Neko?

Summary:

Dihari itu, dimenit itu, didetik itu, aku menemukanmu di tengah derasnya hujan salju yang lebat. Didalam dinginnya salju dengan suhu minus di bawah no, kau terbaring kaku tak sadarkan diri tergeletak di jalan. Warning: Akashi neko x Oc (Again?), AU, OOC, full Typo, geje, abal bin abil(?)

Disclaimer : Kuroko no Basket – Tadatoshi Fujimaki

Pairing : Akashi x Oc.

Genre : romance/Drama.

Makasih udah review (bungkukan badan). Karena kalian, aku tidak jadi meng-hiatuskan fic ini. Aku pinjam kata-kata keramat para Author: DON'T LIKE, DON'T READ.

.

Gelapnya malam telah tergantikan oleh sang fajar. Mentari pagi tampak malu-malu terbit dari ufuk timur. Sinarnya yang teduh mulai merambah keseluruh hamparan langit biru. Sinar kakuningan yang lembut masuk lewat celah-celah sempit di antara korden berwarna hijau daun itu. Sinarnya merambat dan menerpa wajah seorang gadis yang sedang tertidur pulas di tempat tidur. Gadis itu menggeliat, terganggu akan hangatnya sinar dari sang surya. Kelopak matanya secara perlahan membuka dan mengerjap-ngerjap, pupilnya yang bundar menyesuaikan datangnya sinar.

'Sudah pagi' pikir Miu. Dia mengambil posisi duduk sebelum merenggangkan tubuhnya. Gadis itu menguap sebentar lalu menoleh ke samping kanannya. Kucing dengan warna bulu merah yang aneh sedang bergelung di situ, mirip bola bulu. Sudah dua hari berlalu sejak kejadian dia dijebak oleh sekumpulan preman jalanan. Dia juga sudah mulai terbiasa dengan kucing itu, meski terkadang dia membuat Miu bergidik ngeri. Bukannya terkadang, tapi selalu.

Miu beranjak dari tempat tidurnya menuju jendela yang masih tertutup tirai. Gadis itu menyibaknya lalu membuka jendela lebar-lebar dan langsung saja disajikan hamparan putih di sepanjang halaman apartemennya. Pagi ini memang terlihat cerah dan terasa sedikit hangat dibandingkan hari-hari sebelumnya. Langitnya pun lebih biru dari biasanya, meski hawa dingin masih terasa. Gadis itu menghirup kesejukan di pagi hari ini sambil menikmati kicauan burung-burung yang bersenandung. Sangat berbeda dengan suasana hatinya yang sekarang. Seulas senyum kegetiran terlukis di wajahnya. Hari ini tepat masuk tahun keempat sejak kejadian itu. Miu menghela nafas pelan lalu beranjak menuju kamar mandi sebelum mengambil seragam serta handuk.

Setelah selesai mandi, gadis itu berdiri di depan kamar mandi sambil memasang dasi bermotif kotak-kotak yang berwarna merah maroon. Dia sama sekali tidak sadar sepasang mata heterocrom menatap intens ke arahnya. Barulah dia menyadari sosok itu setelah sang pemilik mata heterocrom menyuarakan suaranya.

"Kau selalu berangkat sepagi ini?" tanya sosok itu.

Miu mengangkat wajahnya kemudian jantungnya terasa terlonjak. Setelah menyadari kalau sosok itu adalah jelmaan kucingnya, jantung gadis itu mulai berdetak teratur kembali. Oh, demi apa, laki-laki itu selalu berhasil membuat dirinya jantungan dan berpotensi mati muda. Apa lagi jika pemuda itu sudah mulai bermain dengan benda yang bernama gunting. Lagi pula dari mana pemuda itu belajar menggunakan benda yang awalnya terlihat biasa namun berubah menjadi benda terkutuk jika dibawa olehnya? Miu sama sekali tidak ingin tahu. Titik.

Miu beringsut mendekat. Setelah diperhatikan baik-baik, Akashi ternyata sudah memakai kemeja putih serta celana panjang berwarna hitam. Dua kancing di atasnya sengaja tidak dikancingkan dan lengan kemejanya yang ditekuk setinggi sikut. Miu heran, apa pemuda itu tidak merasa dingin? Padahal ini masih musim dingin meski cuaca hari ini terlihat lebih hangat. Miu sangat mengenal pakaian yang tengah dikenakan Akashi saat ini. Awalnya, pakaian itu milik ayahnya. Dia sama sekali tidak heran jika pakaian itu muat di tubuh Akashi, karena pada dasarnya, ukuran tubuh ayahnya tidak terlalu besar.

"Ya dan tidak." Jawab Miu. Gadis itu menyisir rambutnya yang panjang di depan cermin lalu mengikat rambutnya bergaya ponytail.

Akashi mengangkat salah satu alisnya, tidak puas dengan jawaban Miu. Miu dapat melihat Akashi yang tengah menaikan alisnya dari cermin didepannya lalu gadis itu kembali melanjutkan, "Ya, karena aku biasa berlatih memainkan biola saat pagi hari karena suasana pagi yang nyaman tanpa ada yang mengganggu. Tidak, karena aku terkadang mengunjungi makam kedua orang tuaku. Nah selesai. Seijuro, aku berangkat sekarang." Belum saja Miu beranjak, sebuah logam dingin menempel di pipi kanannya. Miu meneguk ludahnya dengan susah payah. dia sudah sangat hafal benda apa yang sedang bersentuhan dengan wajahnya itu. Apa lagi kalau bukan gunting, yang entah sejak kapan menjadi benda kesayangan Akashi Seijuro. Oh tuhan, sekarang apa lagi?

Akashi berdiri dibelakang Miu dengan tubuh yang direndahkan. Bibirnya berbisik di dekat telinga Miu, "Bukankah aku sudah mengatakannya dua hari yang lalu? Kau harus sarapan." Ucap Akashi mutlak. Kata-katanya penuh akan keabsolutan, sama sekali tidak dapat dibantah.

Ini dia. Salah satu dari sekian banyak yang membuat Miu merinding. Miu akui, Akashi versi manusia memang sangat menakutkan. Hiiiiii, dia tidak ingin mencari masalah dengan Manusia kucing jelmaan iblis, maka dengan cepat Miu mengangguk. Akashi tersenyum manis namun bagi Miu ada arti terselubung disenyuman itu.

"Anak baik." Akashi menjauhkan benda terkutuk itu dan beranjak keluar kamar.

Setelah Akashi pergi meninggalkan gadis itu sendirian di kamar, Miu mengerang frustasi sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah rapi. Sekarang apakah masih bisa dibedakan mana yang majikan mana yang peliharaan? Padahal sudah jelas saat pertama kali Akashi berubah wujud menjadi Manusia pemuda itu memanggilnya majikan kan? Kenapa sekarang bisa terbalik gini ceritanya? Dan hal itu semakin diperparah dengan adanya gunting yang sudah di kutuk didalam hati gadis itu. berlebihan mungkin, tapi itulah kenyataannya. lebih baik dia ke dapur sekarang sebelum Akashi kembali memunculkan kembali guntingnya.

Miu mengambil tas dan menentengnya menuju dapur dengan langkah tergesa-gesa. Aroma lezat tercium lembut di hidungnya saat Miu berada satu meter dari dapur. Dahinya mengerut samar. Miu semakin cepat melangkahkan kakinya dan melihat Akashi membelakanginya. Aromanya semakin kuat dan berasal dari Akashi. Suara khas penggorenngan yang saling beradu dengan spatula terdengar sedikit nyaring di telinga Miu. Sejak kapan Akashi bisa memasak? Seingatnya, kemarin-kemarin Akashi hanya diam menunggunya makan sambil duduk di atas meja makan dengan wujud kucingnya.

Miu duduk di salah satu kursi dari empat kursi di meja makan. "Sejak kapan kau bisa masak?" tanya Miu heran.

Akashi menjawab tanpa menoleh, "Aku mudah mengingat dengan sekali lihat."

Miu membuat huruf 'O' di bibirnya tanda dia mengerti, lalu keheningan tercipta. Diam-diam Miu menilai penampilan Akashi. tubuh pemuda itu mungkin saja lebih pendek dari Kise Ryouta tapi lebih tinggi darinya, kira-kira setinggi 180m mungkin. Telinga kucing yang senada dengan rambutnya bertengger di atas kepalanya. Tubuhnya tegap dengan bahu yang lebar. Pakaian yang ia kira awalnya terlihat kuno dan kurang menarik, kini terlihat berbeda ketika Akashi yang memakainya. Terlihat keren mungkin? Oh, yang benar saja, Miu tidak ingin mengakuinya. Matanya berpindah pada ekor Akashi dan langsung terpaku. Iris matanya bergerak ke kanan ke kiri mengikuti alunan ekor itu. sungguh, jika Akashi kucing yang jinak, dia tidak akan menyianyiakan kesempatan untuk memegang ekor beserta telinga kucing yang imut itu.

Miu tersadar dan menggeleng keras, darimana munculnya pikiran gila itu. mungkin saja dia akan keburu pingsan saat tiba-tiba saja Akashi berubah jinak. Mana mungkin iblis ada yang jinak.

Akashi selesai membuat sarapan, dia menaruh sepiring nasi goreng di depan Miu, menyuruh gadis itu untuk segera memakannya. Kata yang dimasksud meyuruh menurut versi Akashi adalah memperintah. Miu menyantap sarapannya segera. Hm, tidak buruk juga. Ah tidak, bukannya buruk, tapi sangat enak. Mereka berdua menghabiskan waktu dengan banyak diam, namun tak jarang obrolan ringan menghiasi suasana.

Setelah mengucapkan doa terima kasih atas makanan yang dia makan, Miu beranjak dari kursinya sebelum mengatakan akan berangkat dan di jawab Akashi dengan gumaman 'Hn'. Miu kembali menenteng tasnya, tak lupa membawa biola kesayangannya.

.

Saat ini dirinya sedang dikerumuni fans-fansnya seperti biasa. Gadis-gadis yang hanya menyukai penampilan luarnya dan berbicara sok akrab meski Kise sendiri tidak mengenal mereka. Kise sendiri memberikan senyuman serta meladeni mereka ala kadarnya. Dan disaat itulah iris kuning madu Kise menangkap sosok gadis yang tengah berjalan di depannya. Gadis yang ia kenal bernama Mizukawa Miu, gadis yang memiliki talenta tinggi dibidang music terutama alat music biola.

Celotehan-celotehan dari gadis-gadis yang mengerubungi seolah kalah dengan suara langkah kaki Miu. Pandangan mata pemuda pirang itu terkunci seuutuhnya kesosok gadis mungil itu sampai gadis itu berjalan melewatinya tanpa meliriknya bahkan menatap pun tidak. Ada getaran aneh didalam hatinya saat menyadari itu. apakah ia sedih? Apakah ia kecewa? Patutkah dia merasakan dua hal perasaan itu bersamaan. Padahal Kise baru pertama kali berbicara dengan Miu dua hari yang lalu saat dia memberanikan diri datang ke ruangan itu. jadi wajar saja kalau Miu hanya menganggapnya angin lalu, karena gadis itu sama sekali tidak mengenalnya kecuali dengan beredarnya gosip-gosip kepopulerannya di antara siswa-siswa. Pantaskah jika hatinya merasa sakit jika nyatanya seperti itu?

"Ada apa Kise-kun?"

Kise tersadar dari lamunannya dan menatap salah satu dari mereka yang menatapnya bingung. Kise kembali memasang topengnya, dia tersenyum pada gadis-gadis itu. "Maaf ya, sepertinya aku masih ada urusan. Bye." Kise tanpa pikir panjang beranjak meninggalkan mereka. Dia masih bisa mendengar mereka mendesah kecewa, biasanya dia akan tertawa dan menghibur mereka, tapi tidak untuk ini. Urusannya lebih penting dari mereka.

Kise bersembunyi di tembok dekat pintu ruang musik sambil mengintip ke dalam ruangan itu. kali ini dia tidak mendapati Miu seorang diri di sana, melainkan bersama dengan pemuda jangkung bersurai hijau lumut tengah berbicara dengan gadis itu sambil membawa setumpuk kertas di tangannya. Dia adalah ketua OSIS di sekolahnya, kalau tidak salah namanya Midorima Shintarou. Kise mengenalnya dengan pribadi yang kaku, tegas, tsundere, dan maniak Oha-Asa sejenis ramalan bintang serta selalu membawa benda-banda aneh kemana pun dia pergi. Aneh memang, tapi begitulah dia. Kise tidak bisa mendengar pembicaraan keduanya sampai dia melihat Miu menggeleng pelan dengan mengulum senyum. Midorima mengangguk singkat lalu mengatakan sesuatu, setelah itu beranjak menuju ke arahnya.

Kise melebarkan manik kuning madunya. Gawat, dia harus bersembunyi. Kise mencari tampat yang cocok untuk menyembunyikan dirinya. Tatapannya tertumpu pada meja di sampingnya. Sejak kapan ada meja di sini ataukah dia sendiri yang tidak menyadarinya. Langkah-langkah kaki Midorima semakin keras, menandakan dia semakin dekat. Tidak ada waktu untuk berpikir, Kise dengan cepat bersembunyi di balik meja itu tanpa menimbulkan suara. Dia melihat Midorima keluar dan berjalan pergi. Kise menghela nafas lega. Tapi… hei, kenapa dia harus bersembunyi segala? Belum selesai berdebat dengan batinnya, Kise mendengar alunan biola dari ruangan itu.

Nada-nada yang tercipta hingga menciptakan alunan harmoni tersendiri. Sungguh indah. Ia sangat menyukainya. Gadis itu pantas diberi label sang jenius musik oleh semua orang. Ia rasa kemampuan gadis itu dalam memainkan biola serta menciptakan lagu-lagunya hampir setara dengan tingkat nasional. Kise masuk dan bersender di tembok menatap Miu sambil meresapi tiap nadanya. Angin semilir menerpa helai demi helai rambut gadis itu dan menerbangkannya. Sinar pagi hari yang berkilauan sebagai backgroundnya. Bukankah ini menakjubkan? seolah alam tengah ikut menikmati alunan music yang dihasilkan dari gesekan biola Miu. Bagi Kise, saat ini Miu benar-benar mirip dengan lukisan yang dilukis oleh tuhan.

Kise semakin menghayati alunan irama itu. Bahkan perasaannya ikut terbawa. Lagu ini sangat berbeda dengan lagu yang biasa didengar Kise. Terkesan sedih, menekan, dan harapan yang kosong. Dia tidak terlalu bisa menggambarkannya secera jelas. Tapi… Kenapa gadis itu memainkan lagu yang seperti ini?

Miu tahu dia tidak sendirian di sini. Dia tahu ada seseorang yang tengah memperhatikannya. Bahkan dia tahu siapa yang melihatnya sedari tadi, tapi dia tidak mengubris pemuda itu. Miu lebih fokus dengan permainannya hingga lagu itu selesai. Miu kembali mendengar tepukan tangan yang meriah dari pemuda itu. Miu membuka matanya yang sedari tadi terpejam. Benarkan, pemuda itu lagi. Pemuda pirang yang tempo hari datang melihatnya bermain biola.

Kise tersenyum lebar. "Seperti biasa, permainanmu sangat bagus. Tapi, kenapa lagu yang kau mainkan terdengar menyedihkan?" tanyanya menyuarakan pikirannya.

Miu diam. Untuk apa? Dia tidak ingin mengatakan alasannya kenapa dia memainkan lagu itu. Dia punya alasan tersendiri. "Untuk apa? Aku hanya memainkan lagu yang menurutku ingin ku mainkan." Jawabnya.

Kise menaikan alisnya. "Benarkah? Jadi lagu itu kau pilih secara acak dan memainkannya?"

Sebelum Miu menjawabnya, bel terlebih dulu berbunyi. Miu menghela nafas lega. Syukurlah, dengan ini ia tidak perlu menjawabnya. "Kembalilah ke kelas, sebelum guru memarahimu."

"Kau sendiri?"

"Kise-kun tidak usah memikirkan aku, lagi pula aku di sini masih punya tugas yang harus kuselesaikan dari Midorima. Wali kelas juga sudah memberiku ijin Khusus untuk tidak mengikuti pelajaran."

Kise mengangguk-angguk mengerti. "Baiklah kalau begitu, aku duluan ya. Bye"

Miu menatap Kise sampai pemuda itu tak terlihat lagi. Ia memasang indra telinganya tajam, sepertinya Kise sudah jauh dari sini. Pertanyaan Kise terus-menerus berdengung dan berputar di kepalanya.

'Kenapa lagu yang kau mainkan terdengar menyedihkan?'

Kenapa?

Hari ini adalah hari peringatan kematian kedua orang tuanya tepat keempat tahun. Dan setiap hari peringatan itu, dia selalu memainkan lagu tadi. Bahkan orang-orang serta gurunya jika mendengarnya memainkannya selalu bertanya alasan Miu memainkan lagu menyedihkan itu. Gadis itu menutup matanya dengan lengan kanannya, menahan gejolak emosi yang merasuk dalam sukmanya.

.

Akashi beberapa kali menatap jam digital yang terletak di meja dekat tempat tidur Miu. Jam itu menunjukan pukul enam lebih. Tidak biasanya Miu terlambat seperti ini. Akashi menatap jendela yang sudah ditutupnya dari tadi. Cuaca diluar tengah bersalju, padahal pagi ini terlihat cerah tidak ada halangan. Apa gadis itu baik-baik saja?

Akashi bangkit dari tempat tidur itu. Tak sengaja iris heterocromnya menangkap lingkaran hitam yang menandai tanggal hari ini. Tanggal itu tidak mungkin hari ulang tahun Miu, sebab di buku harian Miu tidak bertanggalkan itu. tidak sopan memang, tapi dua kata itu tidak ada dalam kamusnya. Akashi berjalan menuju tempat tidur kembali kemudian berjongkok. Lengannya mencari-cari suatu benda persegi yang sudah dikenalnya.

Ketemu.

Akashi memposisikan dirinya dalam posisi duduk. Pemuda surai merah itu memasukan kode untuk membuka buku harian itu. Jangan tanya dari mana dia bisa mengetahuinya. Akashi membuka lembar demi lembar, mencari tiap tanggal yang betandai di kalender tadi. Dia menemukan tiga catatan, dan semua isinya kurang lebih hampir sama. Akashi dengan serius membacanya. Dahinya berkerut, menandakan dia tengah menganalis mengambil kesimpulan. Raut wajahnya berubah seiringan dengan berakhirnya bacaannya. Akashi berdiri, dia mengambil mantel hitam yang tergantung dalam lemari Miu. Langkah kakinya cepat serta terburu-buru. Dia tidak ingin membuang waktu lebih lama, jika ini dibiarkan lebih lama lagi, gadis itu pasti tidak akan pulang. Akashi keluar meninggalkan apartement dan segera mencari keberadaan Miu.

Dia berlari, berulangkali dia menabrak orang-orang yang berlalu lalang. Tidak dipedulikannya omelan serta makian mereka. Di otaknya hanya satu nama yang membuat hatinya tidak tenang jika tidak menemukan orang itu. Banyak orang memandang Akashi aneh. Akashi berhenti sebentar menarik nafas. Dadanya naik turun tak beraturan. Nafas pria itu mulai terlihat kelelahan. Uap-uap putih muncul saat dia bernafas. Temperatur semakin turun, salju juga kian dingin. Ini tidak baik, jika dia tidak segera menemukan keberadaan Miu bisa aja gadis itu akan membeku di luar sana. Akashi tertarik dengan pembicaraan dua orang yang tidak sengaja di dengarnya.

"Menurutmu, apa gadis itu baik-baik saja?" tanya pemuda bertubuh gemuk kepada temannya.

"Kurasa tidak. Aku sedikit mengkhawatirkannya, karena gadis itu terus berdiam diri didepan nisan itu." jawab laki-laki jangkung yang satunya.

Pemuda gendut yang tadi mengangguk pelan. "Tapi dia sama sekali menolak untuk beranjak dari makam itu."

"Mungkin saja dia punya alasan kenapa dia melakukan itu."

Kedua pemuda yang saling bertolak belakang itu berjalan melewati Akashi. Benar saja. Makam. Kenapa dia tidak memikirkan itu? tanpa membuang waktu Akashi kembali berlari menuju makam terdekat. Berlari Menembus angin.

'Dasar bodoh.' Maki Akashi dalam hati.

Sementara itu di Makam. Langit-langit yang semula cerah berubah kelabu. Kapas-kapas putih tidak henti-hentinya turun ke bumi. Suhu minus dibawah nol membuat tubuh gadis berusia enam belas tahun itu menggigil. Dia memang memakai syal rajut kesayangannya beserta mantel coklat moka, tapi kehangatan dari dua benda itu kalah dengan hawa dingin. Miu berlutut di depan nisan kedua orang tuanya. Disana tertulis Mizukara Minako, lahir: 1966/wafat: 2010, serta ayahnya Ichikawa Ushio, lahir: 1969/wafat: 2010. Kedua nisan itu saling bersebelahan serta terdapat tiga tangkai bunga lili putih di masing-masing nisan kedua orang tuanya. Dia sengaja meletakan bunga itu karena lili putih memiliki makna yang dalam; Kemurnian, kesopanan dan suci.

Hari ini adalah tanggal kematian kedua orang tua Miu. Tapi, tidak ada air mata atau pun isakan yang di perlihatkannya. Air matanya sudah mengering karena sudah terlalu banyak menangis. Kulitnya yang semula putih kini berubah kemerahan dan sedikit pucat karena terlalu lama berdiam diri. Telinga serta hidungnya membeku dan mati rasa.

Diam.

Dia hanya diam dan termenung. Tidak ada hal lain yang dia lakukan. Dia selalu bersikap seperti ini jika hari ini datang. Seperti tubuh yang berjalan tanpa ada jiwa. Wajahnya sama sekali tidak mencerminkan kesedihan. Datar dengan pandangan yang kosong.

.

"Miu… a- ayah dan ibumu kecelakaan."

.

Hembusan angin malam menerbangkan rambutnya. Dingin. Beku. Sama seperti dulu.

.

'Bohong. Jangan bercanda tante, ini sama sekali tidak lucu."

Ya. Dia tidak percaya. Dia tahu tantenya suka sekali menjahilinya. Ia tahu, cepat atau lambat tantenya itu pasti akan tertawa terbahak-bahak dan mengatakan 'Kau tertipu.'

"Tidak. Aku tidak bohong. Tidak kah kau mengerti, Miu." Selanjutnya yang dia lihat, tantenya itu menangis.

.

Gadis itu memejamkan matanya. Miu masih sangat mengingat kejadian itu. Kejadian empat tahun lalu yang membuat luka lama. Hari yang hampir mendekati natal itu berubah bencana. Tidak pernah terbayang dalam benaknya dia akan ditinggalkan orang tuanya secepat itu diumurnya yang sangat masih muda.

Saat itu keadaan sekitar sangat ramai. Suara sirine ambulan berdengung di antara isak tangis keluarga dan teman dekat. Semuanya mengeluarkan air mata namun tidak termasuk dia. Tatapan Miu kosong. Di dalam relung jiwanya terasa hampa. Gambaran-gambaran yang ia lihat serasa seperti sebuah drama yang lakonnya digerakan oleh sang dalang. Jasad kedua orang tuanya digiring menuju ke pemakaman.

Tidak!

Jangan!

Ia tahu orang tuanya hanya pingsan. Tapi kenapa mereka tetap menguburnya? Tidak. Mereka benar. Mereka telah pergi. Pergi meninggalkannya untuk selamanya. Kenyataan pahit langsung menapar Miu. Cairan bening keluar dari sudut-sudut matanya, mengalir lembut dan jatuh menetes. Miu menangis sejadi-jadinya, bahunya berguncang hebat. Tangisnya bagai tanggul yang jebol.

Semenjak saat itulah pribadinya berubah. Dia lebih pendiam dan menghabiskan waktunya bermain musik. Memainkan irama-irama kesedihan setiap peringatan hari kematian orang tuanya. Tidak ada seorang pun yang menghiburnya. Saudaranya jauh dari apartemennya. Mereka hanya sesekali mengecek kabarnya lewat telepon seluler.

"Sampai kapan kau akan berdiam di sini?"

Miu mengangkat wajahnya, menatap sang manic heterocrom. Padahal baru empat hari dia tinggal bersama Akashi, tapi entah bagaimana dia sudah menghafal nada khas pemuda itu. Dia melihat pemuda itu berdiri tegak dengan wajah datarnya.

Akashi diam, menunggu gadis itu mengatakan sepatah kata. Dia muak dengan ekspresi kosong yang terlihat hampa di wajah Miu. Itu bukna Miu yang dia kenal. Akashi tidak sabar menunggu gadis itu bicara saat dia baru akan membuka mulut, gadis itu mengalihkan tatapannya pada nisan dan menjawab,

"Kau tahu Seijuro, keyataan itu begitu pahit." Miu mengelus batu nisan ibunya menggunakan ujung-ujung jarinya. "Mereka pasti tidak akan memaafkanku karena aku jarang sekali menghabiskan waktuku bersama mereka." Miu menghela nafas.

"Dulu aku terlalu sering belajar musik hingga tidak terlalu memperhatikan mereka. Mereka pergi sebelum aku mengucapkan kata maaf."

Akashi diam menunggu.

"Karena itu, di waktu hampir mendekati natal, aku sengaja menyisihkan waktu luangku. Aku ingin bersama mereka." Tawa mengejek keluar dari sela-sela bibirnya. "Tapi apa yang kudapat Seijuro? Mereka meninggal. Meninggal karena kecelakaan." Tawanya semakin keras. Dia tertawa karena kesalahannya. Dia tertawa karena merasa bersalah.

Mulutnya memang tertawa, tapi hantinya menangis.

Akashi menatap nanar pada gadis itu. gadis yang biasanya terlihat tegar kini tertunduk rapuh dan rentan. Seolah-olah jika ada angin yang meniupnya, dia akan tumbang.

Tubuh Miu membeku mendadak saat sepasang lengan melingkar di tubuhnya. Kehangatan yang dirasakan Miu begitu nyata. Aroma mint yang begitu tajam menusuk indra penciumannya. Satu hal yang dapat dicerna otaknya; Akashi sedang memeluknya. Laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannya. Gadis itu begitu dingin, mirip bongkahan es yang ada di lemari kulkas.

"Menangislah." Bisik Akashi.

Miu tertegun kembali mencerna sesuatu hal yang tidak terduga dari pemuda itu. Kehangatan yang sudah lama tidak didapatkannya merangsang dirinya untuk melelehkan tembok beku dalam hatinya. Butiran permata bening mengalir pelan dipipinya, membentuk dua sungai kecil yang jernih. Miu menggigit bibirnya. Kedua bahunya berguncang.

Dia menangis.

Akhirnya, setelah sekian lama air matanya yang kering, kini kembali mengalirkan air yang tumpah ruah. Semua perasaannya ikut mengalir bersama jatuhnya sang permata bening.

.

Akashi menatap lembut Miu yang tertidur pulas. Sisa-sisa air mata masih membekas di wajah gadis itu. Akashi juga merasa lega karena Miu yang sudah lama menyimpan beban yang berat kini sudah sedikit terbebas. Akashi menaikan selimut mereka berdua semakin tinggi lalu Akashi merendahkan kepalanya dan mengecup sekilas kening gadis itu.

"Selamat malam putri." Lalu dia ikut terlelap disamping Miu.

Yang tidak disadari Akashi, Miu tengah tersenyum sedetik kemudian saat dia terlelap. Tersenyum karena merasa tenang.

xxxTBCxxx

maaf tiba-tiba saja chap ini tiba-tiba saja melenceng. Dan terima kasih sebesar-besarnya karena sudah review. Dan maaf karena detail dalam cerita gak terlalu bagus dan berantakan. chap ini udah saya perbaiki beberapa. jika ada yang kurang cocok atau masih ada typo, tolong beri tahu saya.

silahkan menanti next chap selanjutnya :)

Katakan pendapat kalian tentang kelanjutan chap ini. Silahkan review.