu jadi suka banget Rivetra hihihi makasih buat reviewnya, ya? Salam kenal '-'/

Chisa Asakura: ini sudah diapdet, maaf ya kalo lama. Makasih buat reviewnya dan salam kenal.

Stacie Kaniko: makasih banget udah bilang keren huhu aku jadi malu . awas loh senyam-senyum sendiri ntar dikira yang enggak-enggak :'3 sudah dilanjut, salam kenal dan makasih buat reviewnya.

Momoka Mayuyu: aduh saya gatau musti gimana dibilang fic ini paling fantastic dari yang pernah kamu baca /pingsan / tapi yang jelas makasih banget buat reviewnya, huhu. Masa lalu Mikasa akan dikupas kok, semoga masih mau ngikutin,ya :'3 Salam kenal.

kikiva-no: duh maaf ya chapter 3nya lama diapdetnya :'3 tapi makasih buat reviewnya xD

Oh I Love Cupcakes: aduh kalo langsung dinikahin ceritanya bakalan pendek /eh … ini rivetranya ga banyak ya? Huhu … makasih buat reviewnya.

allihyun: ….. aku udah bilang makasih belum sih, Nak? Lupa _(:'37L gapapa deh bilang makasih sekali lagi ajah hahahah EreMika-nya satu bagian kok, kalo sekarang sedikit ngupas yang EruHan dulu aja ya? :'3 duh tolong jangan menyebut Mary nama itu tabu / mojok

Nyanmaru desu: makasih lagi buat reviewnya, duh aku blushing-blushing sendiri bacanya, huhu …. Iya, nama belakang Levi diambil dari Darius Zakley, hoho … scene masak bareng? Tungguin aja ya :'3 City of Fire-nya in progress, semoga bisa diapdet secepatnya …. Sekali lagi makasih x'D

Fuzzy Conchiita: Hai, makasih buat reviewnya, ya? Buat koreksinya juga. Typo sama istilah asing yang ga pasnya udah aku edit hehe, makasiiiih banget. Iya, rencananya akau pengen masukin karakter-karakter minor yang lain, karakter dari spinoff juga. Dan ini sudah apdet, maaf ya lama. Sekali lagi makasih dan salam kenal xD

Oh I Love Cupcakes: aduh makasih buat reviewnya, huhu, aku blushing-blushing sendiri bacanya. Seneng deh kalau kamu suka, sampai masuk waiting list segala. Duh pokoknya aku seneng, hihi … ini sudah lanjut, semoga suka ya?

00.00 AM: makasih buat reviewnya, Levi langsung pergi soalnya bisa gawat kalo keliatan Erd dkk, hehe … sekali lagi makasih, salam kenal juga xD

Dianne AThena: wah, makasih udah dibilang bagus ficnya, ini sudah dilanjut, maaf lama ya apdetnya? Sekali lagi makasih dan salam kenal.

pandamwuchan: hai, makasih buat reviewnya hehe, buat fav-nya juga. Salam kenal, ya?

Persona-Dee: makasih buat reviewnya lagi, hehe … maaf banget ternyata ga bisa apdet kilat, tapi chapter depannya diusahakan cepet, cepet loh ya bukan kilat. Sekali lagi makasih xD

Laynri: duh, makasih buat reviewnya, bikin blushing-blushing ini haha … ini sudah lanjut, semoga suka ya?

Ritard. S. Quint: ahihihi baca review kamu aku jadi senyum-ketawa-nangis gaje huhuhu aduh ya itu kenapa ga kepikiran kalo abis muntah itu bau? / goler / ah iya yang scene loker itu emang rada OOC ya Rivaillenya? Aku udah edit kata-katanya itu, semoga khas Rivaillenya kerasa haha… soal Mikasa pasti dikupas kok, dan soal dia yang agak-agak pemalu supaya kesannya moe / bukan/ ada alesannya sih, nanti akan dibahas lebih dalem. Sekali lagi makasih udah mereview lagi '-'/

Ryu-chan LD: hai, Ryu … makasih buat reviewnya, salam kenal xD

winter lodge: hallo sacchi '-' / aku teh udah bilang makasih belum, ya? Bilang makasih lagi gapapa ya? Makasih buat koreksinya, udah aku edit … hehe … duh makasih banget uda mau setia nunggu ff ini walaupun authornya hararese mau apdetnya / bows

Fuyuki Haruda: makasih udah ngereview lagi, maaf ya ternyata apdetnya lama. Semoga chapter ini bisa mengobati :'3

Yamazaki Koharu: makasih buat reviewnya, ayo ayo aku dukung kalo kamu mau jasi patissier, mau jadi komikus juga boleh, aku dukung banget. Sekali lagi makasih, ya?

Seseorang: hai, makasih buat reviewnya di chapter dua hihi, soal fetish itu…. Aku no komen deh / eh / sekali lagi makasih xD

Misaki Aya: makasih buat reviewnya, aku jadi mesem-mesem sendiri, hehe … salam kenal xD

Svezza Annahsya: makasih dek udah review lagi, maaf ya apdetnya lamaaaa banget, hehe … semoga suka ya sama chap ini?

Sampai di sini dulu, sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Au revoir!

Lembang, 22/06/2014

Clarione