Hangat.

Kedua mata sewarna aqua itu mengerjap beberapa kali, merasa familiar dengan kehangatan yang ia rasakan sekarang. Ia tetap memandangi pemandangan indah yang membuat hatinya berdesir.

Pemuda itu tidak bergeming, ia membiarkan rambut biru mudanya berayun tertiup oleh angin. Ia masih termenung ketika sinar kemerahan itu mewarnai langit dengan indah. Warna merah yang mempesona.

Crimson.

Warna merah yang sangat ia rindukan.

Kuroko menghela napas—seakan itu dapat mengurangi sedikit perasaan berat di hatinya. Sebut ia menyiksa dirinya sendiri, namun inilah salah satu cara agar ia merasa tenang—atau damai lebih tepatnya.

Menyiksa diri? Ya, tentu saja, dengan menatapi warna merah itu otak kecilnyanya akan secara otomatis memutar kembali memori-memori masa lalunya. Membuat perasaannya tercampur aduk.

Menyenangkan—dan juga menyedihkan.

Pertemuan mereka yang mengundang senyum lebar keduanya.

Perpisahan mereka yang menyesakkan dan menyiksa keduanya.

Begitu menyenangkan hingga tanpa sadar membuat sudut bibirnya tertarik—membentuk senyuman—dan juga begitu menyedihkan hingga membuat dadanya terasa sesak. Sakit.

Memori yang telah begitu banyak mengundang tawanya, memori yang menguras air matanya, memori yang telah menarik keluar dan sekaligus mengunci perasaannya.

Ia selalu mencoba untuk melupakannya, menghapusnya, bahkan manghancurkannya. Namun tidak bisa. Bahkan membenci pemuda berambut merah yang menjadi penyebab rasa kacau di hatinya pun tidak bisa.

Mata aqua itu meredup hingga kelopak matanya menutup.

Tidak akan bisa—karena ia begitu mencintainya.

.

Salahkah ia?

.


Pigura Kayu

.

.

.

Kuroko no Basket (c) Fujimaki Tadatoshi

Cover (c) Artist

Pigura Kayu (c) Lilyka and 13th Hell

.

Warnings : OOC, typo(s), Shounen-ai/SLASH, DLDR, etc.

Summary : Mereka bertemu dengan tawa, menikmati kehadiran satu sama lain setiap harinya, hingga mereka terpisah selama beberapa tahun. Di saat Kuroko masih dapat mengingat masa kecil mereka dengan jelas, ia kembali bertemu dengannya. Tapi—mengapa sikap Akashi menjadi sangat dingin terhadapnya?

.

.

.

Enjoy!

.

.

.


Prologue : Back to Our Meeting


.

.

.

Pertama kalinya mereka bertemu adalah saat musim panas.

Terlihat kebetulan—namun benang merah sudah melilit keduanya.

Membawanya ke dalam drama yang menyedihkan.

.

Kuroko menggenggam bola basket yang baru dibelikan oleh ayahnya sebagai hadiah, mendekap bola berwarna oranye itu dengan kedua tangan kecilnya.

Ia memang sudah tertarik dengan olahraga basket sejak ia melihatnya di telivisi.

Sebagai anak kecil yang masih amat polos, kedua mata aqua-nya yang besar itu pun berbinar—merasa tertarik dengan apa yang dilihatnya.

Dan di sinilah ia berada sekarang, sebuah taman di dekat rumahnya yang memiliki lapangan basket. Keadaannya memang tidak terlalu ramai—itulah alasan mengapa Kuroko memilih tempat ini.

Ia mengambil napas perlahan sambil berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar-debar sejak tadi. Kuroko tersenyum tipis, merasakan semangat di dalam hatinya.

Anak berambut biru muda itu pun mulai memantulkan bola basket itu ke tanah, menirukan teknik yang ia lihat di televisi kemarin—dribble.

Pantulan pertama—jatuh, bola itu menggelinding menjauhinya. Kuroko pun berlali kecil mengejarnya, dan memantulkannya lagi.

Pantulan kedua—jatuh lagi.

Ketiga.

Keempat.

Kelima.

Keenam—astaga, kenapa susah sekali? Alisnya mengernyit bingung.

Apa caranya salah? Sepertinya tidak, toh ia menirukan gerakan atlet basket yang ia tonton.

Apa bolanya kekurangan angin? Tapi ayahnya baru membelikan bola basket itu kemarin.

Jadi—apa yang salah?

Kedua manik biru besarnya hanya dapat memandangi bola berwarna oranye itu dengan tatapan tidak mengerti. Namun ia tidak bisa mendapatkan jawaban.

Jika cara bermainnya salah—lalu cara yang benar bagaimana?

"Tetsuya!"

Merasa nama kecilnya dipanggil, Kuroko kecil menoleh ke sumber suara. Dan ia memang sudah sangat familiar dengan suara bernada lembut itu. Ibunya.

"Okaa-san?" sahutnya, bingung mengenai kehadiran ibunya di taman itu—walaupun memang taman itu tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Wanita paruh baya itu tersenyum lembut, "Makan siang sudah siap, nak, ayo pulang dulu," ajaknya sambil sedikit berlutut guna menyamakan tingginya dengan anaknya.

Sebagai respon senyum ibunya, Kuroko pun ikut tersenyum lebar—polos sekali. Namun ia kembali memandangi bola basketnya, "Tapi, Okaa-san ..."

"Kau masih bisa memainkannya besok, Tetsuya," ucapnya seakan dapat membaca pikiran bocah polos itu. Ia menepuk kepala Kuroko pelan, mengelus rambut biru muda yang ia wariskan. "Ayo pulang—ibu sudah membuat makanan kesukaanmu."

Senyum Kuroko makin lebar mendengar perkataan ibunya itu—tampaknya rayuan ibunya berhasil.

Dengan tangan kanannya yang menggenggam erat tangan ibundanya dan tangan kiri yang membawa bola basket miliknya, Kuroko pun meninggalkan area taman itu sambil beberapa kali berbincang dengan ibunya.

Tanpa menyadari sepasang mata semerah darah telah memperhatikannya sejak awal.


.

.

.

Tetap tidak bisa.

Kuroko merengut, ada apa ini? Padahal tadi malam ia sudah benar-benar memperhatikan bagaimana para atlet itu men-dribble bola—sampai ibunya menyuruhnya untuk tidak menonton televisi terlalu dekat.

Tapi kenapa ia tidak bisa juga? Ini sudah ketiga kalinya ia datang ke taman di dekat rumahnya untuk bermain basket—namun ia masih belum bisa juga men-dribble dengan benar.

Setiap ia memantulkan bola itu dengan telapak tangannya—bola itu akan jatuh, menggelinding ke tanah.

Berkali-kali kejadian yang sama terus terulang. Sama sekali tidak ada kemajuan.

'Sekali lagi.' batinnya, masih belum menyerah. Ia pun memantulkan bola oranye itu lagi ke tanah dengan tangan kanannya.

"—Bukan begitu caranya."

"Eh?" Kuroko menoleh begitu mendengar suara itu, mengabaikan bola basketnya. Ia dapat melihat anak berambut merah yang seumuran dengannya berjalan mendekatinya.

'Dia ... berbicara denganku?' pikirnya, sambil menoleh ke arah kanan dan kirinya.

"Iya, kau. Bukan begitu cara men-dribble bola basket," ucap anak bersurai merah itu sambil mengambil bola basket milik Kuroko yang meggelinding di tanah. "Begini caranya."

Kuroko hanya dapat diam saat melihat bagaimana si rambut merah itu men-dribble bolanya. Ia terkesiap, kedua mata aqua-nya sedikit terbelalak melihat itu.

Meskipun tidak se-profesional atlet basket seperti yang ia lihat di televisi—namun anak berambut merah di hadapannya ini melakukannya dengan benar. Ia men-dribble bola itu dengan benar.

Bola basket itu terus memantul ke tanah—lalu kembali dipantulkan oleh telapak tangannya.

Terus begitu. Dan bola oranye itu tidak jatuh ke arah lain sama sekali.

Kuroko kecil pun mau tak mau merasa iri.

"Coba kau mainkan," ucapnya sambil mengangkat bola basket itu menggunakan tangan kanannya, mengarahkannya pada Kuroko.

"Ah—Hai." Kuroko mengambil bola basketnya dari tangan anak bermata merah itu. Dan coba memantulkannya.

Bola itu memantul dari tanah, dan sebelum Kuroko dapat memantulkannya kembali dengan telapak tangannya—bola itu jatuh.

Alisnya mengernyit. Kenapa ia tidak bisa?

"Kau terlambat memantulkannya—kau harus memperhatikan timing saat bola itu terpantul, dan berikan tenaga ke tanganmu, pantulkan dengan kencang—namun jangan terlalu kencang. Seperti ini," ucap anak yang namanya masih belum Kuroko ketahui itu sambil memberi contoh gerakannya.

Kuroko hanya memperhatikan pengarahan yang diberikan kepadanya—meskipun di dalam hatinya ia masih bingung mengapa anak berambut merah itu tiba-tiba datang lalu mengajarinya cara men-dribble.

Dan itu mengingatkannya bahwa ia belum mengetahui nama anak berambut merah ini.

"Ayo, coba lagi." Ucapannya terdengar seperti perintah di telinga Kuroko. Dan Kuroko hanya dapat mengangguk.

Ia pun mencoba untuk mengingat semua yang telah diajarkan oleh anak misterius bermata ruby itu. Timing. Tenaga di tangannya, pantulkan dengan kencang.

.

Berhasil.

Kuroko sendiri tidak dapat menahan dirinya untuk tidak terkejut—senyum lebar terpampang di wajah polosnya. Tergambar dengan jelas perasaan senangnya. Melihatnya, si rambut merah ikut tersenyum tipis.

"Terima kasih sudah mengajariku ... Eto ..."

"—Akashi. Akashi Seijuurou," ucap si rambut merah seakan mengerti dengan tingkah laku Kuroko.

Berhasil mengetahui nama anak yang berbaik hati mengajarinya, senyum Kuroko masih tidak menghilang.

"Hai. Terima kasih banyak, Akashi-kun," ucapnya berterimakasih sambil sedikit membungkuk.

Akashi sedikit terkesiap dengan sikap formal Kuroko, "Kau tidak perlu membungkuk, lalu, namamu?"

"Kuroko Tetsuya."

"Sou. Kau tidak perlu bersikap seformal itu Tetsuya—lagipula kita seumuran."

Kini giliran Kuroko yang termenung. Apa barusan—Akashi memanggilnya dengan nama kecilnya?

"Ada apa? Tetsuya?" tanya anak berambut merah itu, heran mendapati Kuroko yang diam saja.

"Tidak apa-apa, Akashi-kun."

"Begitu? Kau tinggal di dekat sini, Tetsuya?"

"Hai. Rumahku satu blok dari taman ini—kalau Akashi-kun?" Kuroko bertanya balik, cukup penasaran.

"Tidak terlalu jauh—sekitar empat blok dari sini, tapi aku cukup sering kemari jika senggang."

Kuroko tersenyum. Berarti Akashi bisa mengajarinya cara bermain basket lagi? Pikirnya.

"Akashi-kun sering bermain basket?"

"Hm? Tidak juga," jawabnya singkat.

"Akashi-kun ... mau ajari aku cara bermain basket?"

Akashi terdiam sesaat—memikirkan tawaran Kuroko sejenak, lalu tersenyum, "... Aku tidak keberatan."

Mereka pun berbincang tentang hobi, sekolah, dan topik lainnya.

Bagi Kuroko, ia tidak pernah berbicara dengan sebayanya seseru ini. Ia betah dengan keberadaan Akashi di dekatnya—meskipun mereka baru bertemu beberapa menit yang lalu.

Sementara bagi Akashi, kepribadian Kuroko menarik perhatiannya. Meskipun Kuroko tidak terlalu pandai mengekspresikan perasaannya, namun ia tetaplah seorang anak kecil yang masih amat polos.

Hari itu mereka habiskan dengan senyum dan tawa. Dengan banyaknya kesamaan di bidang hobi, tidak butuh waktu banyak bagi mereka untuk menjadi teman dekat.

Dan meskipun mereka memiliki beberapa perbedaan—itu malah membuat ikatan mereka makin erat dan saling melengkapi.

Kuroko menganggumi Akashi. Dan Akashi mengerti Kuroko dengan baik.


.

Tanpa terasa, sinar kemerahan telah menggantikan warna langit biru. Senja sudah datang—memang benar, waktu terasa begitu cepat.

Dan tibalah saat perpisahan.

"Ah, Akashi-kun, aku harus pulang sekarang," ucap Kuroko sambil mengambil kembali bola basketnya.

"Souka. Aku juga harus pulang." Meskipun hanya sejenak—mata aqua-nya dapat melihat sekilas sorot kekecewaan di mata ruby Akashi.

Sebenarnya Kuroko juga tidak ingin berpisah dengan Akashi sekarang—salahkanlah waktu yang berjalan begitu cepat. Tetapi ibunya mengatakan selalu ada hari esok, jadi ... kenapa tidak?

"Ano—Akashi-kun."

"Hm?" Akashi yang sudah berjalan agak jauh pun menolehkan kepalanya.

"Sampai jumpa ... besok."

Mendengarnya—Akashi tersenyum. "Ya, sampai jumpa besok, Tetsuya."

Setidaknya keduanya telah berjanji untuk bertemu besok. Lusa. Dan seterusnya.

Anak berambut biru muda itu ingin melewati setiap harinya dengan Akashi.

.

Tidak apa-apa kan, ia bersikap egois kali ini?

Sebelum badai datang—memisahkan keduanya.

Karena keduanya sama sekali tidak mengetahui kisah drama yang menunggu mereka.

.

.

.

TO BE CONTINUED—


A/N :

GAK TAU AH, GUE GALAU. HELL-CHAN MENDADAK NGAJAKIN COLLAB—YAH, GUENYA EMANG MAU SIH—TAPI KOK GINI JADINYA? DIA NGASIH IDENYA GITU TAPI KOK JADINYA DRAMA BANGET LOL

Ah—karena ini flashback pas AkaKuro lagi masih unyu-unyu jadi mohon maafkan ke-OOC-an mereka yang jadi sangat polos~
POKOKNYA GITU LAH
/apanya?

Dan ... ini multi-chapter—tapi gak nentu update-nya kapan .w.
Dikarenakan Hell-
chan lagi bermasalah dengan kompi-nya, dan gue masih kena WB~ :3

Jadi mohon bersabar buat yang penasaran dan mau ngikutin fict ini :D

.

.

.

Thank you for reading!

Mind to review?

.

Regards,

Lilyka and 13th Hell—

.

11 . 12 . 13