Fandom: Kuroko no Basuke/Kuroko no Basket

Author: Shana Nakazawa

Chapter: 11/?

Jumlah kata: 2.438 kata

Summary: Kise Ryouta adalah boneka. Ia digerakkan oleh hal yang membesarkan namanya, dan ia juga dijatuhkan karenanya. Di saat dunia tak berpihak padanya dan Kise merasa telah muak, malaikat pun datang menolong. Pertanyaannya: dapatkah?

Warning: (possibly) OOC. AU. Disturbing materials; usage of children, bullying—both cyber and RL, rape/non-con, self-harm. GoM/Kise, dominant AoKise.

Note: Berdasarkan kisah nyata. Kredit diberikan kepada (alm) Amanda Todd, sekaligus sebagai pesan untuk menyampaikan gerakan stop bullying! Dipersembahkan sebagai karya NaNoWriMo. Dipersembahkan sebagai salah satu entri challenge "Pestisida Untuk Hama: 21 fanfict 21 genre" oleh Hama Hitam; genre hurt/comfort.

Disclaimer: Kuroko no Basuke/Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi. Cover © Zitronenkirsche [zerochan #1292621]. Sono Saki wo Oshiete © ESCAPIZMA. Tidak ada keuntungan materiil yang diperoleh dari membuat ataupun mempublikasikan fanfiksi ini. Fanfiksi ini dibuat hanya berdasarkan tujuan kepuasan pribadi.

.

.

.

Winter in Disguise


[ xi. talking that far ahead ]

"Somehow, this time, it seemed kind of like fate. It must've been that ball that brought us together."

"The basketball of fate, huh …."


Kehidupan sekolah Kise nyatanya tak seindah yang ia kira. Seharusnya ia sudah mengira. Mencari masalah dengan berandalan adalah hal yang sangat ingin pemuda itu hindari. Namun Kise tak menyesal pernah menolong Kawahara dari Tanaka.

Semuanya berawal pada hari pertama Kise bersekolah. Awalnya Kise tak menyadari bahaya yang mengintainya. Padahal, bahaya sudah mulai mempersiapkan perangkap.

"Kise-kun, sampai jumpa besok!" seru beberapa gadis sambil melambai padanya.

"Tentu, sampai jumpa besok," balas Kise sambil tersenyum. Hal itu menyebabkan para gadis merona dan terkikik.

Kise melangkah ke luar gedung sekolahnya. Angin terasa bersahabat hari ini.

"Jadi, itu Kise Ryouta? Dia kelihatan lemah. Kau tidak berani melawan orang macam dia, Tanaka?"

"Maaf, Haizaki-san, aku bukannya tidak berani. Hanya saja—"

"Ah, banyak alasan! Kali ini kau kumaafkan karena dia sasaran yang bagus. Juga kebetulan aku tahu persis bagaimana kita bisa bermain dengannya."

Di sudut sekolah yang dekat dengan Teikou, beberapa pemuda berkumpul. Semuanya dapat langsung dikenali sebagai berandal. Mereka bahkan tak repot-repot menyembunyikan pakaian yang berantakan, sikap-sikap menentang dan gaya urakan.

Adalah Haizaki Shougo, pemimpin kelompok berandalan Fukuda. Ia merupakan siswa kelas dua belas SMA Fukuda Sougo, SMA yang nyaris berseberangan dengan SMP Teikou.

"Apa maksudmu, Haizaki-san?" tanya Tanaka, heran mendengar perkataan Haizaki.

"Ada suatu alasan mengapa aku menjadi ketua kelompok berandalan, Tanaka. Dan sebentar lagi sang model tampan Kise Ryouta akan mengetahuinya—sayangnya, dengan cara yang kasar," sahut Haizaki, sarat akan implikasi.

Sebenarnya masih banyak tanda tanya di benak Tanaka dan juga anggota kelompok berandal Fukuda yang lain. Akan tetapi mereka tetap menyimpannya untuk diri mereka sendiri setelah Haizaki menyatakan keengganannya untuk berbicara lebih jauh secara nonverbal.

"Lalu bagaimana kita memulainya?" tanya seorang pemuda di belakang yang sedang menghisap rokok. Tanaka mengiakan.

"Seperti dalam seks, kalian harus melakukan persiapan awal dahulu untuk mendapatkan hasil maksimal. Ini juga sama. Aku yakin dengan memberikan permainan-permainan kecil di awal dan diberi sentakan hebat setelahnya akan membawa kita pada reaksi paling memuaskan. Apalagi kali ini target kita adalah Kise Ryouta. Orang yang spesial seperti dia harus mendapatkan perlakuan spesial juga," jelas Haizaki panjang lebar.

Tanaka mengangguk-angguk. "Kalau begitu, aku dan Kai yang akan memberikan permainan-permainan kecil di awal itu, 'kan?" tanya sang pemuda.

Haizaki menoleh padanya. Sebuah seringai menghiasi wajahnya. "Benar. Lalu, jika saatnya tiba … akan kuhabisi dia dalam sekali tembak."

Ekspresi Haizaki membuat anggota Fukuda bergidik. Mereka mengakui kemampuan ketua mereka tersebut. Bukan hanya karena kemampuannya dalam berkelahi, naluri kriminal mengalir dalam nadinya. Ia adalah seorang penjahat alami yang akan berbahaya jika dibiarkan, seperti psikopat atau sosiopat.

"Lalu, Tanaka," Haizaki berkata lagi, "kali ini jangan sampai gagal."

Tanaka menelan ludah sebelum mengangguk. Ia dan Kai lalu undur diri.

Haizaki menatap ke gerbang Teikou yang masih dipenuhi para siswa dan siswi yang berlalu-lalang. Mulutnya membentuk kurva persamaan positif yang tak terlihat ramah sama sekali.

"Hmm, tak buruk untuk sebuah tangkapan, sama sekali tak buruk. Selamat datang dalam duniaku … Kise Ryouta."


"Hei, hei, Kise-kun, kemarin pemotretanmu untuk majalah itu bagus sekali, lho! Aku bahkan menabung untuk membelinya saat tahu Kise-kun ditampilkan di majalah itu," kata salah seorang gadis yang mengikutinya ke kantin.

"Eeeh, aku belum beli. Kakakku yang akan membelikannya hari ini. Aku jadi penasaran!" sahut seorang siswi lainnya.

Kise hanya tersenyum saat dikelilingi para gadis yang amat antusias akan kehadirannya. Terkadang ia tertawa bersama saat mereka membicarakan sesuatu yang lucu. Kemampuannya beradaptasi memang sangat baik.

Kise melewati lorong tanpa memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Sayangnya, itu adalah kesalahan fatal.

"Tidak usah jadi terlalu sombong, jalang."

Kise merasakan keseimbangannya limbung. Orang yang membisikkan kata-kata tersebut di telinganya dengan sengaja menyandung kakinya hingga ia terjatuh dari atas tangga yang agak tinggi.

"Kyaaaa!"

"Kise-kun!"

Kise tak mendapat cukup waktu untuk mempersiapkan diri. Ia terjatuh dengan bunyi debam keras yang menarik perhatian. Orang-orang bergegas menghampirinya yang terbaring di lantai.

Dari sudut matanya yang mulai buram, Kise dapat melihat orang yang menyandungnya menyeringai puas dan pergi. Kesadaran menghantam Kise bagai serbuan banteng; itu adalah Tanaka.

Suara-suara di sekitar Kise mulai berubah-ubah antara samar dan jelas seperti radio yang frekuensinya diubah-ubah. Kelopak matanya bertambah berat. Tubuhnya menyerah pada rasa sakit dan berat yang menguasainya.

"—ne-kun, tolon—"

Hal terakhir yang Kise ingat adalah seseorang—seorang pemuda—menggendongnya, dan kesadarannya menghilang sepenuhnya.


"Ukh …."

Kise membuka matanya yang terasa amat berat. Iris topas mengedip sayu. Segalanya terasa buram, dan semakin Kise mencoba untuk fokus, kepalanya berpusing seperti terjadi gempa bumi. Akhirnya Kise berhenti sejenak, memejamkan mata, lalu membukanya lagi dan mengerjap-ngerjapkannya.

Rasanya jauh lebih baik. Perasaan pusing itu masih membekas, namun setidaknya sekarang sudah berkurang dan pandangannya sudah lumayan jelas. Pancaindra Kise sudah lebih tajam, dan ia dapat mendengar bunyi-bunyi samar di ruangan tempat dia berada.

Kise tersadar. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi. Kepalanya terasa sakit dengan mengingat, namun akhirnya Kise sampai pada memori yang tepat.

Ah, ya, batinnya. Ia disandung oleh Tanaka hingga jatuh dari tangga dan kehilangan kesadaran. Untunglah sepertinya tak ada luka berarti.

"Kise-san? Ah, kau sudah sadar, syukurlah," ucap seorang wanita dalam balutan jas putih. Ia tersenyum pada Kise.

"Saya di mana?" tanya Kise untuk pertama kali. Pemuda tampan itu dapat menyadari betapa parau suaranya sendiri.

"Kau di UKS. Benturan karena jatuh dari tangga itu memang tak bisa dianggap enteng. Kau menderita gegar otak ringan dan beberapa memar. Namun tak ada yang parah, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau diperbolehkan pulang jika merasa tidak dapat melanjutkan pelajaran," kata guru piket UKS tersebut.

"Saya ingin istirahat sebentar," jawab Kise lagi, masih dengan suara serak.

Guru wanita itu tersenyum penuh pengertian. "Tentu saja," katanya. Ia menyodorkan segelas air putih pada Kise yang diterima sang model dengan penuh rasa terima kasih.

Wanita tersebut duduk di kursi di sisi ranjang Kise. Senyum tak pernah luntur dari bibirnya. Ujarnya, "Kau beruntung. Kau cepat mendapatkan pertolongan pertama, dan tubuhmu kuat menahan benturan. Istirahat sehari atau dua hari, dan kau akan kembali fit seperti semula."

Kise hanya mengangguk. Ia teringat akan pemuda yang menolongnya. Model beriris topas itu menoleh pada sang guru, berniat menanyakan hal itu.

Seakan dapat membaca pikiran, guru itu menjawab, "Aomine-kun menggendongmu ke sini. Kau harus berterima kasih padanya."

Kise mengumpulkan suaranya sebelum membalas, "Saya tidak mengenalnya. Tolong sampaikan terima kasih saya padanya yang teramat sangat."

Guru itu tersenyum penuh pengertian lagi. "Tentu saja. Saya yakin Aomine-kun akan senang mendapatkan ucapan terima kasih darimu."

Kise mengangguk dan merebahkan kepalanya. Tubuhnya terasa begitu lelah dan sakit. Ia butuh istirahat, sangat butuh. Karena itu, seakan kembali membaca pikirannya, guru wanita tersebut bangkit dan meninggalkan bangsal Kise sambil berkata, "Istirahat yang cukup, ya. Saya akan ada di depan kalau kau membutuhkan saya."

Kise mengangguk dan tersenyum. Matanya yang memiliki bulu mata lentik menatap kosong ke hamparan putih langit-langit UKS. Bau obat yang khas menusuk hidungnya. Kise tak pernah merupakan penggemar obat-obatan.

Pemuda tampan itu mengesah. Matanya tampak sayu. Pikirannya terbebani oleh apa yang terjadi padanya. Tidak, bukan sakit fisik yang ia pikirkan. Batinnyalah yang terusik. Ia memang pernah menjadi korban penindasan alias bullying, namun ia berharap sesuatu akan berubah di Teikou. Ternyata semuanya sama saja.

Apa masalahnya dengan Tanaka, apa!? Sudah Kise duga, terlahir dengan kesempurnaan fisik adalah kutukan baginya. Jika ia dapat meminta untuk dilahirkan kembali, mungkin menjadi orang hina lebih baik dari ini.

Pada akhirnya Kise sampai pada konklusi bahwa sebanyak apapun ia mengeluh, takdirnya takkan berubah. Ia hanya harus bertahan menghadapi Tanaka. Seorang bijak pernah berkata, memikirkan suatu masalah terus-menerus hanya akan membuat kita terparalisis. Kise pun mengalihkan perhatiannya.

"Ah, ini akan hilang cukup lama," gumamnya saat melihat memar di lengannya. Memar itu membiru, namun untungnya tak begitu besar. Pemuda itu lebih khawatir mengenai pekerjaannya yang akan terganggu jika memar itu tak kunjung hilang.

Desahan Kise sarat akan keluh dan kesah. Ia menahan kesal dan sedih yang ia rasakan dan menelannya bulat-bulat. Semua takkan menjadi lebih mudah.


"Aku pulang," ujar Kise setelah sampai di rumah. Ia membereskan sepatunya dan melangkah ke kamar. Tubuhnya benar-benar lelah setelah dibawa berjalan pulang dalam kondisi terluka. Untunglah rumahnya tak begitu jauh dari SMP Teikou.

"Selamat datang. Ryouta, kau kenapa? Apa kau sakit?" tanya ibu Kise, segera setelah menyadari betapa kuyu putra semata wayangnya ini.

Kise memaksakan sebuah senyum. "Tidak apa-apa, Kaa-san. Hanya saja … hari ini cukup melelahkan," jawab Kise.

Ibunya masih tampak curiga, namun dapat menangkap keengganan yang ditunjukkan putranya tersayang. Wanita paruh baya itu mengangguk, mengatakan, "Baiklah. Kalau begitu cepat mandi. Kaa-san sudah menyiapkan air hangat. Setelah itu kita makan malam."

Kise mengiakan dalam sebuah gumaman yang nyaris tak dapat didengar.

"Ah!" Kise menjerit pelan saat tangannya tak sengaja menekan memarnya. Otaknya mengirimkan impuls pada sensor motoriknya, membuatnya tersentak dan mengernyit kesakitan.

Kise lebih berhati-hati berikutnya. Saat air hangat menyapu kulitnya yang halus dan uap panas terasa olehnya, ia mengeluarkan desah nikmat. Pemuda tampan itu menenggelamkan diri dalam bathtub hingga sebatas dagu. Tubuhnya menyerah dalam kehangatan yang memanjakannya.

Kise beristirahat di sana, nyaris tertidur. Setelah mendengar suara ibunya memanggil dari bawah, Kise baru tersadar. Setelah menyahut terhadap ibunya, pemuda tampan itu segera menyudahi mandinya dan berganti pakaian.

"Ryou-chan lama sekali," komentar kakak sulung Kise saat adik bungsunya akhirnya muncul di ruang makan.

"Maaf, aku terlalu lama di kamar mandi. Hari ini aku lelah sekali," ujar Kise. Ia duduk di kursi yang telah disediakan.

Keempat anggota keluarga itu—kakak kedua Kise telah kembali ke Amerika Serikat—telah bersiap-siap untuk makan ketika kakak Kise menyela, "Tunggu. Ryou-chan, memar apa itu di lenganmu. Lalu di pergelangan tanganmu juga?"

Ayah dan ibu Kise segera menatap putranya. Tatapan ibu Kise menajam. "Ryou-chan, jadi kau memang sakit. Apa ada yang kausembunyikan?" tanyanya.

Kise tak dapat berkata apa-apa di hadapan sorot mata menginterogasi keluarganya. Ia terdiam beberapa saat. Namun keluarganya tetap memaksanya untuk menceritakan segalanya.

"Aku … jatuh dari tangga di sekolah," jawabnya dengan suara teramat pelan.

"Jatuh dari tangga!? Kau tidak apa-apa, 'kan? Ada yang terluka? Oh, Ryouta, mengapa kau tidak mengatakannya pada Kaa-san?" Ibu Kise mengajukan serentetan pertanyaan dengan nada cemas yang kentara.

"Aku tidak apa-apa, Kaa-san, sungguh. Hanya gegar otak ringan dan memar ringan," jawab Kise, berusaha meyakinkan keluarganya bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sementara keluarganya panik, Kise menghela napas. Ia tak suka berbohong pada siapapun, terutama keluarganya, namun mengatakan bahwa ada anak yang menindasnya akan merepotkan mereka. Masalah Hanamiya sudah menghancurkan keluarga mereka dan Kise tak akan tahan jika dilanda masalah lain. Kehadirannya sendiri sudah cukup menyusahkan; popularitasnya memang sungguh alat pembunuh.

"Ryou-chan, biar kubatalkan semua pekerjaanmu. Kau harus istirahat yang banyak. Kaa-san, apa perlu kita periksakan Ryou-chan ke dokter?"

"Kau benar, Ryouko. Ryouta, besok kau tidak usah sekolah. Kita akan memeriksakanmu ke dokter. Tak ada yang tahu apabila benturan itu memberikan efek yang buruk padanmu."

"T-tetapi, Kaa-san—"

"Tidak ada tetapi. Kaa-san akan membuat surat izin untuk sekolahmu. Sekarang kau habiskan makan malam lalu istirahat yang banyak."

Kise memerhatikan ibunya dengan tatapan putus asa. Pemuda tampan itu menoleh pada ayahnya, meminta pertolongan, namun yang ayahnya katakan adalah, "Ryouta, turuti apa kata ibumu. Kami melakukan ini untuk kebaikanmu."

Lalu Kise menyadari bahwa sejak insiden Hanamiya, keluarganya menjadi amat protektif padanya. Kise dapat menyimpulkan bahwa kini keluarganya amat menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin dapat menyakitinya, karena mereka menganggap Kise menjadi makin rapuh.

Kise mengakui bahwa keluarganya tak salah. Beberapa sisi darinya berubah dan tak akan dapat kembali seperti semula. Akan tetapi bukan berarti ia ingin diperhatikan dengan berlebihan. Dia bukan lagi seorang anak kecil yang butuh dilayani dalam banyak hal.

Yah, namun apa daya. Kise akhirnya terpaksa menerima paksaan keluarganya. Sambil berusaha menghibur diri, ia mengulang-ulang pada dirinya bahwa keluarganya melakukan ini untuk kebaikannya. Ya, untuk kebaikannya.


Kise melangkah pulang. Ia melewati jaran memutar melalui gimnasium. Instingnya mengatakan bahwa Tanaka dan antek-anteknya sudah menantinya. Sudah satu bulan Kise menjadi siswa di SMP Teikou, dan selama itu pula ia telah menjadi bulan-bulanan siswa berandal itu.

Sebagai orang yang tak mau berpikir sulit, Kise selalu mencari cara terbaik menghindari Tanaka. Mungkin pemuda itu menganggapnya pengecut, Kise tak peduli. Ia tak ingin mencari masalah. Masalah sudah cukup tertarik padanya dan ia tak ingin membalas ketertarikan yang sama.

Mata Kise memancarkan rasa bosan. Sungguh, ia bosan dengan kehidupan monotonnya. Kise menginginkan sesuatu yang baru, sesuatu yang akan menyeretnya dari hidupnya yang seperti mayat hidup.

Tak adakah yang bisa menyelamatkanku dari neraka ini?

"Agh!"

"Maaf, maaf!"

Sambil memegangi kepalanya yang baru terhantam sesuatu, Kise menoleh. Ayolah, kau pasti bercanda, bukan? Benar-benar cara yang sempurna untuk mengakhiri harinya yang buruk.

"Hei, bukankah kau si model terkenal, Kise-kun."

Kise memungut bola yang dipakai pemuda tadi untuk melempar kepalanya—oke, Kise takkan menjadi terlalu percaya diri, terlempar ke kepalanya—dan melemparkannya pada sang empunya.

"Apa masalahmu?" sahut Kise dengan ekspresi kesal.

"Terima kasih," ucap sang pemuda, lalu berlari meninggalkan Kise.

Kise memerhatikan pemuda tadi. Ia berperawakan tinggi, dengan kulit cokelat dan rambut biru tua. Kise mendapatkan suatu sentakan. Ia merasa pernah melihat pemuda itu sebelumnya, hanya saja memorinya tak dapat diajak bekerja sama.

Lebih penting dari itu, Kise menyadari bahwa pemuda tadi tak sengaja melemparkan bola basket padanya.

Ah, basket. Ada rasa sakit yang menusuk dirinya mengingat olahraga yang satu itu. Terdapat rasa rindu yang bersarang dan terpendam di dasar hatinya, dan kini membuncah ke permukaan.

Tanpa Kise sendiri mengerti, kakinya membawanya ke gimnasium tempat pemuda tadi berlatih. Rasa penasaran berubah menjadi syok.

Kise bagaikan dihantam bintang-bintang. Permainan pemuda tadi terasa begitu halus dan murni. Gerakannya amat cepat dan kasar, namun ada sesuatu yang membuatnya terlihat begitu mengagumkan. Kise tak dapat berkata-kata. Sang model tampan terus berdiri di sana, memerhatikan bagaimana pemuda bersurai biru tua tadi bergerak lincah melewati lawan-lawannya lalu melakukan dunk yang begitu hebat.

Oh, ya ampun, batin Kise bersemangat, aku baru saja menemukan seseorang yang menakjubkan!

Pemuda tadi menoleh ke arahnya, sepertinya menyadari bahwa ia tengah diperhatikan oleh Kise. Akhirnya pemuda berkulit redup itu menghampiri Kise, tampaknya ingin bertanya ada kepentingan apa Kise di sini. Atau mungkin ingin menanyakan mengapa ia terus memandanginya, jika pemuda itu cukup berani—atau terlalu percaya diri.

Kise tersenyum lebar. Wajah pemuda di hadapannya menunjukkan rasa heran. Tak ada setitik pun keraguan dalam dirinya saat Kise berkata, "Bolehkah aku bergabung dengan klub basket?"


"If it wasn't for Aominecchi hitting me with the basketball, I wouldn't be here now."

"…"

"At that time, I … when I saw Aominecchi, it was like being struck by lightning. 'This is it, this person!' I thought. In that second, I felt like my heart was stolen.

There are lots of other amazing guys, too. But the one that won't ever leave my heart is … Aominecchi in the end."

.

.

.

Hey, that ball … if you hadn't picked it up …

What would you have done?


To Be Continued.


A/N:

Penggalan kata-kata di atas itu dari doujin ESCAPIZMA yang judulnya "Sono Saki wo Oshiete" atau diterjemahinnya "Talking That Far Ahead", hence, the title of this chapter. Seriously, best non-R18 doujin I've ever read. Jangan ngaku shipper AoKise kalo belum pernah baca doujin ini. Kalo dibaca di saat yang tepat, dengan musik yang tepat, dan benar-benar dihayati, saya jamin bisa nangis. Begitu canon, tapi rasanya lebih ke perenungan buat kita AoKise shipper mengenai hubungan AoKise. Nope, I'm not kidding. ESCAPIZMA emang seorang jenius sejati; all her works are always so Kami-sama!

Jadi … akhirnya Teikou arc resmi dimulai! Bukan Teikou arc di manga yang galaunya tak berujung itu. Well, walau ini juga bakal sedikit galau. ^=^

Pertanyaan, kritik, saran, pujian dan segala rupa sampaikan di review, because reviews are always greatly appreciated. Oh, favs and follows too. Jaa~

111713 1141 —Shana Nakazawa