.

Farbe

Chapter 5

Warnings: Alternate Universe – City Setting, Alternate Timeline – Modern, Mythological Creatures, Backsound, Typo, Dll.

.

A/N: Semoga fik ini tak terlalu buruk-buruk sekali, saya sudah semaksimal mungkin membuat fik ini terlihat enak untuk dibaca.

Sebelum membaca, silakan baca perhatiannya dahulu. Jika ada yang tidak disenangi, silakan klik gambar unyu-unyu berbentuk tanda panah di sebelah kiri layar Anda.

Selamat membaca...


Entah sudah ke berapa kalinya Eren berulang-ulang kali berterima kasih kepada Instruktur Shadis. Kali ini masih dengan alasan yang sama; pemberian tumpukan tebal buku-buku yang membahas dunia manusia. Ya. Ia kembali teringat pada salah satu buku kecil tipis simpel yang bahkan sangat muat di dalam saku, berada di sela-sela buku lainnya, yaitu buku mengenai tata cara mengendarai yang baik dan benar.

Tertulis jelas di sana dengan nomor kecil di sebelah kirinya. Bagian yang juga sangat penting untuk diketahui, bahwa pengemudi kendaraan baik roda dua, roda empat, atau lebih, harus menyesuaikan diri dengan baik. Semuanya sudah ia baca sampai selesai, walau menurutnya tak ada untungnya untuk peri seperti Eren.

Tapi dari itu semua, Eren menggaris bawahi di bagian: mengambil posisi duduk yang nyaman, aman, dan tak terlalu berpotensi untuk sang sopir menabrak pengemudi lainnya atau sesuatu yang ada di sekitarnya.

Ya.

Posisi duduk menjadi pembahasan di sana. Dari telapak kaki sampai kepala dijelaskan dengan rinci. Sangat rinci sampai-sampai Eren harus mempraktikkan semua gerakan yang tertulis di sana dengan keadaan yang sedang duduk di atas dahan pohon saat masih di Elfame, dan mengakui jika ia harus membendung semua rona merah di wajahnya jikala mengetahui tindakannya diberi tanggapan aneh oleh peri-peri lainnya yang sedang berlalu.

Eren berkeinginan untuk meraba buku kecil itu lagi, ingin ia cium sampulnya, ia hirup aroma setiap lembarnya, dan ia buka lebar-lebar. Lalu dengan tanpa berperikemanusiaan ia akan menutupi wajah Rivaille seluruhnya dengan tulisan-tulisan itu. Kepingin sekali sang pemilik manik hijau menutup wajah sang raven yang sangat dekat dengannya ini.

Dekat. Tentu. Kelewatan dekat pula.

"Bisakah bola hijau itu tidak menatapku seperti itu? Aku merasa terganggu," komentar Rivaille yang masih belum juga menginjak gas walau kendaraan sudah dinyalakan.

Hembusan angin membuat bulu kuduk Eren meremang. Tubuhnya seketika lebih tegap dari yang awal saat menyadari sesuatu.

Merasa aneh, Rivaille mengernyit. "Mengapa tubuhmu bergetar seperti itu?" Tangan besarnya meraba pipi Eren, turun sampai ke leher, dan bergerak menyentuh tengkuk sang brunette.

Eren memeluk dirinya sendiri, dan bergumam, "...Dingin..."

"Hah?" Rivaille memastikan pendengarannya.

"Dingin!" Menaikan volume suara, Eren memejamkan kedua matanya.

Rivaille menaikan sedikit kepalanya. "Oh..." Sadar jika pendingin di dalam mobil hampir menyentuh batas. Ia langsung menurunkan suhunya.

Hembusan napas keluar dari sang brunette, tetapi saat itu juga ia kembali menahan napasnya saat kendaraan sudah melaju lambat. Masih ingat dengan posisi? Oke, Eren barusan sempat lupa.

"Bisakah Anda berhenti? Aku akan duduk di samping Anda jika mobil ini berhenti, aku janji tak akan membantah—"

"Mobil sudah berjalan, tak ada pemikiran kedua."

"Jahat—"

"Memang."

Eren mengembungkan pipinya, berurusan dengan seorang yang egois memang tak sempat ia pikirkan, malah sebenarnya ia tak ingin ikut terlibat dengan orang-orang seperti itu, dan nyatanya takdirnya memberikan cobaan. Membiarkannya dalam posisi seperti ini, tergencet oleh keadaan, dan di sana-sini ada bahan material yang dibencinya, cukup menggores batin seorang peri sepertinya. Mendesah kuat, sedikit menyesal karena tadi ia tak menurut, tapi sih yang jelas menurut atau pun tidak sama-sama tak enak.

Sedikit meregangkan ototnya, dan mengaduh begitu kepalanya terbentur kanopi mobil.

"Eren. Besi yang barusan kau lihat itu sebenarnya besi yang sudah terkena korosi lalu menjadi tipis dan rapuh," ucap Rivaille tiba-tiba, membanting setir begitu hampir menabrak pohon, dan sekarang ia tak bisa menyalahkan bocah di hadapannya karena ia sendiri yang menyuruh.

Bola mata hijau mengerjab berkali-kali. "Hah?" Berpegangan kuat dan menahan agar diri tak kembali membentur sesuatu.

"Rantai besi di rumah itu." Kali ini pelukan kuat didapati sang raven begitu jalan yang tak mulus dan belokan yang curam membuat Eren yang baru saja berpikiran untuk bertahan malah tak sengaja merasakan dinginnya benda material di sekitarnya tepat pada kulitnya. "Jangan cekik aku." Rivaille mengangkat dagunya, tubuh seratus tujuh puluh sentimeter di pangkuannya telah menutup setengah pandangannya.

Wajah pucat pasi. Eren tak peduli.

Sadar akan hal itu, mobil berjalan lambat seiringan dengan tangan Rivaille yang bergerak ke bangku belakang, mencoba mengambil sesuatu. Dan nyatanya dengan suara gemerincing besi yang saling menyentuh satu dengan yang lain, sukses membuat wajah Eren benar-benar panik sekarang.

"Ok-ok! Aku percaya, tolong jangan ambil rantai itu!" Dilanjutkan dengan jeritan.

Seekor rusa akan tertabrak mobil jika saja sopir tidak bisa mengendalikan mobilnya dengan benar.

Dan kali ini juga, Eren sudah tak kuat. "Bisakah kita berhenti? Kumohon, aku ingin berubah posisi. Ini sangat membuatku tidak nyaman." Sekitar dua menit mobil berjalan, dan nyatanya sang pemuda brunette tak bisa membohongi dirinya untuk memaksa bertahan.

"Tidak."

"Kenapa?"

Pekikan bak seorang gadis terlepas dari bibir Eren, empunya langsung merutuk akan Rivaille yang tak bisa berhati-hati pada belokan. Walau sebenarnya agak aneh saat wajah dengan gurat datar dan tegas itu bolak-balik melihat kaca yang berada di tengah-tengah atas mobil ini, seolah ada sesuatu yang membuatnya harus bergerak dengan cepat. Dan hebat jika sang pemuda akan peduli, karena nyatanya ia hanya acuh tak acuh, lebih mementingkan keadaannya.

Tarikan napas panjang. "Kita berhenti sekarang, dan selanjutnya kita akan tersesat." Manik hitam mengintimidasi, tak sengaja bertabrakan dengan tatapan hewan yang berada di atas pohon—salah, keduanya tak saling bertatap, karena pada kenyataannya hewan tersebut menatap ke arah yang lain, lebih jelasnya menatap ke sesuatu yang jika di kaca spion Rivaille terlihat seperti seorang manusia. Dan selanjutnya, decihan sial keluar.

Eren menaikan satu alisnya. "Kenapa—"

Rivaille memotong ucapan sang pemuda dengan menambahkan kecepatan kendaraan, sedikit berdecak tak suka karena ia dalam situasi yang rumit. "Aku melihat seorang petani dengan mata pijar, dan mengenakan sepatu secara terbalik." Hebat bisa mengetahui dari atas sampai bawah sosok yang ditemukannya, teliti memang sangat dibutuhkan, dan kejeliannya memang harus dipuji dalam keadaan seperti ini. "Bocah, kau ingat mengapa aku terlihat terburu-buru barusan?"

Lalu apa masalahnya? Jelas-jelas itu pertanda baik, bukan? Dengan itu keduanya bisa meminta tolong. Lantas mengapa Rivaille terlihat seperti dikejar hantu saja? Dan mengapa juga harus mengingatkannya akan beberapa menit yang lalu mengenai dirinya yang ditarik-tarik oleh sang raven demi menemui jalan pulang?

Seakan mengetahui pertanyaan yang tertulis di wajah Eren, Rivaille langsung menjawab dingin, "Leshy. Kau ingin kita bertemu dengannya? Dan itu juga sekaligus jawaban untuk pertanyaan kedua." Menghela napas panjang, sebelum kemudian dilanjutkan, "Aku pernah dengar dari ocehan orang-orang tak berguna. Bahwa makhluk itu sudah membuat beberapa petualang maupun orang yang sekedar melintas menghilang di tempat ini, dan juga diketahui beberapa di antaranya sudah tak bernyawa saat ditemukan."

"Oh..."

—Eh, tunggu.

Leshy? Bukankah itu makhluk yang melindungi hutan dan binatang yang menghuninya? Makhluk yang digambarkan seperti yang dijelaskan Rivaille. Makhluk yang dapat membuat sakit seseorang, dan bahkan memiliki kebiasaan menggelitiki orang hingga tewas. Makhluk yang suka menggoda petualang tersesat dengan suara yang dapat didengar seperti suara orang yang dikenal oleh korbannya.

Dan, eksistensinya selalu ditandai dengan kehadiran beberapa ekor beruang.

Dengan cepat, Eren langsung melihat keluar jendela sebelum kemudian jeritannya kembali menguar sadar akan binatang yang tak ingin ia temui—beruang—sudah berada di balik pohon yang baru saja dilewatinya dengan dua warna bak lampu terang yang mengerikan di balik kegelapan.

Tersadar, Eren langsung menganga. "SEBENARNYA TEMPAT APA INI—"

Lagi-lagi kecepatan harus membuatnya mengumpat jikala tak sengaja memeluk tubuh tegap Rivaille. Wajah khawatirnya sudah tak bisa disembunyikan.

Berdeham saat merasa telinga agak sakit, seharusnya Rivaille sadar jika membawa anak kecil di dalam mobilnya pasti akan terjadi hal seperti itu—nada melengking khas bocah, ia tak menyukainya. "Kau sudah menyadarinya?" Memutar matanya. "Mencegahnya hanya dengan kita berpakaian terbalik—maksudku, pakaian dalam kita kenakan di luar, dan lainnya." Jalan berbatu kembali menghadang, sedikit beruntung jika sang raven teringat akan tanggal terakhir ia membawa mobilnya untuk dimodifikasi dalam keadaan seperti ini. Ia membuat bemper, bodykit, spoiler, dan side skirt mobil tak terlalu rendah dan roda-roda besar yang cukup memberi jarak pada jalan.

Rivaille menatap ke arah leher Eren yang sangat jelas sekali bocah itu meneguk ludahnya.

Ini seharusnya sudah jelas, identitas Eren mengakibatkan diri harus menghindari beberapa hal yang tidak disukainya.

"Eren." Suara dalam yang serius, sedikit heran kenapa Rivaille menatap pemuda di hadapannya dengan sangat tajam, terlebih dalam keadaan gawat seperti ini. "Kau sebenarnya siapa?"

Lipatan di dahi lebih dari dua, hendak membalas dengan volume keras, menyebutkan namanya dengan lengkap, kalau perlu sekalian menyebutkan nama orang tua, keluarga, dan teman, dan memberikan akta kelahirannya sekalian saja. Kalau saja sang pengucap itu sendiri melanjutkan, "Manusia, tapi tidak sepenuhnya."

Eren meringis. Ya, dia ini peri, dan kini sedang menyamar menjadi manusia.

"—Tubuhmu, aromamu, darahmu, dan lainnya. Membuatku tak yakin. Sebenarnya siapa kau? Yang aku maksud, kau ini apa?"

Nyengir lebar. Eren menggeleng. "Aku manusia kok!" —Tapi bohong, melanjutkan dengan berbatin, pria bersurai arang ini tak akan sepenuhnya mengetahui setiap apa yang ia pikirkan, 'kan?

"Kalau pun bukan. Itu tidak meyakinkan jika kau makhluk lain seutuhnya," balas Rivaille yang butuh sekitar bermenit-menit untuk Eren mengetahui maksudnya.

Eren ini hanya peri yang menyamar menjadi manusia, 'kan? Lalu, apa maksud dari ucapan Rivaille?

"Bukan," komentar Rivaille yang membuat Eren membenci akan sesuatu di dalam pria itu sehingga seakan bisa membaca pikirannya saja. "Kau ini... aneh."

'SEBENARNYA SIAPA YANG LEBIH ANEH, TUAN—' jeritan bebas di dalam benak Eren yang seketika merasa emosian dalam sekejap begitu mendengar kalimat pengiris hati. Jelas-jelas Rivaille 'lah yang memulai pembicaraan aneh, kenapa sekarang dirinya yang dianggap sebagai kata 'aneh' itu sendiri? Identitasnya memang aneh, tapi 'kan enggak usah begitu juga.

Eren memalingkan wajahnya, lelah sudah dari tadi, bingung sudah sampai ke dalam otaknya, dan sekarang ia malas berbicara dengan Rivaille. Bisa-bisa, semakin lama keduanya melanjutkan pembicaraan, maka di saat itu juga identitasnya juga sedikit terbuka. Jelas aneh, bukan? Di dalam shoujo manga, identitas rahasia sang gadis ketahuan setelah waktu yang sangat lama bersama sang pria. Nah, sekarang, masa iya laki-laki di dekatnya ini bisa lebih tahu dahulu identitasnya hanya dalam satu hari—lebih tepatnya satu pagi? Enggak seru.

—Dan sampai sekarang pun, Eren juga tak sadar jika dirinya sudah mengumpamakan dirinya dan Rivaille sama seperti tokoh dalam manga romantis.

Suara seperti gemersik rumput yang entah mengapa bisa terdengar sampai ke dalam mobil.

Oh iya, mereka berdua melupakan sesuatu.

Gumpalan besar berwarna coklat menghadang mereka, seringai binatang di hadapannya sangat mengerikan jika gigi-gigi itu terlihat sangat runcing dan tajam. Sentak, Rivaille dengan cepat langsung memutar arah, sadar-sadar malah menembus rimbunnya pepohonan yang tertutup rumput-rumput tinggi. Sedikit berharap kendaraan ini tak akan rusak.

Ah, andaikan ini mobil sport khusus berpetualang, bukan untuk balapan.

Panik, Eren melingkarkan tangannya di leher Rivaille. Ingin ia peluk erat, tetapi takut menjadi mencekik seperti yang lalu dan malah membuat sang raven terganggu membawa mobil. Dan hal yang sangat ia takuti, mereka malah menabrak pohon, batu, atau hewan karena kurang hati-hatinya yang berawal dari cekikan sang bocah Jaeger. Bisa-bisa sebelum bertemu dengan Mikasa, seorang Eren Jaeger hanya dapat ditemukan namanya saja—bersama nama Rivaille juga seharusnya.

Lagipula selain itu. Mengapa bisa keduanya harus berurusan dengan makhluk itu? Memangnya Eren atau Rivaille merusak hutan? Memangnya keduanya sedang berpetualang?

—Sedikit ada benarnya sih. Mereka mungkin sekarang sudah merusak beberapa tumbuh-tumbuhan, dan juga sedang berjalan menuju jalan keluar.

Setitik air mata muncul di pelupuk mata Eren. Apakah umurnya akan berakhir di sini?

"Jangan terlalu panik, Bocah sialan." Napas Rivaille menerpa wajah Eren yang pucat. Menunjukan wajah yang sangat tenang, berbanding terbalik dengan sang pemuda brunette.

Ah, sopirnya sendiri saja tenang, mengapa ia sebagai penumpang malah ketakutan?

Hampir saja Eren menjedotkan kepalanya ke sesuatu apapun yang penting keras. Sadar jika memang sudah seharusnya seorang penumpang akan ketakutan jika nyawanya terancam, lebih-lebih dengan memiliki sopir seperti ini. Bukannya meragukan, tapi hanya khawatir.

Baiklah, itu sama saja.

Tak lama kemudian, teriakan bagaikan seorang gadis kembali menguar. Eren dan rasa takutnya yang sudah overload, menjerit histeris saat mobil sudah kembali pada tanah yang membentuk jalan seakan sudah pernah dilewati. Dan titik pusat dari penyebab ia menjadi seperti hanyalah karena ia tak sengaja mendengar suara tangisan yang sangat menyeramkan.

'Mama, Eren takut' —Rivaille bisa membaca jelas tulisan itu di wajah Eren.

Desah berat keluar. "Eren, tutup saja mata dan telingamu. Jangan melihat dan jangan pedulikan dengan suara-suara yang tak sengaja masuk ke telingamu."

"Ha-hah? Bagaimana bisa—"

"Sudah, ikuti saja. Ini perkataan terakhirku lima menit ke depan." —Rivaille bermaksud bukan 'perkataan terakhir' seperti orang yang ingin mati. Melainkan sebuah perintah agar Eren tak mendengarkan kata-kata yang bisa saja makhluk benama Leshy itu akan membuat suara sama seperti suaranya atau suara yang sangat bocah brunette itu kenal.

Eren menurut, merasa pilihan ini adalah pilihan terbaiknya.

Dan kini, untuk menambah keyakinan. Rivaille merogoh sakunya, mengambil serempangan benda yang ditemuinya. Sebuah earphone yang terpasang dengan handphone-nya. Langsung saja tangan kirinya memasang setiap bud speaker ke dalam telinga Eren, lalu menyalakan musik sekeras mungkin sampai empunya telinga tersentak kaget.

"He-hei, telingaku sakit! Da-dan apa ini?!" Eren hendak menarik benda yang melekat di telinganya—tapi tak bisa karena mobil kembali berjalan. Ia menggerutu langsung kepada Rivaille.

Salah satu tangan kekar Rivaille menarik Eren ke dalam dekapan, dan membuat posisi yang berkondusif untuknya agar bisa melihat jalan.

Setitik peluh jatuh dari pelipisnya, menemukan beberapa hewan seperti serigala abu-abu dan beruang berada di kejauhan. Berdecak, dan manik hitamnya menatap tajam seolah memberikan isyarat—yang entah mengapa sepertinya binatang-binatang itu dapat melihat sorotan mengerikan tersebut, dan kini beberapa di antaranya menjauh dari jalannya.

Selain itu juga—

Sadar tak sadar, Rivaille terlihat sangat defensif kepada Eren. Entah alasannya apa.

Hanya meyakinkan Eren bisa tenang dalam dekapannya. Lalu seolah tanpa masalah selama pusat perhatiannya sudah tak sepanik yang awal. Rivaille menginjak gas, tak peduli dengan apa yang akan ditabraknya. Berani menabrak sesuatu yang keras seperti batu atau pohon kecil, tak memedulikan jika mobilnya akan rusak. Tak ragu membelok dengan cepat sampai sosok di dekapannya memekik sekalipun jika di hadapannya memang ada sesuatu yang menghalangi.

Rivaille mengingat-ingat, jalan yang sepertinya pernah ia lewati. Merasa pernah mengingat, pernah melihat, tapi rasanya juga ingatan seperti itu tak pernah ada.

Matanya tak sabaran melirik terus-menerus ke arah jalan. Dengan insting, langsung saja ia membawa mobilnya melaju cepat menembus rasa ragunya. Mungkin dengan mengikuti kata hati, ia bisa keluar dari tempat ini dengan mudah—dan ia malah berecih sendiri, sadar jika dirinya adalah sosok yang selalu menggunakan logika seperti laki-laki normal lainnya, dan bukan seperti wanita yang selalu menggunakan perasaan. Ah, hanya kali ini sajalah.

BRAK!

—Rivaille menabrak seekor binatang yang melintas.

Dan tepat dugaan, Eren dengan setengah menjerit bertanya suara apa itu. Kemudian dengan tenangnya Rivaille menjawab hal yang sebenarnya sampai-sampai sang pemuda mengeluarkan cicitan ngeri.

Kembali menginjak gas. Semakin mendekap Eren erat, dan sosok dalam pelukannya malah terus meracau hal tak jelas sembari menenggelamkan wajah di bahu sang raven. Sebenarnya permintaan Rivaille hanya menyuruh untuk tetap tenang, bukannya memeluknya sampai seperti ini.

Bagaikan kapal yang terombang-ambing oleh gelombang kuat. Mobil yang mereka pakai saat ini juga sama seperti itu saat melewati jalan yang tak cukup rata. Rivaille berdecih, terus menambah kecepatan. Melewati jalan yang sedikit berlumpur, melewati beberapa jalan kecil yang diapit dua pohon, melewati batu-batu bulat yang sepertinya tak berpotensi untuk memecahkan ban, dan melewati beberapa sumber air kecil. Tindakannya saat ini mendapat perhatian penuh dari penghuni hutan.

Ah, ada burung cantik di atas sana.

Merasa sudah cukup jauh. Rivaille mengamati sekelilingnya; tak ada tanda-tanda hewan seperti beruang atau serigala di sekitar ini. Bisa dibilang sepertinya mereka sudah sedikit aman. Tetapi ia tetap menjalankan mobil, walau tak secepat yang lalu.

"Eren." Suara berat membuyarkan lamunan sang pemuda yang dipanggil.

Tapi tak ada respon, malah Eren semakin menutup telinganya rapat.

"Eren," ulang Rivaille yang masih juga tak dianggapi.

Berdeham memaklumi, padahal Rivaille bilang hanya lima menit saja Eren harus tak mendengarkan suara apapun. Tetapi, sekarang sudah pas pada waktu tersebut, dan sosok sang brunette masih tetap mengunci semua pendengarannya. Maka dari itu, dengan mencabut earphone dari telinga sang pemuda, lalu membisik, "Eren, kita sudah bebas. Tak usah menutup telinga terus."

—Baru sekarang, Eren mengangkat kepalanya. "H-huh?" Manik hijau mengerjap. "A-apa kita sudah bebas?" Dengan cepat melepas pelukan, lalu melihat ke luar jendela sana.

Rivaille mengangguk, Eren menghembus napas lega.

"...Aku mendengar banyak bisikan aneh barusan..." Sedikit heran sebenarnya. Bukankah Leshy menggoda dengan suara yang dapat terdengar jelas, bukan bisikan?

"Bisikan? Seperti apa?"

"Ya. Seperti bisikan yang memanggilku, menyuruhku membuka mata dan menemukan sang pembisik itu. Unnh, anehnya, hanya ada beberapa bisikan yang memiliki satu tujuan; 'menemukannya'. Tapi yang lebih herannya lagi—bisikan itu dengan suara yang sama."

"Suara siapa?"

"Aku tak mengenalnya—" Melirik untuk menenangkan diri. Yang malah tak sengaja manik hijau bertabrakan dengan warna biru yang bersatu dengan warna daun. Sampai Eren terdiam sejenak, mengamati lebih jelas karena warna gelap lebih mendominasi pengelihatannya. Dan begitu ia melihat warna seperti coklat dan merah, lalu seperti tubuh hewan berbulu, berkibas-kibas tak menentu. Sampai kemudian, satu hal yang membuatnya menyadari akan hewan apa itu—moncong panjang dari kepala mungil hewan tersebut.

—Seekor rubah. Dan yang ia tahu, rubah itu adalah rubah yang mengingatkannya akan gadis yang ia temui.

"A-ah! Bolehkah aku turun? Kumohon, sekali ini saja!" seru Eren tiba-tiba. Wajahnya berseri-seri, senang dan gembira bisa dilihat dalam satu pandangan. Entah kenapa, ia merasa desiran aneh begitu bertemu dengan rubah yang sama dengan rubah penolongnya—walau yang menolongnya saat itu adalah Rivaille—di hutan. Suka? Tertarik? Kagum? Ingin mengetahui lebih dalam? Mungkin itu yang ternyata perasaan yang ia miliki kepada sang rubah.

Menyaksikan ekspresi itu, kali ini Rivaille kembali terlihat aneh. "...Baiklah..." jawabnya yang sangat tumben sekali ingin menuruti kemauan Eren. Manik hitamnya sempat melihat ke kaca spion, dan hembusan napas panjang sadar jika tak ada sesuatu yang mengejarnya.

Membuka pintu mobil.

Dan wajah Eren sontak dihiasi rona merah jika tiba-tiba digendong ala bridal style saat keluar dari kendaraan. Tapi tak lama, ia langsung diturunkan.

Mata tajam menyebar mengintai. "Cepat selesaikan urusanmu, jika itu hanya ingin menemukan sesuatu atau alih-alih ingin kabur lagi."

Tak peduli, walau sempat wajah Eren dibuat masam oleh ucapan Rivaille.

Eren langsung saja mendekati salah satu semak-semak yang bergerak tak menentu. Tak takut berisi sesuatu karena yakin yang akan ditemuinya nanti adalah sang rubah merah, dan nyatanya demikian saat ia menemukan moncong rubah di balik sana.

Manik hijau menatap. Menemukan sesuatu yang lain pada sang rubah—sebuah kalung.

'Hei, bisakah kau membantuku?"

Eren merasa ada yang membisiknya. Suara yang sangat ia kenal, seperti suara yang barusan terus-terusan membisikinya, yang sebenarnya ia mengenali suara ini—suara dari seorang gadis berambut coklat kemerahan itu.

—Tunggu. Itu memang benar.

'Aku adalah gadis yang bertemu denganmuah, tapi tak penting! Sekarang aku hanya ingin bilang, mungkin kau akan heran kenapa aku bisa berbicara denganmuterlebih melewati telepati. Aku akan memberitahumu nanti. Sekarang, aku ingin meminta sesuatu kepadamu!'

Tanpa basa-basi, sang brunette langsung berjongkok dan mendekatkan wajahnya ke sang rubah seolah-olah ingin mendengar bisikan itu lagi. Sampai-sampai pria di belakangnya berdecak karena menyadari ini akan berlangsung lama, dan mungkin sekaligus juga heran karena melihat Eren bak orang aneh yang seolah-olah berbicara dengan rumput—mata hitamnya tak sempat menyadari ada seekor rubah di balik sana.

Menelengkan kepalanya. Bertanya, "Apa?"

Suara injakan daun tertangkap. Seolah ada sesuatu yang berbahaya, Rivaille menajamkan pengelihatannya. "Cepatlah, Bocah."

"Iya, iya, tak akan lama!" Tapi tatapannya masih terfokus pada sang rubah.

'Tolong bawa aku bersamamu,' pinta sang rubah mengharap.

Mengernyit langsung. "Eh?! Aku tak yakin apa aku boleh membawamu." Sedikit meninggikan suaranya sampai-sampai Rivaille merasa dirinya ikut dalam ucapan tersebut. Karena kata 'boleh' dalam kalimat yang diucapkan sang brunette seakan menyatakan diri tak menjamin akan izin.

'Makanya aku meminta padamu! Buatlah siapapun itu memperbolehkanku ikut denganmu. Ini penting, jadi cepat!' Sang Rubah mendekat, moncongnya bak sedang mengendus Eren.

Terdiam sejenak. Eren bersama pikirannya.

'Kalau kau yang meminta, pasti boleh!' tambahnya.

Eren semakin bingung.

'Cepatlah!'

Didesak oleh permintaan sang rubah, langsung saja Eren menyentuh bulu-bulu kemerahan itu, dan mengangkat tubuhnya.

'Tapi sebelumnya, tolong lepas dahulu kalungku.'

—Terlalu banyak permintaan.

Sedikit membuat raut masam, tapi Eren langsung saja menurutinya, melepas kalung tersebut dan seenaknya ia masukan ke dalam kantung celana. Ingin bertanya kenapa ia harus melakukannya, tapi ucapan seseorang di belakangnya yang menyuruh untuk tak lama-lama sudah terlanjur memaksanya cepat melangkah. Maka ia langsung sedikit berlari kecil sampai tak sengaja tersandung ranting pohon.

Dan sesuai dugaan, mata Rivaille menajam akan apa yang dibawa Eren.

"Ukh... etto..." Memeluk rubah yang dibawanya dengan tangan kiri, dan menggaruk pelipis dengan jari telunjuk kanan—ia harus menemukan alasan yang tepat.

'Begini. Ikuti ucapanku,' perintah rubah merah itu di sela-sela kebingungannya Eren.

Dan helai-helai coklat itu hanya terangkat ke atas lalu ke bawah pertanda mengerti.

'Jadi—'

"Ja-jadi—" Eren meneguk ludahnya.

'Maaf, mungkin Anda akan marah padaku...'

"Ma-a-a-aaf! Mungkin Anda akan marah—" Eren tergagap, dan belum selesai berbicara, gadis rubah di dalam dekapannya langsung menyela.

'Aku merasa rubah ini sangat manis! Apa boleh aku membawanya?' dilanjutkan, 'Jangan lupa pakai wajah yang memelas!'

Eren teresedak oleh ludahnya sendiri.

Wajah memelas? Ah, ia bahkan sangat sulit memasang wajah meminta yang baik, apalagi 'memelas' yang sudah jelas-jelas terlihat memohon.

Tapi ia akan mencoba sebisanya. "Aku merasa rubah ini sangat manis! Eh, apa? Ah! A-apa aku boleh me-me-me—apa tadi? E-eh, maksudku, apa boleh aku memeliharanya!" Terlalu terlihat seperti sedang berbicara pada orang lain selain sang raven, terlalu mudah ditebak oleh sang pria. Sampai-sampai kecirian sekali ada sesuatu yang aneh jikala sang brunette sempat menjatuhkan peluh. Sedangkan Eren sendiri malah menggerutu akan sang rubah yang terlalu percaya diri menyebut diri manis. Sedangkan ia sama sekali tidak mengkhawatirkan akan ucapan sedikit salah di bagian akhir karena terlalu terburu-buru dan tiba-tiba menjadi teralu gugup di hadapan Rivaille dan sorotan mengerikannya.

Rivaille bukannya mengamati sang rubah, malah mengamati paras Eren, seolah-olah ingin membaca secara jelas apakah yang sebenarnya terjadi di wajah itu.

Dan Eren semakin terlihat gugup. Yang entah kenapa wajahnya sedikit memanas dan malu—bukan karena dilihat oleh Rivaille! Ini karena ia tak tahu cara meminta yang baik. Ia yakin seperti itu. Sekaligus juga terlalu sulit membuat mimiknya memelas, dan akhirnya ia asal memasang raut yang ternyata malah terlihat sangat imut, bak seekor anjing yang memohon pada tuannya.

Suara tegukan ludah samar-samar. Entah darimana. Eren melirik kanan dan kiri.

"...Baiklah..."

Wajah Eren seketika menjadi cerah.

"Sekarang kau masuk ke dalam mobil. Cepat. Aku beri waktu sampai tiga detik, kalau tidak, kau tak boleh membawa rubah itu."

—Dan langsung menjadi panik dan membiru seketika.

Dalam hati, Eren bersumpah jika hari ini saja ia akan akrab kepada bahan material dibencinya.

.

Hijau sedikit berkilat-kilat bergambar rasa gembira yang berlebihan. Perasaan yang baru-baru ini muncul setelah melewati jalan yang seharusnya tidak bisa disebut jalan di dalam hutan. Melewati banyak pohon, batu, hewan, bahkan hampir menabrak salah satunya. Dengan sesuatu seperti tali yang mengikatnya di bangku mobil—ia tak tahu namanya—dan berpegangan erat pada satu pelukan terhadap hewan kecil dan manis yang bisa saja mati kehabisan napas di tempat kalau saja sang sopir tak mengingatkan.

Dan kini, alasan dari raut gembiranya hanya karena ia menemukan sesuatu yang menurutnya baru, sedangkan sosok di sampingnya saja menguap lebih dari lima kali karena bosan. Eren merasa sepertinya ia benar-benar sudah terbebas dari replika dunia dongeng dalam kertas yang entah mengapa bisa terdapat di tempat tinggal seorang manusia yang menjadi sumber dari segala tugasnya ini. Tak ada pohon aneh yang bisa melilit, tak ada makhluk aneh yang menakutinya ataupun mengancam nyawanya, tak ada apapun yang mengejarnya lagi. Akhirnya ia bisa bernapas lega, itu sudah membuatnya sangat bahagia melebihi apapun, sejenak ia lupa jika kebahagiaan ini adalah awal dari gerbang nerakanya.

Awalnya sedikit ragu menempelkan wajah di balik kaca. Sedikit penasaran akan apa yang ada di luar sana dari balik sini. Matanya hanya bisa menangkap beberapa rumah-rumah—menurutnya seperti itu walau ini adalah hal pertama baginya melihat objek dalam buku secara langsung—di dunia manusia yang lumayan berbeda dengan dunianya sendiri. Apalagi begitu melihat sesuatu seperti yang ia naiki berukuran lebih besar berjalan di samping, hadapan atau belakangnya. Beberapa hal baru untuknya sehingga ia jauh lebih mirip seperti orang desa masuk kota. Memang sakit dikatakan seperti itu, tapi keadaannya membuatnya sangat sulit menepis gagasan tersebut.

Matanya menangkap sesuatu. Melihat lingkaran besar yang sebenarnya sebuah pancuran air. Ia tercengang melihat air yang sangat jernih itu, alasannya hanya karena satu; di tempatnya air memiliki banyak jenis, ada yang warnanya sama jernih seperti itu, ada pula yang gelap dan mengerikan. Walau terlihat aneh, tapi ia hanya terkesan karena ada sesuatu yang menyembur di balik sana, apalagi sedikit terkena sinar matahari sampai-sampai ada bayangan seperti pelangi di atasnya. Itu sangat keren!

Tapi, seketika semua pandangannya diserap pada satu titik.

—Seorang gadis? Atau pemuda? Entahlah.

Berpakaian biasa seperti orang lainnya tidak seperti beberapa orang di sekitarnya. Terbilang seperti orang kaya yang berada di tengah-tengah orang lusuh. Senyum cerah diberikan pada satu orang anak kecil yang diketahui dari awal berteriak-teriak menyebarkan berita di pagi ini sembari menawarkan beberapa koran berisi berita hangat.

Eren ingin melihatnya—dan langsung dituruti oleh Rivaille yang menurukan jendela sehingga angin langsung menyapa serta merata wajah sang pemuda yang penuh dengan rasa penasaran.

"Wow, apa ini sudah biasa di tempatmu?" sedikit nada terkejut di pertanyaannya.

"Apa wajahku berkata 'baru' seperti kau?" Rivaille menjawab cepat.

Seekor rubah dalam pelukan Eren mengeluarkan moncongnya di balik pakaian, seolah-olah ingin ikut melihat tetapi tubuh 'tuan barunya' —entah sejak kapan ia menyebutnya seperti itu hanya karena cocok—sampai ia tak bisa melihat selain helai-helai brunette yang berkibar-kibar mempesona. "Hmm... aku hanya heran... mengapa mereka seperti terbagi menjadi dua kelompok? Seperti misalnya kelompok orang yang berpakaian bagus dan orang berpakaian jelek. Di dunia—ma-maksudku, di tempat tinggalku semua sama." Hampir saja menampar diri karena tak sengaja mengluarkan kata aneh yang bisa saja membuat Rivaille semakin curiga dengan dirinya.

Decak keluar. Rivaille memutar setir begitu konsentrasinya hampir hilang sampai-sampai ingin menabrak sebuah truk besar.

"Itu hanya hasil dari usaha dan kerja keras." Manik hitamnya menatap langsung wajah Eren. Tepat sasaran, bocah itu sama sekali tak mengerti sampai desah berat keluar dari bibirnya. "Kau tak perlu tahu itu."

Belokan yang tak mulus mengakibatkan Eren membentur entah apa itu yang menempel di atas sana. "Aw!" Langsung saja tatapan menyalahkan didapati Rivaille yang rupanya malah dibalas dengan dengusan.

Memalingkan wajah, sang Jaeger mengusap-usap kepalanya dengan mata tetap memperhatikan keluar sana, sedikit kesal sih, tapi tak masalah. Lebih baik ia kembali menatap keluar sana.

Hingga manik hijaunya tak sengaja bertabrakan dengan warna biru indah milik seseorang yang awalnya menjadi objek pengelihatan kini tak sengaja menatapnya. Mungkin alasan ia masih bisa melihat itu karena Rivaille membawa mobilnya memutari pancuran ini mengikuti kemauan Eren yang sekedar melihat-lihat.

Seorang gadis tetapi pakaiannya seperti seorang pemuda. Berambut pirang pendek, memakai kacamata, membawa beberapa koran pagi dan juga dua buku tebal dalam dekapan, dan pakaiannya tak terlalu mewah dan tak terlalu buruk. Keduanya saling bertatapan heran. Sampai senyuman manis diberikan khusus untuk Eren yang sedari awal memperhatikan terus. Berikutnya, sang pemuda brunette malah ikutan memberikan senyuman cerianya dihiasi sedikit rona merah tipis di pipi. Walaupun belum terlalu kenal, tapi itu adalah komunikasi paling sopan kepada orang lain menurutnya.

Deham menginterupsi. Kaca langsung ditutup sampai Eren memekik pelan dan mengerucutkan bibirnya tak terima. "Hei!"

"Kau terlalu lama melihat-lihat. Lihatlah waktu." Dagu Rivaille menunjuk ke arah sesuatu yang menyatu di dalam bagian depan mobil yang menunjukan angka-angka.

"Ini 'kan karena kau sendiri yang mempersilakanku melihat-lihat sebentar! Ah, pemandangan itu sangat bagus, aku ingin melihatnya lebih lama tahu. Iya 'kan, hei Rubah Manis?" Tatapan Eren langsung beralih ke arah rubah yang hanya mengendus-endus ke atas, baginya itu jawaban 'iya', sedangkan bagi Rivaille itu jawaban 'apa'. Beda pendapat dari pengelihatan memang sudah klise.

Kini, pinggir-pinggir jalan tak lagi diisi dengan bangunan-bangunan tinggi. Melainkan beberapa pohon yang mengingatkannya akan hutan yang lalu—tapi bedanya, tak ada jalan hancur, yang ada hanyalah jalan mulus berwarna hitam dengan garis-garis putih yang terputus-putus di tengahnya. Setidaknya tak ada guncangan tiba-tiba.

Desah kecewa dari pemilik pucuk coklat. "...Hah... aku berharap dapat menemukan gadis itu lagi. Aku harap kami dapat berteman!" Senyuman semringah membuat kedutan di wajah Rivaille.

"Gadis?" tanya sang raven seolah tak setuju. "Kau tak lihat jika pakaian yang dia gunakan itu? Dia seorang laki-laki." Ah, rupanya ada yang ikut melirik juga yah. Eren tersenyum sinis akan mata tajam itu yang masih bisa sempat-sempatnya melihat ke arah pandangannya.

Tapi selain itu—

"Eh?! Laki-laki? Tapi aku yakin dia itu seorang perempuan!" balas Eren tak setuju. "Aku yakin seyakin-yakinnya. Kau tahu, wajah itu terlalu cantik dan manis untuk porsi seorang laki-laki!"

"Oh, kalau begitu aku akan menunjukan seorang gadis yang lebih mirip menjadi seorang laki-laki."

"EEH?!"

"Sepuluh menit dari sekarang, kita sampai."

Dahi Eren terlihat jelas semakin berkerut-kerut, sama seperti pakaiannya yang sekarang. Pikiran baru menyerebak menerpa wajahnya. Jika sekilas, ia mengira pikirannya ini aneh tapi mengapa bisa nyata? Heran sih memang. Yang tentu pertanyaannya sekarang adalah; apakah di dunia ini sudah biasa ya masalah gender yang dapat tertukar-tukar dengan keadaan fisik? Laki-laki mirip wanita, dan wanita mirip laki-laki?

Kalau tak salah di dunianya memang ada yang seperti itu, tapi ia mengira itu tak berlaku di dunia manusia.

Ah, tapi untuk apa ia peduli dengan hal ini. Sedangkan tugasnya yang belum ia ketahui lebih rinci saja tak ia pikirkan serumit itu.

Menghembus napas panjang, suhu kembali menggigit kulitnya lagi, tambah-tambah dengan keadaan sekeliling berupa banyaknya pohon yang mendukung suhu semakin dingin. Eren melepas sepatunya, mengangkat kaki dan mendekap kakinya sendiri sampai rubah kecil dalam pangkuannya terpaksa meronta untuk mengingat sang brunette akan eksistensinya.

'Ada apa?'

Eren merasakan bisikan itu lagi.

"...Tidak... aku hanya teringat akan tugasku saja," balas Eren dengan suara yang lebih kecil dari bisikan, yang hebatnya sang rubah dapat mengerti apa yang ia ucapkan saat mengibas-ngibas ekor merahnya.

Decih keluar. "Oi, mobil ini sudah kotor, jangan ditambah kotor." Rivaille sangat ekspresif dalam memberikan raut tak sukanya.

"Kita 'kan habis dari hutan! Pasti kotor—lagipula, aku kira, mobilmu akan sama bersihnya seperti kamarmu. Rupanya tebakkanku salah. Ini bahkan lebih buruk daripada kamar seorang babu di desa!" Eren tak peduli pada komentarnya. Cukup berani berkata kasar sekalipun karena ia tak memedulikan keselamatannya—setidaknya begitu sampai saat ini, jika saja ia tidak mendapat death glare mengerikan dari sang raven.

Rivaille meremat kepalanya pelan, merasa sakit sementara. "Ini bukan mobilku—walau aku kira awalnya milikku karena penampilan luar." Sebenarnya sudah sadar begitu tak sengaja melihat beberapa sampah di dekat-dekat kakinya setelah sampai ke kota ini.

Rivaille langsung saja menginjak gas. Mobil melaju sangat cepat, apalagi di jalan ini hanya ada beberapa mobil saja yang melintas, membuat sang sopir leluasa melajukan kendaraannya tak peduli akan hal yang terjadi selanjutnya. Dan sekaligus juga ingin menimpali dengan ucapannya barusan, bahwa ini bukan mobilnya, jadi ia juga tidak peduli mobil ini akan rusak atau tidak.

Eren mengerjab dua kali. "Hah?"

Suara seperti barang jatuh terdengar dari belakang sana, seperti suara kayu atau sesuatu benda berat lainnya yang kalau ada seseorang yang rajin pasti akan tahu apa benda itu sebenarnya. "—Dan juga di hutan itu bukan rumahku, aku hanya menumpang," melanjutkan ucapannya. Wajah datar dan mata hitam lurus menatap jalan, sama sekali tak ada keraguan dalam perkataannya. Seolah-olah benar-benar berkata yang sebenarnya terjadi, padahal bocah di sampingnya mati-matian ingin percaya tapi logikanya sama sekali tak sependapat alias menolak hal itu.

"Bohong!" Eren mendekap rubah dalam pelukannya semakin erat, seakan memperkuatkan perkataannya, walau sebenarnya tak ada pengaruh, dan yang ada sang rubah malah meronta ingin dilepaskan. "—Tapi sepertinya tak aneh kalau Anda hanya menumpang di rumah itu," lanjutnya.

Samar-samar, pohon-pohon tinggi yang biasa di samping-samping jalan mulai tak terlihat. Rivaille mengetahuinya mengitu mengangkat dagu. "Sayangnya, aku sangat jarang berbohong, Bocah. Dan—kau benar, itu bukanlah hal aneh."

Tak perlu melewati beberapa belokan. Rivaille, matanya menemukan beberapa pagar tinggi yang mengintari tiga buah bangunan besar yang hampir mirip seperti istana bersama halamannya yang sangat luas. Dari jarak jauh terlihat demikian.

Begitu sudah hampir dekat. Beberapa orang di pinggir sana berpakaian seragam yang nyatanya adalah seorang petugas, menatap heran mungkin karena kendaraan ini sangat kotor. Dengan inisiatif sendiri, Rivaille membuka jendelanya sehingga memperlihatkan wajahnya yang mungkin saja mudah dikenali oleh mereka. Orang-orang tersebut menatap mengerti, mengangguk dan membukakan gerbang tersebut begitu tahu siapa yang datang. Saat gerbang terbuka, sang raven menutup kacanya kembali dan langsung saja membawa mobilnya masuk.

Dan sayangnya Eren tak memperhatikan semua itu karena pikirannya terlalu mengebul dengan berbagai macam pertanyaan.

"La-lalu, apa kau tahu mengapa aku bisa ada di sana?" Eren terlihat sangat pernasaran.

Menyisir rambut hitamnya dengan jari. Matanya meneliti setiap jalan yang ia lewati dengan kecepatan normal. "Siapkan saja seluruh pertanyaanmu untuk Direktur tua bangka itu." Berjalan lebih dari tujuh menit. Menemukan sebuah lahan luas dengan garis-garis yang seukuran dengan lebar sebuah mobil—tempat parkir. Alis Rivaille menekuk menyadari adanya tiga mobil yang mengisi. Ia memang tahu, fasilitas ini hanya diperkenankan bagi para guru, kepala sekolah, dan tamu saja. Tidak dengan murid.

Bunyi derit sempat membuat telinga Eren sakit. "Si-siapa—"

"—Sudah sampai."

Mengikuti hukum newton 1, menyebabkan tubuh Eren terdorong ke depan. Merasakan mobil sudah dihentikan dan terlihat jelas Rivaille melakukan hal-hal yang tak dimengertinya, mungkin bersiap-siap keluar? Sepertinya itu benar, terlihat dari sang raven yang sudah membuka pintu mobil.

Baru saja Rivaille ingin menutup pintunya. Eren langsung menahan.

"Tu-tunggu! Kita di mana?"

"Sina Art High School, apa lagi memangnya tujuan kita?"

Begitu selesai mengucapkan itu, Rivaille langsung membuka pintu untuk Eren hingga sang pemuda dapat keluar dari dalam. Dan berjalan begitu saja memaksa bocah di belakangnya mengikutinya.

Eren menunduk, tak ingin melihat ke sekelilingnya.

'Kenapa?'

Helai-helai kecoklatan yang berayun ke kanan dan ke kiri sebagai jawaban.

Di hadapannya kini Rivaille sedang menaiki beberapa tangga kecil yang kira-kira hanya ada lima anak tangga saja. Berjalan di atas lantai bersih yang sepertinya baru saja dipel. Dan begitu dekat dengan sebuah pintu kaca, langsung saja sang pria raven mendorongnya dan membukakan untuk Eren.

Begitu melihat dalam dari salah satu bangunan di sini. Selain terasa sepi, tak ada murid, yang ada hanyalah beberapa staff atau petugas kebersihan, Eren juga merasa jika sekolah ini benar-benar hanya diperuntukan oleh orang kaya dengan besarnya bangunan dan hiasannya yang mewah—walau sempat tak percaya jika ada sekolah yang memiliki perbedaan kasta.

"A-ano..." Eren menatap ke depan.

Merasa jarak mulai tumbuh di antara keduanya. Eren sedikit berlari mengejar Rivaille sembari mengeratkan pelukannya kepada sang rubah yang kini sedang mengibas-ngibaskan ekor dengan semangat. Sebelum kemudian ia dapat melihat meja yang panjang di tengah-tengah ruangan, diapit oleh dua dinding tinggi. Dan kini sosok yang dikejarnya sedang menuju ke sana sembari merogoh saku celananya demi mengambil sesuatu berbentuk kotak dan tipis, mungkin itu kartu?

Dan wajah polosnya terlihat semakin keheranan begitu sang pria menggesek kartu tersebut ke salah satu mesin yang nyatanya adalah mesin absensi. Tulisan 'cheese' pada layar mesin tersebut, lalu bunyi seperti jepretan membuatnya bingung menjadi-jadi.

Tapi Rivaille hanya bergumam, "Aku membenci cara absensi seperti ini."

Eh? Apa maksudnya? Memang yang barusan itu adalah cara absensi? Cara absensi dengan menggesek kartu dan memfoto orang itu sendiri?

Rivaille kembali berjalan, dan Eren mengikutinya sembari mendekap rubah kecil dalam pelukan. Jika dilihat-lihat, sekilas mirip seperti seekor anjing manis mengikuti tuannya—wajah sang brunette sangat lucu, hingga beberapa orang yang melihat mereka sedikit tertawa tipis maupun berbisik-bisik aneh.

Eren hanya memperhatikan. Kini mereka menaiki tangga. Lalu setelah itu melewati beberapa pintu dengan plat nama berbeda-beda. Sempat terkagum-kagum akan kebersihan tempat ini, debu jarang ditemukan, dan lantainya sungguh bersih sampai-sampai rubah dalam dekapannya melompat demi merasakan kesatnya lantai. Walau yang ada malah membuat Rivaille berdecak tak suka, sampai dirinya harus kembali mengangkat rubah itu dan memeluknya lagi.

Beberapa pintu, beberapa ruangan, beberapa belokan ia lewati dalam koridor ini. Manik zamrudnya hanya bisa mengamati saja, bibirnya sangat gatal ingin berkomentar, tapi entah kenapa, perasaannya yang ingin mengeluarkan sepatah kata tiba-tiba menguap di dalam keheningan.

'Ah, tapi katanya, semua pertanyaanku akan dijawab oleh 'Direktur Tua Bangka' yang dibilangnya sih. Bersabar sajalah,' pikir Eren memantapkan hati dan mengangguk kecil.

Sampai kemudian.

Tap.

Rivaille berhenti tepat pada satu pintu kayu berwarna hitam legam.

Tak ada niat membuka pintu tersebut, sang raven berdecih menyadari plat nama besi yang menempel pada pintu sudah sedikit berkarat dan kotor. Rivaille berniat membuat peraturan mengenai kebersihan terlihat lebih diperhatikan lagi lebih dari peraturan lainnya.

Rivaille sangat menunjukan wajah tak sukanya. Sedangkan itu, beda tanggapan, Eren malah terlihat sedikit kaget. Bukan karena mengira pemilik ruangan ini sangat tak menjaga kebersihan dan kerapian, atau juga bukan karena kebenciannya mengenai benda tersebut. Melainkan—

Direktur Dot Pixis.

Manik hijau membulat. Rubah dalam dekapannya tak sengaja terlepas seiringan dengan bibirnya yang sedikit bergetar, tak percaya. "D-D-Direktur—"

Belum selesai mengatakannya, Rivaille langsung menginterupsi dengan cara membuka pintu tersebut.

Dan yang menyapa baik Eren pertama kalinya adalah cahaya terang yang hampir samanya dengan cahaya lampu pijar. Lalu yang kedua yang menyapanya adalah ia dapat mencium aroma apel sama seperti aroma dirinya yang dulu—karena kalau sekarang, aroma tubuhnya sudah hampir sama seperti aroma sabun milik Rivaille sekaligus keringat dan amis darah yang ia dapati saat di hutan.

Tapi semua itu tidak penting, karena yang benar-benar mengejutkan untuknya sampai membuat mulutnya menganga lebar adalah—

"S-Sir?"

Ciri khas kepala yang sangat licin yang ia ingat dalam kepalanya—Eren sedikit kurang ajar di bagian ini—lalu tubuh tegap dan banyaknya kerutan yang ia ingat.

"Oh, hallo, Nak."

Suara berwibawa yang sangat ia kenal.

—Dot Pixis.

.

.

.

To Be Continued...


A/N: Maaf karena enggak update lebih dari 5 bulan— /sungkem.

Mungkin udah pada lupa yah sama fik ini—

Thanks to: Kurogane Himiko, Kim Arlein 17, Yaoumi.S, Haccha May, Azure'czar, digimonfan4ever101, Kunougi Haruka, iztha dark neko, Rei2518, Lunette Athella, minri.

Review kalian membuat saya bersemangat menulis.

Ok deh, terima kasih untuk kalian yang sudah membaca fik saya, wahai reader, author, silent reader, dan semua yang ada di depan layar sana. /peluk.

Mind to review?

Sungkem,

Adelia-chan—