Savior

Genre : Drama, Romance

Main character : Rivaille and Mikasa Ackerman

Disclaimer : Hajime Isayama

WARNING: OOC, semi-canon, alur gak jelas, dan lain-lain


"Corporal, berikan perintahmu sekarang!"

"Corporal Rivaille!"

Itu adalah kata-kata terakhir yang mampu diberikan kelompok Rivaille dalam menjalankan misinya melarikan diri dari kejaran Female-type Titan demi melindungi satu nyawa seorang anak laki-laki. Sekarang, yang dilihat komandan berjiwa besar itu hanya tubuh para anak buahnya tanpa jiwa. Terkapar di tempat-tempat terpisah dengan darah di masing-masing tubuh mereka. Satu persatu ditiliknya. Namun, Rivaille lebih lama memandang tubuh patah Petra di depan pohon eucalyptus rimbun. Batangnya pun terwarna oleh noda darahnya. Rivaille tidak mau membayangkan bagaimana Female-type Titan menginjak tubuh kecilnya hingga tulang belakangnya bengkok sedemikian rupa. Rambut karamel pendek milik gadis malang itu masih melambai-lambai. Ada beberapa yang menempel lekat bersamaan dengan darahnya.

Pandangan mata Rivaille kosong tanpa dasar.

Seandainya dia tadi tiba lebih cepat. Seandainya dia tidak mengikuti perintah Irvin untuk mengisi ulang 3DMG-nya. Yang lebih disesalinya adalah di saat-saat terakhir Rivaille masih tidak mau menuruti keinginan anak buahnya saat makhluk buas itu mengejar mereka seperti orang yang tidak waras.

Reuni bisu atas kelompok Rivaille.

Mendadak, suara teriakan memekakan telinga milik Titan dari hutan yang paling dalam mengejutkan pikirannya yang hampa. Benar, Eren sendiri pasti sedang bertarung dengan Titan perempuan itu. Kali ini dia tidak akan menggagalkan misi demi membalaskan dendam teman-teman seperjuangannya.

Rivaille kemudian segera meninggalkan mereka, menuju ke tempat di mana pertempuran makhluk buas itu tengah berlangsung.


Eren tidak pernah menyangka pertarungannya melawan Female-type Titan itu akan sesulit ini. Pada saat sudah terjebak, Mikasa telah datang menyusul dengan napas terengah-engah, sedetik begitu dia mendengar teriakan Titan Eren yang terdengar begitu marah. Alih-alih menerima kabar baik, di depan mata gadis itu sendiri Eren dilahap sang Titan tepat setelah ia merobek belakang leher tubuh Titan Eren sebagai seorang Titan-Shifter. Pupil Mikasa mengecil. Terkejut dan amarah bercampur menjadi satu. Setelah tubuh Eren tersembunyi dengan baik di dalam mulut Female-type tersebut, ia segera melarikan diri tanpa menghiraukan apapun yang ada di sekelilingnya.

Mikasa yang disiram kemurkaan pun mengejarnya dengan brutal. Melemparkan tali 3DMG-nya, dia berteriak, "Kembalikan Eren! Kembalikan dia!"

Gadis bersyal merah itu mengayunkan pedang tipisnya, mengarahkannya tepat ke titik kelemahan setiap Titan—leher belakang. Namun, kemampuan intelejensinya setara dengan manusia, sehingga raksasa wanita itu melindungi bagian kelemahannya dalam sekejap mata.

Kepercayaan diri Mikasa belum padam, dia tetap memaksakan dirinya sampai kedua pedangnya patah akibat terbentur dengan punggung tangan Titan itu yang telah bertransformasi menjadi kristal padat. Mikasa melemparkan talinya untuk berdiri menempel di batang pohon. Dia menekuk kedua alisnya dengan sorot mata membunuh yang tajam. "Ke mana pun kau pergi, aku tidak akan pernah membiarkanmu lari dari hadapanku," cetusnya. Raut wajah Mikasa lebih pucat dari biasanya, rambut hitam pendeknya tampak lepek.

Dia membuang pedang patah itu dan menggantinya dengan cadangan yang selalu berada di kedua pinggulnya. "Karena itu, Eren, tunggulah aku. Sebentar saja."

Gadis yang diadopsi sebagai saudara Eren itu sudah bersiap untuk serangan kedua. Meluncur pesat dengan dorongan gas dari belakang punggungnya. Bersamaan dengan itu, Mikasa merasakan gerakannya terhenti ketika sebuah lengan melingkar tepat di abdomennya. Panik, dia pun segera mencari gerangan pemilik lengan itu. Sepasang iris berwarna biru berserobok dengan miliknya.

"Tenang, Prajurit. Kita mundur untuk sementara." Orang itu, Rivaille, membawa Mikasa ke atas batang pohon besar untuk membiarkannya menarik napas dan membetulkan setiap sel-sel otaknya yang sudah kalut. Mikasa mengenal corporal ini dari pasukan Recon Corps, bahkan sudah mengecapnya secara negatif sejak skandal membantai Eren di hadapan para saksi saat pengadilan untuknya tengah berlangsung. Saat itu juga, Mikasa berjanji akan membuat Rivaille membayar atas kelakuannya. Tetapi, sekarang, di sini, hal itu tidak terpikirkan lagi olehnya.

Tetap saja, gadis itu sama sekali tidak melihat wajah sang corporal untuk kedua kalinya.

Bunyi gas dari belakang tubuh Rivaille telah memberinya pertanda untuk berangkat sekarang.

"Aku melihat tubuh Titan Eren tanpa kepala. Lehernya pun terkoyak. Apa dia sudah mati?" Rivaille membuka pertanyaan terhadap Mikasa yang mengekorinya.

"Tidak," jawabnya tangkas seakan menentang keras-keras pertanyaan yang tabu itu. Mikasa sempat kehilangan Eren walaupun cuma sebentar. Tetapi, hatinya yang hancur berkeping-keping saat itu telah membuatnya hilang kendali. Dan, yang paling buruk, peristiwa itu terulang lagi. "Eren masih hidup. Aku melihat Titan itu langsung melahap tubuhnya secara utuh. Ia bisa saja merobeknya."

Rivaille tidak menengok ke belakang untuk mengecek air muka apa yang sedang digunakannya sekarang. Nada bicara prajurit itu tampaknya benar-benar gusar.

"Bukankah tugas kalian, kelompok Rivaille, untuk menjaga Eren tanpa membiarkan sedikit pun luka di tubuhnya. Apa maksud semua ini, Corporal?"

Rivaille diam dan menengok ke belakang, matanya sedikit melotot. Mikasa tetap melihat lurus ke depan tanpa berpaling seujung jari pun. Female Titan tersebut telah terlihat di pelupuk mata. Alih-alih memberikan jawaban, Rivaille mengicaukan perintahnya, "Aku yang akan meninggalkan sabetan di tubuhnya. Pada kesempatan itu, kau harus mengalihkan perhatian."

Rivaille telah bersiap dengan kedua pedang tergenggam erat di tangannya. Titan dengan surai pirang itu tampak belum menyadari kehadiran seseorang yang mengikutinya dari belakang. Tetapi, di detik berikutnya, ia sudah melayangkan tinju dengan lengannya yang panjang.

Berkat ketangkasan yang dimiliki Rivaille, pemuda itu dapat berputar dengan luwes di atas otot-otot bisepnya dan beberapa sayatan sudah terbentuk dalam sekejap mata. Kemudian, sambil berlari di atas lengannya yang panjang, Rivaille melompat seperti elang yang akan bersiap untuk menyergap mangsa dan menancapkan kedua pedangnya brutal ke dalam bola mata Titan tersebut. Darah bepercikkan ke lingkaran mata pemuda itu, mengalir membuat sungai kecil seperti air mata. Giginya bergemeretak tajam. Rivaille melompat lagi dengan tinggi, mengambil pedang baru di kedua pinggulnya, dan memulai serangan kedua.

Otot di kedua betis milik Titan itu putus, dan ia pun terempas ke tanah, masih dengan tangan yang melindungi belakang lehernya. Mikasa menyaksikan terperangah. Orang itu cepat, Titan dibuatnya tidak melakukan aksi apa-apa, Mikasa membatin. Di atas angin, Rivaille memutar tubuhnya lagi dengan kecepatan tinggi dan membuat luka sayatan di tangan yang terangkat itu. Kini, setelah ototnya putus, leher belakang Female Titan terbuka lebar.

Kesempatan yang dapat dilihat Mikasa saat itu juga.

Gadis itu mengarahkan talinya ke pundak Titan, dan segera melesat seperti roket menuju lehernya. Tetapi, Rivaille melihat sesuatu yang janggal. Kelopak matanya yang tertutup sedikit bergetar. Sebelah tangannya terangkat dengan refleks.

Celaka. "Hentikan!" Rivaille terlambat untuk memperingatkan, tetapi otaknya sudah bekerja lebih cepat dan memerintah kedua kakinya untuk segera berhambur ke sana. Mikasa tersentak di udara, tubuhnya terdorong ke sisi lain oleh Rivaille, membuat corporal itu mendapati tulang pergelangan kakinya harus patah akibat benturan dari punggung tangan Titan tersebut. Selama sedetik yang akan membuat Mikasa terempas seperti serangga, Rivaille malah menggantikan posisinya.

Corporal itu sedikit merintih. Namun, misi tetaplah prioritas utama. Sembari memaksakan kehendak, pemuda berambut hitam kelam itu melesat menuju pipi sang raksasa pirang, merobeknya dengan pedang yang berputar seperti gasing, dan langsung menarik Eren yang terbungkus air liurnya. Dia menyelamatkan diri ke atas sebuah batang pohon.

"Kita mundur dari sini!" perintahnya kepada Mikasa yang berdiri menempel di pohon. Matanya terisi dengan kelegaan karena Eren selamat. Di sisi lain, ada rasa bersalah yang mulai menumpuk saat melihat sebelah kaki corporal itu tertekuk lemas. "Kita biarkan Titan itu di sana."

Air muka Mikasa meluntur khawatir dan cemas. "Tetapi, aku tidak..."

Gadis itu pun mengekori Rivaille di belakangnya. Mata Eren masih terpejam tidak sadarkan diri. Rivaille sempat menoleh ke belakang. Dia cukup terkejut.

Air mata mengalir melewati pipi Titan yang mulutnya sudah menganga robek itu.


Walaupun ngeri luar biasa dengan rasa sakit tak tertahankan di bagian lutut, aku masih memaksakan diri pergi menyusul Armin. Kerahnya diapit di antara kedua jari Titan yang sudah siap akan menelannya hidup-hidup. Aku bisa tahu hanya dengan melihat kalau Armin sudah tidak bisa berkutik, tubuh kecilnya bergeming ketika melihat pangkal tenggorokan makhluk besar itu.

Kaki... Ya, kaki kiriku. Aku tidak dapat merasakannya lagi.

Segera aku ikut melompat dan menarik tangan Armin yang setengah tubuhnya nyaris tertelan. Air mata sudah membuat kusut wajahnya. Dia tampak ketakutan, sama sepertiku.

"Eren!" teriaknya terkesiap ketika melihatku datang. Aku menggeram, dan, dengan tenaga yang masih tersisa, aku melemparnya keluar dari mulut Titan itu. Armin terperosok di antara genteng-genteng rumah, sementara aku menahan terkatupnya mulut Titan dengan tangan kiriku yang masih berfungsi. Darah telah membuat mataku pedas dan aku tetap membukanya lebar-lebar sambil menjulurkan lengan kananku keluar. Gigi Titan ini tajam, tampaknya telah berhasil merobek kulit telapak tangan kiriku karena aku dapat merasakan ngilunya.

"Armin, karena kau telah menunjukkan bagaimana segala keajaiban terjadi di luar tembok, aku penasaran, sangat penasaran untuk melihatnya. Karena itu, aku belum mau mati."

Selama beberapa detik, aku mendengar teriakan Armin. Dia tampaknya ingin menggapai tanganku dengan tergesa-gesa. Namun, yang kurasakan hanyalah sejenis sakit seperti yang sebelumnya. Sekarang, cahaya mentari tidak dapat menerobos ke dalam mulut ini lagi. Aku tidak bisa merasakan tangan kananku yang sudah hilang setengahnya. Kesadaranku lenyap, terisap bersamaan dengan raga ini menuju lubang besar tanpa dasar.

Satu-satunya yang dapat kudengar adalah namaku yang diserukan.


"Eren!"

Suara tapak kaki kuda beserta roda gerobak yang berkeriut menarik Eren keluar dari ketidaksadarannya. Dia tengah terbaring di atas gerobak itu. Mantel dengan lambang Recon Corps menyelimuti sebagian besar tubuhnya. "Eren, syukurlah kau sudah sadar..." Mikasa berkata tepat di sampingnya.

Mata bulat Eren yang berwarna batu giok masih melebar terkejut. Napasnya memburu dan wajahnya pucat pasi. Yang terakhir sempat direkam memorinya adalah bagaimana musuh Titan-nya yang pintar itu melayangkan kepalan tangannya sehingga kepala atas Eren harus terpisah dari tubuhnya. Pemuda dengan marga Jaeger itu mencoba bangkit dan meneliti tiap anggota tubuhnya—utuh tanpa noda apapun—kemudian beralih kepada saudara adopsinya.

"Mikasa, apa kau yang menyelamatkanku lagi?"

Pupil hitam sekelam malam milik gadis itu bergeser ke kanan bawah pelupuk matanya. Dia sempat memutar kembali peristiwa mengeluarkan pemuda itu dari bahaya hingga berakhir seperti ini. Di tempat paling depan, ada kapten Irvin Smith dengan tangan kanannya, Corporal Rivaille. Dari sini memang tidak kelihatan apakah kaki yang patah itu sudah dibalut perban atau belum.

"Hei, Mikasa. Apa yang membuatmu melamun begitu saja?" Suara Eren yang rendah dan serak berhasil menarik keluar gadis itu dari pikirannya sendiri. Mikasa memalingkan wajahnya dan kembali menjawab pertanyaan Eren yang pertama.

"Ya... sebagian besar."

"Apa maksud—"

Kata-kata Eren tertelan kembali ketika melihat air muka Mikasa yang kembali hampa tanpa sebab. Seolah-olah perempuan yang tidak pernah menunjukkan emosi berlebihan itu sudah tidak sanggup lagi menahan beban berat di kedua pundaknya.

Pasukan Recon yang berada di bawah pimpinan Irvin pada akhirnya tidak memetik hasil apapun. Mereka kembali ke dalam tembok, rumah mereka selama berabad-abad ini.


"Hei, lihat, prajurit Recon Corps telah kembali."

Jalur setapak untuk menerima kepulangan para prajurit itu telah terisi penuh oleh kumpulan manusia. Anak-anak kecil mendesakkan diri sekuat tenaga untuk menonton kepulangan mereka dengan mata berbinar-binar. Adapun yang memanjat ke tempat-tempat yang tinggi.

"Ah, Corporal Rivaille, selamat atas kepulanganmu," sambut seorang pria dengan rambut kecokelatannya. Dia mengejar Rivaille yang berada di atas kuda hitamnya dan mencoba mensejajarkan langkahnya. Ayah Petra, yang sudah dikenalnya cukup lama.

Wajah pria paruh baya itu tampak cerah ketika menunjukkan selembar amplop yang diapit di kedua jarinya. "Aku turut bersukacita saat kau akan melamar putriku di salah satu surat yang kau kirim ini. Tetapi, tampaknya Petra belum cukup umur untuknya menikah denganmu," ujarnya sambil memberikan tawa renyah. "Dia masih memiliki jalan yang cukup panjang."

Wajah Rivaille kembali dinaungi awan gelap. Alisnya mengerut dan air mukanya tampak terpukul luar biasa. Benda tumpul seakan menjotos ulu hati corporal itu ketika mendengarnya. Petra memang sudah lama memendam perasaan terhadap corporal berjiwa besar ini dan Rivaille akan berencana melamar gadis bersurai karamel itu dalam waktu dekat.

Wajah berseri-seri ayah Petra perlahan luntur ketika menunggu putrinya tidak kunjung datang. Bahkan saat barisan prajurit Recon Corps sudah habis.

"Di mana Petra?" tanya lelaki itu heran. Rivaille memejamkan mata kuat-kuat. Untuk kali ini emosinya sempat bergejolak.

Sorakan penduduk memenuhi gendang telinga Irvin. Kebanyakan mencemoohnya karena sekali lagi mereka tidak membawa hasil apa-apa kecuali mengurangi jumlah prajurit mereka sendiri. Tetapi, kapten berwajah tirus itu tetap berjalan tegap menggandeng tali kekang kudanya.

Cemoohan itu juga dapat didengar Eren yang masih terbaring di atas gerobak. Dia menutupi sebagian wajahnya dengan lengan yang tersampir. Tubuhnya gemetaran dan dia mulai terisak. Perlahan air mata mengalir membentuk anak sungai di pipinya. Isakannya terdengar begitu pahit di telinga Mikasa.

Gadis itu tidak dapat menahan diri lagi, dia menggenggam jemari Eren untuk menenangkannya.


"Eren?"

Pemuda dengan surai pirang yang membingkai wajahnya sedemikian rupa mengintip di antara celah pintu. Ada Mikasa yang tengah duduk mendampingi Eren beristirahat di atas dipan.

"Armin," sahut Mikasa, cukup lega mendapat kunjungan dari temannya.

"Bagaimana keadaan Eren?" tanya Armin sambil menutup pintu perlahan dan berjalan menghampirinya. Dari luar pemuda itu tampaknya biasa-biasa saja, Armin hanya khawatir jika sempat ada gangguan mental akibat peristiwa sumber malapetaka tadi.

Sebelum Mikasa menjawab, Eren sudah menyambarnya terlebih dahulu. "Aku baik-baik saja."

Mikasa menoleh cepat dengan tatapan apa-maksudmu?

Sementara Armin mengubah air mukanya menjadi cukup gugup.

"Ah, senang mengetahui hal itu," kicau Armin, pemuda polos yang lebih senang menghindar daripada mendatangkan pertengkaran yang kerap terjadi di antara kedua orang ini. Eren dengan tingkah emosional yang tinggi memunggungi Mikasa seperti anak kecil dan menarik selimut usang hingga menutupi setengah kepalanya. Tertawa hambar dari Armin mengisi kamar sempit seperti penjara bawah tanah ini.

"Sebenarnya apa yang terjadi di dalam hutan?"

Mikasa meletakkan cangkir berisi teh hijaunya dan memandang satu titik di atas meja selama beberapa detik. Mereka sekarang tengah berada di gedung tempat makan milik kemiliteran Recon Corps. Selain Mikasa dan Armin, ada teman-temannya yang lain. Membicarakan hal yang tampaknya cukup serius menyangkut peristiwa di hutan raya tersebut.

"Untuk suatu alasan, Female-type Titan itu melahap tubuh Eren dalam wujud raksasanya. Ia sama sekali tidak mengoyak atau mencerai-beraikannya. Tampaknya Titan abnormal itu punya tujuan tertentu, tidak seperti Titan-Titan pada umumnya yang hanya ingin mengandaskan ras manusia."

Armin menarik napas dengan pundak yang tegang. "Mungkinkah... mungkinkah ia mengincar kekuatan Eren sebagai seorang Titan-Shifter? Ia punya intelejensi, 'kan? Kemungkinan lainnya ia satu jenis dengan Titan yang lebih tinggi 10 meter dari tembok kita."

"Siapa yang tahu?" Mikasa mengunyah sup jagungnya dengan setengah hati. Masalah Eren sudah selesai selama gadis itu tahu dia masih bernapas dan hidup. Namun, ada satu hal lain yang mengganjal pikirannya.

Akibat bertindak tidak sabaran, Corporal Rivaille tidak dapat menjalankan kewajibannya dengan baik. Sekarang, dia mungkin berada di asrama tentara yang tidak jauh dari gedung ini. Tetapi, hal seperti itu tetap tidak bisa mengalahkan dendam Mikasa ketika mengingat Eren dibuatnya babak belur di depan banyak orang.

"Hei, Mikasa, kau tidak berniat untuk membuat sendok itu terbagi dua, 'kan?"

Suara milik Jean dari belakang membuat gadis bersyal merah itu mengerjapkan matanya berkali-kali. Sendok itu dilepasnya dengan cepat, seolah-olah benda itu telah memberinya kejutan listrik. "Hei... Jean," sahut Mikasa, mendadak menjadi lelah, "maaf, aku harus keluar." Dia menggeser kursinya untuk berdiri, nyaris tersandung kakinya sendiri. Jean yang berada tepat di belakang punggung Mikasa mengadakan kontak mata dengan Armin yang duduk di seberang mejanya. Matanya bahkan seolah-olah bertanya ada-apa-dengan-Mikasa.

Armin hanya sekadar mengedikkan bahu tepat saat gadis dengan marga Ackerman-nya melebur keluar melewati orang-orang.

"Aneh. Bukankah Eren baik-bak saja? Kenapa Mikasa begitu lelah seperti orang tua?" tanya Jean heran sambil menaikkan sebelah alisnya. Armin ikut berdiri, sempat melirik sup jagung yang tidak akan disentuh lagi. Barangkali sudah dingin.

"Entahlah. Pasti ada alasan lain."


Di luar, Mikasa membeli satu roti gandum beserta air putih untuk Eren yang sebentar lagi akan dijenguknya. Gadis itu tidak akan mampu menahan dirinya jika tidak mengunjungi Eren lebih dari satu jam saja.

"Ini, makanlah."

"Aku sudah makan," jawab Eren dalam posisi duduk di atas ranjangnya. Dia hanya melihat keluar melalui jendela yang sudah terdapat goresan di sana-sini. "Lebih baik untukmu saja. Wajahmu kelihatan lebih keriput dibanding sebelumnya."

Mikasa bersikeras dengan mencekoki Eren roti tersebut. Pemuda bersurai hitam kecokelatan itu membuang wajahnya jauh-jauh seperti bocah lima tahun yang tidak mau disuapi.

Eren menghela napas panjang. Dia pun membagi dua roti itu dan memberikan sebagian kepada Mikasa. Karena Eren tidak akan makan jika Mikasa membuangnya, gadis itu pun menerima dengan terpaksa.

"Kau seharusnya yang berbaring di sini, 'kan. Aku pikir kita lebih baik tukar posisi," ujar Eren yang sudah mendapatkan sebagian besar kepulihannya.

"Tidak, tidak," Mikasa menentang keras, "kau lebih membutuhkan waktu untuk istirahat."

Eren bungkam seribu bahasa. Tatapannya penuh penilaian. Kemudian, dia membuka suara sembari melihat ke suatu tempat di mana saja selain Mikasa. "Biasanya kau akan mengacuhkan kalimatku yang seperti itu atau memukul kepalaku tepat di sini"—jarinya tertunjuk tepat di atas ubun-ubun miliknya—"Aku hanya bercanda. Tetapi, di atas semua itu, kau memang membutuhkannya, demi Tuhan."

"Bukan aku, tapi kau yang—"

"Jangan mendikteku seolah-olah aku ini adik kecilmu atau apalah!"

Bagaikan sinyal di siang bolong, pintu terbuka dan menampakkan tiga sosok prajurit yang tampaknya datang untuk menjenguk juga. Eren dan Mikasa sama-sama memutar kepala mereka ke arah pintu. Ada lambang sayap yang saling membelakangi di salah satu kantung baju prajurit itu. Di antara keduanya, ada Rivaille yang berdiri di tengah. Mengenakan kaus putih polos dengan celana panjang dan memiliki perban terikat kencang di pergelangan kakinya.

Mikasa bergegas bangkit dari kursi dan sigap mengepalkan tangan kanan tepat di depan jantungnya yang mendadak menari kencang. "Selamat siang, Kapten."

Sementara di atas dipan, Eren kebingungan melihat Irvin, Hanji, dan Rivaille yang mendadak memenuhi ruangan tempat istirahatnya.

"Eren, bagaimana keadaanmu? Aku dengar Titan abnormal itu nyaris membunuhmu." Hanji, wanita penuh enerjik itu segera menyambar Eren di atas dipannya. Pemuda itu tergagap.

"Hentikan, dasar bodoh," bisik Rivaille agak tajam, cukup untuk didengar orang-orang di dalam ruangan itu. "Bagaimana perasaanmu sekarang, Eren?"

"Hampir mendekati kesembuhan total, Corporal," jawab Eren dengan patuh. Ketika melihat wajah Rivaille, memori di hutan tadi berenang-renang kembali. Empat orang itu, yang sangat dipercayainya sebagai tim yang kompak.

"Corporal, maaf atas apa yang sudah terjadi barusan."

Karena Mikasa tidak ada di tempat terjadinya peristiwa, jadi hanya dirinya sendiri yang dilanda pertanyaan. "Tidak apa-apa. Mereka bukan mati karena percuma. Mereka telah gugur secara terhormat." Alih-alih Rivaille, pertanyaan dijawab oleh pria cakap berambut pirang selaku kapten dari pasukan Recon Corps. Hanji membetulkan letak kacamatanya yang sedikit merosot.

"Sebenarnya tujuan kami datang ke sini—"

"Langsung saja, aku ditugaskan untuk menjagamu selama kau masih aktif dalam Recon Corps. Yang berarti kau akan menerima segala misi yang akan diberikan tanpa pengecualian—di dalam divisi kami," kata Rivaille, masih dengan nada monotonnya yang secepat kilat sanggup memotong kalimat Hanji.

Mikasa yang terlanjur terkejut dan bukannya Eren. Gadis itu segera mencengkeram lengan Eren hingga kuku-kukunya yang tajam menerobos ke dalam kulitnya, membuat pemuda itu harus merintih. "Mikasa," tegurnya dengan geram.

Tak hirau, Mikasa segera berbisik, "Jangan lakukan Eren. Kau dan aku lebih baik tetap bersama. Atau, sejujurnya, kau akan mati di luar sana tanpaku. Kau sudah tahu, Corporal Rivaille akan membunuhmu kalau kehilangan kontrol menguasai wujud Titan itu."

Eren balas berbisik dengan jengkel. Gigi-giginya saling terkatup rapat. "Kau tahu apa, Mikasa? Ini tubuhku. Aku yang tahu jelas bagaimana kondisinya. Lebih baik kau tetap menjaga hubungan yang baik dengan Armin dan yang lain."

"Sebentar, maaf mengganggu percekcokan kalian, tapi kami datang ke sini bukan untuk mendengarkan omong kosong ini," potong sang corporal dengan nada sarkastis. Kedua lengannya saling tersilang di depan dada. Mikasa melirik lewat helaian rambut hitamnya.

"Kami tidak benar-benar membutuhkan jawabannya hari ini. Barangkali kalian ingin mendiskusikannya," kata Irvin, memberikan penawaran yang bagus. "Tetapi, kuharap tiga hari cukup untuk kematangan jawaban kalian. Kumohon kerja samanya."

"T-tentu saja, Kapten," sahut Eren dan Mikasa tidak kompak.

"Dan, kau boleh mengajak pacarmu jika dia mau ikut," tutup Irvin sembari keluar dari ruangan itu, diekori tangan kanannya serta wanita berambut ungu gelap itu. Wajah keduanya memerah, tetapi efeknya pada pipi Mikasa berjalan lebih cepat.

"Ini akibat dari tindakanmu, orang-orang jadi 'berbicara'," cetus Eren menatap tajam gadis itu. Mikasa hanya menyelimuti sebagian wajahnya dengan syal merah pemberian dari Eren. Gadis itu menyangka obrolan telah selesai, maka dia memutuskan untuk keluar dari ruangan ini dan memberikan Eren lebih banyak privasi untuk penyembuhan cepat. Mendadak, sebuah pertanyaan melintas lagi melewati telinganya. "Omong-omong, apa yang terjadi dengan kaki kanan Corporal?"

Mikasa yang baru akan keluar dari ruangan itu berhenti beberapa meter dari pintu. Karena sejak awal tidak pernah berbohong kepada keluarga yang mengadopsinya ini, Mikasa pun berkata blak-blakan, "Luka di kakinya didapat karena menggantikan tempatku dari hantaman keras Titan."

Tentu saja, kendati demikian, tetap tidak selamat dari pengeditan yang barusan dilakukan Mikasa.

"Ah, jadi Corporal Rivaille datang menyusul."

"Dan, dia yang mengeluarkanmu dari mulut Titan."

Eren meliriknya hati-hati. "Kalau begitu, kenapa nada bicaramu merasa seperti sangat... bersalah?"

Mikasa menggeleng cepat-cepat. Mencoba mengalihkan perhatian, dia berkata, "Maksudku, aku tadi meninggalkan Armin dan Jean di gedung asrama tentara. Aku terlalu khawatir kau tidak diberi makan, jadi aku melenggang pergi begitu saja." Otak Mikasa dapat dengan cepat memproses kalimat brilian yang dapat menghilangkan kecurigaan Eren terhadapnya.

"Aku mengerti. Kalau begitu, cepatlah pergi menyusul mereka. Sampaikan salamku kepada Armin juga," kata Eren sambil nyengir seolah-olah masalahnya telah menguap begitu saja. Mikasa mengangguk sambil tersenyum simpul. Segera gadis itu keluar menemui bentangan langit yang biru. Tetapi, kata-kata Rivaille tadi masih membayang-bayanginya seperti hantu. Pemuda itu sudah diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga Eren dalam Recon Corps. Sementara itu, jawaban positif sudah harus diberikan kurang dari dua setengah hari lagi. Eren pasti tidak akan mau dicegat, mengingat semangat pemuda itu sulit dipadamkan. Apakah Mikasa akan menawarkan dirinya untuk ikut juga?

"Mikasa, jadi dari tadi kau duduk diam di sini, ya? Aku sempat bingung kau tiba-tiba menghilang begitu saja," panggil Armin sambil melayangkan tangannya. Gadis yang baru melamun itu kini tersenyum getir menyapa kedatangan sahabatnya lagi. Barangkali hal ini akan menenangkan hatinya.

"Tidak, sebetulnya aku pergi menjenguk Eren. Lalu, kapten Irvin datang di menit kemudian dan mencoba menarik Eren untuk bergabung di divisinya. Lagi pula, Corporal Rivaille sudah memiliki hak penuh untuk menjaga Eren. Aku gundah untuk ikut bergabung bersama mereka atau tidak," terang Mikasa panjang lebar. Rasanya lega setelah mengeluarkan semuanya dari benak.

Armin mengambil tempat di samping Mikasa. "Orang-orang bilang Corporal Rivaille itu kuat. Dia "monster" dalam arti lain. Mungkin wajahnya memang begitu, tetapi dia bisa peduli dengan siapapun yang berada di bawah komandonya. Termasuk Eren."

Mikasa nyaris tergelak, kemudian dia membalas dengan nada nyelekit, "Jangan bercanda, Armin. Sepintar apapun kau memujinya, orang itu tetaplah kejam."

"Apakah ini soal pengadilan Eren waktu itu? Dia secara tidak langsung sudah menyelamatkan nyawa teman kita. Eren dianggap sebagai ancaman, jadi wajar kalau para saksi ketakutan setiap Eren melontarkan pembicaraan. Senjata api sudah dibidik tepat ke tengkorak kepalanya saat Eren berteriak keras di dalam ruangan itu. Aku tahu cara yang digunakan Corporal Rivaille tidak ramah, tetapi, berkatnya Eren tertolong," tutur Armin, mencoba membuat Mikasa tidak menilai Rivaille terlalu jahat.

"Apakah... dia bisa dipercaya?"

"Ayolah, Mikasa, dia tangan kanan Kapten Irvin, ingat?"

Keduanya diam. Lebih kepada terbuai dengan pikirannya masing-masing, terutama Mikasa. Armin benar. Sahabatnya yang jago menganalisis segala kondisi dan peristiwa ini tidak mungkin keliru. Penilaiannya lebih baik dari siapapun. "Tadi kau sempat bimbang. Sekarang, bagaimana jawabanmu?" Armin membuka pertanyaannya kembali.

Butuh beberapa detik bagi Mikasa untuk memproses ulang lagi. Walaupun Corporal Rivaille dipercaya banyak orang, ada kemungkinan Eren dapat lolos dari pengawasannya. Mikasa tidak akan membiarkan hal itu terjadi dan membuat Eren harus terluka parah lagi.

"Aku ikut," jawab Mikasa tegas. Armin pun mengembuskan napas lega setelah mendengarnya.

"Bagus. Kita harus membincangkan hal ini dengan Eren kembali. Dia pasti akan girang mengetahuinya."


"Rivaille, kau di dalam?"

Rivaille berdeham sebelum membiarkan orang di depan pintu itu memasuki ruang istirahatnya. Hanji masuk dengan perlahan. Sempat mengintip ragu-ragu dengan keadaan corporal yang lebih pendek darinya itu. Di meja makan—hal yang jarang dilihat—terdapat sebuah bingkai foto para anggota Special Operations Squad yang sudah terbentuk cukup lama. Ada gambar dirinya juga di selembar kertas terbingkai kayu tua tersebut. Dalam gambar berwarna itu seolah banyak kenangan yang tidak bisa dilukiskan dengan sejuta kata sejuta bahasa. Salah satunya corporal cilik itu yang mendapat posisi dikelilingi rekannya.

Wajah kecokelatan itu selalu tanpa emosi, dengan alis mengerut ke dalam dahinya seperti sayap elang yang tajam. Lengan saling tersilang di depan dadanya—dapat dikatakan ciri khas seorang Rivaille. Tidak ada senyum yang terpulas di bibirnya seujung senti pun.

Tetapi, hanya dengan melihatnya semua orang tahu bahwa jiwa Rivaille yang masih menyala terjebak di dalam foto tersebut.

Pemuda berusia 19 tahun itu mengambil cangkir tehnya dari kedua sisi bibir cangkir. Uap masih mengepul di sekitar wajahnya, tetapi dia tak hirau dan menyesapnya perlahan. Hanji tahu kalau dia baru saja memandangi foto itu dalam waktu cukup lama. Lilin yang memberikan penerangan redup itu sudah terbakar setengahnya.

"Bagaimana keadaan kakimu?"

"Sejauh ini baik-baik saja," jawabnya kalem sambil menatap sendu lilin yang menari-nari hampa di pantulan matanya.

Hanji mengambil kursi dan duduk berseberangan dengan corporal-nya. Ada keraguan untuk bertanya sesuatu yang sempat melintas di pikirannya, namun demi mengisi ruangan yang nyaris pengap ini, wanita bersurai ungu gelap itu melontarkan pertanyaannya, "Apa... dia baik-baik saja?"

Rivaille diam—lebih ketimbang tidak mengerti pertanyaan Hanji daripada melakukan kebiasaannya. Dia menukikkan matanya ke arah wanita tersebut. Rivaille bukan tipe orang yang akan bertanya apa-maksudmu dalam gerakan yang cepat, dia lebih memilih untuk menatapnya lama.

Hanji yang menerima tatapan seperti itu nyaris melonjak dari kursinya sendiri. Tidak biasanya wanita enerjik itu ngeri dengan kebiasaan dingin Rivaille. "M... maksudku, ayah Petra. Aku sempat melihat—"

"Tidak. Dia tidak baik-baik saja."

Lagi, ruangan itu kembali senyap. Teh merah dari dalam cangkir tidak lagi mengepulkan uap. Rivaille memalingkan sepertiga wajahnya ke sisi yang berbeda, menghadap dipan tempatnya biasa beristirahat. Tenggorokan Hanji kering, tetapi dia sama sekali tidak berani untuk berdeham. Meneguk ludahlah yang akhirnya dia lakukan. Wanita itu kemudian mencoba untuk mengubah topik pembicaraan yang lebih ringan dengan wajah ceria yang dapat dia lakukan. "Ah, omong-omong, apa kau pikir Eren akan ikut dengan kita?"

"Itu keputusannya." Rivaille sudah dapat meneguk tehnya kembali dengan damai seolah-olah tangannya baru saja dilepaskan dari belenggu kawat.

"Lalu, bagaimana dengan wanita Ackerman itu? Dan, seorang lagi dengan nama Armin Arlert," bahas Hanji sembari mendorong letak kacamata kembali ke pangkal hidungnya.

"Apabila Eren memberikan jawaban positif, Ackerman dan Arlert pasti akan ikut andil. Menurut catatan dari kemiliteran awal mereka, Trainee Squad, tiga orang itu selalu beraksi bersama dalam setiap tugas yang diberikan. Seperti, misi menutup gerbang Trost yang telah kandas dengan menggunakan bongkahan batu besar, dibantu tubuh Titan Eren. Catatan benar apa adanya; tiga bocah itu pasti berada di tempat yang sama," jelas corporal muda itu dengan nada monoton miliknya yang tak pernah berubah. Sekali teguk lagi maka teh di dalam cangkir itu akan habis. Tetapi, Rivaille menyisakannya begitu saja. "Kekuatan Eren sebagai seorang Titan-Shifter belum rampung. Karena itu, dia akan dilatih untuk mengendalikannya."

Hanji segera berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Wah," ujarnya cukup gembira. Dia sedikit fanatik dengan Eren yang dapat bertransformasi menjadi raksasa berukuran 15 meter. "Kita seperti membunuh dua burung dengan satu batu. Karena, apabila Eren masuk ke dalam divisi kita, Mikasa Ackerman akan turut serta. Konon, keahlian dan kemampuan yang dimiliki gadis itu senilai dengan seratus prajurit," sambung Hanji menggebu-gebu.

Rivaille menyerap kalimat itu dengan baik. Dia tidak punya catatan individual mengenai Mikasa Ackerman, jadi dia sama sekali tidak mempunyai bayangan bagaimana gadis itu dapat dikatakan senilai dengan seratus prajurit. Lagi pula, Rivaille baru bertemu dengan Mikasa tepat hari ini. Belum banyak komentar yang dapat dilontarkannya. Kemudian, dia meraih cangkir tersebut sambil berjalan keluar ruangan.

"Aku paham." Sebelum pintu tertutup sempurna, Rivaille menahannya dengan sebelah tangan sambil mencoba menyelesaikan kalimat yang tengah diproses otaknya. "Oh, lalu, tolong buat catatan laporan untuk ekspedisi kali ini. Jika sudah selesai, berikan kepada Irvin karena dia harus segera menyerahkannya kepada para petinggi."

Sejurus kemudian pintu tertutup dengan ceklikan lembut, meninggalkan Hanji sendirian di tengah-tengah ruangan. Api di atas lilin itu nyaris redup.

"Tugas kalian sudah selesai sampai di sini," bisiknya pelan pada bingkai foto oval yang membelakanginya. Seolah-olah dengan berkata begitu jiwa rekan-rekannya dapat beristirahat dengan tenang. "Sekarang, biar kami yang melakukan sisanya."

Meniup lilin itu, Hanji pergi keluar mengikuti corporal -nya.

To Be Continued


Halo, semuanya salam kenal dulu, terutama untuk fellow RivaMika shippers! XD Baru pertama kali publish fic di fandom ini, biasanya saya cuma jalan2 sebagai readers aja. Tapi, karena banyak sekali cerita bagus yang menarik hati, akhirnya saya jadi ikut terbawa arus globalisasi (?) untuk publish fic juga yang sudah cukup lama menetap di komputer.

Fic ini setengah canon setengah nggak, ya. Karena buktinya juga ada sedikit yang saya make-up di sana-sini. Dan, udah jelas banget saya ngambil inspirasi dari episode 22 yang telah menjerumuskan saya pada pairing Rivaille dan Mikasa ini XDD *jeng, jeng* they're both badass.

Anyway, terima kasih banyak sebelumnya udah mau baca :D

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!~