Uchiha Sasuke : Hei, kenapa kita tidak mencoba untuk saling bertemu?

.

.

.

Ai

.

Naruto © Masashi Kishimoto-sensei

.

Romance, Angst.

.

Birthday fic for kak Laura a.k.a Biiancast Rodith

.

Typo(s), bad diction, out of character, and etc.

.

Don't like, don't read.

.

Chapter 5 : About Friendship.

.

.

.

Uchiha Sasuke membuka facebook-nya, nol pesan masuk. Itu berarti Cherry masih belum membalas pesan yang telah dikirimnya sejak dua hari yang lalu. Ada apa dengan gadis itu? Apakah dia sedang sibuk di dunia nyatanya?

Hanya ada dua kemungkinan. Gadis itu belum sempat membuka facebook-nya, atau … gadis itu tidak ingin bertemu dengannya. Dengan segenap rasa penasaran, Sasuke kembali membuka riwayat obrolannya dengan Cherry. Matanya sedikit membulat. Yang benar saja, Cherry sudah melihat pesan itu sejak kemarin, namun kenapa belum dibalasnya? Atau gadis itu memang benar-benar tidak ingin bertemu dengan Sasuke? Tapi, bukankah itu sedikit keterlaluan jika melihat pesan yang ia kirim tapi tidak membalasnya?

"Hei, ada apa?"

Sasuke menoleh, menatap Ino yang menatapnya dengan pandangan heran. Sasuke menjawab dengan gelengan. "Kau aneh, Sasuke-kun," ucap Ino tiba-tiba.

Sasuke mengangkat sebelah alisnya kala mendengar ucapan pacarnya itu. "Kemarin, kau menolak untuk mengantarku. Sekarang, kau terlihat tidak fokus denganku. Ada apa denganmu? Apakah hatimu sudah berpaling pada 'dia'?" Ino terlihat kesal, gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aku ingin mengantarmu kemarin, tapi Itachi melarangku." Sasuke menjelaskan dengan wajah tenang.

"Dan kau mengikuti kemauannya?" Nada bicara Ino sedikit naik, membuat Sasuke sedikit menajamkan matanya.

"Ino," tegurnya. Ino seketika tersentak dan menunduk.

"Maaf … Aku seharusnya tidak seperti ini." Dari nada bicaranya, Ino sepertinya menyesal. "Aku hanya … merasa bahwa seluruh keluargamu membenciku sekarang."

Sasuke terdiam sejenak. Keluarganya hanya fokus dengan Sakura. Keluarganya hanya mementingkan Sakura, Sakura dan Sakura. "Kurasa itu tidak benar. Kau tahu sendiri bahwa karena perjodohan ini, seluruh keluargaku hanya meliriknya. Namun aku yakin, kalau kita bertahan, mereka akan menyerah dan mulai menerimamu."

"Tapi, sampai kapan…?" lirih Ino. Gadis itu mencintai Sasuke. Dia tidak ingin melepaskannya begitu saja hanya gara-gara perjodohan pemuda itu dengan sahabatnya sendiri.

"Sampai mereka menyerah. Sudahlah, tidak usah pikirkan hal ini. Semua pasti akan baik-baik saja." Sasuke berucap yakin. Ino yang tadinya memasang wajah khawatir mau tidak mau tersenyum mendengar ucapan pemuda itu.

"Umm … baiklah."

.

.

.

Sasuke tahu bahwa apa yang diucapkannya benar-benar berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ia tahu keluarganya tidak akan menyerah, ia tahu bahwa keluarganya juga memegang prinsip yang sama dengan Sasuke. Yakni menunggu pihak sebelah untuk menyerah.

Pada dasarnya, pemuda itu adalah anak yang penurut. Ia selalu berasumsi bahwa semua pilihan orang tua merupakan hal yang terbaik. Namun sepertinya kasus ini sungguh di luar batas. Ini sangat bertentangan dengan perasaannya. Dan seperti biasa, ibu dan ayahnya tidak akan mengeluarkan kata 'batal' untuk setiap keputusan yang mereka buat.

"Ohayou."

Sasuke mendongak, melihat Sakura yang menyapanya dengan wajah datar. "Hn," balas Sasuke singkat. Entahlah, mungkin gadis itu sedang kerasukan. Tumben sekali dia menyapa Sasuke. Ah, ataukah karena mereka sudah mulai berbincang dengan 'normal' di rumah sakit?

"Aku ingin meminjam buku catatan yang kemarin." Ternyata itu tujuannya.

Sasuke mendengus, "kenapa tidak meminjam catatan yang lain saja?" Sakura hanya terdiam. Menatap Sasuke dengan pandangan yang sulit diartikan.

Sasuke membuang wajahnya, menatap kembali ke luar jendela. Terlihat beberapa orang sedang bermain baseball di halaman sekolahnya. Olahraga, kah? Sasuke tidak terlalu tertarik dengan olahraga manapun, walau ia bisa memainkan semua jenis olahraga. Atau lebih tepatnya, ia tidak tertarik dengan kegiatan ekstrakulikuler, membuang tenaga dan waktunya saja.

Sasuke menoleh kembali, Sakura masih berdiri di samping bangku Sasuke. Masih dengan ekspresi dan pose yang sama. "Apa lagi? Aku sudah bilang, pinjam pada yang lain saja."

Sasuke memandang ke yang lain. Ia baru ingat, bahwa Sakura tidak mempunyai teman kecuali Ino. Dan Ino berada di kelas yang berbeda. Dasar merepotkan. Kenapa dia tidak mencoba untuk bersosialisasi dengan yang lainnya? Sampai kapan dia bisa bertahan hidup tanpa seorang teman pun di kelas ini? "Kau seharusnya berbicara pada yang lain. Dasar."

Sakura masih terdiam. Sasuke menghela napas. "Nanti sore, kita disuruh membeli cincin, bukan? Akan kubawakan buku catatanku." Ekspresi Sakura sedikit berubah. Matanya mulai berbinar.

"Terimakasih." Setelah berucap demikian, ia kembali ke tempat duduknya. Sasuke terus memerhatikan gerak-gerik wanita itu sampai wanita itu duduk di kursinya. Tanpa sadar, pemuda itu mengulas senyum simpul.

.

.

.

"Sakura baru datang ke sekolah. Kau tidak ingin menemuinya?"

Gerakan Ino untuk meminum jusnya terhenti. Ia dengan cepat memandang Sasuke dengan pandangan girang. "Benarkah?"

Sasuke mengangguk. Namun, sedetik kemudian senyum Ino luntur. "Aku … meski sangat senang karena dia sudah keluar dan sehat, tapi aku belum bisa menemuinya. Aku tidak tahu akan bagaimana jika aku langsung mengingat perjodohan kalian. Jujur saja, walau merasa kesal dengan perjodohan ini, tapi Sakura tetap sahabatku. Aku tidak ingin persahabatanku dengannya putus gara-gara masalah ini."

Sasuke tidak tahu apa yang harus dia katakan untuk membalas perkataan Ino. Keputusan Ino tepat, sebaiknya wanita itu jangan menemuinya untuk sementara. Sampai Sasuke menemukan titik terang mengenai perjodohannya ini.

"Eh, Sasuke-kun. Nanti sore aku akan menjadi model pelukis terkenal itu lagi. Kau mau melihatku?" Sasuke sebenarnya hendak menjawab 'iya', tapi ia baru ingat, nanti sore ia dan Sakura diminta untuk mencari cincin pertunangannya.

"Maaf, Ino. Aku tidak bisa." Wajah Ino berubah kecewa.

"Ada apa? Kau ada acara?"

"Aku … pr ku banyak, aku harus mengerjakannya." Ino menatap Sasuke sejenak, kemudian gadis itu tersenyum maklum.

"Yaahh … ini memang musim ujian, sebenarnya tugasku juga banyak. Tapi, aku harus bekerja juga."

Sasuke berucap maaf dalam hati untuk Ino karena sudah berdusta padanya. Padahal pacarnya itu mempunyai hati yang baik. Meski Sakura adalah orang yang dijodohkan dengannya, Ino masih turut senang karena kesembuhan Sakura. Tapi sayangnya, Sakura tidak benar-benar sembuh. Dia belum sembuh total. Dia hanya menangani masa down-nya, tapi untuk sembuh? Sangat sulit untuk penderita kanker.

Dari jauh, Sakura menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. Gadis itu terus menatap gerak-gerik Sasuke dan Ino tanpa disadari oleh kedua orang tersebut. "Sasu-kun …" lirihnya berat, tatapannya berubah sendu.

"Sakura-chan?" Sakura menoleh, menadapati Naruto yang melihatnya dengan wajah heran. "Ada apa? Kau terlihat sedih." Naruto melihat arah pandangan Sakura, kemudian melihat Sasuke dan Ino yang duduk berdampingan. "Ahh …" gumamnya.

"Kacau," ucap Sakura tiba-tiba. "Semuanya kacau."

Naruto hanya terdiam. "Cobalah untuk mendekatinya, Sakura-chan. Kau hanya jalan di tempat jika memandanginya dari jauh tanpa menyapanya." Naruto menatap ke Sakura. "Itachi sudah memberitahuku semuanya."

Sakura mendengus tawa. "Itu sudah tidak berarti lagi. Semuanya kembali dari awal." Sakura mendongak, menatap langit yang cerah. "Meski langit mengetahui semuanya, tidak akan ada yang bisa dia rubah, tidak akan ada yang bisa dia katakan. Waktu merenggut semuanya, dan hanya waktu jugalah yang akan mengembalikannya."

Setelah berucap demikian, langit yang tadinya cerah mulai ditutupi awan mendung.

.

.

.

"Padahal tadi cerah sekali, sekarang tiba-tiba hujan deras. Cuacanya menyebalkan sekali." Ino terus menggerutu saat akhirnya dia dan Sasuke harus berlari menuju koridor demi menghindari air hujan.

Tiiing! Tiiiing!

"Ah, sudah bel masuk." Ino menatap Sasuke. "Kalau begitu, aku ke kelas dulu, Sasuke-kun!" Sasuke mengangguk. Ia juga harus kembali ke kelas.

Sambil berjalan santai menuju kelasnya, ia kembali membuka facebook-nya, siapa tahu Cherry sudah membalas pesannya. Dan benar saja, satu pesan masuk.

Cherry : Dan kau akan terkejut melihat wajahku. LOL

Sasuke tersenyum saat membaca pesan itu.

Uchiha Sasuke : Memangnya ada apa dengan wajahmu? Begitu aneh kah?

Sasuke tidak menemukan tanda hijau di samping nama Cherry, itu berarti gadis tersebut sedang tidak online. Sasuke semakin penasaran melihat wajah gadis itu. Memangnya ada apa sampai ia mengatakan bahwa Sasuke akan terkejut? Apakah wajahnya mirip kartun? Atau wajahnya sangat tua? Atau malah terlihat seperti anak bayi? Atau-

Bruk!

Sasuke sedikit terdorong ke depan saat seseorang menabraknya dari belakang. Sasuke membalikkan badannya, menatap orang itu dengan pandangan malas. "Punya mata 'kan?" sindirnya.

"Maaf." Gadis itu menatap Sasuke dengan tampang datar, sama sekali tidak menunjukkan raut wajah bersalah. "Aku sedang terburu-buru, dan kau menghalangi jalanku."

"Aku juga sedang terburu-buru, bukan kau saja." Sasuke mendecak. Selalu saja gadis itu membuatnya kesal.

"Jalanmu sangat santai, meski kau sudah terlambat tiga menit."

'Jalanmu sangat santai!'

'Kita sudah terlambat!'

"Ugh …" Sasuke sontak memegang kepalanya. Entah mengapa, ia merasa déjà vu dengan kata-kata itu.

"Ada apa? Kau sakit?" tanya Sakura. Sasuke mencoba menenangkan diri, entah kenapa, tadi seperti ada petir di kepalanya.

"Tidak … aku tidak apa-apa. Kau berjalanlah duluan," ucapnya, ia masih memegang kepalanya.

"Baiklah." Sakura berjalan di depan Sasuke. Sasuke menyandarkan dirinya di dinding. Sakura membalikkan kepalanya dan melihat hal tersebut.

"Time is running up," bisiknya pada dirinya sendiri dan melanjutkan jalannya.

.

.

.

"Uchiha Sasuke?"

"Uchiha Sasuke-san!"

Sasuke terperanjat. Ia menatap ke depan, ke arah Kurenai-sensei yang menatapnya seraya menggelengkan kepalanya. "Aku sudah memanggilmu sedari tadi. Is there something wrong?" Guru bahasa inggris tersebut menatap muridnya itu. Sasuke menggeleng.

"I'm sorry," ucap Sasuke.

"Okay. Okay. Ini memang waktunya seorang remaja mempunyai banyak masalah." Guru tersebut menulis sebuah kata di papan tulisnya. 'PROBLEM'. "Hari ini, aku meminta kalian untuk mengucapkan masalah kalian dalam satu kata. Baiklah, kita mulai dari Nara Shikamaru."

"Wake up." Semua penghuni kelas tersebut tertawa saat mendengar masalah Shikamaru. Kurenai bahkan tertawa geli, mengingat muridnya itu selalu saja tertidur.

"Next, please, Uzumaki Naruto-san."

"Engagement." Sasuke menoleh cepat pada Naruto dan melotot pada pemuda itu. Sedangkan Naruto hanya tertawa saat melihat ekspresi Sasuke.

"Engagement? Ohh … that's a very big problem. Okay, next please, Haruno Sakura-san."

Sakura terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan suara khasnya. "Accident."

Alis Sasuke mengernyit. Kecelakaan?

"Next please, Uchiha Sasuke -san."

Sasuke masih terheran dengan masalah Sakura. Atau Sakura juga sedang menyinggungnya sama seperti yang dilakukan oleh Naruto? Jeda sejenak, ia kemudian menatap Kurenai.

"A girl."

.

.

.

"Katanya kita harus menemukan sepasang cincin dengan kualitas terbaik."

"Aku tahu."

Sasuke mendengus. Cincin kualitas terbaik? Kenapa cincin mereka tidak dipesan saja? Dan … kenapa harus mereka yang disuruh berkeliling untuk mencari cincin itu? Kenapa bukan orang tua mereka saja? Toh, kalau cincinnya bagus, buat apa kalau mereka berdua tidak saling mencintai?

"Oh ya, tadi, kenapa kau menyebut 'accident' sebagai masalahmu?"

Sakura menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, mencari stand penjual cincin. "Hanya asal menjawab," jawabnya cuek dan sama sekali tidak memandang lawan bicaranya. Sasuke sekali lagi mendengus. Gadis menyebalkan. "Kau sebaiknya membantuku mencarinya, supaya kita bisa cepat pulang."

Perempatan siku-siku muncul di dahi Sasuke. Bukankah seharusnya Sasuke yang berkata ingin cepat pulang? Dia sama sekali tidak merasa nyaman jika berdua dengan Sakura.

"Sasuke-kun?"

Sasuke menoleh, matanya melebar saat melihat Ino yang menatap mereka berdua dengan pandangan terkejut. Sakura berwajah biasa saja. "I-Ino …"

Gawat. Sasuke benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ia perbuat. Ia ketahuan berbohong pada Ino, dan terlebih, Ino sedang mendapatinya berjalan berdua dengan Sakura. "Kalian …"

"-bukan! Ini … aku hanya menemani Sakura untuk mencari sesuatu, jangan salah paham, Ino."

Ino terdiam. Matanya menyiratkan rasa kecewa yang amat dalam.

"Aku ingin ke toilet," ucap Sakura dan meninggalkan Ino dan Sasuke.

"Kenapa-" Ino menunduk. "-kau berbohong?"

"Ino- sudah kubilang, aku hanya-"

"Apapun alasannya, kau lebih memilihnya dibanding aku!" Air mata kekecewaan mengalir dari kelopak mata Ino. Mata gadis itu memerah. Napasnya tidak teratur. "Aku … tadi memintamu untuk melihatku, tapi … apa yang aku lihat? Kau berjalan dengan dia! Kau bilang kau akan mengatasi perjodohanmu! Bagaimana caramu mengatasinya kalau kau berjalan berdua dengannya!"

"Ino, tenanglah-"

"Kau bilang … kau akan mengerjakan tugasmu. Kau-" Sasuke tahu bahwa Ino merasa sangat kecewa terhadapnya. Tapi apa daya? Sasuke sama sekali tidak tahu apa yang harus ia jelaskan. Lagipula, dia memang salah. Dia salah telah berbohong pada Ino. "-aku sangat kecewa padamu! Kau pembohong!"

"Maafkan aku, Ino. Maafkan aku …" Sasuke berlirih. Ino mengusap air matanya. Gadis itu membuang pandangannya ke arah lain.

"Aku … juga ingin ke toilet," ucapnya dan segera meninggalkan Sasuke yang termenung.

.

"Ino …"

Sakura tercenggang saat mendapat Ino yang menyusulnya ke toilet. "Sakura …"

Mereka terdiam. Ini pertama kalinya Ino bertemu Sakura setelah mengetahui bahwa sahabatnya itu dijodohkan dengan kekasihnya. "Tidak adakah yang ingin kau sampaikan padaku?" tanya Ino pada Sakura yang terus menatapnya.

"Maaf. Tapi, ini tidak bisa dibatalkan."

"Sakura …" Ino mendekati Sakura. "Kau sungguh tega! Kau … sahabatku, bukan? Kenapa kau melakukannya?! Kenapa?!"

"Jangan menyalahkanku atau pun Sasuke." Sakura berucap dengan dingin. "Jika kau benar-benar mencintai Sasuke, maka kau harus mempertahankannya."

Ino menatap Sakura dengan pandangan tidak percaya. "Aku … aku sahabatmu. Kenapa kau bisa berkata setenang itu? Apakah kau tahu kalau kau telah menghancurkan perasaanku? Apakah kau tahu sehancur apa aku sekarang? Apakah kau tahu bahwa kau sedang berada di pihak ketiga?"

"Pihak ketiga? Jangan membuatku tertawa, Ino." Sakura memandang Ino dengan pandangan tajam. "Kau tidak tahu apa-apa."

Emosi Ino memuncak. "Cih! Tidak ada gunanya berbicara denganmu. Kau seharusnya berkaca, Sakura! Sasuke tidak mencintaimu sama sekali! Dia mencintaiku! Kau sangat memaksakan kehendak!"

Sakura mendengus. "Kau yang memaksakan kehendak, Ino. Sasuke tidak bisa mempertahankan hubungannya denganmu. Itu mengancam masa depannya dan kerukunannya dengan keluarganya. Bagi keluarga Sasuke, kau adalah pihak luar."

"Tapi bagi orang-orang yang mengetahui hubunganku dan Sasuke, kaulah pihak luar, Sakura. Kau pihak luar yang tiba-tiba saja datang dan menghancurkan hubunganku. Mirisnya, kau adalah sahabatku. Sahabat yang tega dan tidak pantas lagi dipanggil sebagai seorang sahabat. Sahabat yang memakan sahabatnya sendiri." Ino memandang Sakura dengan tajam.

"Terserah apapun yang ingin kau katakan. Itu tidak akan merubah apapun."

"Benarkah, heh? Kalau begitu, kita buktikan, Haruno Sakura. Siapa yang lebih pantas dengan Sasuke. Siapa yang lebih bisa membuat Sasuke nyaman. Siapa yang lebih pantas dicintai olehnya."

"Sasuke bukan barang, Ino," balas Sakura, membuat emosi Ino semakin menjadi-jadi.

Ino mengepalkan tangannya. "Kau mengerti Sasuke bukan barang. Tapi, kau menerima perjodohan yang menganggap bahwa orang itu barang yang bisa seenaknya diserahkan pada siapapun. Seperti yang aku bilang, kau seharusnya berkaca agar pikiranmu dapat terbuka, Sakura."

"Akan aku lakukan hal itu. Tapi, maaf saja kalau pikiranku akan terus tertutup, Ino."

"Cih. Sepertinya tidak ada gunanya berbicara padamu." Ino membalikkan badannya. "Sampai jumpa, Haruno Sakura."

Sakura dapat meninggalkan bunyi sepatu Ino yang perlahan menjauh. Gadis itu menundukkan kepalanya, setetes air mata turun melalui pipinya. "Ino, maafkan aku …" lirihnya tanpa seorang pun yang mendengarnya.

.

.

.

Ino menatap Sasuke dan Sakura dari jauh dengan pandangan tajam. Ia masih saja kesal dengan Sakura dan semua perkataan omong kosongnya itu.

"Hei, what's wrong?" Seorang model cantik menghampiri Ino yang bertampang tidak seperti biasanya. Model itu menatap arah pandangan mata Ino. "Ah, Sasuke, kah? And who is that girl? Is that your friend?"

Ino tersenyum sinis, jeda sejenak sebelum ia membuka suara untuk menjawab,

"was friend."

.

.

.

To be Continued

Haiii udah hampir satu tahun yah hehehe #plak

Maapp yaahhh btw untuk fic ini saya entah kenapa terbiasa banget nulis chapt-nya pendek-pendek huhuhuhu #ngek

Btw, chapter depan adalah pertemuan Cherry dan Sasuke. Wkwkwk kalo gak berubah pikiran sih yah #plak

Btw, gomen banget yah, gak bisa update cepet. Maaafff banget. Malah saya sempat pengen hiatus-in fic ini, tapi gak jadi karena siapa tahu ke depannya dapat ide buat fic ini wkwkwk #authornyamogok

Well, segala bentuk tanggapan diterima di kotak review.

Mohon jangan ada silent reader, karena, jujur saja untuk fic ini saya sangat memerlukan saran dan tanggapan agar fic ini bisa lebih baik lagi

Makasihhh

Sign,

HanRiver