Suara bel pintu depan berdering dan Nyonya Bang bergegas mendatangi pintu depan. Tuan Bang sedikit gelagapan hingga mendirikan dirinya. Dari depan terdengar suara ibunya tertawa keras seolah kedatangan tamu penting. Makanannya menganggur untuk sementara waktu. "Ja! Ja! Ja! Daehyunie, beri salam kepadanya." Nyonya Bang mempersilahkannya masuk. Pria itu tinggi, bahkan untuk melewati pintu perlu membungkukkan tubuhnya terlebih dahulu. Daehyun yang kini sudah berganti perhatian kepada pria ini hanya melongo kebingungan. Ada apa ini sebenarnya gaduh-gaduh?

-ooo-

Suasana kelas amatlah sepi tanpa suara sekalipun. Untuk menghela napas saja dilakukan dengan hati-hati. Tidak ada yang berani bergaduh semenjak para murid masing-masing berkutat menghadapi secarik kertas soal di depan mereka. Menggaruk-garuk rambut kepala menggunakan pulpen. Menggigiti pulpen kadang-kadang. Hal-hal tidak penting tersebut rela mereka lakukan demi membunuh waktu. Terlalu pusing untuk melanjutkan juga menjawab soal. Terlalu lelah untuk mencontek, disamping itu pengawasnya juga termasuk galak dan ketat. Paling tidak mereka sudah berusaha semaksimal mungkin.

Tak lama, suara bel berdentang pertanda waktu telah habis. Semua siswa serentak meletakkan alat tulis di depan mereka. Siswa putri mengeluh kesal, menyesal karena tidak bisa menyelesaikan ujian dengan baik. Sama-sama menyalahkan guru yang membuat soal sialan tersebut. Lupa alasan utama mengapa mereka tidak bisa mengerjakan soal dengan baik.

Berbeda dengan siswa putra yang kini hanya tertawa satu sama lain. Daripada menyesal Daehyun lebih memilih bercanda dan melupakan semua yang telah berlalu. "Ya! Inma! Kutunggu di gerbang depan." Daehyun menepuk pundak teman sebelahnya, Youngjae.

Sementara Daehyun sibuk mengemasi buku-bukunya, ia hanya mengerlingkan matanya tanda mengerti. "Hari ini lagi?" Tanya Youngjae.

"Ma! Hidup adalah musik. Udara, uang, makanan, wanita, semua adalah musik. Kau tak akan tahan hidup sehari pun tanpa musik." Ujarnya sembari meresletingkan tasnya. Youngjae kewalahan menghadapi sifat keras kepala Daehyun.

"Ya! Kalau yang harus kudengarkan bukanlah musik yang tidak bisa didengar." Daehyun berpura-pura tidak mendengarnya dan hanya berdiri siap mengajak temannya segera pergi. "Maksudku, apa yang bisa kau dengarkan dari musik rock? Aku tidak tahan mendengarkannya serasa telingaku berdarah dan berdentum-dentum hanya dengan mengingatnya."

"Wah, wah, wah! Bukankah kau mengada-ada?" Nada Daehyun sangat jelas menyimbolkan ketidaksenangan. Alisnya terangkat sebelah, sekaligus bahunya yang kini sedang berkacak pinggang. Ia melotot seakan eyelinernya semakin tebal terlihat. "Sekarang berdirilah." Perintahnya paksa menarik tangan Youngjae.

"Keadaan seperti ini memaksaku sering berdoa, semoga kau selalu diberkati dan segera disadarkan, Bang Daehyun." Daehyun yang keras kepala tetap tidak mendengarnya dan tetap menyeretnya menuju tempat parkir, tempat dimana sepeda motor Youngjae menunggu untuk segera dikendarai.

Salah satu penghalang Youngjae menjadi pribadi yang pandai bersyukur, Bang Daehyun. Orang-orang mengenal Daehyun sebagai teman baiknya. Kemana-mana sering bersama layaknya sepasang saudara yang teramat dekat dan akur. Ironisnya, semua bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya. Youngjae melihat bahwa dirinya selalu dimanfaatkan oleh Daehyun. Sejujurnya saja, Youngjae mengantar Daehyun pulang karena dipaksa, bukan karena ia memang berbaik hati dan tulus. Kalaupun hanya mengantar pulang saja itu masih tidak apa-apa baginya, akan tetapi Daehyun selalu menyeretnya ikut masuk menonton konser band-band rock kesukaannya -indie, rambut gondrong, eyeliner tebal, hitam dimana-mana, musik cadas, yang mana sangat Youngjae benci hingga ubun-ubun. Youngjae merasa seperti diculik oleh Daehyun, pulang larut malam hanya karena melakukan hal-hal yang menurutnya mubazir.

Hari ini pun, Youngjae harus berdehem untuk kesekian kalinya, menahan geramnya kepada pria Daehyun. Ia dan Daehyun sampai di sebuah tempat yang familiar. Daehyun dengan semangatnya melepas helmnya kemudian berlari kedalamnya. Di dalamnya terdapat sebuah tangga turun yang mana terlihat seperti menelan Daehyun yang sedang berlari menuruninya. Untuk sesaat Youngjae lega berada jauh dengan Daehyun. "Youngjae-ya! Kemarilah cepat!" Teriaknya dari dalam.

Dilihat dari segi objektif maupun subjektif, Youngjae membenci tempat ini, bahkan hanya dengan melihat depannya saja. Bukannya mengada-ada namun Youngjae merasakan aura suram dari tempat tersebut. Kau juga bisa merasakannya dari melihat cat hitam suram itu, poster-poster sesat terpampang di dindingnya, bulu kuduknya merinding mengingat isi tempat tersebut. Youngjae ingin kabur dari tempat itu segera. Haruskah ia?

Ia kembali memasang helmnya namun setelahnya Daehyun kembali ke permukaan mengagetkannya. "Kau jangan sampai berpikir kabur. Kau tidak memikirkan bagaimana aku nanti? Pulang tanpa tumpangan?" Tidak ada yang peduli, dengus Youngjae tertahan. Dengan langkah yang jelas tampak terpaksa ia menuruni tangga tekutuk tersebut.

Dalam semakin dalam mereka turun, semakin terdengar suara gitar elektrik, drum, scream, yang nyaring hingga mendetumkan tembok. Dada Youngjae juga ikut berdentum membuatnya berkeringat dingin, tangannya ia kepalkan, sekali lagi ia menghela napas. Berbeda jauh dengan Youngjae, daripada ketakutan Daehyun terlihat gembira dan semakin bergairah disetiap langkahnya.

Mereka sampai pada sebuah ruangan yang dipenuhi kerumunan orang. Sesak dan panas, Youngjae menahan dirinya agar tidak pingsan begitu saja. Ia menguatkan jiwa raganya. Aku sudah sering pergi kemari, tahan dirimu Youngjae-ya, jangan terlihat seperti amatir, nikmati saja semua ini. Akan tetapi pada saat itu pula, perutnya seolah berguncang memaksanya berlari menuju toilet untuk mengeluarkan isi makan siangnya.

Daehyun sudah sedikit melupakan keberadaan Youngjae semenjak sudah asyik sendiri dengan dunia barunya. Susup-menyusup, dengan susah payah ia menerobos mencari tempat agar dapat menonton penampilan sang Idola dari dekat dan jelas. Tangan di udara, keringat bercucuran, semangat semakin berkobar, Daehyun dalam keadaan mabuk sekarang. Seperti binatang menjalang, menari dengan liar dan ricuh.

Satu hal yang membuatnya dapat menurunkannya dari langit kesembilan. Rambut cokelat kepirangan, sebahu lebih panjang terurai, garis wajah yang halus sekaligus tegas dengan tata riasnya yang bagai purnama. Mengangguk-angguk tampak menikmati musik dalam hati, dalam sekejap dapat menarik perhatian Daehyun. Dari segi penampilan menurut Daehyun, bukanlah penggemar musik hardcore sepertinya. Ia menggaruk kepalanya kurang mengerti, apa kiranya yang membuat Sang Bidadari suci mengunjungi keramaian yang penuh dosa dan gelap ini?

Langkahnya ia usahakan percaya diri, dengan tetap menari seraya musik masih terdengar, mendekati wanita menawan tersebut. Kepercayaan dirinya luntur begitu saja tatkala sepasang mata perunggu indah itu menusuk matanya. "Hai!" Sapanya enteng disertai seringai.

"Hai." Balik sapa wanita tersebut. Daehyun menahan dirinya agar tidak berjingkrak-jingkrak. Kakinya begitu lemas terkena senyuman mematikannya, sejenak ia kehilangan arah tak tahu apa yang harus ia lakukan berikutnya.

"Black Skirt?!" Teriak Daehyun namun tak terdengar oleh wanita itu, maka sang Wanita mendekatkan telinganya di depan wajah Daehyun. Oh, bukankah gerakan yang menantang! batin Daehyun. "Kau juga suka Black Skirt?!" Teriaknya sekali lagi namun lebih keras.

Wanita itu mengangguk terkikik pelan menampakkan gigi putihnya yang rapi. Daehyun bersumpah, setiap gerakan wanita tersebut cukup membuat Daehyun merasa seperti di surga sekaligus neraka merasakan panas di tubuhnya.

"Bang Daehyun!"

"Jung Sooyeon!" Daehyun hanya tersenyum mendengar nama Sooyeon mendengung di telinganya bagai segerumbulan lebah yang berang.

-ooo-

Daehyun teringat akan Youngjae yang tadi tiba-tiba meninggalkannya. Tangannya menenteng tasnya dengan penat serentak gusar. Kalau ia pikirkan baik-baik, ia akan berencana menghajar Youngjae hingga bubur. Beruntung, Youngjae sewajarnya berterimakasih pada wanita Sooyeon tadi. Karenanya, Daehyun tak jadi semarah yang seharusnya. Ia meludah untuk meringankan amarahnya. Cih, sekarang lebih baik.

Matahari sendiri sudah ruyup sejak dua jam yang lalu dan Daehyun baru saja sampai di depan rumahnya. Tanpa mengetuk pintu ataupun menekan bel terlebih dahulu, ia memasuki rumahnya dan mendapati ayahnya yang asyik menonton televisi dan ibunya yang sibuk dengan dapurnya. Pemandangan ini sama seperti hari-hari biasanya.

"Hari ini lagi?! Bisakah kau berhenti menggunakan eyeliner?!." Ayahnya berkomentar begitu Daehyun mendudukkan dirinya di sofa, di samping ayahnya duduk. Tuan Bang menurunkan kakinya. "Aku melihat temanmu Youngjae, sekolah dengan giat, apa kau tidak belajar apapun darinya?!"

"Maklumi saja, anak muda semua kurang lebih sama sepertiku. Youngjae juga! Dibalik kesempurnaannya dia mengoleksi DVD porno, Jepang dan Rusia!" Tuan Bang melotot seolah bertanya 'begitukah?', Daehyun terus menganggukkan kepalanya. Seperti hari-hari biasanya, Daehyun hanya menyandarkan kepalanya kelelahan. Tidak ada yang perlu ditakutkan.

"Begitukah anak muda jaman sekarang? Membiarkan dirinya dalam keringat dan tidak segera membersihkannya?" Kali ini Nyonya Bang menyempatkan membalikkan badan dari aktifitasnya. "Mandilah segera dan makan malam."

"Ja! Ja! Kau selalu menyuruh anakmu seperti itu? Apa anakmu hanya dilahirkan untuk mandi dan makan malam huh?!" Protes Tuan Bang membuat Daehyun tidak betah dan memutuskan untuk segera beranjak dari tempatnya. Kakinya melangkah terseret-seret menuju kamarnya, ia berencana mengganti pakaiannya kemudian mandi menyiapkan diri untuk makan malam.

Meja makan terlihat sangat mewah dengan berbagai makanan terhidang di atasnya. Ludah Daehyun tak tahan ingin segera menetes dan matanya tak bisa ia lepaskan dari sana semudah itu. Oh lihat, bahkan ibu memasak sup di mangkuk sebesar itu! Oh, apakah itu botol wine? Sungguh bukanlah hal yang biasa ia lihat. Maksudnya, untuk porsi makanan tiga orang, perlukah memasak sebanyak ini? "Wah, mewah sekali?" Tanya Daehyun bahagia.

"Aiya, melihatmu kelaparan seperti itu membuat hatiku jatuh, huh!" Daehyun tersenyum riang ke arah ayahnya. "Sementara aku memberimu makanan banyak-banyak, kau memberiku nilai merah, huh?!" Daehyun sama sekali tidak tergoyah mendengar ocehan ayahnya, semenjak ia sudah terlalu sering mendengarnya. Ia tetap dengan riangnya melahap makanan favoritnya.

"Jam berapa sekarang? Aigoo, mengapa belum datang juga?" Sambil melahap nasinya, Daehyun mengalihkan pandangannya ke depan. Ibunya dengan sedikit gelisah melihati jam dinding yang terus berputar. Daehyun ingin bertanya siapa yang datang namun tertahan oleh makanan yang masih sibuk ia kunyah. "Kau memberi alamatnya dengan lengkap, bukan? Aku khawatir dia tersesat." Nyonya Bang menepuk lengan kiri Tuan Bang.

"35 tahun dan tersesat, apa kau bercanda?!" Bentak Tuan Bang dengan isi mulutnya yang penuh nasi. Tak sedikit isinya yang meloncat keluar dari mulutnya. Nyonya Bang dengan tenang hanya membersihkan nasi-nasi yang baru saja terlontar keluar dari mulut suaminya.

Baru selesai dengan makanannya, Daehyun hendak bertanya. "Si.."

Ting Tong

Tak ada satupun yang mendengar pertanyaannya semenjak suaranya kalah nyaring dengan suara bel depan rumah. Nyonya Bang bergegas menghampiri pintu, suara langkahnya berderap cepat seolah segera membukakan pintu untuk tamu seorang presiden. Inikah alasan mengapa ibunya memasak lebih-lebih?

Tuan Bang sedikit-sedikit sudah melupakan amarahnya pada Daehyun saat sang tamu datang. Dari depan Daehyun mendengar ibunya tertawa bahagia seolah kedatangan tamu yang benar-benar penting. Ia semakin bingung bahkan sudah tidak terlalu tertarik dengan makanan di depannya.

Tuan Bang beranjak dari kursinya hendak membuntuti istrinya namun urung ketika Nyonya Bang kembali ke ruang makan. "Kau kesusahan mencari rumah? Benar-benar sudah lama tidak bertemu!" Ujar Nyonya Bang bahagia.

Dengan itu, Daehyun melihat sesosok pria memasuki rumahnya. Mungkin karena memang pintu rumahnya yang pendek atau pria itu memang tinggi, ia harus membungkukkan badannya terlebih dahulu untuk masuk. Pria itu langsung tersenyum ke arah Tuan Bang dan pria yang lebih tua langsung berdiri memeluk pria tinggi itu. Daehyun merasa sedikit terkacangi.

"Daehyun-ah!" Ujar si pria asing beralih perhatian. Ah, darimana ia mengetahui namaku? Keadaan seperti ini tidak pernah terbayang oleh Daehyun. "Aigoo, kau sudah berani memakai eyeliner?" Pria itu menyentuh matanya dan membuatnya sangat jengkel.

"Janganlah memasang wajah seperti itu! Sapalah dia, hyungmu!" Daehyun membelalak hening. Semua pikirannya bercampur menjadi satu tak tahu harus berkata apa sekarang.

"Umma, kurasa dia tidak akan mengenaliku. Aku meninggalkan keluarga ini saat dia berumur 3 tahun." Daehyun masih tak mengetahui apa-apa tapi ia berdiri guna membalas pelukan hangat (seperti pelukan saat lama tidak pernah bertemu) pria tersebut. Benarkah di 3 tahun awalnya ia pernah mengenali orang ini? "Bang Yongguk-iya ." Bahkan ia langsung menggunakan banmal. Keadaan menjadi sedikit terasa jelas meskipun dipaksakan, Daehyun memang pernah bertemu dengannya, meskipun saat itu ia masih 3 tahun.

Daehyun berpikir lambat, namun dia malas berpikir keras. Jadi, mau tidak mau ia terima-terima saja saat orang tuanya berkata bahwa pria asing itu adalah hyungnya.

Semua perhatian orang tuanya tertuju pada pria Bang Yongguk itu. Bahkan ayahnya tersenyum sangat cerah, bukanlah pemandangan yang biasa-biasa saja bagi kedua matanya. Semua tampak bahagia kecuali Daehyun yang masih saja kebingungan. Merasa tak enak jika langsung ikut dalam pembicaraan mereka. Berat hati, ia merelakan dirinya dan makanan di depannya diabaikan oleh ayah dan ibunya.

Berawal dari beberapa menit yang lalu suasana di rumahnya mulai berubah. Sedikit rasa takut dihatinya, mungkin cepat atau lambat kehidupan yang biasanya juga akan berubah, bisa jadi drastis. Ia tak tahu kapan hal itu akan berakhir dan ia harap akan segera berakhir. Rumahnya hanya memiliki tiga kamar tidur. Satu untuk kedua orang tuanya, satu untuknya, dan satu lagi digunakan untuk gudang. Daehyun tidak siap memakai kamar gudang itu. Ia juga tidak siap jatah uang saku bulanannya berkurang (dibagi), jatah porsi makanan juga berkurang. Tapi sejujurnya, ia tidak siap merasa cemburu atas semua perhatian lebih yang diberikan kepada hyung barunya tersebut. Bang Yongguk.

-ooo-