Savior

Genre : Drama, Romance

Main character : Rivaille and Mikasa Ackerman

Disclaimer : Hajime Isayama

WARNING: OOC, semi-canon, alur gak jelas, dan lain-lain


Mikasa melihat Eren dalam wujud Titan-nya berlari menerobos reruntuhan, mencoba menyusul Reiner dan menghentikannya dari mengambil sandera. Ada kekhawatiran kalau Eren akan berakhir seperti di hutan waktu itu—penguasaannya mengendalikan wujud raksasa belum rampung. Namun, dia harus percaya. Eren bukan anak kecil lagi yang harus dibentak-bentak sampai mengerti. Hanya itu yang dapat dilakukan Mikasa sebagai keluarga satu-satunya.

Beberapa pasukan Recon Corps terlihat berpencar di atas tembok, mencoba menghalau Colossal Titan dari menyapukan tangannya semudah mengusir debu. Beberapa kawan Mikasa ada di sana; Jean, Armin, Sasha, Connie, dan bahkan Corporal Rivaille.

Mikasa ragu apakah dia harus ke sana menjemput teman-temannya atau ikut dengan kelompok kecil Hanji Zoe.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Rivaille membeliak, menemukan kehadiran Mikasa di depan batang hidungnya. Mata gadis itu nyalang.

"Hanji dan Eren sedang dalam perjalanan ke ruang tahanan. Kita mungkin bisa membantu mereka sekarang."

Rivaille mendongak. Mata sang Colossal mendelik tajam ke arah prajuritnya—seolah-olah bakal meleburkan mereka dengan tanah. Rivaille tahu Mikasa membutuhkannya. Dia tidak akan pergi sendirian.

"Mike, gantikan aku sementara. Pastikan kau membuatnya sibuk sampai kami selesai." Rivaille memerintahkan Mike Zacharius yang kebetulan ada bersamanya di atas tembok. Tampaknya hanya Armin yang menyadari kehadiran Mikasa sesaat sebelum gadis itu meluncur bersama Rivaille di belakangnya menuju posisi Hanji.

Tak jauh tampak ruang di mana Annie ditahan nyaris bobrok ketika Reiner menerobos masuk dengan tubuhnya yang gigantis. Pun Eren hendak menghentikan—dia menjangkau bahu Reiner yang berlapis zirah tebal. Mikasa menunggu perintah corporal-nya dengan tidak sabar, bahkan dari jarak sedekat ini Rivaille belum berujar satu kata pun. Mikasa tak dapat menahan diri lagi—dia menoleh, mendapati Rivaille tengah memandanginya, sekali-sekali melihat ke depan.

"Ada apa? Berikan perintahmu sekarang, Corporal."

Pemuda itu tercenung, memikirkan ulang apakah dia mesti menjawab pertanyaan itu atau tidak. Mendadak pikirannya menyelam kembali ke waktu itu, di mana saat keempat orang terbaiknya nyaris berujar yang sama dengan yang Mikasa katakan saat ini. Dan mereka tidak bisa berbicara apa-apa lagi setelahnya. Kemudian dia menemukan gadis oriental ini, cepat-cepat menabraknya untuk menghentikannya dari menyerang gila-gilaan.

Rivaille mengeluarkan napas panjang. "Jangan terluka."

"Kenapa?" Mikasa berpura-pura mengejek namun roman wajahnya tetap datar. "Kau takut aku bakal mengotori saputanganmu dengan darah?"

"Tidak, aku punya alasanku sendiri. Kau akan tahu setelah semuanya selesai."

Sudah menjadi kebiasaan jika Mikasa berusaha menyindir, maka pemuda itu bakal membalasnya dengan kalimat yang lebih nyelekit. Tapi kali ini tidak. Rivaille sungguh-sungguh dan itu berarti Mikasa tidak akan menyahutinya sampai mereka benar-benar selesai. Mikasa hapal betul kalau dia banyak menyimpan persoalannya sendiri dan tidak ada yang pernah tahu apa yang melintas di kepalanya barang sedetik pun.

Hanji serta kelompoknya tampak di sana, membantu Eren dengan menutupi pandangan Reiner. Jemarinya nyaris merenggut Annie dalam kristal, namun secepat kilat Rivaille meluncur dan menyabetkan pedangnya di sepanjang siku Reiner secara horisontal. Darah memancar meski cuma sedikit.

"Amankan sandera," Rivaille memberi perintah. Matanya melirik Mikasa yang baru datang. "Kita akan membantu Eren kali ini."

"Corporal."

Mereka sama-sama meluncur hingga ke belakang leher Reiner, tapi mereka tidak menebas cuma-cuma—leher Armored Titan tersebut terlapisi zirah yang tebal seperti kristal yang membungkus Annie. Rivaille melihat beberapa lapisan kulitnya tidak terbungkus zirah, hanya itu satu-satunya cara untuk menghentikannya.

Mikasa terbang di atas kepala Eren, menggunakan bahunya untuk bertengger mengamati musuh, sementara Rivaille berhenti sejenak di atap bangunan.

"Menjauh dari sana, Mikasa!"

Secepat kilat gadis itu segera menyanggupi perintah Rivaille karena saat itu Reiner telah melayangkan tinjunya menghantam bahu Eren. Mikasa melihat saudara angkatnya roboh menimpa ruang di belakang tubuhnya. Tidak apa-apa, selama lawan tidak mengincar belakang lehernya. Dia berdiri tepat di samping atasannya. "Apa selanjutnya?"

Dilihatnya Eren telah mencoba bangkit, namun pada kesempatan itu Reiner berlari menjauhi mereka menuju tembok. Mikasa dan Rivaille sama-sama membeliak, tidak menduga mereka akan mundur dari pertarungan.

"Dia akan pergi keluar tembok!" Hanji menyalak, belingsatan membelah udara untuk mengejar Titan yang pernah menghancurkan gerbang itu.

"Tidak akan kubiarkan," sahut Rivaille tajam, meluncur berbarengan dengan Hanji. Saat pengejaran yang cepat itu, Mikasa melirik kawan-kawannya agak kesulitan menahan Colossal Titan tepat di puncak tembok. Barangkali tidak akan bermasalah jika Eren dan Corporal Rivaille menangani Reiner di sana. Mikasa melancarkan niatnya, dia berayun ke arah tembok, berdiri tanpa ragu di depan kawan-kawannya.

"Mikasa?" Armin dan Jean sama-sama tercengang, mereka hanya menonton sosok gadis itu lari belingsatan menuju lengan Titan yang panjang dan merah terbakar laksana matahari. Di saat bersamaan Sasha dan Connie saling menganggukkan kepala untuk mengulurkan bantuan. Tembok mendadak berguncang hebat.

Mikasa melompat untuk menghindari Colossal Titan yang menampik lengannya seakan para prajurit itu adalah serangga menyebalkan. Gerakannya memang lambat, tapi kekuatannya mampu meluluhlantakkan tembok dalam satu ayunan kaki.

Reiner mengeratkan kepalan tangannya untuk meninju Eren—bocah Titan-Shifter itu terlempar jauh sebelum mampu menggapai Reiner yang hendak melompat melewati tembok. Siang runtuh, kengerian yang selanjutnya dimulai ketika uap meledak dalam ruang lingkup yang mahaluas. Mikasa nyaris tertarik gravitasi akibat kehilangan kiblat. Beruntung saat itu asap agak menipis, cukup untuk menampakkan tembok kosong melompong di mana dia mampu berpijak pada dindingnya.

Reiner dan Colossal Titan telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.

"Apa yang terjadi?" tanya salah satu prajurit yang berada di sana, menghalau pergi asap yang masih menghalangi. Rivaille berpijak di atas tembok, sebelum menjawab pertanyaannya, dia membantu Mikasa naik.

"Mereka sudah tahu tidak akan berhasil. Apa ada yang terluka?"

Meskipun kelihatannya tidak ada, sebagian besar hanya diam. Raut wajah mereka sama. Merasa gagal karena membiarkan kedua Titan abnormal itu melarikan diri. Eren telah dibantu keluar oleh kelompok Hanji. Seluruh kawannya ada di bawah tembok, mengamati reruntuhan bangunan yang tidak selamat. Rivaille meminta mereka mengundurkan diri, namun Mikasa masih berdiri di tempatnya.

"Corporal."

Pemuda itu mendelik kepadanya. "Oh, benar, aku ingat."

"Apa kalau begitu?" tanya Mikasa, agaknya penasaran.

Rivaille menjawabnya. "Aku tidak bisa kehilanganmu."

(*)(*)(*)

"Mereka tidak berhasil."

"Begitu." Eren mengelus surai kecokelatannya yang sudah dikeramas. Anak-anak angkatan ke-104 hadir dalam satu ruangan yang hanya diterangi satu lilin agak temaram—termasuk Christa. Ymir hilang entah ke mana, dan konon katanya wanita itu juga seorang Titan-Shifter yang memilih untuk ikut dengan Reiner. Setelah insiden tersebut, para prajurit membereskan kekacauan yang terjadi, termasuk tembok yang nyaris terkikis. Rivaille dan Hanji tampaknya sedang merevisi kembali peristiwa hari ini di ruang kerja Irvin. Katanya mereka bakal ke sini untuk menyampaikan berita baru karena itu tidak ada satu anak pun yang berani keluar.

Mikasa memutar kembali kejadian barusan, betapa Rivaille dengan gamblang menyatakan kalau dia tidak bisa kehilangannya. Itu sangat wajar, begitu pikirnya, apalagi setelah pemuda itu kehilangan timnya dalam satu kedipan mata. Tapi entah kenapa rasanya berbeda. Dia bisa mengatakan hal yang sama kepada seluruh kawannya juga. Hanya Mikasa yang berbeda.

"Mikasa?"

Gadis itu terhenyak, matanya kebingungan mencari asal suara yang memanggilnya. Tidak ada yang terluka, begitu pikirnya, pun tidak ada yang merasa tenang. Mereka seolah-olah masih diincar. Banyak mata yang mengintip dari gelapnya malam, tangan-tangan besar yang siap meremukkan mereka kapan saja. Menggelikan, tapi itulah kenyataannya.

"Mereka bisa kembali lagi suatu saat," kata gadis itu, seperti bicara kepada dirinya sendiri.

"Kenapa kau mesti berkata begitu?" Eren agaknya gusar oleh sebab Mikasa merusak suasana tenang mereka meski cuma sebentar. Bocah itu berusaha sekuat mungkin mencairkan suasana.

Kini mereka tak perlu berpikir macam-macam karena Rivaille, Hanji, dan Irvin telah berlabuh di ruangan mereka. Semuanya tanpa terkecuali memberi hormat seperti biasa.

"Bagaimana, Kapten Irvin?" tanya Eren tak sabaran.

"Hanya kalian yang tahu orang seperti apa Reiner Braun itu."

Connie menghela napas—dirinya sudah mengharapkan tiga atasannya yang lebih senior ini mendapatkan jalan keluar untuk membongkar identitas mereka. Eren cuma mengerutkan alis dalam-dalam. Benar saja, seolah kaptennya bisa membaca jalan pikiran Mikasa. Mereka pasti akan kembali, Eren tahu betul orang seperti apa Reiner itu.

"Ada lagi?" Kali ini Jean yang bertanya, melirik ketiga superiornya bergiliran.

"Aku sudah memutuskan tentang pembagian kelompok yang akan bertugas di bawah pimpinanku," jawab Rivaille tanpa sungkan, menumpahkan berkas-berkas yang penuh catatan. Salah satunya tampak foto wajah kelompok Rivaille yang sebelumnya. Berkas itu persis seperti yang dilihat Armin, Eren, dan Mikasa di perpustakaan kota.

"Pada awalnya kupikir tidak ada yang bisa menggantikan mereka berempat, tapi aku tidak bisa selamanya berpikir begitu. Aku, Hanji, dan Irvin sudah membincangkan hal ini, dan aku pikir kalian memang sudah siap."

Mikasa menonton wajahnya yang hanya terpaku lurus tanpa perubahan barang sedetik pun. Tidak ada yang berpikir kalau hal yang berikutnya keluar akan mengubah pandangan mereka terhadap Rivaille.

"Anak-anak angkatan ke-104 mulai hari ini ditugaskan, dalam misi apa pun, di bawah perintahku. Prioritas utama untuk melindungi Eren dan Christa." Mata kelabunya mendarat pada dua orang yang baru disebutkan, hanya sekilas sebelum memilah berkas-berkas di atas meja. Rupanya Christa punya darah bangsawan yang mengalir dalam nadinya, dan cepat atau lambat gadis pirang itu bakal diincar para petinggi.

Hanji membantunya, mengganti berkas-berkas lama dengan milik anak-anak angkatan ke-104. Ada namanya juga di sana. Mikasa Ackerman. Tentu saja Rivaille tak mungkin ketinggalan membawa berkas tersebut.

Tahu itu saja membuat kupu-kupu di perut Mikasa berkelepak hebat.

"Dan setelah ini juga, Eren akan dibimbing oleh Hanji selama beberapa minggu ke depan untuk merampungkan talenta uniknya," ujar Rivaille dalam intonasi cepat. Hanji agaknya tidak sabaran, dilihat dari kilatan yang terpantul dari sepasang kacamata kucingnya. Seharusnya tidak ada masalah jika dengan wanita yang obsesif Titan itu, Eren pasti akan baik-baik saja. "Latihan dimulai besok pagi seperti biasa."

Jean dan Connie membeliak bersamaan. "Bagaimana dengan kami?"

Rivaille melirik lagi. "Kalian ikut, tentu saja. Kita sudah satu tim, 'kan?"

Jean bisa jadi kepalang marah dengan keputusan matang itu karena dia cuma disuruh menonton si bodoh ini mengaum lagi dan lagi. Ah, sudahlah, percuma saja berdebat dengannya.

Eren sudah keburu melirik. Iris hijaunya sempat berkilat. "Seseorang kelihatan keberatan. Apa aku salah?"

Hanji buru-buru menarik berdiri bocah Jaeger itu, senyumnya terlalu sumringah. "Baiklah! Kami akan pergi duluan. Eren harus cek darah."

Mikasa melihat saudara angkatnya meronta-ronta—agaknya ngeri—dan sekelebat dia berseru, "A-aku sudah pernah cek darah." Kemudian mereka berdua hilang di balik pintu.

"Cek darah yang itu maksudnya?" tanya Mikasa dalam suara tenang. Irvin yang merapikan berkas yang ditinggalkan Hanji dalam kekacauan. Pada akhirnya yang dilakukan Rivaille cuma mengedikkan bahu.

"Itu saja. Kalian boleh pergi untuk istirahat sekarang," ujar sang kapten. Dia sempat berkontak mata dengan Rivaille, tapi corporal muda itu mengatakannya untuk keluar duluan. Semuanya mengangguk tanpa pikir panjang, setelah bicara begitu juga Connie tak bisa menahan diri lagi untuk tidak menguap lebar. Dia keluar duluan dengan Sasha di belakangnya setelah mengucapkan selamat malam ke seisi ruangan. Armin berhenti di ambang pintu.

"Mikasa, kau ikut?" Jean ikut-ikutan meliriknya. Gadis itu menggeleng, senyum tipis terukir di bibirnya. "Aku akan menyusul."

Armin mengangguk. Pintu ditutup kembali. Rivaille dan Mikasa ditinggal berdua.

"Baiklah, katakan saja," ujar Rivaille, mengulum senyum setengah hati pula.

"Aku tidak akan bicara apa-apa." Mikasa berjalan menghampiri atasannya, menggenggam tangannya yang hangat. "Aku tahu kau masih merahasiakannya dari yang lain. Sekarang tidak perlu lagi. Kita satu tim, 'kan?"

"Kau pintar bicara," Rivaille membelitkan satu jari telunjuknya pada ujung rambut Mikasa. "Suatu saat mereka bakal tahu juga." Dia menangkup pipi Mikasa, goresan tipis pada pipinya masih tampak. "Ada banyak yang dapat kita lakukan besok. Istirahatlah."

"Kau berkata yang sama, selalu saja. Sekali-sekali kau perlu melanggar aturan."

Rivaille terkekeh. Jarang dia bisa mendapati sifat Mikasa yang manja. "Baiklah. Apa yang kau inginkan?"

Gadis itu melingkarkan lengannya di leher Rivaille, pemuda itu menyentuh pinggang Mikasa. "Temani aku malam ini saja. Hanya berdua."

"Hanya berdua," sambungnya, mendorong leher Mikasa sampai bibir mereka beradu. Rivaille melumatnya perlahan, seakan takut bakal merusaknya. Mikasa melenguh, membiarkan dirinya dibuai, sembari mencoba mencuri napas di sela-sela ruang kecil antara wajah mereka.

"Kau tidak keberatan kalau besok kau bakal bangun telat gara-gara tidak tidur lebih awal?" tanya Rivaille, memandang ke dalam matanya yang berkilau bahkan dalam kegelapan.

"Kau harus membangunkanku di saat itu terjadi." Mikasa menjawab dengan seringai. "Tidak, tenang saja. Aku tidak mau kau menghukumku lagi seolah-olah aku orang lain."

"Bagus," bisik Rivaille. Dia melepaskan Mikasa, membiarkan kakinya berjalan keluar menuju pintu, meninggalkan Mikasa kebingungan. Gadis itu nyaris kecewa, pikirnya Rivaille cuma sekadar mencium bibirnya dan sudah keburu lelah untuk terjaga hingga larut. Padahal tadi dia sudah berjanji, tapi pada detik itu Rivaille buru-buru menjelaskan, "Ayo, aku akan menemanimu sampai kau terlelap. Kau tidak mau tidur di ruangan kotor ini, 'kan?"

Mikasa tidak mampu menahan senyumnya lagi. Ah, seharusnya dia sudah tahu.

(*)(*)(*)

Eren mengerang sebal. Dia lagi-lagi gagal dan, bukannya berubah menjadi Titan yang makin waras dalam mengontrol kekuatan, dia malah menghancurkan gubuk terdekat menjadi serpihan kayu.

"Demi Tuhan," Jean merutuk, membenarkan letak topi fedoranya. "Si tolol itu semakin kelihatan seperti Titan abnormal."

"Oh, corporal seharusnya ada di sekitar sini untuk mengawasi. Ke mana dia?" tanya Sasha, mengamati sekitar seperti mata elang. "Mikasa juga hilang."

"Jangan bilang." Diam-diam Jean berbisik. Matanya menyipit penuh misteri dan kecurigaan. "Mereka kencan di suatu tempat."

Berdasarkan instuisi Jean, Sasha, dan Connie mengendap ke arah lain dari lapangan tempat Eren berlatih dengan Hanji. Armin sempat bertanya kebingungan, tapi dia tak taruh hirau dan hanya mematuhi perintah corporal Rivaille untuk menyimak latihan Eren bersama Christa di sana.

"Kau harus membukanya dari sana."

Jean yang pertama mendengar suara monoton atasannya segera berhenti tanpa tedeng aling-aling sehingga Sasha dan Connie saling menabrak. Beruntung semak-semak rimbun menutupi kehadiran mereka. Jean kembali menguping diam-diam. Mereka kelihatan mesra, persetan dengan hal itu.

"Letakkan tanganmu di sini—pelan-pelan." Suara Rivaille agaknya tersentak. Jean diserang bayangan-bayangan yang terlalu mengerikan untuknya. Tidak dalam sedetik wajahnya merona.

"Apa yang mereka lakukan, sih?" Sasha berbisik.

"Corporal!" Itu jelas-jelas jeritan Mikasa yang tak dapat disangkal lagi. Jean sudah belingsatan hendak memergoki mereka, tetapi disusul kemudian oleh bilah pedang yang berdesing di samping pipinya, membuat pemuda itu berhenti dalam sekejap. Pedang tersebut menancap di batang pohon tepat di atas kepala plontos Connie. Jean gelagapan.

Mikasa dan Rivaille muncul di detik berikutnya. "Kalian, ada apa ini?"

Pemuda itu belum pulih meski dia sudah berjuang keras. Mau tidak mau Sasha membantunya. "Ah, kami baru berpikir akan mencari kalian berdua."

"Oh," Mikasa menjawab. "Aku barusan meminta corporal melatihku dengan cara memegang pedang yang biasa dia lakukan. Tapi saat melakukannya di udara dengan maneuver gear, benda itu melesat ke semak-semak."

O-oh, diam-diam Jean membatin malu. Berpikiran negatif malah memberi jalan buntu untuknya. Beruntung baik si gadis maupun lelakinya tidak dapat membaca pikiran orang. Wajahnya pun sudah tidak merona lagi.

"Tampaknya menyenangkan," katanya berusaha untuk tenang. Rivaille mengangkat satu alis dengan tegang.

"Bagaimana yang di sana?" tanya corporal muda itu. Connie menjawab dengan brilian demi menutupi perbuatan memalukan mereka. "Eren membuat kekacauan lagi dengan meratakan gubuk."

Mikasa menarik napas, dia agak melonggarkan syal merahnya. "Apa kau tidak mau menengoknya, Mikasa?"

"Tidak, aku harus, eh, melanjutkan latihanku."

Jean segera disengat kecemburuan yang tinggi sampai-sampai seseorang harus menyadarkannya. Meski sudah sering—terlalu sering malah—melihat mereka menghabiskan waktu berdua terus menerus, rasanya masih tidak bisa merelakan Mikasa dengan si pendek ini. "Kalau begitu kami harus pergi, semoga beruntung dengan latihanmu!" ujar Sasha gembira, berusaha keras menarik kerah seragam Jean yang kakinya masih terpaku di tempat.

Setelah mereka menghilang—dengan erangan Jean yang samar-samar di dalam hutan—Mikasa menyenggol bahu Rivaille.

"Aku rasa kita tidak perlu benar-benar kencan di tempat begini. Orang-orang bisa curiga."

"Kata orang yang memintanya duluan," sahut Rivaille acuh tak acuh, dibalas lagi dengan sodokan di pinggang yang lumayan keras dengan siku gadis itu.

"Lagi pula aku ingin melihat latihan Eren."

Pemuda itu mengernyit. Mikasa betul-betul bertindak terbalik dengan apa yang dikatakannya hari ini. Pagi-pagi dia begitu manjanya sampai terus memeluk Rivaille yang sudah bersetelan seragam lengkap di atas ranjangnya dan kembali tidur. Kalau saja Irvin tidak menemukan mereka saat itu, Mikasa pasti masih nyaman menggunakan Rivaille sebagai pelukannya. Lalu sebelum ke tempat ini, gadis itu meminta melatihnya menggunakan pedang dengan terbalik seperti yang Rivaille lakukan—tapi di detik ini pun Mikasa sudah menyerah. Bilang saja kalau kau ingin berdua lagi.

Rivaille nyengir, kemudian menambahkan, "Dasar hipokrit."

End


Reply Review:

Kumada Chiyu : Ooh, tapi jangan terlalu dipercaya ya, sumber saya gak asli *plak* maksudnya banyak yang saya ubah looh, aslinya tetep milik Hajime-sensei, hehehe. Wah, bagus deh makin cintah, huehehe. Terima kasih udah Review! :D

Brownchoco : Wah, ganti penname ya, untung avatarnya masih sama, hehehe. Iya, soalnya saya udah kehabisan ide juga. Apalagi ini semi-canon, gak bakal ada habisnya, heuhehee. Makasih udah Review! :D

Hikari Jeanne Hattori : Aaa, masih kurang ya, maafkan author nista ini yang gak bisa melukiskan kisah romantis T.T *sujud* semoga ini udah cukup yaa~ Terima kasih udah Review! :D

ChiaRMLovers : Waduh, makasih banyak ya sampe Review dua kali *peluk Chia* Makasih banyak sudah baca fic ini, saya bener-bener terenyuh *beneran loh :D* Maaf ya update-nya lama banget, tapi saya udah lanjut kok seenggaknya, hehehe. Terima kasih ya Chia :D

Rivaille lover : Okee, terima kasih banyaak! Ini sudah dilanjut, makasih udah Review! :D

Baka Shiori : Salam! Duh, saya menyesal sekaliii, maaf ya Shiori-san, saya mengalami blok yang tidak bisa dihindari sehingga saya hiatus untuk berabad-abad lamanya. Tapi, kabar gembiraa *bukanyangkulitmanggislho* fic ini udah update, dan udah ber-ending bahagia, huehehe. Seaneh-anehnya Review, saya sangat menghargainya. Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk baca dan Review! :D

Halo~ Wah, udah lama sekali saya gak mampir lagi ke fandom RivaMika. Saya bener2 minta maaf untuk update fic yang begitu ngaret sampai rasanya sudah berbulan-bulan tidak dijamah lagi. Saya mengalami penyakit WB luar biasa akut sehingga buat saya udah merupakan tantangan yang besar bahkan cuma buat buka fic-fic simpenan saya di laptop. Semoga gaya penulisan saya gak makin ancur. Maklumin aja ya author kepalang idiot ini *sujud

Untuk menebus kesalahan, saya juga sekaligus publish fic baru. Bisa dilihat di halaman depan, huehehe, tapi masih prolog *sekalian promosi*

All in all, terima kasih buat yang udah menyempatkan waktu berharganya untuk baca fic semi-canon yang gak canon-canon banget (?) alhasil malah super duper OOC. Untuk semua reviewers, silent readers, baik yang udah fave dan ngefollow, semoga gak terlalu kecewa dengan ending fic ini ._.

Ketemu di fic RivaMika berikutnya!