3) Besok


Disclaimer; Both story or charas not mine. Story belongs to changdictators, and charas belong to themselves. I own nothing but this crack translation!

Characters; Jongin, Kyungsoo
Rating; R (PG-13)
Genres; Romance, Tragedy
Length; Threeshoot

Warn(s); Broken!LuKai | Mentioning mature-scenes | Slight!Angst


-summary-

Kyungsoo mengalami stagnasi dalam hitungan jam saat Jongin membawanya menelusuri detik; karena waktu berhenti untuk seorang yang tak dapat mengingat, dan lari dari seseorang yang tak bisa kehilangan kereta terakhir yang membawanya ke rumah.


Cahaya matahari terbawa dalam mimpi Kyungsoo, terbias menjadi sesuatu yang dingin dan terasa asin dan melibatkan tumitnya menapak permukaan lembut antara tepi laut serta pantai. Ia berbalik dan pasir putih itu menjelma menjadi linen dingin.

Ketika ia membuka matanya, dapat dilihat kepak sayap camar dan gradasi biru terang digantikan oleh pandangannya pada langit-langit kamar. Beberapa meter dekat situ, ada jendela kecil (tepatnya di ujung kamar sempitnya), serta lantai kayu yang rapuh—permukaannya mulai mengelupas—di bawah lapis karpet. Itu kamarnya, walaupun tidak persis sama seperti yang kemarin, sebab kini ada sebuah memo kecil berwarna hijau yang disisipkan dekat dinding di sisi ranjang—ia tak ingat pernah menempatkannya di sana. Lapisan kedua dari teks itu berwarna dan bentuknya menyerupai diagram, isinya angka dan tanggal. Angin berhembus menyapa tirai dan menerbangkan memo itu. Sedikit memainkan melodi dalam bunyi kertas yang tertiup angin.

Meski Kyungsoo heran dengan keadaan kamarnya, entah mengapa ia kaget dengan catatan berwarna kuning yang jumlahnya luar biasa. Kebingungan, namun seberapapun ia kebingungan, herannya ia jadi tersenyum ketika ia mendaki balkon dan mendapati satu sosok yang bersandar di dekat pagar.

"Apa kau membaca yang kuning?" Orang asing itu bertanya tiba-tiba, kilatan tajam di matanya kian berubah nakal ketika ia menilik tatapan lembut Kyungsoo, "Kembalilah dan baca itu. Lalu buka pintumu saat aku mengetuknya,"

Jadi Kyungsoo kembali, membacanya, dan membuka pintu tepat saat Jongin mengetuk. Sepuluh menit kemudian mereka bersandar dekat konter dapur. Kyungsoo membuatkan sarapan sementara Jongin sibuk mencolek perutnya, merabai tulang rusuk dan menghitung berapa banyaknya, mengacaukan hal-hal yang sudah beres dengan caranya. Sesaat, dia akan berhenti dan sedikit gelisah, mengalungkan tangannya di pinggang Kyungsoo dengan dagu yang ditenggelamkan ke bahu pria mungil itu.

Mungkin ini akan terulang, selamanya, pikir Kyungsoo. Mungkin saja suatu hari nanti ia akan bangun sebagai pria yang telah menua dengan Jongin masih meraba perutnya, bernapas hangat dan membisikkan nada menggoda di telinganya, serta membuat rumah seperti kapal pecah; seperti hari ini. Mereka akan makan sarapan di dekat balkon—meski kaki mereka yang terbungkus sandal telah keriput atau jika rambut mereka mulai menipis dan berganti warna menjadi putih—dan menutupnya dengan senyum cerah mereka. Pasti akan seperti itu.


Anterograde Tomorrow


Acara bercinta Kyungsoo dan Jongin diringkas lewat robekan mencolok yang ada di atas halaman, tersusun dalam daftar kecil yang Jongin namai Hal yang Membuat Do Kyungsoo 'Naik'. Pada hari-hari yang tidak biasa ada saja tulisan abstrak yang digores dengan pena, ataupun Jongin yang menciumi punggung tangannya, membuat Kyungsoo merinding.

Mereka biasa datang ke bar sebagai pengunjung tetap, saat bartender meninggalkan mereka segelas skot besar untuk diminum bersama. Kyungsoo mendapati dirinya tengah menatap wajah idiot Jongin ketika bernyanyi, merenungkan bagaimana caranya laki-laki itu bisa terlihat begitu sempurna sekaligus rapuh di saat bersamaan. Seindah artefak, kebahagiaan menyeruak seperti noda tumpahan teh, Jongin seperti artefak yang tak kehilangan daya tariknya walau agak berdebu. Ia mendongak dan menangkap mata Kyungsoo terbelalak ketika menatapnya. Ia mengedipkan mata.

Ada sesuatu di mata Jongin yang membuat Kyungsoo nyaris menjatuhkan mikrofon, tentu saja ketika lagunya telah selesai. Tak butuh waktu lama sampai Kyungsoo kembali tenang, sebab Jongin telah mengeliminasi jarak di antara mereka. Bibirnya saling menempel dan basah oleh saliva. Detakan jantung Kyungsoo mengobrak-abrik dadanya di tiap sentuhan yang Jongin berikan pada pergelangan tangannya. Berbisik, "Aku menantangmu, sungguh."

Godaan tersebut berubah jadi lebih serius saat pintu ruangan tertutup, membuat Jongin bebas menyudutkan Kyungsoo ke permukaan dinding. "Coba ulangi lagi? Kau menantangku?" Telapak tangan tersebut meraba lutut hingga paha dalam Kyungsoo. Rengekan bertransformasi menjadi erangan. Desakan untuk berbuat lebih jauh membuat tangan Jongin merayap ke resleting celana Kyungsoo. Mungkin ini membuatnya gila.

Hanya terdesak, sebab mereka selalu tergesa-gesa menghilangkan butiran pasir dari telapak tangan masing-masing. Seperti bagaimana musim dingin berubah menjadi musim semi, mereka bercinta dengan gairah hebat dan tatapan yang sama membara, lebih jauhnya—suara mereka memecah kesunyian yang mengisi apartemen Jongin. Sebab bila musim semi tiba, gundukan-gundukan salju akan menghilang dan digantikan aliran air yang mencair layaknya palung laut.


Anterograde Tomorrow


Kyungsoo menyaksikan Jongin membaringkannya di kasur, memperhatikan tirai yang melambai dan ratusan memo kuning yang menempel di dinding sedangkan Jongin menelusuri lekukan lehernya dengan ibu jari. Satu bisikan memecah ketenangan yang ada, "Maafkan aku…"

Udara yang terhembus bukan berasal dari permintaan maaf Jongin namun hembusan udara mengalir mengisi paru-parunya. Tangannya meluncur ke bagian bawah kemeja Jongin, Kyungsoo menghitung jumlah rusuk Jongin dengan telunjuknya. Meninggalkan sedikit keringat yang lembab, namun gerakannya membuai, "Satu, dua, tiga…" Jongin tersentak kaget saat tiba-tiba Kyungsoo mencuri ciuman dari bibirnya, "Pssst. Jangan menolak,"

Butuh waktu agak lama bagi Jongin sebelum ia rileks atas pelayanan Kyungsoo, membolehkan tangan mungil itu membelai sisi-sisi tubuhnya dengan kehangatan serta kenyamanan. "Aku bahkan tidak bisa. Maksudku, mencintaimu…"

Kyungsoo mendengus, menusuk rusuk Jongin dengan jari lentiknya, membuat Jongin meledakkan tawa. Dengan terampil, Kyungsoo mengalungkan tangannya dan mendekap Jongin lebih erat, membimbing Jongin ke dalam ciuman. Ada bayangan siluet samar-samar di bawah tubuh mereka ketika Kyungsoo menarik diri, membiarkan helaan napas berhembus lamban. "Jongin, dengarkan. Aku tak peduli tentang seks. Yang begini lebih dari sempurna. Kita sudah bercinta."

Jongin membenamkan wajahnya ke bantal. Kyungsoo menariknya. Jongin berpaling namun Kyungsoo memaksa wajah Jongin supaya menatapnya. Menyerah, Jongin tersipu, "Kau membunuhku, Hyung. Kau benar-benar membunuhku."

"Kenapa?"

Tak ada respon sehingga Kyungsoo pikir mungkin itu hanya satu dari banyak hal yang Jongin katakan dengan tanpa alasan. Sesuatu yang akan datang dan pergi. Ketika langit meredup, pertanyaan tersebut menghilang bersama dengan lenyapnya cahaya. Dan tidak timbul lagi.


Anterograde Tomorrow


"Di mana ingatan kita tersimpan saat sedang lupa?"

"Aku tak tahu. Menghilang?"

"Itu jelas."

"Aku bukan penulis."

"Jangan ragu-ragu."

"Yah, mereka mati. Ingatan itu terkubur."

"Bagaimana jika aku tidak mau?" Jongin melihat kelopaknya bergerak membuka-menutup, memperhatikan lidah itu berkilah. "Jangan biarkan aku hilang, Hyung. Berjanjilah kau akan mengingatku."

"Baik, aku janji. Aku akan mengingatmu."

"Selamanya?"

"Selamanya…"

Ada momen ketika realita menjadi lebih menyakitkan ketimbang kebohongan. Dan saat berbohong itu sendiri cukup menyakitkan bagi Kyungsoo.

"Nanti…, bersediakah kau tetap mencintaiku?"

"Tentu saja."

"Berjanjilah padaku…"

"Aku akan mencintaimu esok dan akan mengingatmu, selamanya. Sudahlah, ini konyol, berhenti sebelum aku membakar apartemenmu—"

Jongin menuliskannya catatan, mencatat janji mereka, "Namaku Jongin. Penulis yang tinggal di sebelahmu. Sampai besok, Hyung. Jangan lupa!" Kyungsoo terkekeh saat menilik tanda seru yang Jongin tambahkan dan Jongin meninju bahunya main-main. Mereka berguling bersama-sama ke balik selimut. Di atas gundukan yang memberi sedikit ekspektasi. Kyungsoo tersenyum meski sedikit berdusta, mungkin ia bisa sedikit berbohong.

Akhirnya harapannya sirna, dan kebohongan gagal dilakukannya. Suara Jongin lirih dan terdengar miris saat ia bergumam ke dekat telinga Kyungsoo. "Hanya dua hal yang kupunya di dunia ini, Hyung. Kau dan menari. Hanya itu yang kumiliki, dan nanti saat aku kembali menari aku juga akan mengajakmu…"

Kyungsoo mengalungkan tangannya di leher Jongin dan memeluknya. Binar dari gelap sedikit terpantul. Di luar hujan. Deraiannya mengalir turun lewat bingkai jendela.


Anterograde Tomorrow


Ada momen ketika Kyungsoo memperhatikan Jongin menari dan mengoreksi gerakannya yang tertinggal, tidak sering, hanya saja kesalahan Jongin cukup banyak. Sendinya berputar dalam separuh kekhawatiran dan hasratnya untuk menjadikan ini suatu kisah. Seakan-akan ototnya yang tegang menahan sesuatu dalam tendonnya, seolah-olah dia terus-terusan mengejar melodi yang tertinggal karena kalah cepat. Jongin sendiri mungkin tahu itu, secercah frustasi serta kesedihan yang melandasi rautnya nampak jelas.

Pada akhirnya, semuanya tetap sempurna. Tidak ada lagi rasa frustasi ataupun kesedihan. Yang ada hanya gerakan konstan, namun tidak cukup bergairah. Hanya siluet seseorang duduk di sudut bar. Perlahan-lahan sirna menjadi partikel debu bercampur cahaya.

Lalu, ada momen saat Kyungsoo bersiul bersamaan tangan Jongin mengepal dan ia bergerak merenggangkannya. Bekas gigitan yang ada di bibir bawahnya, mata tertunduk, bahu yang mengendur. Seluruhnya terpisah dengan erangan. Ia terkesiap mengais udara. Dengan lembut, terus, dan pasti.

Dan akhirnya, frase yang menyimpulkan jika Jongin adalah penari—yang ada di lembar belakang memonya—menjadi bualan belaka sebab Jongin tidak lagi menari. Dia sekarang penulis hebat. Dia bukanlah salah satu yang pantas di lembar memonya. Dia bahkan bukan manusia. Mungkin hanya seonggok mayat hidup di akhir detikan jam—

"Hei, Hyung, apa kau ingat—?"


Anterograde Tomorrow


Kyungsoo merasakan lehernya sedikit tercekik dan tersiram air panas di pertengahan tadi malam saat ia melangkah masuk ke lift. Orang asing itu ternyata sudah di dalam dan mengangguk singkat. Tanggal 12 Juli, ketika dunia berputar dengan lampu jalan yang tetap terpatri di tempat, igauan orang mabuk dan tawa kecil dari beberapa orang. Hanya ada mereka berdua saat ini, jelas-jelas sunyi meraja.

Setelah kembali dari bar, Kyungsoo mencoba menyingkirkan asap cerutu dan aroma alkohol yang terperangkap dalam rambutnya. Jari-jarinya menyisir rambut dan memungkinkan buku jarinya tetap mengusap kulit kepalanya, tapi tanpa itupun semua sudah cukup membuat jengkal cukup lebar antara jaraknya dengan orang asing.

Orang asing dengan sebatang rokok di tautan bibirnya, menghisap perhatiannya. Cahaya lift yang remang membuatnya nampak seperti siluet seseorang yang hilang harapan hidup. Kyungsoo tak henti bertanya-tanya, detakan nadinya menyebar hingga ke pembuluh darah dan mungkin itu akan nampak jelas bila kulit manusia tercipta dari lapisan plastik.

"Panas. Di sini panas," ucapnya. Orang asing itu mengulurkan tangan meraih Kyungsoo agak ragu. Genggaman tangan dingin itu mengejutkan Kyungsoo, jemari ramping dengan kuku rapih, kulit tegas dengan garis tangan yang sempurna terentang kencang di atas buku jari Kyungsoo yang lebih mungil. Selebihnya, orang asing itu gemetar, dan Kyungsoo menyadarinya. Giginya yang bergemerutuk memungkinkannya untuk memutus kontak mata.

"Um…" Kyungsoo menghalau dengan tegas. Dia ingin bertanya apakah orang itu baik-baik saja; mengapa dia gemetar seperti itu? Tapi desisan pelan dari suara lift yang bergerak serta pendar lampu neon di dalamnya seolah membuat kata-kata Kyungsoo sirna. "Y—Ya. Malam ini cukup panas,"

Orang asing itu tidak membalas. Sebaliknya, ia bersandar ke dinding lift dan matanya meresensi sosok Kyungsoo, seakan-akan ia menunggu sampai Kyungsoo bisa mengenalinya. Tatapan seperti itulah yang membuat Kyungsoo merapatkan jaketnya erat meski lapisan kasmir itu tidak sanggup menutup keseluruhan tubuhnya. Tetap berdiri tenang di tempat hingga pintu lift terbuka, Kyungsoo buru-buru keluar dan mengais udara. Ia merasakan hawa tidak enak.

Sesaat kemudian, setelah Kyungsoo selesai bekerja dan bermaksud pulang ke rumah, ia berjalan menyusuri koridor apartemen dan sadar jika orang asing tersebut ternyata membuntutinya di belakang. Dia menyimpulkan barangkali malam ini bukanlah kali pertama bagi mereka bertemu satu sama lain.

"Apa aku mengenalmu di suatu kesempatan?" tanyanya pada akhirnya. Suara gema diselingi kegelisahan terburai lewat lorong yang panjang. Tak sampai sepuluh detik untuk sampai ke telinga orang asing itu. Dia telah berhenti membuntuti di ujung pintu tetangga, memutar gantungan kunci di jari telunjuk. Seberkas cahaya yang memantul dari bulan menembus lewat pagar dan membuat pantulan akan sesuatu yang tersemat di jasnya. Kyungsoo meliriknya, itu seperti manset, mengilap dan harganya pastilah mahal. Terlalu mahal untuk bisa dimiliki seseorang yang hidup dalam apartemen biasa seperti Kyungsoo.

"Apakah kau ingat?" Orang asing itu mengernyit. Lebih cenderung memohon ketimbang bertanya.

Kyungsoo menarik benang dari sakunya. Dia tak mengingat wajah orang asing itu ada di lembaran memonya atau catatan tempel hijau yang ada di dinding kamarnya. Tapi mungkin saja ia melewatkan satu halaman. Ini pernah terjadi sebelumnya. Dia buru-buru meraih tasnya dan terhenti ketika orang asing itu tertawa mengejek, "Jadi kau tidak ingat? Tidak ingat sedikitpun?"

"A—Apa? Apa yang harus kuingat?"

"Tidak ada. Sungguh, kau tidak mesti mengingat apapun," Orang asing itu terus tertawa sampai rasanya ia ingin menangis. Di depan pintu apartemen di samping Kyungsoo, ia merosot, ke bawah, terduduk. Bahkan, dalam gelap sekalipun binar penuh kecemasan terlukis jelas lewat lengkungan seringai yang berbeda dari biasanya. Jika ia sedang sedih begitu, membuatnya nampak lebih muda dari yang dibayangkan.


Anterograde Tomorrow


Mereka makan semangka. Jendela itu tertutup oleh debu dan hujan membuat semacam uap menyembul. Pembuluh darahnya seolah terhenti sejenak, matanya meredup. Kyungsoo merasa sukar untuk mengungkapkan yang ia rasakan. Tapi semuanya terlihat samar hari ini. Ia tertatih di tengah keberadaan Jongin.

"Jongin," panggilnya, memainkan biji semangka dengan hati-hati, "kenapa kau tenang sekali?"

"Aku memang selalu tenang," balas Jongin.

Mereka duduk bersila di balkon Kyungsoo, bersandar pada dinding di belakang mereka. Bentangan Negara tampak tidak berujung jika dilihat dari sini. Kyungsoo merasa seperti ini semua hanyalah adegan film yang terpotong karena mimpi yang belum usai. Mesti ada yang nyata di luar sana, di mana tawa nampak tidak sukar untuk Jongin keluarkan. Di mana Jongin bisa dengan mudah bercanda dengannya.

"Tidak. Kau tidak begitu."

"Kau tidak akan tahu. Tidak seperti yang kau ingat…"

"Kenapa kau malah marah?"

"Aku tidak."

"Ya. Kau marah."

Jongin menyalurkan emosinya dengan menggigit semangka. Tetesan sari semangka itu menetes jatuh ke sisi mulutnya dan ia menyekanya kasar dengan punggung tangan. Dapat disimpulkan ia jelas-jelas marah. Kyungsoo mengira jika Jongin lebih dari marah. Menunggu sebentar, Kyungsoo mendengar suara Jongin menggigit, menguyah, menelan dan menghirup udara dengan tergesa-gesa. Dia menunggu Jongin berhenti. Tapi Jongin tidak juga berhenti, dia justru terus makan dengan rakus.

"Apa yang kukatakan itu salah? Jongin, aku ingin memiliki hubungan khusus denganmu, tapi kau tidak bisa seperti ini terus—"

"Tidak, Hyung. Aku boleh begini karena kita bahkan tidak punya hubungan!" Jongin tiba-tiba membeku, merasa rapuh dan payah, "Dan kita tidak akan pernah memiliki hubungan. Kau mengerti, kan? Kau boleh saja terus-terusan mencoba tapi nyatanya kau tidak akan pernah bisa mengingatku! Hanya itu!"

Kyungsoo tak ingin menangis, namun raungan sedih dari orang berwajah dingin itu menghapuskan seluruh pemikirannya. Jongin mulai marah, "Kau bahkan tak punya hak untuk marah. Tiap pagi kau bangun semuanya memang baik-baik saja bagimu. Tapi bagaimana denganku? Haruskah aku mengingatkanmu lagi dan lagi?"

"Maaf—"

"Sialnya, aku jatuh cinta padamu, tapi aku masih harus mengenalkan diriku padamu tiap pagi menjelang. Apa kau mengerti bagaimana rasanya? Tidak! Kau tidak mengerti karena kau tidak mencintaiku. Tanpa kau melirik memo, aku bukanlah siapa-siapa. Atau tepatnya, kau tak kenal aku. Aku hanya orang asing bagimu dan hubungan ini hanyalah sandiwara. Ini hanya cerita novel. Tidak nyata. Semuanya. Bahkan aku sudah berhenti menulis novel! Argh, kau membuatku gila!"

Setelah hening beberapa lama, ucapan "Maafkan aku," akhirnya terurai. Asalnya dari salah satu dari mereka. Atau mungkin keduanya.

"Dua malam lalu, aku menyelinap dan mencopot semua memo tentang kita di apartemenmu. Dan kemarin, aku mencoba mengujimu apakah kau akan ingat malam di mana kita bertemu untuk kedua kalinya? Tapi tentu saja kau tahu jawabannya…"

Jongin menautkan jemarinya ke telapak tangan Kyungsoo dan menggenggamnya. Noda lengket dari sari semangka tumpang tindih dengan keringat yang ada di telapak tangannya. "Semua yang kukatakan ini kenyataan. Aku akan mati. Suatu hari nanti kau akan melupakan tentang kita. Kemudian, esoknya kau akan melupakanku. Bukan hanya karena amnesiamu. Ini hanya masalah waktu, jam berapa…" Ia menoleh, "Sedikit demi sedikit… Yang jelas, pertama kalinya yang akan terjadi adalah kau melupakan aku, lalu dilanjut hal-hal signifikan tapi saat kau menyadarinya, kenangan itu akan pudar, kau tak tahu apa saja yang hilang dari ingatanmu sampai—"

"Tidak, Jongin. Bukan seperti itu. Mungkin ingatanku buruk tapi hatiku…" Kyungsoo menekan tangan mereka yang bertautan ke atas dadanya, dan mengambil napas dalam, seakan udara dapat menenangkan mereka. Kehangatan merembes melalui kemeja Jongin dan membuat perutnya tergelitik. Kyungsoo membuka kata-kata yang tak sepenuhnya ia mengerti, "Hatiku bisa mengingatmu. Aku akan mengingatmu. Ingatanku memang tidak sepenuhnya mengenalimu, tapi ketika kau terluka, hatiku jadi sakit. Saat kau tertawa, hatikupun tertawa. Aku sanggup mencintaimu meski tanpa kenangan di antara kita. Kau hanya harus bertahan menungguku. Kumohon…"

Setelah bergulat dengan pikirannya, Jongin berhasil memaksakan senyum di wajahnya meski sedikit gentar. Suaranya pecah saat ia mulai berkata-kata, kontemplatif, brutal— "Ini bukan novel roman, Hyung. Tidak semudah itu…" Ia mengambil napas dan suaranya terdengar makin pelan, "Apa kau tak mengerti, Hyung? Akhir dari kisah kita sudah jelas. Semuanya sudah tersusun sejak awal, bahkan sebelum kita bertemu…"

Meski Jongin tengah menunggu sanggahan, meski mereka sama-sama menunggu salah satunya bicara, Kyungsoo tak tahu apa yang harus ia katakan. Isak tangis terdengar seiring tubuhnya yang susah menopang berat, dia tertunduk, dan tidak bisa mengelak tudingan Jongin.

"Kau tahu? Suatu hari nanti aku tidak lagi bisa menyentuh wajahmu, atau bicara denganmu. Aku akan terbaring di bangsal rumah sakit, melihatmu menangis dengan mata lebarmu, tubuhku mati rasa. Dan tanganku… Kau akan menggenggam tanganku seperti sekarang. Tapi mereka dingin. Dan aku tahu itu menyakitkan, lebih dari sekarang. Jadi saat hari itu datang, berjanjilah padaku kau takkan membiarkanku sendiri, Hyung. Kau akan pulang, memetik aster dan—"

"Tidak."

"Dengar, Hyung… Kau tidak perlu…" Jakun Jongin tercekat di atas, tak bergerak ataupun turun. Suaranya menjeda. Kyungsoo akhirnya menyadari bila Jongin juga sudah menangis. Dia sudah sering menangis, mungkin sebelum Kyungsoo sadar, "…melihat aster layu,"

"Tidak." Kyungsoo semakin erat menggenggam tangan Jongin dan mengumpulkan jemari yang rapuh itu. Sedikit terengah-engah, buku-buku jari mereka mengerat, "Tidak. Tidak. Tidak."


Anterograde Tomorrow


Antara hitungan bulan dan detik, Kyungsoo kehilangan arlojinya dan lupa bagaimana cara membaca jam ataupun kalender. Terkadang, dia lupa sekarang tanggal berapa. Lain waktu, ia memandang ke luar jendela dan bertanya-tanya apa musim sekarang sudah masuk lembar memo? Ia tidak lagi memperbarui memonya dan dia tidak yakin apakah umurnya sekarang duapuluh atau duapuluh lima karena tidak bisa mengingat. Dia selalu akan terjebak di tempat yang sama, hanya saja berbeda situasi.

Namun ketika Jongin menghadapi segala situasi, mereka kembali terstagnasi bersama-sama. Ini adalah bulan terakhir di musim gugur. Tahun 2013. Umurnya duapuluh lima…, lebih tepatnya duapuluh enam lebih tiga bulan, dan ia masih terjebak dalam kisah cinta menyakitkan. Sungguh menyakitkan karena sudah berbulan-bulan di musim gugur—karena musim panas telah berlalu—dia sama sekali tak bisa ingat. Kisah cintanya terlampau membuatnya serakah, marah, sedih—dan segala hal yang tak dapat ia rasakan, ia rasa.

Cinta mereka layaknya semacam perasaan yang membuat Kyungsoo bisa terus lekat dengan Jongin di penghujung malam. Kyungsoo selalu memintanya membiarkan Jongin supaya mengingatkannya tentang hari ini, kemarin, dan—

"Besok." interupsi Jongin sebelum Kyungsoo menyelesaikannya. Kyungsoo menghirup paduan aroma yodium dan antiseptik serta bau memuakkan khas rumah sakit. "Kau akan mengingatnya besok. Kau akan ingat tentang kita. Kau bisa mengingat esok hari. Ini pasti menakjubkan…"

Kyungsoo mengulum bibir, "Tidak masuk akal. Bagaimana caraku ingat hari esok?"

"Yah…" Jongin menyamankan diri dalam pelukan Kyungsoo, membiarkan punggungnya bersandar di dada Kyungsoo. Mengelus pipinya, "Besok, aku akan ingat jika kita pernah pergi ke pantai. Lalu…"

"Lalu apa?"

"Kau akan ingat apa saja yang telah kita lakukan…"

"Jongin, apa yang kau katakan? Bagaimana bisa kau mengingat sesuatu yang telah—"

"Sstt. Kita coba saja. Aku akan ingat bahwa cahaya berbinar dan terpantul ke air laut. Matahari akan terbenam, awan jadi sepenuhnya oranye. Tapi suasananya sangat menenangkan, yang terdengar hanya suara angin dan deburan ombak. Dan…, suaramu. Kau akan menyanyikan lagu My Lady dan mengubur kakimu di pasir sembari mengamatiku bermain ombak. Aku akan menari, kau akan bernyanyi. Saat aku tersandung, kau akan buru-buru menyingkirkan pasir dari kakimu dan mencoba menangkapku. Menyadari betapa senangnya diperhatikan olehmu, aku akan terdorong untuk menempatkanmu dalam posisi kompromi—mempertimbangkanmu. Aku akan bercinta denganmu di sana, kemudian pasir akan mengotori seluruh pakaianmu, tentu saja. Kau mengomel karena mesti mencuci mereka empat kali, menggosok semuanya sampai kinclong—tapi itu nanti, setelah kita menikmati makan malam dengan cara duduk di kap mobil. Kita makan dengan malas dan cenderung lambat. Kita memesan hamburger yang dilapisi taburan keju…"

Kyungsoo menerawang, "Lalu kita akan menyaksikan senja bersama-sama. Aku akan selalu bernyanyi dan kau menggenggam tanganku, menyeretku untuk duduk di atas atap. Kita akan menari bersama-sama. Tertawa. Kau akan tertawa lebih keras dariku dan aku akan ikut tertawa. Nyamuk beterbangan di sekitar kita. Aku ingin menyudahinya karena sudah ngantuk, tapi kau ingin kebersamaan kita lebih lama. Pada akhirnya aku akan menurutimu. Kau mengendikkan bahu dan aku akan memukulmu. Kau meraih pergelangan tanganku dan menarik tubuhku, menciumku dengan kasar…"

Jongin mengangkat tangannya dan menarik Kyungsoo mendekat hingga Kyungsoo dapat merasakan hembusan napas Jongin tercecap di lidahnya, "Apa seperti ini?" tanyanya di sela dia mencium Kyungsoo.

"Saat ini…, apa yang tengah kau pikirkan?"

"Aku ingin berlama-lama seperti ini. Aku ingin tetap begini, selamanya…"

Kyungsoo hanya mengutarakan keinginannya tanpa menuntut Jongin. Ia tak meminta Jongin supaya mereka bisa tetap bersama-sama selamanya. Atau jika hari esok benar-benar berlalu tanpa ada kenangan, tak apa, sebab terkadang kenyataan memang terlalu menyakitkan. Dia hanya bisa berpegang pada hitungan detik. Hanya bisa menghitung mundur. Tiap gerakan yang mereka buat, tiap kontak mata yang terjadi, tiap suku kata yang terucap. Jongin berhasil menempati relung hatinya hanya dalam hitungan detik. Semuanya terjadi dalam hitungan detik.

Jika saja waktu sedetik itu bisa bertahan lebih lama…


Anterograde Tomorrow


Esok hari ketika Kyungsoo bangun, mereka tidak pergi ke pantai. Bahkan, tidak ada kosakata mereka. Tidak ada memo kuning yang tertempel di dindingnya. Tidak ada kata-kata yang ia gores dalam memo di sakunya. Tidak juga makan hamburger di atas kap mobil. Hanya ada pemandangan Kyungsoo yang bergegas meniti tangga untuk sampai ke pabrik, makan malam sendirian di meja yang kosong. Menunggu jam 07:00 datang dengan kelopak mata yang terbuka tepat di depan balkon samping apartemennya. Dia merasakan ada sesuatu yang rumpang. Ada yang kurang.

Ketika Kyungsoo tengah menyanyikan tembang di bawah penerangan lampu panggung yang redup, ia memandangi kursi kosong yang letaknya di sudut bar. Merenungkan apa kiranya yang hilang dari rongga dadanya sekarang, kenapa rasanya ada yang kurang? Suaranya jadi pecah dan lagunya tidak pas dengan kunci nada. Minseok berinisiatif mengatur volume demi menutupi cacat dalam penampilan Kyungsoo malam ini. Saat mereka istirahat, ia langsung bertanya terang-terangan, "Ada apa denganmu, Kyungsoo?"

"Aku juga tidak mengerti…" gumam Kyungsoo. Tidak ada hal luar biasa yang telah terjadi hari ini. Semuanya sesuai dengan apa yang tertulis dalam lembaran memonya, tidak ada yang kurang.

"Hei, mana halaman tentang penulis itu? Kim Jongin?" tanya Minseok.

"Penulis? Siapa?" Maksud awal Kyungsoo memang bertanya tapi entah mengapa responnya cenderung nampak seperti orang yang syok. Ia terkesiap panik dan dadanya terasa berdetak nyeri. Sesuai insting, ia meraih memo dalam sakunya—melewati satu halaman—dengan tangan masih gemetar, "Aku tak kenal dengan penulis yang kau maksud…"

Satu buket aster tersemat di pintu apartemennya. Kyungsoo tak ambil pusing dan langsung pergi mengistirahatkan diri. Tidak ada yang bisa ia simpulkan kali ini.


Anterograde Tomorrow


Saat dia bangun di bulan Oktober, dinding apartemennya penuh dengan memo tempel berwarna hijau, sewarna rumput namun bedanya mereka tidak hidup. Oktober selalu melelahkan kala matahari terbenam, daun-daun membusuk perlahan dan ada janji yang terlupakan. Hujan yang tak berujung mengisi penuh bulan Oktober, membuat jejak karbon tercetak jelas di atas tanah dan membuat bar penuh oleh pelanggan baru.

Saat dia bangun di bulan November, salju menumpuk tebal, tinggi, menutup permukaan jendela. Ia mengubur wajahnya di antara bantal dan menangis layaknya esok hari tak pernah akan datang. November membuat hari-hari serasa terlalui begitu saja. Dengan udara yang tipis dan malam hari datang lebih awal. Awal hingga akhir, akhir hingga awal, selalu terasa singkat. Di bulan November, hari esok seolah berhenti datang. Pada bulan November ini ia bertanya-tanya; berapa lama kiranya ia telah hidup dengan keadaan seperti ini? Berapa lama lagi ia akan terus hidup begini? Serta berapa banyak hari yang akan tersisa sebelum waktu merenggut nyawanya?

Saat dia bangun di bulan Desember, empat hari menjelang Natal; Jongin mengetuk pintu apartemennya. Kegelapan menelan seluruh penjuru apartemennya ketika Jongin meniti langkah menyusuri koridor, jemarinya terentang, meneliti permukaan dinding bersamaan saat engsel tersebut berderit dan terbukalah pintunya—

"Hyung…" rintihnya di ambang pintu. Kyungsoo melirik wajahnya; hanya mendapati perpaduan dari bibir yang pucat serta mata bengkak. Dia menggigil, tubuhnya hanya terlapis oleh baju rumah sakit. Ada keping salju tersemat dalam helai rambutnya. Ia hanya mengenakan sandal jepit sebagai alas kakinya. Barangkali pria itu telah berusaha untuk tersenyum—garis-garis samar yang terpatri di sudut bibirnya melukiskan kegamangan. Namun semuanya terhapus saat ia mencoba kembali menggerakkan rahangnya, "Hyung…" isaknya, "Hyung… Hyung…"

Pelototan, Kyungsoo memasang raut muka penuh curiga. Dia tak bisa mengontrol dirinya saat bergumam ragu, "Kau siapa?"

Jeda.

"Haha," tawa Jongin hambar, "tentu saja. Aku tahu ini akan terjadi. Kau pasti lupa. Betapa tololnya aku…"

Kyungsoo merasa baik-baik saja sampai ia melihat mata pria itu memerah dengan keingintahuan tersirat di dalamnya. Napasnya sesak seketika, katakanlah Kyungsoo merasakan suatu tusukan empati yang sukar untuk dijabarkan. Menakutkan ketika menyadari betapa mudahnya ia merapuh hanya dalam gerakan lambat. Pria itu menyerah. Gemetar. Terisak. Ratapannya yang lirih jadi terdengar kian jelas. Punggung tangannya menyeka airmata. Segenap dadanya gentar dengan kebahagiaan yang dibuat-buat. Ia meneguk liurnya kasar.

Jongin menggeleng, gerakannya nampak amat rapuh. "Maaf mengganggumu. Hanya saja kupikir kau sudah ingat. Ah, tapi tidak apa-apa. A—Aku hanya… em, m—maaf sudah mengganggumu,"

Keping salju meluncur turun, menabrak dahinya. Bolamatanya berkilau dengan sedikit binar. Kelihatan seperti kunang-kunang. Bertepatan ketika Kyungsoo menggenggam pergelangan tangannya. Kyungsoo mengabaikan mimik rapuhnya saat ia menarik Jongin lebih dekat ke pintu. Bahkan ia sendiri kurang yakin dengan pemikirannya saat mengatakan, "Tidak apa-apa. Sekarang sedang turun salju. Masuklah, akan kupinjamkan kau jaket supaya tidak kedinginan…"

"Dingin, ya?" racau pria itu. Lalu tawanya meledak—terdengar sangat memprihatinkan dari seluruh hal menyedihkan yang ada di alam semesta, "Aku bahkan kepikiran jika sebentar lagi aku masuk angin,"


Anterograde Tomorrow


Selama perjalanan ke rumah sakit, pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Jongin. Dia membeberkan empat klu ke Kyungsoo saat mereka duduk di kursi penumpang. Pertama, dia seorang penulis; kedua, mereka pernah bertemu sebelumnya; ketiga, ia sedang sakit; keempat, dia sendiri yang merobek halaman tentang dirinya dari memo Kyungsoo karena ia ingin Kyungsoo mengingatnya tanpa melihat memo.

"Kata mereka aku punya sisa waktu enam bulan. Mungkin setahun jika aku merubah kebiasaanku," ucap Jongin. Refleksi matanya melayang menatap ke luar jendela mobil, "jadi aku ingin berpura-pura jadi pahlawan. Membiarkan diriku lupa untuk menyelamatkanmu dari hari kemarin dan mengingatkanmu lagi esok harinya. Tapi…, kemudian kau tahu jika aku mengidap pneumonia. Berarti bukan enam bulan. Aku hanya punya waktu empat minggu. Mungkin juga hanya tiga. Dan aku hancur, Hyung… Kemarin ketika kau pergi tanpaku aku sadar jika hal yang selama ini kulakukan jadi tidak menarik lagi. Aku minta maaf, aku bohong padamu… Aku bukanlah pahlawan, Hyung. Aku hanya pengecut…"

Lutut mereka bersentuhan tapi Kyungsoo tidak bergerak menjauh, "Apa… Kau menyukaiku?"

"Menyukaimu?" balas pria itu, dan dia tertawa lagi saat berkata, "Tidak. Aku hanya ingin berada di setiap harimu. Aku hanya ingin kau dapat mengingatku…"

Kyungsoo tahu kebenarannya, dan iapun tahu jika Jongin mengetahui hal itu. Permohonan hanyalah sebatas keinginan, dan doa hanyalah harapan kosong. Di luar sana mungkin kota tengah menyambut Natal atau Tahun Baru dengan penuh kehangatan namun hal tersebut tetap tak bisa mengubah kenyataan bahwa harapan mereka sukar terkabul. Beberapa hal bahkan tidak mungkin terjadi.

"Maksudku…, kau tidak mesti mengingatku. Aku tidak delusional. Cukup antarkan aku sampai ke rumah sakit. Tadi itu aku hanya ingin melihatmu… Dan kukira, aku telah melakukannya. Aku benar-benar minta maaf jika itu menyita waktumu," kekeh Jongin. Dan tiap kali ia terkekeh, Kyungsoo berpikiran jika itu lebih terdengar seperti raungan tak kasat mata, "kau pasti mengiraku aneh atau apalah itu. Tiba-tiba saja bisa muncul di depan pintu rumahmu?"

"Kurasa kau bukan orang aneh," sela Kyungsoo. Ketegangan di sana sedikit memudar kala ia berhasil tersenyum, "tapi aku pikir kau orang yang tolol. Kabur dari rumah sakit saat sedang hujan salju…"

Jongin balas tersenyum, "Mungkin…"

Mobil tersebut berhenti. Butuh beberapa saat sebelum salah satu dari mereka menyadari jika mereka telah sampai di ambang gerbang, dan ini saatnya bagi Kyungsoo untuk pergi dan Jongin tetap tinggal. Detik-detik terakhir pertemuan singkat mereka, keduanya sama-sama tersenyum canggung dan membungkukkan badan. Seakan-akan mereka baru bertemu untuk pertama kalinya. Ia mengabaikan mata Jongin yang memerah.

"Um," gumam Jongin. Ia merasa tidak menggigil karena jaket Kyungsoo melapisi bahunya, terus berceloteh, "bolehkah aku meminta satu permintaan terakhir?"

"Tentu. Apa?"

"Dapatkah kau memanggil namaku? Sekali saja…"

Kyungsoo berdeham dan coba menyusun suku kata. Namun entah bagaimana kata-kata tersebut tercekat ke sisi tenggorokannya bahkan ketika ia telah membuka mulutnya. Tidak ada yang keluar. Saat suaranya menyentuh pangkal leher, dia menyadari bahwa dirinya gemetar; ada yang salah dengannya. Dunia seakan-akan menghujatnya dalam konstansi lamban. Hatinya benar-benar terasa sakit. Sangat sakit.

"Jong…" Kyungsoo meneguk liurnya ragu dan memfokuskan diri untuk menyelesaikan suku kata rumpang itu, "Jongin…"

"Terimakasih. Terimakasih…" Kata terimakasih yang kedua dikatakan dengan pelan, seolah-olah dimaksudkan untuk hal-hal yang lebih signifikan. Mungkin seperti— "Terimakasih atas pertemuan kita. Karena kau sudah menemuiku. Membantuku bangkit dari serpih menyakitkan. Terimakasih telah mengajarkanku arti hidup. Airmata, harapan, juga semua catatan tempel berwarna kuning yang menghiasi kamarku saat matahari terbit. Terimakasih telah memberitahuku bagaimana caranya kunang-kunang bisa bercahaya dengan indah…"

Sayangnya, Kyungsoo tidak menyimak semua itu. Yang ia perhatikan adalah Seoul beranjak mendekati fajar, hembusan angin yang menyerupai siul peluit dan menilik Jongin yang menghirup oksigen.

"Terimakasih," Ia kembali canggung. Ini adalah hari yang dingin. Jongin tidak menggigil ketika ia merangkak keluar mobil, membanting pintu, dan menatap Kyungsoo.

Menurunkan kaca jendela, Kyungsoo tak henti bertanya-tanya mengapa rasanya seluruh rotasi dunianya runtuh ketika ia menatap balik Jongin. Di luar, dengan angin menimpa kulit dan membelai surainya, Jongin tersenyum taat. Kyungsoo mengangguk. Beberapa serpih salju turun dari langit, dan buyar.

"Ya…"

"Um!"

Mereka telah kehabisan kata-kata, namun juga mengerti bahwa masing-masing dari mereka mungkin terlampau canggung. Kata-kata bergulir seperti komet kecil, melesat di belakang tanpa sepengetahuan mereka. Airmata merembes melalui celah pipi Jongin dengan ragu. Mereka tak mampu berkata-kata. Tak ada airmata ataupun hal yang membuat Kyungsoo bisa mengingat sesuatu tentang orang asing ini. Semua memorinya terhapus, hanya secercah salju yang dapat ia lihat. Kyungsoo mengulurkan tangannya dari kaca jendela. Jongin menyambutnya. Ia mengatakan candaan lucu yang tak Kyungsoo mengerti, lalu berbalik dan berjalan menjauh. Kakinya serasa ingin copot, namun begitu ia kembali menunduk. Kepalanya sukar untuk ditegakkan, jari-jarinya gemetar.

Kyungsoo menoleh ke sopir dan tersenyum cerah, "Tolong antarkan saya kembali ke apartemen."

Dia berpura-pura bersikap jika ini semua hanya proses. Setelah ini, dia tidak akan bisa ingat Jongin. Dia tak akan paham dengan makna dari hari esok atau kemarin. Yang jelas, ia telah terlambat masuk kerja. Menghirup aroma musim dingin dalam-dalam, Kyungsoo meyakinkan dirinya jika ia tidak ingin terjebak sama sekali. Tidak boleh ada airmata yang jatuh menitik. Tidak boleh meski ia tidak tahan untuk tidak menangis. Tapi…

…pada akhirnya tetesan bening itu menitik juga. Satu persatu, sama halnya seperti Jongin. Kyungsoo meraung keras ketika ia tak bisa mengenali suaranya sendiri.


Anterograde Tomorrow


Berdiri di balik ruangan, Kyungsoo mengingat perkataan dan pesan dokter. Sesuatu seperti perawatan oksigen yang kurang memadai, antibiotik, penyakit mematikan. Lalu juga Jongin yang terus-terusan terbaring di ruang ICU namun tetap tak mengubah apapun. Setidaknya hal itu bisa menurunkan demamnya, namun tetap saja paru-parunya sudah tak bisa difungsikan. Kyungsoo tidak mengerti kosakata asing macam symbicort atau theophylline atau corticorteriods, tapi ia mengerti bagaimana alat itu mendetak tenang dalam friksi berupa garis-garis, bunyi yang berkesinambungan dari layar monitor. Dan satu-satunya yang dapat Kyungsoo pelajari dari permintaan maaf sang dokter adalah— "Tidak ada lagi yang dapat kami lakukan."

"Aku tak mau mati…" keluh Jongin dari balik masker oksigennya. Kyungsoo duduk di bangku tepat di sisi tempat tidurnya dan memperhatikan vena plastik menyembul dari balik pergelangan tangannya. Entah bagaimana Jongin jadi kelihatan sangat kurus. Kurus sekali.

"Tidak akan. Kau takkan mati. Mereka bilang kau akan baik-baik saja."

"Bohong!" kekeh Jongin. Ia menarik kepalanya menyamping, dan saat itulah Kyungsoo sadar jika Jongin tidak benar-benar tertawa. Sebetulnya, dia menangis. "Dalam tiga minggu ke depan, akan ada orang baru yang terbaring di atas tempat tidur ini. Empat minggu, paling lama. Aku mengidap pneumonia, Hyung. Selain fibrosis, aku punya pneumonia."

"Kau akan baik saja!" tegas Kyungsoo. Walau Jongin salah tentang perkiraannya yang menebak jika waktu yang dimilikinya hanya tiga minggu. Karena nyatanya, Kyungsoo tahu bila Jongin hanya punya dua minggu lagi. "Tak ada yang salah denganmu… Semuanya akan baik-baik saja."

"Tidak," Jongin memejamkan matanya. Dan Kyungsoo tak tahu apa yang harus ia perbuat selain berdiri diam dan menarikan jarinya di atas dada Jongin.

Jongin tersentak, "Sekarang apa?"

"Mengirimi Tuhan sebuah pesan. Aku harus melakukannya. Dia tidak boleh mengambil paru-parumu. Kau membutuhkannya," ucap Kyungsoo, menarik Jongin lebih dekat untuk dapat terus merangkai garis tak nyata di atas permukaan dada Jongin, "kau benar-benar membutuhkannya…"

Keheningan mengisi, dan setelah itu tidak ada aksi lain lagi. Jongin terbengong dengan dengung AC meniup ruangan.

"Saat pertama kali aku tahu jika aku akan mati, kupikir…, aku tak lagi menyesal. Aku berterimakasih pada Tuhan. Untuk sekarang, aku tak butuh apa-apa lagi. Cukup satu menit lebih lama. Beberapa milidetik… Aku hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu, Hyung. Aku belum membalas perasanmu… A—Aku… Aku belum menyelesaikan semuanya…"

Matanya menyipit bahkan sebelum Kyungsoo berkesempatan meraih tangannya dan mengatakan pada Jongin jika mereka masih punya cukup waktu. Bahwa tanpa terburu-buru, semuanya tetap baik saja. Karena Jongin akan sembuh dan menuliskan ini; Kim Jongin, barat daya, ruangan 2-20, Rumah Sakit Seoul – mencegat taksi di gerbang masuk bagian selatan padahal masih dirawat, ia kembali esok harinya dan setelah itu… Setelah itu…

Entahlah.


Anterograde Tomorrow


"Mm. Kita bisa mencoba melukis namaku di wajahmu…" kata Jongin sembari menghisap rokoknya dari corong. Sebelumnya, sang perawat mendudukkan dirinya ke kursi roda dan lebih baik Jongin keluar dari kamarnya jika ingin merokok. Cobalah berjalan menyusuri koridor, katanya. Jadi di sinilah mereka, dua sosok yang terbungkus oleh lapisan wol dan kasmir yang bertahan dengan udara pengap di sepanjang koridor tak berujung. Kyungsoo terus menghiburnya. Keberadaan mereka nyata; mereka masih bersama-sama. Mereka berdua. Mereka mencoba mengukir satu hari penuh kebersamaan. Lagi.

"Yah, tapi aku bisa. Aku akan terus menatapnya. Agak mengerikan juga, sih, kalau membayangkan namaku ditato di wajahmu, hehe," kekeh Jongin. Dia mengais udara dan melambaikan tangan pada Kyungsoo, "Kawan-kawan pers juga sudah banyak tahu jika aku itu narsisis. Bayangkan saja…, mereka bahkan mencaritahu tentang seluruh kebiasaanku…"

Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya memandangi pasien lain berlalulalang. Semacam ajang damai, mereka tak lagi khawatir meski akhirnya Jongin kembali menghela napas, "Apa malam ini kau datang ke bar?"

Kyungsoo mengangkat bahu, "Mungkin malam ini tidak dulu… Aku tak bisa melihatmu, nanti…"

"Dari kemarin kau mengatakan hal yang sama terus…" Jongin menyeringai. Matanya yang melankolis tambah meredup kala ia mengerang sambil menarik napas, "Pergilah ke bar besok. Kau harus tetap bernyanyi. Itu kan pekerjaanmu. Bernanyi. Menjalani kehidupan…"

"Aku mau menemanimu," protes Kyungsoo, "kalau menyanyi, sekarangpun aku bisa."

"Jangan. Jangan. Kau konyol sekali—"

Pada akhirnya Kyungsoo bernyanyi. Melodi halus mengalun lembut menembus pendengarannya meski suasana sedikit menyesakkan. Membuat Jongin manyun dan mengejeknya sekali waktu. Agak ragu, jemari Jongin mengerat lengan kursi roda.

Tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari jika Jongin menyamai tempo, jemarinya bergerak dan mengetuk-ngetuk, menjadi melodi sendiri. Sama seperti halnya Kyungsoo berlutut di depannya, meneliti kepala hingga bolamatanya. Semuanya sempurna dan padu. Ujung jari Jongin menekan buku-buku jarinya. Mudah dan elok. "Arabresque…" bisiknya. Membuat kabut putih di atas plastik. Tangannya melakukan lompatan kecil, "Grand Jete," lalu memutari pergelangan tangan. Tawa meledak dari bibir Kyungsoo saat kukunya merabai telapak tangan Kyungsoo, "Fouetté et tourant…" Pindah ke tepi telapak tangannya sampai belakang, "Ini… Sissone. Satu, dua…, dan—" Mereka berhenti bernapas sejenak, ketika jari-jari Jongin melintas pergelangan tangan Kyungsoo hingga ke lengannya. Kembali ke lengan, bahu, tulang selangka, leher, dan berhenti di bibir bawahnya.

Mereka berbagi senyuman. Kyungsoo menekan jarinya di bibir Jongin, menghantarkan dingin ke permukaannya. Siluet Jongin terlampau terang, dengan pakaiannya yang cuma baju rumah sakit. Kyungsoo berpikiran jika Jongin nampak bercahaya, seperti kilat.

Saat lagu mereka berakhir, perawat memanggil Jongin untuk kembali ke kamarnya karena udara yang belum tersaring tidak bagus bagi paru-parunya. Tentu saja tidak ada yang cocok dengan paru-paru yang penyakitan.

"Malam, Hyung…" sela Jongin tak rela. Sebab ia beranggapan jika Kyungsoo adalah morfinnya. Tidak sanggup berpisah. Matanya yang berkedut mulai menutup, dan Kyungsoo tahu bahwa dia tercekat dalam detik-detik ketika mengatakan— "Aku mencintaimu…"

"Bukan, Jongin. Kau tak boleh pesimis. Katakan padaku jika besok kau masih melihatku…"

"Hyung, aku tidak akan mungkin—"

"Cukup. Katakan jika kau…" Suara Kyungsoo terbata-bata. Kata-kata serta pikirannya runtuh sekaligus. Dia ingat cara jari Jongin yang begitu cekatan membelai lengannya. Sehingga secara tak sadar, ia beranggapan seakan-akan tujuan utama mereka dilahirkan hanya untuk menghabiskan waktu bersama seperti beberapa menit sebelumnya. Semuanya terasa amat nyata bagi Jongin yang akan menarik selimut rumah sakit sebentar lagi. Lampu tidur menemani. Boleh jadi, Jongin takkan pernah bisa menari lagi. "Besok. Besok…"

Jongin merangkulkan tangannya di leher Kyungsoo, menariknya mendekat. Ibu jarinya mengusap airmata Kyungsoo, "Oke. Sampai jumpa…"

Air suci tersebut jatuh satu-satu menuruni lekukan pipi sampai perawat membimbingnya pergi. Sebelum kata terakhir sempat terucap…


Anterograde Tomorrow


Kemarin, sudah tidak ada lagi. Secara bertahap hari ini nampaknya lebih baik. Tapi hari esok?

Mereka kehabisan waktu. Bayang-bayang tentang kebahagiaan juga terlalu lama. Lampu-lampu mengedip terlalu lambat. Lagu pembuka juga hanya sebatas di ambang falseto. Cekikikan aneh terus meletus dari bibir Jongin yang selalu cemberut. Perlahan berubah jadi tawa parau. Teramat keras. Terlampau terburu-buru. Jongin tertawa seolah-olah dia takut jika ia tak mendapat kesempatan untuk tertawa lagi. Seolah-olah takut jika semua lampu akan dimatikan sebelum ia sempat menonton penampilan Kyungsoo. Jadi, Kyungsoo mengalungkan lengannya di pinggang Jongin saat tidak ada yang memperhatikan, dan menekan dahi mereka bersama. Dia memberitahu Jongin jika tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi. Bahwa tidak usah tertawa keras-keras. Bahwa Kyungsoo memahaminya, bagaimanapun dia.

Suatu hari Jongin merenung. "Waktu telah diulur… Kau pikir berapa lama lagi?" Iapun merenungkan bagaimana perawat menghubungkan tabung logam raksasa dengan tubuhnya. Perawat itu menarik selang infus dan memeganginya sementara darah menetes dari kantung darahnya. Mengaliri darah untuk pasokan kebutuhan Jongin.

"Mana kutahu…" jawab Kyungsoo kalem.

"Di saat-saat terakhir kau mulai berharap tentang sesuatu… Kau mengucapkannya di musim dingin. Kita bisa membuat kimchi bersama-sama—"

"Kau mau kimchi?"

"Lalu, kau minta tambah… Aku membuatkannya. Kemudian aku menciummu karena kau menyodorkanku setangkai mistletoe. Dan… Aku akan membuatkan kimchi saat tahun baru… Sebab aku mau makan kue beras denganmu… Apa kau bersedia membuatnya untuk perayaan kita? Aku mau melihat caramu membuatnya. Lalu ketika kita bersandar di kap mobil…, aku berbisik sesuatu di telingamu. Menunjukkan kunang-kunang yang sedang terbang…"

"Cukup, Jongin. Nanti kau akan menjelaskan semuanya sampai detil. Lagipula, aku sudah merangkai mistletoe hari ini," sela Kyungsoo. Menunjuk ke kotak yang terbungkus sampul yang ada di sudut ruangan. "Kita akan merayakan Natal. Lalu kalau kita sudah melewati Natal, kita juga bisa merayakan tahun baru bersama…, lalu…, perayaan hari jadi kita. Aku bisa menunjukkanmu sekarang jika kau—"

"Dan itu tidaklah cukup. Karena semakin aku merasa memiliki sesuatu, aku makin menyadari bahwa aku masih kehilangan banyak hal. Begitu banyak… Kita—"

"Kita bisa merayakan Natal bersama, oke," sela Kyungsoo, "kita akan melakukan segala sesuatunya bersama-sama. Hm? Jangan menangis, Jongin… A—Aku… Ish, jangan menangis—"

"Kau yang menangis, Hyung…"

"Diam!"

"Aku tak mau mati, Hyung…" kekeh Jongin terdengar datar. Tetesan bening mengaliri sudut matanya. Membanjir lewat lekukan wajahnya. Kyungsoo kurang yakin jika ia lebih dulu menangis, bahkan dia memaksa jika dirinya tidak sedang menangis.


Anterograde Tomorrow


Jongin kehilangan kemampuan berbicara. Dengan lirih, kepala perawat yang menanganinya berbisik tentang fakta yang mengerikan. Paru-paru Jongin tak menyediakan cukup oksigen untuk bisa membantunya bicara dan lebih baik jangan menganggunya. Namun bagi Kyungsoo itu tidaklah penting, sebab ia tidak perlu mendengar Jongin bicara. Dia juga tidak perlu menyentuh Jongin, atau bahkan melihatnya. Kyungsoo hanya harus berada di dekatnya. Untuk dapat mengetahui jika Jongin masih bernapas. Untuk tahu jika Jongin mendengarkannya ketika Kyungsoo bernyanyi untuknya. Atau saat bibirnya berkedut kala Kyungsoo melempar lelucon garing padanya.

Kyungsoo benar-benar tak mengerti bagaimana dia bisa mengenal orang ini. Atau, kenapa lututnya bisa otomatis terpaku ketika dia melihat nomor kamar orang asing itu. Lalu, banyak hal lain yang ia tidak mengerti. Dan dengan jumlah pertanyaan yang Jongin lewatkan, sedikit banyak catatan tempel berwarna kuning itu dapat menjelaskannya. Namun tidak untuk siapa sebenarnya Jongin.

"Suatu hari nanti saat kau melihat balkon di samping apartemenmu kau takkan lagi melihat si brengsek yang menghisap rokoknya. Apa kau akan merasa kehilangan…?"

Kyungsoo mendongak dari memonya, menatap Jongin dan berkedip dengan enggan, "Apa? Sekarang saja aku sudah sedih. Aku akan merindukan saat-saat di mana aku memandangimu dari balkon…" Tepat. Dan dia tak salah saat mendapati ekspresi terkejut dari Jongin.

Mungkinkah dia ingat…?

"Bagaimana… Kau bisa tahu jika itu diriku?" tulis Jongin di atas memonya, sangat cepat, sehingga tulisan tangannya sulit terbaca. Tapi Kyungsoo tahu apa yang dia maksud. Karena dia sendiri juga bertanya-tanya begitu pada dirinya sendiri.

"Perasaanku saja…" gumam Kyungsoo. Dan dia sangat senang saat akhirnya dia bida mengingat sesuatu dalam memorinya. Mungkin setelah ini harapan mereka akan terkabul. Mungkin, besok Jongin akan sembuh dari sakitnya dan Kyungsoo pulih dari amnesianya. Setelah itu mereka akan bisa saling bicara mengenai apa yang akan mereka lakukan besok. Tentang catatan konyol… Tentang tangan yang gemetar… Atau, mata yang berkaca-kaca…

Ya.

Pada akhirnya, malam itu Kyungsoo pulang ke rumah sembari menggumamkan nama Jongin di bibirnya. Mengulang-ulangnya seperti doa. Lagi, dan lagi sampai seperti hembusan napas. Kyungsoo membawanya ke dalam mimpi. Memohon berjuta kali pada Tuhan tentang hal-hal yang menyenangkan. Atau setidaknya, biarkan Kyungsoo mengingat namanya. Setidaknya, kalaupun Tuhan ingin mengambil Jongin, Kyungsoo berharap jika ingatannya tentang Jongin juga tidak dibiarkan menghilang.

Kyungsoo tak perlu tahu apa-apa, baik dari masa lalu ataupun masa depan apalagi kebaikan atau keburukannya. Yang Kyungsoo inginkan hanyalah ia dapat mengingat namanya. Setiap hal kecil yang menyangkut Kim Jongin.


Anterograde Tomorrow


Saat Kyungsoo terbangun, ia menemukan beragam catatan tempel yang lecek dari sakunya berserakan. Tulisannya yang ditulis oleh pena dan pensil hampir tidak bisa dibaca. Semuanya ditulis oleh orang profesional, walau tangannya gemetar dengan garis-garis spiral tempatnya menggantungkan hidup. Dia menghaluskan memo di lembar pertama dengan telapak tangan. Hati-hati supaya tidak lecek.

Apa kau pikir Tuhan itu ada?–

Jika Tuhan memang ada, apa kau pikir jika dia akan memberiku waktu tambahan? Tidak harus lama. Hanya satu minggu yang kuminta. Atau bahkan sehari. Apapun itu, aku bahkan tak keberatan jika Dia memberiku satu jam saja. Aku hanya ingin punya waktu sedikit lebih lama. Hanya itu–

–Kau menangis, Hyung–

Harusnya dari awal aku berhenti merokok. Kan?–

Berhentilah bersikap sok, Hyung–

Catatan terakhir berwarna hijau dengan tepiannya berjumbai. Sudut kertasnya kumal dan menguning. Jelas lebih tua usianya ketimbang dua lainnya. Lebih didominasi oleh tulisan tangan yang ditekan dengan banyak emosi yang dituangkan dalam lapisan kertas. Tapi tetap saja, janggal rasanya saat ia merasakan ada yang berbeda dalam tulisan itu:

Namaku Jongin. Aku penulis yang tinggal di sebelahmu. Sampai jumpa besok, Hyung. Jangan lupa!–


Anterograde Tomorrow


Seringkali ketika Kyungsoo menjenguk Jongin di ranjang rumah sakit, ia tak yakin apakah ia melihat Jongin yang asli atau refleksinya. Waktu hampir membuatnya nampak payah dari luarnya, transparan, membuatnya terlihat seperti bayangan saja. Kyungsoo ingin bicara dengannya, tapi perawat bilang jika itu percuma, Jongin tidak bisa membalasnya. Jadi dia hanya bisa menunduk. Menuliskan nama "Jongin" di punggung tangan dan mencocokkan dengan nama "Kim Jongin" yang ada di papan yang tergantung di ujung tempat tidurnya.

Detik demi detik terbias, mengaleidoskopkan; membunuh jiwa yang terbaring di atas lapis seprai. Kyungsoo menghitung detik demi detik saat Jongin merepetkan tubuh dengannya. Lemah. Erangan mengalun di sela suara berat Jongin saat ia mengangkat tangannya, yang disambut senang oleh Kyungsoo yang langsung menautkan tangan mereka.

Keluhan pertama Jongin hampir tak bisa terbedakan. Ia terus-terusan menghela napas dari balik masker oksigennya, dan membulatkan tekad untuk bertanya saat Kyungsoo akan keluar dari kamarnya, "Apa besok kau akan kembali ke mari?"

"Memangnya kenapa?"

"Datanglah ke sini besok. Tanggal tigabelas…" balas pria itu. Bernegosiasi dalam tiap suku kata saat menghirup udara, "Hari jadi kita… Besok… Tigabelas… Empatbelas… Tigabelas…"

Kyungsoo menolak keras. Jongin mengedipkan mata. Semuanya berakhir terlalu mudah,
namun mereka terus-terusan memaksa bersama-sama meski harapan itu tipis. Kyungsoo tidak pulang ke rumah malam ini. Dia meminta perawat membiarkannya menginap, dan ajaibnya, mereka mengalah dan mengijinkan. Walau perawat itu berpesan padanya untuk tetap tenang dan tidak berisik sebab Jongin butuh istirahat. Karena Jongin benar-benar bertahan hidup pada apa-apa yang berpeluang minim.

Kyungsoo mencoba untuk tetap terjaga sepanjang malam untuk dapat melihat Jongin esok pagi saat bangun dan jadi yang pertama mengatakan: "Selamat hari jadi Kim Jongin dan Do Kyungsoo…" tanpa melirik memo. Besok, ia harus mengingat Jongin. Dia harus mengingatnya. Mengingatnya…


Anterograde Tomorrow


Cahaya matahari terbawa dalam mimpi Kyungsoo, terbias menjadi sesuatu yang dingin dan terasa asin dan melibatkan tumitnya menapak permukaan lembut antara tepi laut serta pantai. Ia berbalik dan pasir putih itu menjelma menjadi linen dingin.

Ketika ia membuka matanya, dapat dilihat kepak sayap camar dan gradasi biru terang digantikan oleh pandangannya yang langsung tertuju pada layar hitam, sebuah jendela kecil di ujung bangsal rumah sakit yang sempit, serta lantai marmer yang dingin. Plastik? Semuanya? Ini bukan kamarnya! Dan Kyungsoo tidak mengerti bagaimana caranya dia bisa terbangun di samping tempat tidur orang asing. Ada kata-kata pendek yang tertulis di punggung tangannya. Memudar: Ingat Jongin… Besok adalah hari jadi kita (13 Januari 2014)

Kyungsoo menegakkan dirinya. Punggungnya serasa patah dan lehernya sakit karena menunduk sepanjang malam. Saat itu dia baru sadar bila orang asing di ranjang tengah mengamatinya. Senyumnya merekah, memudar pelan-pelan saat fiturnya makin meredup. Tidak jelas.

"Ha..looo?" Kyungsoo berkedip. Orang asing tersebut tak merespon meski sudut matanya mengernyit. Ibu jarinya bergerak sedikit. Kyungsoo melirik papan nama yang tergantung di sisi tempat tidurnya. Kim Jongin.

Secara tidak disadari, ada aliran udara keluar masuk dari alat logam aneh yang terletak di samping tempat tidur. Kyungsoo menelusuri pandangannya dari selang infus yang menghubungkannya dengan hidung Jongin. Ia akan bertanya—mungkin tentang pesan aneh yang tertulis di tangannya—saat lebih dulu, dia menyelanya, "Selamat hari jadi untuk kitaHyung…"

Orang asing bernama Kim Jongin tampaknya menarik napas kuat-kuat. Tangannya bergerak dalam genggaman Kyungsoo dan secara berlarut-larut, ia kembali jatuh tertidur. Tenang.

Kyungsoo berpikiran jika itu adalah hal yang wajar. Barangkali, orang asing itu sedang lelah, jadi dia tertidur. Tapi bunyi konstan yang berasal dari monitor dengan garis lurus berwarna hijau serta alarm keras yang berisik menyadarkannya seketika. Beberapa dokter dan perawat bergegas menyingkirkan Kyungsoo dari orang asing itu. Jauh. Terlampau jauh, saat mereka mencoba kembali mendetakkan jantung orang asing itu.

Kyungsoo menyadari bahwa ini semua pasti kesalahan.

Ini semua salah.

Salah.

Dan dia merosot, menangis, dengan sebab yang tidak begitu ia ketahui…

Seorang dokter menepuk pundaknya dan mengatakan, "Maaf, Tuan Jongin tak bisa kami selamatkan. Waktu kematian: Jam sembilan pagi. Tigabelas Januari, tahun dua ribu empat belas. Hari Senin."

Ini…, salah.

Tidak lama kemudian, Kyungsoo berhasil keluar dari rumah sakit dengan airmata membasahi wajahnya. Membuatnya lengah dan menghancurkan seluruh tubuhnya menjadi potongan tak nampak. Dia tidak mengerti kenapa dunia tampaknya sudah berakhir di suatu hari yang indah di bulan Januari, atau mengapa ia menangis di tengah jalan seolah esok, takkan pernah kembali datang. Atau mengapa bila ia mengingat nama yang tertulis di punggung tangannya lebih menyakitkan ketimbang ucapan selamat tinggal dalam bentuk apapun.

Menyakitkan.


Anterograde Tomorrow


Jumat pagi. Minggu kedua di bulan Juli. Satu jam saat dunia berotasi dengan lampu jalanan yang berkelap-kelip, lolong orang mabuk, dan tawa renyah dari beberapa pejalan kaki. Hanya ada mereka berdua di dalam lift saat ini.

Setelah kembali dari bar, Kyungsoo mencoba menyingkirkan asap cerutu dan aroma alkohol yang terperangkap dalam rambutnya. Jari-jarinya menyisir rambut dan memungkinkan buku jarinya tetap mengusap kulit kepalanya, tapi ia tidak mengalihkan perhatiannya terhadap sekitar. Hari ini, ia merasa sangat kosong—seperti seseorang yang penting dalam hidupnya telah pergi saat ia sedang tertidur. Merasa kecolongan. Tapi membawa keping harapannya kembali padanya.

Ada orang asing dengan rokok tersemat di antara sela bibirnya. Pencahayaan lift yang remang membuatnya terlihat lelah dan payah. Dan…, sedikit mengerikan. Kyungsoo bertanya-tanya dengan pembuluh darah yang berdebar. Mungkin akan kentara jelas dia gugup, bila saja kulit manusia tercipta dari plastik transparan.

"Apa kau Do Kyungsoo?" tanya orang asing itu. Berbalik dan menahan Kyungsoo tepat saat pintu lift terbuka.

"Ya," respon Kyungsoo. Ragu-ragu, ia melangkah keluar namun dikejar oleh orang asing itu. "A—apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Tidak. Tidak juga…" Orang asing itu tersenyum dan mengulurkan tangan, "Aku Oh Sehun. Editor dari penulis bernama Kim Jongin…"

Sesuatu dalam dada Kyungsoo bergolak saat nama tersebut terucap, "S—Senang bertemu denganmu…"

"Ah, ya. Aku agak sibuk, jadi aku akan langsung berikan ini," kata Sehun, merogoh sesuatu yang cukup besar dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Kyungsoo. Seperti buku catatan, pikir Kyungsoo. Terlihat lapuk dan kumal, pasti jarang dibaca-baca. Tulisannya digores dengan tinta pena.

"Itu adalah novel terakhir karya Jongin. langsung ditulis tangan dan yah…, itu untukmu." katanya. Lalu Sehun menghilang di balik koridor.

Kyungsoo mendapati dirinya terduduk di balkon apartemennya. Pendar rembulan memantul di permukaan buku yang ada di pangkuannya. Ia membalik sampai halaman terakhir sesukanya, hanya untuk memeriksa apakah novel ini berakhiran sedih atau tidak. Sebab dia tak suka akhir yang sedih.

.

.

.

Namaku Jongin. Aku penulis yang tinggal di sebelahmu. Sampai jumpa besok, Hyung. Jangan lupa!


the end


a/n: Yup! This is the final chapter. Thank you for reading ^.^