Kagami menggaruk kepala seraya melirik ponselnya yang bergetar. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Ia baru saja pulang latihan—Kuroko masih menghilang—dan sedang dalam perjalanan menuju apartemennya, ketika benda itu bergetar di saku belakangnya. Karena identitas si penelepon tidak jelas, ia agak ragu menjawabnya. Tapi, dasar Bakagami, tetap menekan tombol hijau, "Halo?"

"Kagami Taiga," sebuah suara familiar dingin membasuh Kagami. Alis bercabang saling mengerut berusaha mengingat nama si empunya suara. "Aku Akashi Seijuro, mantan kapten Kuroko Tetsuya. Nampaknya pertemuan pertama kita tidak terlalu menyenangkan."

Akashi? Akashikok rasanya familiar. "Wha—kau si gunting gila itu!" Kagami tiba-tiba berseru.

"Gunting gila?" tiru Akashi. "Aku hanya berencana menusukmu karena ketidak patuhanmu."

Rambut merah yang lebih tinggi menganga. Memangnya dia ini apa? Anjing? "Bagaimana bisa kau punya nomorku?"

"Kau tidak perlu tahu."

Kagami menelan ludah, matanya melirik waspada sekeliling ia berdiri. "Apa—apa yang kau inginkan? Kenapa kau meneleponku?"

"Kau tertarik dengan masa lalu Kuroko, bukan?" Pertanyaan itu membekukan Kagami. "Kuralat. Bukan masa lalunya, tetapi yang kami sembunyikan darimu. Kau telah menyelidik mengenai ibunya."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Jangan banyak tanya," Akashi memotong. "Datanglah segera ke alamat ini. Aku akan menunggu."

Kagami menyimak sebaris alamat yang diucapkan, secepat mungkin meraih bolpoin dari tas dan menulis di atas telapak tangan. Ketika ia membaca kembali kalimat tadi, matanya melebar. "Kyoto?" teriaknya. "Mana mungkin aku pergi sejauh itu malam-malam begini!"

"Jika kau pikir rasa penasaranmu atas kondisi Tetsuya sekarang tidak sedarurat yang kukira, maka tidak ada salahnya bila kau tidak datang."

Si surai merah terhenyak mendengarnya. Semua rasa penasarannya akan dibabat habis hanya dengan pergi ke Kyoto. Kuroko, rekannya, dan semua rahasia tentang kekerasan yang dialaminya akan terkuak dengan mudah, bocah gunting gila itu akan membeberkan semuanya. Tidakkah ini terlalu mudah? Baru satu dua hari lalu, Kise mengancamku. Memang sedikit pelik, tetapi rasa ingin tahunya lebih kuat ketimbang logika. "Baiklah," balas Kagami. "Aku akan naik kereta berikutnya."

"Kereta berikutnya akan berangkat dalam enam menit," Akashi tersenyum di seberang.

"Apa? Sialan!" Kagami mengeratkan pegangan pada tasnya dan berlari cepat. Stasiun kereta tidak terlalu jauh. "Sebaiknya kau tunggu kedatanganku, udang—Maksudku, Akashi … san … kumohon." Suaranya makin lama makin pelan, baru ingat tata karma berbicara di menit-menit terakhir.

"Kesopananmu membuatku terkesima," Akashi bosan. "Kutunggu kau hingga pukul sebelas malam. Lebih dari itu, tidak kuizinkan masuk rumahku."

Kagami sudah hendak memprotes ketika yang ia dengar tinggal nada monoton. Ia menatap layar ponselnya, tidak percaya. "What the hell? Meneleponku malam-malam, menyuruhku pergi ke Kyoto enam menit lagi, lalu seenaknya memutus panggilan? Sialan, Kuroko." Dibakar emosi, ia melempar ponselnya masuk ke dalam tas. "Kau bergaul dengan orang-orang aneh."

Lari cepat menuju stasiun kereta tidak lama, tetapi melelahkan. Ia harus mengantri cukup panjang untuk membeli tiket terakhir (salah siapa bertepatan dengan jam orang-orang pulang dari kerja) dan baru teringat bahwa dia tidak memegang selembarpun uang. Seraya merutuk dalam Bahasa Inggris, ia terpaksa keluar antrian menuju mesin ATM, menarik beberapa lembar yen, lalu mengantri lagi dari awal. Begitu ia mendapatkan selembar kertas terkutuk itu, pintu kereta sudah tertutup jikalau ia tidak menahannya dengan sepatu.

Tidak banyak orang yang bepergian menuju Kyoto semalam ini, sehingga gerbongnya tidak sepadat gerbong lain. Kagami menyeret tubuhnya menuju salah satu kursi yang kosong dan langsung ambruk kelelahan di atasnya. Menyandarkan kepala di atas tas putih berbordir logo sekolah, Kagami melirik arloji. 7.30. Tiga setengah jam menuju Kyoto dari Tokyo. Mana mungkin dia bisa tepat waktu.

"Dasar … udang kepala merah bodoh," Kagami menggerutu, matanya mulai berat menahan beban kantuk. "Aku … tidur saja dulu." Kepala bersurai bias jatuh di atas tas.

.:xxx:.

Disclaimer to its rightful owner:

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Original Story:

Betrayal In Its Simplest Form © Virelei

OCs © Virelei

(Link onto the original story can be found on my profile, favorite story section.)

Translation:

Betrayal In Its Simplest Form by Rheyna Rosevelt

I own nothing but this translation

(Saya tak mengakui hak milik atas cerita ini kecuali terjemahannya)

Thus, I don't make any commercial profit within this story

(Juga, saya tidak mendapatkan keuntungan komersil macam apapun atas cerita ini)

Translation is under permission of its original author.

(Penerjemahan atas fic ini telah mendapatkan ijin dari author aslinya)

Warning:

This story contains: child/underage abuse, violence, (slight) blood, etc.

.

.

[Chapter 14]

.

.:xxx:.

"Kereta telah tiba di Prefektur Kyoto. Pintu kereta akan dibuka."

Suara nyaring dari speaker menarik Kagami bangun dari tidurnya. Ia menggosok mata, membuka sebelah untuk melihat sekeliling. Ketika pintu otomatis gerbong mulai bergerak menutup, tangannya segera meraih tas dan melesat keluar.

"Sial," Kagami meringis melirik jam tangan. Hampir pukul sebelas. Hanya sisa waktu sepuluh menit lagi. Mana mungkin dia tega tidak mengizinkanku masuk rumahnya setelah aku jauh-jauh datang ke sini, kan? Walau jujur saja, Kagami sangat tidak ingin tahu jawabannya. Berjaga-jaga, ia mulai beranjak lari keluar stasiun.

"Taksi!" serunya dari sisi jalan, tangan melambai menjadi sinyal. Walaupun sudah larut di Kyoto, jalanan masih ramai oleh lampu kendaraan. Sebuah taksi putih perlahan berhenti, pintu dibuka kuncinya. Kagami segera melesat masuk. "Ke alamat ini. Akan kubayar lebih kalau cepat," perintahnya.

Si pengemudi yang sudah masuk kategori tua itu meraih kertas dari Kagami, membaca teliti alamat yang tertulis, lalu matanya melebar. Tanpa bicara, ia memindah gigi dan memacu mobil ke arah destinasi. Kagami mengetukkan kaki tak sabaran, sesekali melirik jarum jam tangan. Empat menit lagi sampai pukul sebelas. Dia bisa sampai tepat waktu, kan? Si udang itu tidak mungkin mengunci rumahnya karena telat semenit, kan?

"Sudah sampai," sopir tiba-tiba berkata. Kagami bangkit terburu-buru sampai lupa melepas sabuk pengaman, meletakkan uang plus bonus di atas kursi, dan berlari ke luar. Ia bahkan tidak sempat mengucapkan terima kasih sebelum membanting pintu mobil menutup dan berlari mencari rumah dengan nomor yang disebutkan Akashi. Tidak sulit menemukannya karena:

Satu, pintunya merah, kontras dengan pintu rumah-rumah lain yang berwarna hitam.

Dua, Seekor—bukan, seorang berambut merah berdiri dengan lengan dan kaki bersilang, bersandar santai pada daun pintu.

"Kau berhasil," si rambut merah tampak senang melihat raut kesal tamunya. "Aku tidak terkejut, Taiga."

"Jangan panggil aku dengan nama depanku," Kagami memotong.

Mata dwiwarna Akashi berkilat bahaya. "Aku bebas memanggilmu dengan nama apapun," balasnya dingin. Ia berbalik dan berjalan masuk apartemennya yang luas. "Nah? Kau masuk atau tidak?"

Cara bicara udang itu membuat Kagami kesal tiada henti. Ia sudah pernah melihat mantan kapten Kuroko ini bermain basket, dan, benar dia punya kemampuan di luar logis. Tapi Kagami tetap lebih tinggi, dan—kemungkinan besar—lebih kuat darinya (atau begitu pikir Kagami). Aku berani bertaruh udang itu pasti kalah adu panco denganku.

"Duduk," Akashi menunjuk sofa. "Sudah malam. Apa kau lapar?"

"Tidak." Kagami bohong. Tetapi dia tidak akan ambil resiko dengan makan sesuatu yang berasal dari tangan Akashi. "Jadi, kenapa kau memanggilku kemari?"

Akashi meraih tumpukan kertas dan sebuah buku catatan, kemudian duduk di seberangnya. "Kau tertarik pada rahasia Tetsuya, benar?"

Tetsuya? … oh, Kuroko Tetsuya. Ia menelan ludah sebelum menatap rendah. "Dia adalah sahabatku, sekarang, dan aku tidak peduli dengan rahasia sialan ini ketika anggota tim kami diperlakukan semena-mena." Kagami mengepalkan tangan. "Jadi, yah, aku 'tertarik', apapun maksudnya. Tapi jika kalian 'Generation of Miracles' tidak mau memberitahuku, aku akan mencari tahu sendiri."

Akashi mengabaikan ucapan kasarnya kali ini. "Kau terlalu banyak bicara," jujur ia memberitahu, Akashi menyilang kaki. "Kau hanya akan jadi penghalang bila terus menerus seperti ini… Tetapi, kau bisa membantu kami." Ia menurunkan kakinya dan menjulurkan badan. "Daripada menjadi bayangan mengganggu, kau bisa berguna untuk kami."

"Berguna?" Kagami tidak suka mendengarnya—seperti alat.

"Hm," Akashi bergumam setuju. "Walau rasanya kalimatku kurang tepat, namun kau terlihat yang paling cerdas dari tim Seirin. Kau telah berhasil mengetahui masalah Tetsuya sebelum aku menjelaskannya padamu. Akan tetapi itu hanya akan menambah masalah, karena kau pasti akan membeberkan semua yang kau ketahui pada timmu. Apa aku salah?"

Kagami menunduk menyesal. Dia tidak salah.

"Motifmu sudah jelas," Akashi melanjutkan. "Aku bersedia memberitahumu semua yang ingin kau ketahui saat ini juga, akan tetapi," ia menyunggingkan seringai yang membuat Kagami kaku. "semua yang kau dengar di tempat ini hanya akan kembali terdengar di antara kita. Kau tidak akan berucap sepatah katapun pada Seirin tentang Tetsuya, mengerti?" Tidak perlu menambahkan 'atau'. Akashi sudah cukup menyiratkannya.

Si kuda hitam Seirin tanpa suara berdiri, alis eksentriknya nyaris menyatu dalam kernyitan. Di sisi lain ia begitu ingin memberitahukan informasi yang akan ia dapat pada semua orang di Seirin karena ia tahu mereka juga sama cemasnya dengannya, namun dia juga ingin tahu jawaban dari semua hal membingungkan yang selama ini bermunculan. Ditilik dari pengalaman, Kagami tahu dirinya bukan tipe orang yang mudah berbohong. Bisakah ia menyimpan rahasia bila kelak seseorang bertanya padanya? Ia bahkan tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi bila suatu saat dia keceplosan.

"Baiklah," akhirnya ia setuju, setelah mempertimbangkan tahu lebih baik daripada tak acuh. "Aku berjanji."

Akashi mengamatinya sebentar, mencari setitik keraguan pada wajah tertekuk kagami—tidak ada. "Baiklah," ia bersandar lagi dan menggantung tangan ke atas sandaran kursi. "Aku akan menjawab pertanyaanmu—selama pertanyaan itu masuk akal—dan aku punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan tertentu."

Selama pertanyaanku masuk akal? Hak untuk tidak menjawab pertanyaan tertentu? Kagami mengangkat sebelah alis. Sebaiknya kutanyakan dulu yang paling penting. "Apa seseorang telah menghajar Kuroko?"

"Kekerasan adalah yang lebih tepat," Akashi segera mengoreksi, ia sudah mengira pertanyaan ini akan muncul lebih dulu. "Ya, dan sampai detik ini dia masih berstatus korban, aku sendiri tidak yakin apakah sekarang dia aman." Ia membuang muka dan menambahkan, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa—sekarang dalam pikirannya.

Kagami menipiskan bibir. Sudah kukira. "Siapa yang melakukan kekerasan padanya?" Ia sudah tahu jawabannya.

"Kuroko Ibuki," sang kapten menjawab singkat. "Ibunya."

"Siapa Kuroko Ibuki?"

"Wanita yang cukup rumit," Akashi menjawab getir. "Dia punya tiga nama, tiga identitas berbeda. Dia adalah wanita yang misterius, dan punya kepribadian psikopat. Usianya tiga puluh enam tahun, memiliki tiga perusahaan terbesar dan paling berpengaruh di seluruh Jepang. Tidak ada yang berani angkat bicara tentang identitasnya kepada publik… dan hanya sedikit yang tahu mengenai itu."

Tiga nama… psikopat… "Hanya sedikit yang tahu?" Kagami merasa lucu. Bila Ibuki memang begitu terkenal dan berpengaruh sebagaimana yang Akashi ucapkan, tidakkah masyarakat merasa aneh jika mereka membicarakan orang yang sama dengan nama berbeda?

"Ibuki memiliki koneksi jauh lebih dalam daripada pemerintah sendiri. Dia, bisa dibilang, tidak terkalahkan di dunia politik dan hukum."

Kagami butuh waktu untuk memproses informasi ini masuk kepala tebalnya. "Berapa lama… berapa lama hal ini sudah terjadi?"

Sang kapten melirik dingin. "Akulah yang pertama menyadari gerak-gerik mencurigakan Ibuki di sekitar putranya. Mudah menarik kesimpulan setelah melihat reaksi Tetsuya yang selalu ketakutan begitu melihatnya. Dan itu terjadi di tahun pertama kami di Teiko," raut muka Akashi menegang. "Aku tidak tahu sejak kapan Ibuki mulai melakukannya. Akan tetapi, aku yakin ia telah menjadi korban selama bertahun-tahun sebelum aku mengetahui kebenarannya."

Bertahun-tahun… jika Akashi mengetahui itu di tahun pertama SMP-nya, berarti Kuroko sudah menjadi korban kekerasan sejak kecil? Kagami menutup muka dengan telapak tangan dan mengerang. Harusnya dia tahu. Tidak, harusnya dia tidak percaya begitu saja pada alasan-alasan remeh Kuroko bila ditanya tentang luka-lukanya. Sahabatku sendiri diperlakukan seperti itu di belakang mataku… "Apa yang terjadi saat Kuroko tidak masuk sekolah lama sekali?" Suaranya tertutup tangan, dan dia menolak balas menatap merah yang menusuk.

"Ibunya melukainya cukup parah saat itu," Akashi menjawab. "Lebih parah dari biasanya. Tidak ada patah tulang, tetapi banyak lebam dalam. Tulang rusuknya nyaris lepas. Ibunya telah menjatuhkan—lebih tepat mendorong—nya dari lantai dua."

"Dari lantai dua?" Kagami melonjak. "Apa wanita sialan itu gila?"

"Pelankan suaramu," Akashi menegur kasar. "Ini adalah kediamanku. Berlakulah yang sopan."

Merasa seperti ditegur ibunya sendiri, Kagami menenangkan diri dan duduk lagi. "Maaf," ucapnya, sedikit tidak ikhlas.

"Hm," Akashi mengetukkan jemari. "Kau sudah selesai bertanya?"

"Satu lagi," Kagami menyela. "Kenapa kau merahasiakan semua ini? Bukankah kami, Seirin, harusnya mengetahui kondisi anggota tim kami?"

"Seirin adalah tim dengan sosialitas tinggi, dan ramai. Ibuki tidak boleh sampai mengetahui segelintirpun rencana kami. Dia adalah wanita paling berpengaruh di Jepang; dia bisa mendapat informasi darimanapun. Aku tidak mau mengambil resiko kasus ini muncul di media publik," suara Akashi merendah. Sangat lembut, hingga Kagami sendiri nyaris tidak dengar, "Ini juga demi harga diri Tetsuya."

Kagami tidak menjawab. Ia hanya menatap tanah di bawah kakinya, memproses informasi besar yang ia terima. Walau dia sudah menerka, tidak, mengetahuinya, dia tidak bisa tidak merasa menyesal membiarkan Kuroko tersiksa. Kuroko sudah menyuapnya dengan banyak alasan murah dan dia tidak pernah sekalipun mempertanyakannya. Padahal, bertahun-tahun, bayangannya itu mengalami kekerasan.

"Karena kau sudah selesai," Akashi menginterupsi pikirannya. "Giliranku." Ia meraih buku catatan dari meja dan membuka halaman pertama, lalu meletakkannya di depan Kagami. "Ini adalah bukti, petunjuk, dan informasi yang telah kudapatkan mengenai Kuroko Ibuki. Ketahuilah bahwa ayahku dan kau adalah satu-satunya yang membaca ini; tidak ada yang lain. Bila sampai ada informasi sekecil apapun mengalir keluar darimu, aku menjamin kau tidak akan suka konsekuensinya." Kagami bergidik. "Bagus. Kau sudah mengerti. Baca semuanya. Di halaman terakhir, tulis semua yang kau ketahui namun belum tercantum."

"Semua… yang aku ketahui?"

"Kau sudah berusaha mencari informasi tentang Ibuki, bukan?

"Iya, sih, tapi—"

"Tak peduli sekecil atau seremeh apapun, tulis saja. Aku harus tahu semuanya."

Merengut dalam sekali, Kagami mengambil buku itu dan mulai menganalisis dari halaman awal. Seperti yang dia kira, baris demi baris terisi oleh hasil kerja Akashi mencari informasi dan koneksi. Hampir semua yang Kagami ketahui telah ditulis dengan rapi. Ketika ia membuka lembar kedua, rasanya sudah tidak ada lagi yang belum diketahui.

Akashi menunggu dengan 'sabar'. "Nah?"

"Err," Kagami menggaruk tengkuk lalu meraih bolpoin. Masih tersisa informasi tidak berguna dari ayah. Tapi apakah akan membantu? Dengan cepat ia menulis sebuah kalimat. "Ada satu hal yang belum kau ketahui. Tapi aku sendiri ragu ini akan berguna."

Akashi mengambil buku itu dan membaca tulisan semrawut, 'Orang tua Ibuki bekerja di bidang entertainment sebelum mereka meninggal'.

Ia menyeringai.

Hm.

.:xxx:.

Kuroko berbaring di atas ranjangnya, setumpuk bantal menyangga badan dan kepala. Matanya menatap kosong pada langit-langit putih. Ia tidak bergerak. Rasa sakit itu akan kembali bila dia bergerak. Walau tetap diam seperti ini membuatnya tak nyaman, karena ia tidak bisa mengeluarkan ucapan ayahnya yang terus terngiang dari dalam kepala, Kuroko menolak bergerak.

Ia berusaha keras berangkat sekolah pagi ini. Ayahnya pergi dan ibunya masih tertidur, Kuroko dengan berhati-hati, seraya menahan sakit, menyelinap keluar. Namun, begitu ia tiba di ruang kelas, tubuhnya sudah tidak bisa menahan beban lebih banyak lagi. Ia berhasil mencapai bangku, Kagami tidak terlihat. Kagami tidak masuk sekolah.

Begitu bel berdentang dan ia mulai bersiap menuju kelas berikutnya, ia jatuh pingsan. Ajaib ketika gurunya melihat tubuhnya mulai hilang kesimbangan, ia segera dibawa ke unit kesehatan. Kuroko sadar tak lama kemudian dan mencegah gurunya menghubungi orang tuanya.

"Tapi, Kuroko-kun, ada yang salah dengan fisikmu. Paling tidak, kita harus menghubungi ayahmu!" Sensei sampai berseru padanya.

"Jangan khawatir, Sensei," Kuroko berkata lemah. "Aku hanya kelelahan. Boleh aku pulang?"

Setelah bernegosiasi, guru dan perawat sekolah akhirnya mengizinkannya. Kuroko berhasil berjalan kaki pulang tanpa terjatuh.

Begitulah bagaimana ia berakhir di atas ranjangnya, berdiam diri dan hanya menatap, peristiwa kemarin diulang terus menerus oleh otaknya. Ayah tidak akan melakukan semua itu tanpa alasan, ia sudah berusaha berpikir jernih, namun sia-sia.

Setelah mengusir sang ayah dari kamarnya kemarin, ia dengan berhati-hati merawat lukanya dengan tas punggung yang ia bawa. Akashi sudah menyediakan semuanya di dalam, termasuk perban, kotak es, disinfektan, dan pil penghilang rasa sakit. Tetapi Tetsuya tidak tahu hidungnya patah atau tidak. Seharian, ia bernapas melalui mulut.

Adakah satu hari saja Ibu tidak menyentuhku?

Suara ketukan dari jendela membuyarkan lamunannya. Mula-mula pelan, hingga ia pikir hanya imajinasinya saja. Namun suara itu muncul lagi, kali ini lebih keras. Kuroko menyibak selimut dan merangkak turun dari ranjang, meringis.

"Suara… ketukan dari jendela?" Siapa yang bisa mencapai jendelanya? Kamarnya terletak di lantai dua. Memang ada pohon yang tumbuh condong mendekat, tetapi dahan-dahannya menjulang tinggi. Yang paling 'rendah' tumbuh mendekati jendela kamar.

Kuroko bangkit dan menyibak tirai. Matanya melebar.

Akashi Seijuro, duduk di atas dahan dengan sebelah alis merah terangkat menanti. Ia memberi gestur pada jendela. Kuroko secepat mungkin melepas gerendel dan mengangkat kacanya, udara dingin berembus masuk. "Akashi-kun—"

"Tidak perlu dahan untuk memanjat pohon," Akashi lebih dahulu menjawab sebelum Kuroko selesai. "Aku sudah biasa memanjat pohon dari batangnya." Ia mengangkat tangan. "Lihat, aku pakai kaus tangan."

Kuroko mengamati kaus tangan untuk musim dingin itu sebelum bertanya lagi. "Kenapa kau ke sini, Akashi-kun? Ibu bisa masuk kapan saja."

"Dari informasi yang kumiliki, ibumu sekarang sedang berada di kantor Atari Corporation. Jam kerjanya selesai empat jam lagi. Biarkan aku masuk."

Pemuda yang lebih rendah tidak punya pilihan, tertatih ia berjalan mundur memberi ruang. Mata Akashi memicing melihat pincang Kuroko, ia melompat masuk kamar yang hangat. Begitu kakinya menyentuh ubin lantai, ia langsung berjalan mendekati Kuroko dan menahan dagu pemuda itu lembut. Empunya rambut biru muda menahan napas.

"Lukamu parah sekali," Akashi berdecak. "Ibumu? Lagi?"

"Tidak parah," Kuroko berbisik.

Akashi menatapnya tajam. "Hidungmu bengkak. Patah?"

"Tidak tahu."

Si kapten menghela napas melihat mantan rekan timnya begitu tak acuh. Ia meraba hidung Kuroko, mengabaikan reaksi natural si pemuda yang menjengit menjauh, dan perlahan menelusuri garis tulang. Akashi memastikan tidak ada yang aneh pada organ itu. "Tidak patah," konfirmasi. "Tetapi bengkak dan terluka. Akan baik-baik saja bila dikompres."

"Baik," Kuroko tidak melawan.

Akashi mengangguk puas, dan melepas dagunya. Ia lalu mengamati tubuhnya, lega melihat sebagian besar luka telah ditangani sendiri dengan baik. Di pipi pucat Kuroko, masih terlihat garis bekas tekanan hak sepatu ibunya. Matanya sudah tidak melebam, Kuroko memastikan bagian itu tersentuh es tiap lima belas menit. Luka lain juga mulai membiru, termasuk luka yang baru.

"Ada apa?" Akashi bertanya melihat emosi pada biru langit yang biasanya kosong. "Apa masih sangat sakit? Duduk."

Hanya Akashi yang bisa sembarangan masuk rumah orang dan memerintah penghuninya. Tetapi Kuroko menurut dan duduk di tepi ranjang. Akashi mengikuti di sampingnya. "Kau tahu ini namanya menyelinap, Akashi-kun," Kuroko berkomentar.

"Sakit sekali, Tetsuya," Akashi membalas monoton, "Kau yang membiarkanku masuk. Aku tidak menyelinap." Kuroko tidak menjawab, si rambut merah memegang kedua lengan Kuroko dan memutarnya hingga mereka berhadapan. "Tetsuya." Ketegasan dalam suara itu membuat Kuroko membalas kontak mata pada dwiwarna. "Ada apa?" Di samping kekerasan itu sendiri, ada sesuatu yang sangat mengganggu pemuda berambut biru.

Kuroko menyunggingkan senyum palsu. "Aku baik-baik saja, Akashi-kun."

"Kau berbohong padaku?"

Pertanyaan itu membuatnya terdiam lagi. Sunggingan palsu mulai memudar. "Ah…" ia mengepalkan tangan dan menjulurkan badan, poni biru menutupi mata. Kalimat berikutnya keluar serupa bisikan. "Semua… hanya kebohongan semata. Ayah berbohong padaku. Dia… berbohong," Kuroko menatap tangannya yang gemetar dalam setiap kata. "Semua orang di sini… hanya kebohongan. Tapi Ayah… Ayah, aku tidak menyangka—" ia berhenti, atau air matanya akan merebak lagi.

Akashi mendengarkan dengan saksama pada setiap kata. Matanya melebar pada 'Ayah' dan 'bohong'. Seperti yang telah kuberitahu padanya.

"Diam," Akashi menenangkan ketika deru napas Kuroko makin meningkat. "Dengarkan aku, Tetsuya," si rambut merah menahan kedua pundak Kuroko sehingga ia tidak bisa berpaling. Tetapi Kuroko tetap menolak menatapnya, Akashi memaksanya dengan mengangkat dagu menggunakan dua jemari. "Semuanya bukan bohong, Tetsuya," ucapnya pelan. "Beritahu aku; apakah aku bohong?"

Akashi-kun? Bohong? Padaku? Kuroko rasa tidak mungkin. "Tentu tidak, Akashi-kun," cepat ia menjawab.

Seringai kecil terpatri pada bibir Akashi. "Aku tidak akan pernah berbohong padamu," ia mendeklarasikan dengan nada yang lebih lembut, lehernya menjulur hingga antar wajah makin dekat lagi. Kuroko bisa mencium aroma manis napas mantan kaptennya dari jarak ini. "Tetsuya, boleh aku mencoba sesuatu?"

Mencoba? "Boleh," Kuroko sedikit ragu menjawab.

Sepasang bibir dingin, namun lembut, menyapanya.

.:xxx:.

Dering familiar terdengar dari kamar Midorima Shintarou. Bola nasi yang terjepit kaki sumpit berhenti separuh jalan dari mulutnya. Alis hijau mengernyit, ia mengembalikan sajian. Tidak ada yang berani meneleponnya jam-jam ini, karena semua tahu 'jadwal ketat' menelepon Midorima sepulang sekolah. Tidak ada, kecuali satu orang.

"Boleh aku undur diri, Ayah? Ibu?" shooter andalan bertanya.

Ayahnya menggeram. Ibunya mengangguk.

Midorima bangkit dan beranjak menuju kamar, di mana ponselnya bergetar di atas meja. Ia meraihnya dan mengecek layar. Benar saja, nama 'Akashi' berkedip. Ia menerima panggilan.

"Akashi."

"Shintarou."

"Ada yang kau butuhkan?"

"Ya, ada. Apa kau senggang malam ini?"

Pemuda berambut hijau mereka ulang jadwalnya setelah makan malam dan mengangguk. "Aku senggang. Mengapa?"

Akashi mendengung. "Ada tugas untukmu. Ini tentang Tetsuya."

Mendengar nama Kuroko, fokus Midorima meningkat. Walau bila ditanya ia akan menyangkal, tetapi keberadaan Kuroko sangat esensial bagi si tsundere. "Jelaskan."

"Aku menerima—kabar menarik dari Kagami Taiga, cahaya Kuroko yang baru, sepertinya. Aku butuh seseorang untuk mencari lebih lanjut informasi itu. Malam ini aku sibuk, dan karena kemampuan penelitianmu luar biasa, aku ingin kau yang melakukannya."

Midorima terbatuk-batuk, menyembunyikan rasa bangga dipuji mantan kapten, yang normalnya adalah pengkritisi. Walaupun itu benar. Di samping Akashi, yang memiliki koneksi penting dari orang tuanya (dua pengacara terbaik seantero Jepang, sehingga mencari bukti sudah bukan talenta asing), Midorima adalah yang terbaik dalam penelitian dan pencarian. "Apa yang harus kucari?"

"Tampaknya, dari informasi terbaru, orang tua Ibuki bekerja di dunia hiburan."

"Hiburan?"

"Ya. Hiburan. Tepatnya apa, aku tidak tahu, karena tidak ada petunjuk atau bukti yang kuat untuk ditarik kesimpulan. Aku ingin kau mencari nama 'Abe Miku' dan 'Suzuki Akihiko' untukku, terutama orang tua mereka. Bila kau bisa mendapat namanya, akan lebih berguna lagi. Akan tetapi, aku hanya menginginkan jenis pekerjaan mereka, dan bila mereka telah meninggal, tanggal tepatnya mereka meninggal."

"Hanya itu saja?"

"Itu saja," Akashi mengonfirmasi. "E-mail-kan padaku semua sumber yang kau temukan dan semua informasi yang kau dapat."

Midorima mengangguk, walau tahu lawan bicaranya tidak akan bisa melihat. "Akan segera kulakukan, malam ini." Ada jeda beberapa detik, tidak ada yang memutus panggilan di antara mereka, dan Midorima mengambil kesempatan ini untuk berkomentar ragu. "Kau terdengar… riang, Akashi. Moodmu sedang bagus?"

"Aku senang, Shintarou. Ya, moodku sedang bagus." Akashi memutus panggilan.

.:xxx:.

Setelah makan malam, Midorima mengundurkan diri untuk sisa hari. Ia mengunci kamarnya dan menyalakan komputer. Setelah menutup semua dokumen kedokteran yang telah ia pelajari, ia membuka tab browser baru, lalu mengetik 'Abe Miku' dan 'Suzuki Akihiko'.

Cukup banyak artikel palsu yang tidak bisa dipercaya. Banyak yang menyebut 'Suzuki Akihiko' sebagai 'pria'. Rata-rata membicarakan popularitas Suzuki atau kesuksesan Miku dalam melebarkan sayap bisnisnya. Hanya satu dua kali menyebutkan latar belakangnya, 'orang tua bekerja di dunia entertainment' disebutkan di beberapa paragraf.

Kedua nama itu disebutkan memiliki orang tua pesulap, penyanyi, penari, aktor, dan bahkan host programtv komedi Jepang. Tidak ada artikel yang menyebutkan hal yang sama dua kali.

"Bagaimana bisa menyembunyikan latar belakang serumit ini?" Midorima bergumam lelah setelah beberapa jam menghadap layar. "Aku tidak tahu bagaimana caranya Akashi bisa mendapat bukti stabil tentang tiga nama ini. Tiap nama punya masa lalu yang tidak jelas."

Pada percobaan terakhirnya, ia mengetikkan kata kunci baru. Hanya lima website yang muncul. Si shooter mengklik website pertama dan membaca teliti.

'Abe Miku, putri dari penyanyi terkenal dan aktor profesional, kesuksesannya turut menaikkan status sosialnya. Baru-baru ini bisnisnya merambah ke Amerika…'

Midorima mengklik artikel lain.

'Abe Miku tengah dalam pemulihan pasca peristiwa tragis meninggalnya kedua orang tua. Jepang kehilangan seorang penyanyi dan seorang aktor kenamaan, tetapi Abe-san tidak gentar meluaskan pengaruhnya ke seluruh negeri. Prosesi pemakaman telah berlangsung pada tanggal 19 Desember, namun kami tidak melihat sosok Abe-san…'

Dua artikel menyebutkan penyanyi dan aktor… 19 Desember? Midorima mengklik artikel lain.

'Suzuki Akihiko baru-baru ini kehilangan dua figur orang tua sekaligus dalam sebuah kecelakaan tragis pada 17 Desember silam. Upacara pemakaman tidak dipublikasikan. Rantai bisnis Suzuki-san terus berkembang, dan diberitakan akan membeli saham perusahaan Jingun pada 21 Desember…'

Sisa artikel yang lain menyebutkan hal yang sama untuk kedua nama. Midorima, meyakini kebenarannya, menyalin semua sumber, menyuntingnya dalam dokumen baru, dan menambahkan beberapa catatan, termasuk tanggal kecelakaan, tanggal pemakaman, dan kesuksesan bisnis yang makin melejit setelah kematian kedua orang tuanya. Nama, di sisi lain, tidak ada yang menyebutkan.

Ia mengunggah dokumen itu dan mengirimkannya pada Akashi, puas telah berhasil menyelesaikan tugas.

.:xxx:.

Ketika Akashi menginjakkan kaki di tanah Kyoto, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rencananya untuk mengakhiri hari hanya terdiri atas menghubungi sang ayah, lalu beristirahat, tetapi ketika ekor matanya menangkap sosok Aomine dan Kise di depan daun pintu apartemen, ia tahu rencananya tidak akan semulus yang dibayangkan.

Tetapi ia sedang dalam mood yang sangatbaik, terima kasih kepada seseorang. Bekas hangat itu masih belum hilang dari bibirnya. "Daiki, Ryouta. Sedang apa kalian di sini?" Akashi mendekati mereka.

"Akashicchi!" Kise memekik dan menerjangnya, mencengkeram pundak si kapten. "Kau harus membantu mereka! Kumohon! Pakai koneksimu, apapun, terserah! Aku tidak peduli! Tapi kau harus membantu mereka!"

"Tenang, Ryouta," ucapan Akashi tajam, satu tangan menyentuh kulit Kise. Cengkeraman pada pundaknya tidak menyakitkan, tetapi tidak pula nyaman. "Aku tidak suka diperintah. Kenapa aku harus?"

Aomine meraih kerah kaus Kise dan menariknya dari Akashi. "Dia masih syok," pemuda berkulit kecokelatan itu menggumam. "Beritanya tidak bersahabat."

"Berita apa?" Akashi menuntut.

"Ibuki menghancurkan reputasi orang tua Kise," Aomine meludah getir. "Dan maksudku menghancurkan, dia benar-benar menghancurkannya. Orang tua Kise diturunkan jabatannya hingga nyaris dipecat. Dan kau tahu sendiri ayahnya Kise adalah kapten pilot tertinggi atau sejenisnya… Gaji mereka dipotong lebih dari setengah."

"Mengerikan!" Kise mengusap mata dengan lengan jaket. "A-ayah dituduh dan 'dibuktikan' telah minum alkohol d-dan menyelundupkan n-narkoba, tapi aku tahu ayah tidak akan pernah melakukan itu! D-dan ibu disalahkan karena kebakaran yang me-menghanguskan gedung tempatnya b-bekerja seminggu lalu j-jadi dia tidak bisa bekerja lagi sekarang." Kalimat lanjutannya tidak koheren lagi, tertutup oleh sedu dan isakan. Aomine meraihnya dan mendekapnya erat.

"Aku tidak tahu bagaimana dia bisa melakukannya," Aomine menggeram. "Tetapi wanita itu berhasil 'membuktikan' tuduhan-tuduhan tadi benar. Hidup Kise berantakan sekarang."

"Tidak adil!" Kise terisak mencengkeram kaus Aomine. "Mereka menderita seperti itu k-k-karena aku. Aku sudah m-membuat wanita itu m-marah."

Aomine mendesis, mengusap surai pirang yang berantakan. Ia mengecup lembut puncak kepala Kise. "Sudah, diam," hardiknya pelan. Aomine bukan seorang yang lihai dalam menghibur, apalagi menenangkan. "Kau gemetar begini. Semua bukan salahmu."

"Aka-Akashicchi," Kise bergemeletuk lemah, emas kecokelatan bertemu heterokromia yang marah. "Kau harus melakukan sesuatu pada i-ibunya Kurokocchi… Dia akan menyakiti kita semua."

"Percayalah padaku, Ryouta," balasan ia terima dingin. Mood Akashi menghilang dalam sekejap. "Aku akan menghentikan wanita itu."

.:xxx:.

Setelah ia membayar taksi untuk Aomine dan Kise pulang, Akashi langsung menghidupkan komputer dalam apartemennya. Ia mengecek e-mail dan, benar saja, ada satu dari Midorima. Ia membukanya, melewati sejumlah daftar sumber artikel, membaca teliti catatan yang terketik. Tanggal dan jenis pekerjaan tercantum.

Kerja bagus, Shintarou. Akashi membuat rencana untuk menuntut kapten tim Shutoku agar memotong jatah latihan si shooter setengahnya. "Penyanyi dan aktor, hm? Kenapa tidak ada yang menyebutkan nama?" Ia membaca sisanya. "Kesuksesan bisnis yang makin melejit setelah kematian kedua orang tua? Ada transaksi—21 Desember. Pasti ini tanggal kuncinya."

Ia membuka tab browser baru dan mengetikkan sejumlah kata kunci. Tujuannya sekarang adalah mencari daftar nama penghibur yang meninggal seminggu sebelum tanggal 21 Desember pada tahun yang sama Ibuki membeli saham perusahaan Jingun. Setelah mengeliminasi sumber palsu, hanya tujuh nama tersisa.

"Tujuh, hm?" Akashi membaca dari awal. "Dua dari mereka bukan penyanyi atau aktor. Tersisa lima." Ia meregangkan tangan. Akan kuteliti latar belakang satu persatu dari lima orang ini.

Ia melirik ke samping, di mana sebuah papan Shogi terbuka di atas meja kamar, bidaknya masih dalam posisi yang sama terakhir ia bermain. "Nah, Ibuki," Akashi menggumam.

"Kau sudah melangkah, kini giliranku."

.

.

.

[Tbc]