I do not own Shingeki no Kyojin

Original Story by Black Tofu

.

.

.

Day 1 : All grown up!

.

.

.

Hari ini menginjak tepat tahun ke-5 sejak kelulusan para Trainee angkatan ke-104. Jika di ingat-ingat lagi, banyak sekali yang sudah terjadi di antara mereka. Peristiwa menyenangkan atau yang mengaduk aduk emosi, tak jarang masing-masing dari mereka nyaris bersentuhan dengan kata mati hanya demi membela eksistensi manusia yang jumlahnya tidak seberapa dari serangan.

Mikasa Ackerman berdiri di hadapan cermin di ruangannya. Pada akhirnya mereka berhasil mendapat ruangan privasi masing masing setelah sekian lama harus selalu berbagi barak. Kata Levi, sebagai ketua squad, ini adalah hadiah dari kerja keras mereka.

Mikasa tersenyum mendengarkan sayup sayup keributan yang di buat oleh teman-teman satu squadnya yang lain. Tak banyak yang berubah dari mereka. Mikasa memperhatikan cerminan dirinya, Panjang rambutnya kini sudah melebihi bahunya. Ia sedikit ragu kalau-kalau Eren akan menyuruhnya memotongnya lagi.

"Mikasa,"

Dari pantulan cermin dihadapannya Mikasa bisa menangkap sosok berambut pirang beridir di ambang pintu ruangannya. Ah, ia masih tidak terbiasa dengan perubahan orang itu yang sedikit… asing untuknya.

"Ya… Armin?"

Ya, semuanya mengakui bahwa Armin adalah orang yang paling berubah banyak selama 5 tahun ini.
rasanya baru kemarin ia melihat sosok Armin yang berwajah lugu, sedikit kikuk, lebih pendek darinya, dan sekarang yang ada di hadapannya adalah seseorang dengan tubuh tegap 3 cm lebih tinggi darinya, wajahnya masih tampak manis seperti dulu, but okay… dia tampak lebih keren! Bahkan sekarang Levi menaruh dendam baru pada pria bermarga Arlert ini karena tingginya.

"Sedang apa?"

"Tidak ada." Mikasa menjawab singkat. Biarpun sudah lama, ia masih tidak terbiasa dengan perubahan fisik Armin yang ia akui adalah keterlambatan masa pubertas, atau apalah itu. yang jelas Mikasa sedikit gugup.

"Ah hora, rambutmu sudah panjang." Seru Armin memainkan ujung rambut Mikasa.

"Uhm," Mikasa mengangguk. "Apa harus kupotong?"

"Kenapa?"

"Ti-tidak. Aku kira Eren akan menyuruhku memotongnya lagi, jadi-"

"Kau bisa mengikatnya seperti yang Historia lakukan." Pria blonde itu memotong kata kata Mikasa sebelum ia bisa menyelesaikannya dan entah darimana mendapatkan sebuah karet gelang hitam di tangannya. Mikasa hanya bisa bengong melihat bagaimana Armin memutar tubuhnya menghadap cermin dan menyisir pelan rambut hitam Mikasa dengan tangannya.

Jika ini Armin kecil yang super polos yang ia kenal mungkin Mikasa tidak akan terlalu keberatan. Tapi masalahnya yang ada bersamanya ini adalah roh orang dewasa yang meminjam tubuh Armin dan berubah menjadi seseorang yang asing untuknya! Ini sedikit memalukan…

"Selesai!"

Mikasa sedikit kaget begitu disadarkan dari lamunannya. Matanya secara otomatis menatap dua sosok di hadapannya yang tidak lain adalah dirinya dan Armin yang tengah menangkap kedua pundaknya memasang senyum berharap Mikasa menyukai hasil karyanya.

Sejujurnya Mikasa sedikit malu karena rasanya ini pertama kalinya ia menggunakan gaya pony-tail pada rambutnya. Dengan anak-anak rambut dan poni yang di biarkan terurai di sisi-sisi wajahnya. Mikasa tidak bisa menahan warna rona di pipinya.

"Terlihat cantik." Kata Armin, sekali lagi menambah dua kali lipat rona di wajah Mikasa.

Dia pasti sedang bermain-main denganku…

"A-aku pikirkan lagi nanti."

Mikasa dengan segera melepas ikatan di rambutnya. Gerakannya tampak sedikit kacau bingung dengan yang harus ia lakukan. Dan tapa kata, gadis itu berlari kecil keluar dari ruangannya melewati kawan-kawab satu regunya yang tampak masih asyik dengan sarapan special mereka.

Ini sedikit aneh…

Debarannya tidak mau berhenti…

.

.

.

Belakangan ini Mikasa banyak sekali berpikir tentang teman-teman satu timnya. Dan segala pikiran itu merambat ke arah bagaimana semuanya sudah berubah dan berkembang dengan baik. Teknik bertarung mereka semakin baik, bahkan Eren sempat menyaingi skor tertingginya yang berhasil menjatuhkan 10 boneka titan dalam waktu 3 menit.

Keningnya berkerut dengan raut sedikit sebal. Tentu saja…

Mereka semua berkembang dan bahkan hampir sebaik dirinya. Seorang prajurit peringkat pertama. Mikasa merasa dirinya sama sekali tidak membuat kemajuan yang bagus. Jika terus seperti ini, ia tidak bisa melindungi teman-temannya. Dan mungkin malah ebrbalik merepotkan mereka.

Nyalinya mendadak menjadi ciut memikirkannya…

Bahkan Armin. Tidak, biarpun kemampuan bertarungnya sudah semakin hebat, tapi tetap saja tidak terlalu diandalkan. Tapi kemampuannya menyusun strategi semakin hebat. Tentu saja, pada dasarnya anak itu memang pintar, ia juga kuat.

Kilatan onyxnya memancar menangkap visual pemandangan kolam kecil dengan beberapa pohon liar tinggi di sampingnya. Sejak pindah markas, inilah tempat dimana Mikasa sering menghabiskan waktunya untuk sekedar menenangkan diri atau refreshing. Tapi ternyata mala mini ia tidak sendiri.

Kaki telanjangnya berjalan membawanya ke sebuah pohon apel yang belum mekar, tepatnya kea rah seseorang yang sedang duduk bersandar di salah satu sisi batang pohonnya. Dan sosok itu mendongak ketika menyadari kedatangan Mikasa, menyuguhkan senyum manisnya.

"Apa yang kau lakukan?" cahaya bulan yang sedang purnama memantul berkilau di rambut pirang seorang Armin Arlert.

Bukan! Bukan! Dia bukan Armin! Dia tubuh Armin yang dirasuki oleh sesuatu yang aneh!

"Tidak ada," Mikasa melipat rok terusan panjangnya berjongkok ikut memperhatikan lembaran kertas skema untuk misi mereka selanjutnya. Mikasa tidak perlu bertanya apa itu. dan sebenarnya ia tidak punya ketertarikan khusus pada benda ini, hanya saja ia ingin memecah keheningan yang saat itu entah kenapa membuatnya mati gaya.

"Ini apa?" Mikasa menunjuk sebuah poin.

"Oh, titik perubahan rute. Sama seperti yang ini dan ini." Jemari Armin menunjuk-nunjuk selembaran kecoklatan tersebut. Mikasa hanya manggut-manggut mengerti.

"Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu."

"Tidak juga."

Armin menaikkan satu alisnya seolah menyangsikan kata-kata Mikasa. Dan hati gadis itu berteriak sekencang-kencangnya.

'Why did he so damn cute?!'

"Aku mengenalmu sudah lama. Kupikir aku cukup mengerti beberapa kebiasaanmu." Tutur pria itu seraya menggulung lembaran besar di hadapannya. Dan itu artinya, Mikasa tidak akan bisa mengalihkan pembicaraan pada benda apapun di antara mereka, hanya dia dan sahabat kecilnya. Atau menurut Mikasa, Armin yang dirasuki sesuatu. Laki-laki itu membenarkan posisi duduknya bersila sambil menatap wajah Mikasa dengan tanda Tanya berbinar di manik aquanya. Terjadilah sesi curhat tengah malam.

Mikasa menceritakan bagaimana ia melihat kawan-kawannya berkembang pesat menjadi orang-orang hebat selama beberapa tahun ini, ia juga menceritakan bahwa ia tidak merasa mempunyai peningkatan yang signifikan seperti yang lain.

"…Ini menggangguku. Aku hanya merasa… apakah nanti aku akan jadi beban mereka kalau sudah seperti ini?" mendadak keningnya mengkerut menyadari sesuatu. Ya, jarang sekali ia mendapat kesempatan untuk bercerita secara pribadi seperti sekarang dengan Armin. Mengingat ia adalah salah satu orang terpenting dari grup mereka, maka Armin pasti hanya punya sedikit waktu luang.

Begitu Mikasa selesai bicara, Armin terdiam sejenak cukup terperangah dengan pengakuan Mikasa. Ia selalu yakin dan melihat Mikasa sebagai sosok sempurna yang seolah-olah setiap gerakan kecil yang ia buat sudah di rencanakan sebelum-sebelumnya. Kemudian senyumnya mengembang ketika sampai pada kesimpulan, pada akhirnya seorang Mikasa Ackerman yang serba bisa hanyalah anak perempuan biasa.

"Aku rasa hanya kau yang berpikir begitu." Kata Armin. "Kau lihat sendiri bagaimana yang lain berlomba-lomba menyaingi ketangkasanmu dalam ber-manuever ataupun bertarung. Aku tahu mereka semua hebat, dan semakin luar biasa sekarang ini."

Keduanya saling menatap penuh pengertian sampai akhirnya Armin berucap lagi. "Mereka bisa seperti ini karena mereka mengagumimu, Mikasa"

Mata gadis itu melebar antara terkejut dan terharu mendengar penuturan Armin. Apa dia mengatakan yang sebenarnya? Apa Armin hanya berniat ingin menghiburnya saja? Tapi Armin bukan tipe orang yang seperti itu. maka Mikasa memilih untuk percaya. Seketika itu juga seolah-olah gumpalan beban di hatinya menguap satu per satu menyisakan rasa lega di senyumannya.

Tentu saja, mereka bersahabat sudah lama. Tidak heran jika Armin langsung mengerti dengan maksud Mikasa.

Gadis itu menunduk menenggelamkan senyumnya dibalik syal merah miliknya. "Terima kasih, Armin."

Pria itu menoleh ke samping kirinya dimana perempuan bersurai hitam itu duduk tepat di sebelahnya. Mikasa terlihat kecil dimatanya. Mungkin benar jika pertumbuhannya yang tiba-tiba ini sedikit mengejutkan. Pikir Armin lalu kembali menikmati kolam yang tak seberapa besarnya di hadapan mereka. ketenangan seperti ini jarang sekali mereka dapatkan.

PLUK!

Armin sedikit terkejut ketika tubuh Mikasa mulai doyong dengan kepala bersandar di pundaknya. Bagaimana dia bisa tertidur secepat ini?

Pria itu menutup wajahnya dengan sebelah tangan menutupi pipinya yang kemerahan. Seakrab apapun ia dengan Mikasa, ini adalah pertama kalinya melihat perempuan itu tertidur, lebih lagi ia tertidur di bahunya. rasanya tidak tega membangunkannya. Maka dengan gerakan super pelan, Armin memposisikan dirinya mencoba menggendong Mikasa kembali ke kamarnya. Ini sudah hampir tengah malam, bukan tidak mungkin jika gadis ini keesokan harinya malah masuk angin. Dan dengan sekali gerak, Armin berhasil mengangkat Mikasa.

"Umh…" dan sepertinya gadis itu terbangun. Armin mulai panik.

"Tidur sajalah lagi." Katanya nyaris berbisik. Mikasa sedikit terkejut dengan posisi mereka sekarang. Ini pertama kalinya Armin menggendongnya! Kalau biasanya saat mereka masih kecil, Mikasalah yang selalu menggendong Armin di punggungnya. Ah itu sudah lama sekali. Masih menyibukan diri dengan pikiran masing masing, Mikasa mulai sadar kalau Armin hanya menggendongnya di tempat, tidak membawanya kemana-mana.

"Um… Armin?"

"Y-ya?" Armin menoleh. Matanya berkedip-kedip. Sepertinya ia gugup. Tebak Mikasa dalam hati. "O-oh, baiklah. Kau… tidur saja kalau mengantuk. Ne?"

Sikap kikuknya yang mendadak datang kembali malam itu. Mikasa menyungging seulas senyum di bibirnya, menyadari bahwa Armin kecilnya yang dulu ternyata tidak kemana-mana.

Ternyata dia memang gugup.

Mikasa memilih menyerah dan mencoba rileks dalam gendongan Armin. Tangan-tangan yang menopang tubuhnya terasa begitu protektif menjaga agar dirinya tidak jatuh. Kuharap aku tidak terlalu berat, pikir Mikasa sambil memejamkan matanya bersandar di dada bidang sahabat kecilnya yang kini sudah tumbuh besar.

.

.

.

A/N : there's no particular reason since I start to loooove this pair, unfortunately not as much as LevixMikasa hahaha

Ini Cuma selingan, mumpung moodku sedang ada disini, kalau mau dibaca dan kalau ada yang suka silahkan tinggalkan jejak^^ ini bakal jadi drabble tapi ceritanya masih saling mengikat~