Neko?
Summary:
Dihari itu, dimenit itu, didetik itu, aku menemukanmu di tengah derasnya hujan salju yang lebat. Didalam dinginnya salju dengan suhu minus di bawah no, kau terbaring kaku tak sadarkan diri tergeletak di jalan. Warning: Akashi neko x Oc (Again?), OOC, full Typo, geje, abal bin abil(?)
Disclaimer : Kuroko no Basket – Tadatoshi Fujimaki
Pairing : Akashi x Reader.
Genre : romance/Drama.
Hai ketemu lagi dengan saya, . dan di sini saya menyajikan pairing Oc (lagi) dan entah kenapa saya jadi suka dengan si emperor (Akashi), ah, mungkin karena saya terpengaruh dengan fic-fic yang lain. Tapi chara yang lain aku juga suka kok. :D DON'T LIKE, DON'T READ.
.
Seorang gadis bersurai perak berjalan sambil mengeratkan jaketnya erat-erat di tubuh. Napasnya mengeluarkan uap putih. Sementara telinganya membeku dan mati rasa. Dia bahkan tidak dapat bernapas secara normal. Salju turun tanpa henti sampai nyaris memenuhi jalan raya. Dimana-mana yang terlihat hanyalah kapas-kapas putih yang melayang-layang di udara.
Dulu, ketika kecil, salju selalu membuatnya terpesona. Dingin yang dirasakannya tidak dapat mengacuhkan rasa kagumnya pada pemandangan putih di sekelilingnya. Berjalan, berlari, bermain dilakukannya tanpa perduli dengan suhu minus yang dirasakannya. Salah satu kegiatan istimewa yang ia lakukan adalah mendongak ke langit, membuka mulut lebar-lebar, dan menatap salju menari-nari turun sebelum jatuh ke lidah. Dia mengecap rasa dingin yang lumer di sana.
Namun, seiringan waktu, kini benda putih itu tidak lagi membuatnya terpukau. Salju yang turun deras seperti hujan tidak tampak cantik lagi baginya. Ternyata salju membuat banyak kecelakaan, ternyata salju membuat aktifitas manusia menjadi sulit, ternyata salju jika sudah menapak tanah akan berwarna coklat karena kotor. Tidak ada bedanya dengan segumpal lumpur dipinggiran trotoar.
Dan jangan tanyakan lagi dinginnya.
Gadis itu bernama Mizuki Miu, gadis yang terkenal akan kejeniusannya dalam music. Karena kecerdasannya itu, membuat guru musiknya menarik minat pada dirinya. Semua murid sudah mengetahuinya, bahkan seluruh sekolah. Miu mulai belajar bergaul dengan alat music sejak dia besekolah di sekolah dasar. Namun di usiannya yang ketujuh belas ini, ia lebih tertarik belajar alat music biola.
Sekali lagi dia melilitkan syal hijau miliknya, mencegah hawa dingin menerpa kulit-kulit lehernya. Ia tidak peduli butir-butir salju yang jatuh di kepalanya. Ia melihat jam di ponselnya. Pukul tujuh lebih sepuluh menit, sudah hampir jam makan malam. Ia harus mempercepat langkahnya jika tidak ingin membuat cacing-cacing di perutnya kelaparan. Sambil menggosok hidungnya yang terasa beku, gadis itu semakin mengetatkan jaketnya. Dia harus cepat mencapai tempat tujuan. Disana temperratur hangat dan segelas coklat panas dapat membuat otak yang setengah beku dapat kembali mencair dan berkerja normal.
gadis itu berjalan semakin bergegas. Sementara salju kian turun semakin deras.
"Miaw."
Miu menghentikan jalannya. Ia menoleh ke kanan lalu ke kiri dengan bingung. Apa tadi dia mendengar sesuatu? Merasa tidak menemukan sesuatu, Miu kembali melangkahkan kakinya.
"Miaw"
Kembali menghentikan langkahnya. Kepalanya kembali menoleh ke kanan, ke kiri, bahkan belakang. Tidak ada apa pun. Sebelum dirinya kembali melangkahkan kakinya, kedua bola mata emerland miliknya menangkap sesosok mahluk kecil berwarna merah dengan dua telinga yang lancip di kedua sisi kepalanya, dan jangan lupakan ekornya yang menjuntai. Sosok kecil itu berjalan terhuyung-huyung di depannya, namun tiba-tiba saja ia terjatuh dan tergeletak di tumpukan salju.
Pupilnya membesar, sedikit cemas ia berlari kecil menghampiri kucing dengan warna aneh itu. Ia berhenti di depan sosok itu lalu berjongkok. Jari-jari lentik tangannya menyentuh kaki mungil kucing itu.
"Hei, jangan mati. Bertahanlah." Miu mengguncang-guncang tubuh kecil itu, berharap ia akan bangun. Miu berdecih merasa usahanya sia-sia. Ia arahkan jari telunjuknya pada hidung mungil itu lalu bernafas lega ketika merasakan hembusan lemah dari hidung itu.
Ia tidak bisa berlama-lama mebiyarkan kucing itu kedinginan di bawah derasnya salju. Suhu minus dibawah nol ini bisa saja membuat kucing mungil itu mati kedinginan. Miu mengangkat kucing itu dan membawanya kedalam pelukan hangatnya. Sedikit tergesa-gesa ia berlari kecil meninggalkan tempat itu dan menuju apartemennya.
XXX
Miu menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Ternyata mandi air hangat diwaktu malam dapat membuat tubuhnya terasa segar dan rileks. Miu sudah mengganti seragamnya dengan kaos biasa dengan dipadukan celana pendek.
"Uhk perutku lapar." Gumam Miu pada dirinya sendiri lalu kedua kakinya melangkah ke arah dapur.
Gadis itu membuaka kulkasnya, memperhatikan setiap persediaan bahan makanan yang masih tersedia. Hmm, ada ikan, telur, beberapa sayuran, daging… hah… mungkin besok ia akan belanja, ternyata persediaannya sudah menipis. Untuk sementara, lebih baik dirinya makan malam dengan omlet saja. Ketika Miu hendak mengambil telur, ia teringat kucing yang ia pungut tadi.
"Mungkin saja nanti ia akan lapar."
Ia putuskan mengambil satu ekor ikan tuna ukuran sedang dan satu butir telur untuk dirinya. Miu menyiapkan penggorengan. Ia letakan dua bahan tadi di atas meja dapur untuk mengambil minyak di lemari dan beberapa bahan tambahan yang di perlukannya lalu mengolah semuanya menjadi masakan.
Miu memandang puas hasil kerjanya. Sepiring omlet lengkap dengan nasi putih dan ikan tuna goreng sedikit dibumbuinya tersaji rapi di meja dapurnya. Ia melirik jam dinding, pukul delapan lebih. Gawat, dia terlalu asik masak di dapur hingga membuatnya lupa diri. Dengan cepat ia bereskan beberapa alat-alat masak yang kotor dan ditaruhnya pada bak cuci piring. Setelah beres, dengan cepat ia membawa kedua piring itu menuju kamarnya.
Sedikit hati-hati, Miu membuka pintu kamar menggunakan kaki kanannya lalu berjalan perlahan. Mata zamrud Miu tertumpu pada sosok kecil yang terbaring diantara selimut hangat miliknya, menatap iris zamrudnya dengan kedua pupil yang memiliki warna aneh. Berwarna merah dan kuning keemasan.
Kedua mata emerland Miu memincing dengan dahi yang mengkerut. Miu sudah merasa aneh saat pertama kali melihat warna bulu yang terlihat tidak lazim itu. Lalu sekarang ia melihat warna pupil yang sangat, sangat tidak wajar di kedua mata kucing itu. Aneh. Sungguh aneh. Apa lagi saat kucing itu menatap dirinya seperti tatapan menyelidik dan penuh intimidasi. Seolah seperti ingin mengulitinya hidup-hidup. Miu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha menepis pikiran konyol yang lewat di otaknya. Miu memunculkan senyuman manis dan kembali melanjutkan langkahnya.
"Apa kau lapar?" ucap Miu lembut. Ia menaruh sepiring ikan tuna goreng di hadapan kucing itu.
Selama beberapa saat kucing itu menatap ikan tuna itu diam, lalu kembali menatap Miu. Miu menaikan alisnya tidak mengerti. Seperti mendapat ilham, Miu menganggu-angguk paham.
"Ah, benar juga. Mungkin kau sedikit kesusahan untuk memakan ikan yang masih berduri itu. Tunggu sebentar, akan aku hilangkan durinya." Dengan segera, Miu memilah-milah duri yang ada di daging ikan tuna itu. Bukan itu saja, ia juga membuat daging ikan tuna itu menjadi potongan-potongan lembut.
"Nah, selesai. Sekarang kau bisa memakannya dengan lahap."
Miu sedikit tersenyum tipis ketika melihat kucing itu mau melahap ikan tuna masakannya dengan lahap. Nah sekarang dia juga harus menyelesaikan makanannya juga. Miu mulai memasukan beberapa suapan kedalam mulutnya. Terkadang ia sedikit tersenyum geli saat kucing itu menjilat-jilat tuna dengan lidahnya. Tanpa ia disadarinya, iris heterocrom kucing itu juga terkadang meliriknya dengan tatapan sulit diartikan.
Miu mengalihkan tatapannya pada kucing itu, ketika merasakan sentuhan halus di pahanya. Ia melihat kucing itu merangkak mendekatinya. Tubuh kucing itu terjulur dan condong ke wajahnya. Awalnya Miu hanya diam, bingung melihat tingkah kucing itu, kemudian tubuhnya tersentak saat merasakan lidah kucing itu yang menjilat pelan sisa omlet yang tertempel pada pipi kirinya. Untuk beberapa saat iris heterocrom kucing itu hanya menatap manic zamrudnya, lalu ia kembali memberikan jilatan-jilatan di wajah membuat Miu kegelian.
"Ah, Hei hentikan. Kau membuatku geli." Miu sedikit merangkak mundur. Ia tidak tahan untuk tidak tertawa saat lidah itu bertubi-tubi menjilatinya. "Cu… cukup, hah, begini lebih baik." ucap Miu lega ketika kucing itu mulai berhenti menghujami dirinya jilatan. Miu mengangkat tubuh kucing itu dan ditaruhnya dilantai.
"Kau tunggulah di situ. Aku akan mengambil susu hangat untukmu." Perintah Miu. Kemudian ia bangkit dari lantai dan pergi keluar kamar.
Beberapa saat ia kembali ke kamarnya sambil membawa semangkuk susu hangat. Ia taruh mangkuk itu di lantai tepat di hadapan kucing itu. "Nih minum sampai habis ya." Ucap Miu pada kucing itu.
Miu menatap kucing itu dengan iris mata yang berbinar-binar, merasa senang. Wajar saja ia merasa senang. Sudah empat tahun dia hidup sendiri di aparteman miliknya. Ibu dan ayahnya meninggal karena kecelakaan. Sedangkan dirinya hanya anak tunggal. Biaya sekolah serta biaya kehidupannya sebagian dari uang orang tuanya, sebagian lagi dari hasil kerja part timenya di toko kue. Meski kucing itu bukan manusia, mungkin dirinya tidak akan merasa kesepian lagi.
"Hi, hi, hi, kau lucu sekali." Ucap Miu geli. Ia menyingkir mangkuk itu dan di pindahkan di atas meja belajarnya.
"Hm, karena kau sekarang menjadi kucingku, kau akan aku namai…" Miu memasang pose berpikir dengan tangan kanannya menyentuh dagu. "Umm… Akashi. ah ya, Akashi. Akashi Seijuro, kurasa nama itu cocok untuk mu." Ucap Miu semangat. Kedua mata itu kembali berbinar-binar menatap sang kucing.
Awalnya Kucing itu diam hanya menatap datar sang emerland kemudian sedikit-sedikit mulutnya bergerak, tertarik kebelakang mulai menampilkan sebuah seringai kecil. Mulut Miu terbuka, menganga, menutup, lalu menganga lagi, mirip ikan kelaparan. Dirinya terbengong-bengong, setengah menatap tidak percaya dengan seringai kecil yang dimunculkan kucing itu. Dia pasti berhalusinasi. Ya, pasti dia berhalusinasi. Mungkin saja ada yang salah dengan pengelihatannya. Miu mengucek kedua matanya kasar lalu kembali menatap kucing itu. Ia menghela nafas ketika tidak menemukan seringai di wajah sang kucing.
Miu beralih menatap jam dinding, sudah jam sepuluh tepat. Waktunya tidur. Miu kembali mengangkat kucing itu dan di baringkannya pada tempat tidur setelah itu, ia menempatkan dirinya di sebelah kucing itu. "Selamat tidur Akashi." ucapnya pada kucing itu sebelum menutup mata.
Kucing itu menatap gadis bersurai perak itu dalam keheningan. Ia tahu gadis itu sudah terbuai dalam mimpi jika dilihat cara gadis itu bernafas dengan teratur. Ia menyentuh wajah manis itu dengan salah satu kaki mungilnya. Membelainya lembut.
"Selamat tidur." Ucapnya sebelum terlelap.
.
.
"Um~" Miu mengerang, sedikit menggeliat dalam tidurnya. Ia berusaha berguling malas di kasurnya. Sempit. Kenapa sempit sekali. Seingatnya tempat tidur yang dimilikinya tidak sesempit ini. Kedua matanya enggan terbuka, masih terlalu pagi untuk bagun tidur.
Kedua alis Miu berkerut ketika merasakan sesuatu yang berat berada di pingganya. Seperti sepasang lengan yang melingkar sempurna di pinggang rampingnya. Tidak mungkin ada seseorang di apartemennya. Di sini Cuma dia yang tinggal sendirian kan?
"Sampai kapan kau akan menutup kedua matamu itu?"
Tubuh Miu membeku. Ia masih memejamkan matanya, menyembunyikan iris emerland miliknya di balik kelopak mata. Ia berusaha mencerna suara yang ia dengar.
Siapa?
Dia merasa tidak mengenal suara itu.
Itu tidak mungkin suara tetangganya.
Lalu siapa?
Kedua manic zamrud Miu terbuka tiba-tiba menatap pria asing yang melingkarkan lengannya di pinggangnya dengan iris melebar. Pria itu tersenyum lembut menatap dirinya dengan iris crimson dan topas.
"Selamat pagi Miu."
xxxTBCxxx
weleh weleh, padahal aku mau buat oneshoot tapi malah bersambung, padahal aku masih punya tanggungan dengan kedua fic ku di fandom kurobas ini. kalau kalian tanya kenapa fic ku yang lain tidak di lanjutin? itu karena ide lagi malas berdekatan dengan saya (-_-)
Tapi sayang sekali, chap ini lebih pendekan dari pada dengan fic-fic ku yang lain. Terlebih, kayaknya terlalu maksa deh, terlalu cepat ya?
Menurut kalian gimana? Apakah fic ini banyak typo-nya? Atau Akashi yang OOC?
Jika ada yang kurang paham, silahkan Review….