Maaf lama banget buat update UTS nya kacau um, kurang ngehafal mungkin.
Juga kalau lanjut FFC ini nyesek karena ceritanya mirip2 dikit sama kehidupan realku. Bedanya aku jadi adik simpanan, bukan wanita simpanan. #curhat. Hehe.

Lanjut ke review. Maaf kalau ada yang g kebales. chapter ini spesial dibikin panjang atas permintamaafan dariku yang lama g update :(

000000000000000000000000

Vermiehans : Makasih buat reviewnya, semua pertanyaanmu akan terjawab di sini soal sekuel gimana ya? Hehe
Nemui Neko-chan : Nih disini bakalan kejawab. Semoga kejawab semuanya makasih buat do'a soal UTS ya…

Fivani-chan : Bacanya jangan dikelas atuh. Maaf deh lama~~~ ;( ;( #kabur. Ni ending.

Nappy : belum saatnya kicag. Makasih buat do'anya

Alyazala : Maaf lama ;(

Loly jun : siip, ending nih.

Misca : tebakannya bener ga ya? Silahkan lihat

Dewi Natalia : nih dibikin Athrun POV shinn g tampil di ffc ini.

Asuka Mayu : Makasih buat do'anya

Hoshi Uzuki : sayangnya nyaris, g beneran nangis

Lennethia : soal mata kurang tau nih. G bisa searching nih lagi g ada paketan. Hehe

Lya Awlya : disini ending. Maaf ntu kesalahan diawal tadinya mau tamat tapi ada yang minta lanjut. Gtu.

Lenora Jime : maaf ya atas kesalahannya. semoga memuaskan deh di chap ini.

Mrs. Zala : hehe… kalau g ada konflik g seru atuh

Fivani-chan : makasih ya atas dukungannya. Nih lanjut setelah baca review dari vani-chan loh. Kemarin2 sibuk, maaf


.

.

Aku tak pernah berpikir bahwa aku akan mengalami hal buruk seperti ini.

Aku sangat takut, ingin segera terbangun dan melupakan semua ini.

Sayangnya, ini bukan mimpi.

.

.

.

Desclaimer : Gundam Seed/Gundam Seed Destiny Is not Mine

Wanita Simpanan by. Rencaggie

Rate : T semi M (?)

Genre(s) : Drama, Hurt, Family

Warning : gaje, Abal-abal (-_-)

.

.


"Cagalli, nanti malam akan ada tamu. Bisakah kau menyiapkan makanan lebih banyak?" Tanya Kira seraya merapikan dasinya saat ia dengan terburu-buru bersiap untuk pergi ke suatu tempat.

"Baiklah. Tapi, apa yang tamumu inginkan? Aku khawatir jika masakanku tidak cocok dengan apa yang mereka suka." Cagalli berjalan pelan menghampiri Kira dengan menempatkan telapak tangan kanannya di perut buncitnya.

"Masaklah masakan yang kau sukai. Maksudnya jika kau senang memasak suatu menu, hidangkanlah itu untuk tamu kita." Kira tersenyum dan mengecup pipi Cagalli. "Sudah ya, aku akan terlambat. Aku harus menghadiri rapat, kemudian menjemput tamu kita. Aku serahkan semuanya padamu, mungkin mereka tiba sekitar pukul tujuh malam."

"Hu'um." Cagalli hanya mengangguk, lalu memperhatikan Kira yang keluar dari rumah yang lama ia tempati ini.

Tiga hari telah berlalu, sejak Kira tahu siapa Cagalli sebenarnya. Satu hal yang membuat ia lega, Kira tak merubah sikapnya, Kira sama sekali tak mengabaikannya. Malah, sesekali Kira kini menggodanya dengan mengecup pipi kanannya jika ia akan pergi keluar rumah.

Ada juga sikap aneh yang muncul dari Kira, kini Kira mulai berbelanja banyak pakaian Cagalli. Cagalli berusaha menolak, namun Kira tak pernah mendengarnya. Disisi lain, Kira senang melakukan hal itu. Kira senang Cagalli nampak manis dengan pakaian yang ia beli.

Dengan berusaha menghiraukan hal-hal ganjil yang terjadi, Cagalli melangkah memasuki dapur untuk melihat bahan apa saja yang kurang untuk memasak nanti.

Semua telah ada, bahan yang diperlukannya sudah ada di dalam lemari es berpintu dua itu. Hanya masakan sederhana, tentu Kira akan memiliki bahan-bahannya. Makanan sederhanya… kesukaan 'seseorang'.

Cagalli meneladah ke atas, pada langit-langit dapur tersebut.

Cagalli sangat menikmati, menyiapkan makan malam untuk seseorangnya, dulu. Dulu sekali baginya. Sekarang telah berbeda, tak ada dia lagi sekarang. Sekarang bukanlah hidupnya yang dulu. Walau merasa ini yang terbaik, kadang hatinya merasa begitu sesak. Rindu, cemas, selalu menghantui lelung jiwanya. Apa dia baik-baik saja? Ada dia sehat di sana? Pertanyaan itu selalu muncul di pikirannya.

Di bawah langit-langit ruangan yang berbeda, Cagalli ingin membuat hidangan yang sama.


xxxxxxxx WS xxxxxxxx

.

PLANTS

Kediaman Zala's

.

Lacus merapikan dasi suaminya. Dengan senyum manisnya, ia hadapi wajah sendu sang suami.

"Athrun…" Lacus menyebut namanya.

Athrun, si suami mengangkat wajahnya, mempertemukan bola emerald dengan sapphire yang lembut.

"Tersenyumlah, ini hari ke-3 kau kembali ke PLANTS. Berikan senyummu, setidaknya untuk orangtuamu dan Tooru. Tooru khawatir dengan keadaanmu." Lacus mengusap pipi Athrun, menunjukan bahwa iapun khawatir akan kondisinya.

"Maaf…" hanya itu yang Athrun katakan. Bukan tak ingin mengabulkan pinta sang istri, ia hanya benar-benar sulit untuk tersenyum.

"Maaf membuatmu menunggu, Athrun." Lacus berbalik sejenak untuk mengambil sebuah map. "Kini kondisi PLANTS telah stabil, ini untukmu." Lacus memberikan map biru itu pada Athrun.

Athrun menerimanya, membukanya dan cukup terkejut dengan apa yang terdapat di dalamnya. Ia kembali menatap Lacus, Lacus yang saat itu tersenyum lembut padanya.

"A-apa kau serius? Lacus?"

"Aku serius, Athrun." Lacus memegang tangan Athrun yang masih terpaku di tempat. "Mari kita pergi sekarang."

Pasangan suami-istri itupun pergi, keluar dari kamar mereka dan menuju tempat yang Lacus rencanakan bersama Kira.

xxxxxxxx WS xxxxxxxx

.

Athrun POV

.

Tak lama, kami sampai di salah satu bandara ternama di PLANTS. 30 menit lagi, kami akan lepas landas untuk sampai ke Helitopsis, kediaman komandan Yamato. Entah angin dari mana, Lacus memaksaku untuk pergi menemui pria itu. Memang benar dia sahabatku, namun dengan alasan tertentu, berat untukku menemuinya.

Ada apa? Kenapa rasanya semua datang bertubi-tubi menikamku? Dia yang pergi, kembalinya Kira Yamato. Apa ini semacam hukuman untukku?

Saat aku duduk di deretan kursi tunggu, menunggu Lacus yang pamit padaku untuk pergi ke belakang, aku melihat siluent perempuan berambut pirang pendek berjalan melewatiku. Aku membeku, pikiran warasku kembali hilang ketika kusadari siluent itu mulai memudar di keramaian.

Aku berdiri, lari secepat mungkin dan mengejarnya. Aku harus menemukannya, aku harus menemukannya.

Namun siluent itu menghilang, tepat di depan bandara itu. Setelah aku mengejarnya sejauh ini, kenapa? Kenapa ia menghilang? Kenapa aku tak dapat sekedar memastikan ia bahagia di hidupnya? Kenapa aku tak dapat mengatakan tentang semuanya padanya? Kenapa aku tak memiliki satupun kesempatan untuk berkata 'maaf' padanya?

Seakan segala yang ada di pikiranku sampai pada-Nya, ekor mataku kembali menemukan sosok itu. Tak jauh dari tempatku berdiri, dia berjalan menarik koper hitamnya. Aku berlari, menghampirinya dan menarik tangannya.

"Cagalli!" Ucapku dengan perasaan yang meluap-luap. Senang, lega, dan jelas bahagia.

"Siapa?" Mataku membulat, ketika ia berbalik dan mengeluarkan suaranya.

Bukan, ternyata bukan perempuan yang aku cari. Perlahan, kulepaskan genggaman tanganku darinya.

"Maaf, aku salah mengenalimu sebagai… kenalanku." Ucapku pelan.

"Ah, tidak apa-apa. Lain kali, semoga orang yang kau temui adalah orang yang kau cari." Orang asing itu berkata dengan senyum ramahnya.

"Ya, semoga." Responku, lalu membungkuk untuk sekali lagi meminta maaf padanya. Semoga, semoga apa yang orang asing itu katakan akan menjadi kenyataan.

Semoga, aku dapat bertemu dengannya lagi. Cagalli.

Walau aku tak tahu, hal apa yang pertama akan aku lakukan jika kembali bertemu denganmu. Akankah aku berani untuk menyapamu seperti biasa? Akankah kau tersenyum menyambut kedatanganku seperti biasa? Akankah kita kembali seperti biasa?

Tidak, tidak ada lagi semua itu.

Aku tahu, aku yang jelas salah saat itu. Kenapa aku meninggalkanmu saat itu, Cagalli? Kenapa aku buta oleh kecemburuanku dan menghilang dari hidupmu?

Kau tahu? Perih hatiku saat melihat kau terakhir kali. Suaramu, kata-katamu, mengiris hatiku, Cagalli. Kenapa aku begitu egois saat itu? Kenapa aku tak segera memelukmu dan berkata aku akan kembali? Kenapa aku tak memikirkan perasaanmu saat itu?

Apa yang kau rasakan? Apa yang kau pikirkan? Selalu aku bertanya demikian walau jelas aku dapat membacanya.

Saat kau mengetuk-ngetuk pintu kaca taksi biru itu, dengan suara paraumu, sesak tiba melanda hatiku. Kebenarannya, aku ingin sekali turun dan berkata maaf padamu. Namun lagi-lagi, ego memenangkan kehendakku saat itu.

'Maaf' … kata itu kini tertinggal dan tak sempat terucap.


xxxxxxxx WS xxxxxxxx

Aku kembali ke tempat tunggu itu, menemukan Lacus dengan wajah cemasnya.

"Athrun, kemana saja kau?" Tanyanya menghampiriku.

"Kita berangkat sekarang?" Tanyaku mengalihkan topik. Dia sepertinya mengerti, bahwa aku tak ingin membicaran hal itu. Dia mengangguk, membawa tas kecilnya, dan kamipun pergi menuju pesawat.

30 menit perjalanan udara, kami sampai di Helitopsis. Dengan senyum yang mengembang, Lacus turun dan berlari menghampiri pria dengan kemerja putih disebrang sana, Kira.

Aku berjalan menghampiri mereka, memberanikan diri meluruskan pandanganku.

Pria di depan sana, tersenyum padaku, menyeringai.

Aku tersentak, merasakan perasaan aneh di dadaku. Segera ku palingkan pandanganku, berpikir apa maksud dari senyumnya. Senyum apa itu? Apa dia sekarang membenciku? Orang yang menikahi wanita yang dicintainya.

"Baiklah, mari segera masuk ke mobilku. Bukankah kalian lelah? Akan lebih baik jika kalian segera istirahat." Kira melangkah lebih dulu, menuntun kami menuju sebuah mobil berwarna hitam.

Sepanjang perjalanan, aku hanya diam memperhatikan pemandangan di balik kaca mobil. Di sampingku, Lacus tersenyum memperhatikan Kira yang sibuk mengendarai. Nampak jelas, Lacus masih sangat menyayangi Kira. Jika saja kecelakaan itu tak terjadi, mungkin Lacus kini duduk di depan, di sampingnya.

Namun pada kenyataannya, Lacus menikah denganku, sahabat dari kekasihnya. Bertahun-tahun aku menghindari setiap pertemuan antara aku dan Kira, sungguh pengecut tak berani menghadapinya. Apa yang harus aku katakana padanya? Berkata yang sebenarnya? Itu takkan merubah fakta bahwa aku telah menikahi kekasihnya dan tak dapat menceraikannya.

Nasi telah menjadi bubur, aku hanya berusaha menjalankan peranku sebaik mungkin dan berdo'a untuk kebahagiaan Kira. Semoga, kini dia telah menemukan gadis penggantinya.


Xxxxxxxx WS xxxxxxxx

.

Kira POV

.

Beberapa menit berlalu, sampailah mobil yang aku kendarai. Waktu menunjukan pukul 07.30 malam, lampu-lampu taman bersinar menghiasi taman kecil di depan bangunan bercat putih yang telah lama aku diami. Setelah mobil terparkir, kami turun dan berjalan menuju pintu utama. Pintu yang berwarna sama dengan dindingnya, putih.

Dibukakan pintu tersebut oleh orang yang berada di dalam, Myrna.

"Okaeri, Kira. Selamat datang tuan dan nyonya Zala." Myrna membungkuk memberi salam pada pasangan suami-istri di sampingku dan mempersilahkan mereka masuk. Aku melangkah lebih dulu, memandu Athrun dan Lacus memasuki ruang tamu dan memberi isyarat pada Myrna untuk menyiapkan minuman bagi mereka. Namun sebelum itu, aku sempat mengeluarkan sebuah pertanyaan pada wanita paruh baya tersebut.

"Myrna, dimana dia?"

Myrna berhenti melangkah saat akan menuju dapur dan berbalik dengan senyuman.

"Dia ada di kamarnya, sepertinya dia tidak tahu kepulanganmu, Kira."

"Baiklah, terimakasih Myrna." Akupun kembali pada Athrun dan Lacus, berbincang-bincang tentang politik dan kehidupan masalalu kami. Tak berapa lama, Aku dan Myrna memandu Athrun dan Lacus menuju kamar mereka. Setelah menyarankan Athrun dan Lacus untuk mandi, aku meminta mereka untuk datang ke ruang makan jika mereka telah selesai dengan keperluan pribadi mereka. Pukul 8 malam, sudah menjadi jadwal makan malam di rumah ini.

Kulangkahkan kaki lagi, meninggalkan pintu kamar mereka dan menelusuri lorong menuju kamar seorang wanita yang beberapa bulan ini tinggal bersama di bawah atap ini, Cagalli.

Sampailah aku di depan pintu kamarnya dan kuketuk pintu kamar tersebut.

Tok… tok…

"Cagalli, kau ada di dalam?" Tanyaku. Tak berapa lama, ku dengar suara langkah kaki dari dalam mendekat.

"Kapan kau pulang, Kira?" Ucapnya saat ia membuka pintu kamarnya.

Aku tersenyum, melangkah masuk dan duduk di tepi tempat tidur berseprai biru.

"Tamunya sudah datang?" Tanyanya dan berjalan mendekatiku, duduk di sampingku.

"Sudah, sekitar 20 menit yang lalu." Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya dan memejamkan mata.

"Kira, bisakah kau tidur di atas bantal saja? Aku harus segera menghangatkan masakanku."

Akupun berdiri, menghadapnya dan mengusap puncak kepalanya.

"Biarkan Myrna yang melakukannya. Sekarang lebih baik kau bersiap-siap saja. Tamu ini special, teman lamaku. Jadi, ini akan menjadi tamumu pula. Aku akan mengenalkanmu pada mereka." Ungkapku seraya tersenyum. Dia menatapku, kemudian berdiri dengan perlahan.

Berdiri dengan pelan, tentu saja. Dengan usia kandungannya yang kini menginjak bulan ketujuh, bukan hal mudah untuknya cepat berdiri. Bagaimana tanggapanmu? Akan seperti apa respon darimu saat melihat wanita berambut pirang ini dengan perut buncit, Athrun?

Dengan segera, akan muncul di hadapanmu perempuan yang sangat kau cintai. Kau tahu, Athrun? Dia benar-benar perempuan yang menakjubkan. Itukah yang membuatmu mencintainya? Dengan semua beban di pundak ringkihnya, dia lalui hari-hari dengan senyuman. Kenapa kau membiarkannya pergi?

"Ki-ra!"

Ah, aku terlalu hanyut dalam pikiranku. Aku mencoba mengabaikan tatapan penuh tanyanya dan pergi keluar dari kamar ini. "Berdandanlah secantik mungkin, Ca-ga-lli" ucapku dengan sedikit menggodanya dan mengedipkan mata kiriku.

Setelah aku meninggalkan kamarnya, aku kembali menelusuri lorong tadi dan pergi menuju ruang makan. Tak disangka, ternyata Athrun dan Lacus telah duduk di salah satu kursi meja makan besar itu. Myrna telah menyajikan masakan Cagalli dan beberapa masakannya serta beberapa pelengkap lainnya seperti buah-buahan. Kini meja makan yang cukup untuk 12 orang ini telah terisi penuh dengan sajian makan malam dan siap untuk disantap.

"Maaf membuat kalian menunggu. Aku tidak mengira bahwa aku menghabiskan lebih dari 10 menit di kamarnya." Ucapku pada mereka. Athrun yang duduk di sebrang sana berhadapan denganku dan Lacus yang duduk di samping kanannya. Memang nampak seperti makan malam yang formal, namun mau bagaimana lagi? Hanya meja makan ini yang ada di rumah ini. Seperti berada di sebuah kastil, bukan?

"Kamarnya?" Tanya Athrun dengan sedikit menaikkan alisnya.

"Senang akhirnya kita bisa bicara dengan normal, Athrun. Dari setibanya di bandara kau seperti mayat hidup saja." Candaku diselingi dengan tawa kecil. "Nah sebelum aku menjawab pertanyaan itu, mari kita mulai makan malamnya. Tidak akan enak jika sudah dingin."

Aku mempersilahkan mereka untuk menyantap makanan di atas meja makan. Di depan sana, Athrun, sama sekali tak menggerakan tangannya untuk mengambil apapun yang ada di atas meja saat matanya tertuju pada satu hidangan.

Apa yang menggagumu? Makanan favorite-mu? Tidakkah kau mengira disini kau akan menemukan itu? Satu hidangan khas ORB, yang tentunya selalu dia hidangkan untukmu, kan?

"Ada apa, Athrun? Kau tidak berselera untuk makan?" Tanyaku.

"Iie, bukan itu. Hanya saja, aku terkagum pada kokimu. Kokimu sangat hebat sampai tahu masakan khas ORB. Padahal rasanya itu sangat berbeda dengan masakan lainnya di Helitopsis ataupun di PLANTS." Ucapnya seraya mulai mengambil potongan daging sapi yang ada pada hidangan yang ia maksud.

"Tidak ada koki di sini, hanya ada Myrna dan Dia. Dan aku kira itu masakannya, dia memang berasal dari ORB." Aku berkomentar dan mulai menyantap hidangan yang ada.

"Jadi kembali pada topic pertama. Aku masih penasaran, kamar siapakah yang tadi kau kunjungi?" Lacus mulai bersuara ditengah makan malam ini.

"Temanku?" Jawabku dengan ambigu.

"Temanmu? Kenapa kau malah bertanya? Apa sebenarnya kau berharap lebih dari itu?" Ungkap Lacus dengan nada menggoda. "Seorang gadiskah?" Lanjutnya.

Belum sempat aku menjawab, Lacus memberikan pertanyaan lainnya. "Seperti apa dia?"

Aku menyeringai, lalu menatap lurus, memperhatikan Athrun yang seperti sedang memikirkan WANITANYA saat satu suap daging sapi berbumbu manis itu berhasil masuk di mulutnya. Aku tahu, kau sangat tidak asing dengan rasa masakan tersebut, bukan?

"Nah Lacus, jika kau memaksa untukku mengatakan seperti apa dia, dia perempuan yang menakjubkan, dengan rambut pirang dan mata amber." Aku menekankan suaraku pada kata terakhir.

Respon yang mengejutkan dari seorang Athrun Zala, dia menjatuhkan garpunya.

"A-ah, maaf." Athrun nampak gugup, dia bangun dari kursinya dan mengambil garpu yang terjatuh. Diwaktu yang sama, seorang perempuan dengan gaun putih berenda biru untuk wanita hamil memasuki ruangan ini. Waktu yang tepat, Cagalli.

"Maaf, Kira. Apakah aku sungguh terlambat?" Suara Cagalli mengisi ruangan yang sempat sepi dan kukira berhasil membekukan semua indra yang ada pada diri Athrun Zala saat terasa lama ia tak kembali duduk.

"Kami baru mulai. Silahkan duduk, Cagalli." Aku mempersilahkan duduk untuk Cagalli. Kalimat terakhirku, berhasil membuat Athrun dengan sigap kembali menunjukan dirinya pada kami. Dia berdiri di sana, berdiri dengan ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya. Terkejut, senang, takut?

"Ada apa, Athrun?" Tanya Lacus, yang berhasil membuat Cagalli membeku dan perlahan mengarahkan pandangannya pada kursi di sebrang sana.

Mata mereka bertemu, zamrud dan amber. Saling tak percaya dengan apa yang mereka lihat, terdiam membisu tak mampu berkata apa-apa. Siapa yang akan mulai bertindak? Akankah mereka saling mengakui perasaan mereka masing-masing? Atau adakah scenario baru untuk mereka?

Cagalli mengakhirinya, bola ambernya bergulir menghindari zamrud. Kuperhatikan bibirnya bergetar, berusaha mengeluarkan suaranya.

"Kira, bukankah kau akan mengenalkanku pada tamumu?" Ucapnya.

Mata Athrun membulat, pupilnya mengecil. Akupun menyadarinya, Athrun. Cagalli sedang berusaha mengabaikan sosok pria di masalalunya, dirimu. Dan kau seperti menerimanya, saat kau dengan tenangnya kembali duduk di kursimu. Kau kembali menjadi mayat hidup.

"Namaku Lacus, dan dia Athrun. Kamu?" Lacus mencoba mencairkan suasana.

"Aku, Cagalli." Jawab Cagalli dengan senyum lembutnya.

"Nyonya Yamato kah?" Tanya Lacus.

"Kenapa berpikiran seperti itu?" Cagalli sepertinya heran dengan pertanyaan dari Lacus.

"Karna kandungan itu seperti menjelaskan hubungan kalian." Ungkap Lacus.

Tembakan lagi untuk Athrun Zala. Dia benar-benar membeku saat ini. Tentu saja tadi ia tak bisa melihat perut buncit Cagalli karena terhalang oleh meja makan saat Cagalli duduk. Tapi kini Lacus mengatakannya dengan jelas satu pernyataan yang menimbulkan beribu pertanyaan dari Athrun Zala. Kenyataannya, Cagalli sedang mengandung.

"Maaf, aku rasa, aku sudah kenyang. Bisakah aku kembali lebih awal?" Athrun berdiri.

"Tapi Athrun, kau baru memakannya satu suap." Lacus memegang tangan Athrun, berusaha membujuk Athrun agar kembali duduk dan melanjutkan makannya.

"Gomen…" Satu kata terakhirnya sebelum ia pergi seperti bukan ditunjukan untuk Lacus ataupun aku, melainkan orang yang duduk di samping kananku yang menatapnya dengan tatapan sedih dan khawatir.

"Maaf merepotkanmu Cagalli. Bisakah kau memberikan makan malam untuknya? Aku rasa dia ada di kamar tamu."

"Ta-tapi…" Cagalli seperti ingin menolak, tapi dia takkan bisa melakukan hal itu saat aku yang memintanya dengan lembut. Lagipula, dia tak memiliki alasan jelas untuk menolaknya.

"Aku mohon padamu. Aku tidak ingin membuat tamu kita, Lacus, mengakhiri makan malamnya." Tambahku.

Cagalli mengangguk, lalu melakukan apa yang aku pinta.

Kira POV end

Xxxxxxxx WS xxxxxxxx

Cagalli POV

Aku pikir semua benar-benar berakhir 5 bulan yang lalu. Aku pikir aku takkan bertemu dengannya lagi. Aku pikir aku takkan pernah ada pada posisi seperti ini, dimana aku menetap pada atap yang sama dengan dia dan istrinya.

Namun berapa kali aku menyakinkan diriku bahwa ini hanya mimpi, itu tak berhasil.

Aku berjalan dengan mambawa nampan yang diatasnya terdapat sepiring makanan favoritenya dan segelas air putih. Dapatkah aku berhenti melangkah? Aku tak akan pernah sanggup menghadapi hari seperti ini apalagi dengan bayi di perutku.

Aku tak pernah menyiapkan diri untuk bereaksi seperti apa jika aku bertemu dengannya karena aku meyakini bahwa aku takkan pernah bertemu dengannya lagi. Sekarang, aku harus bagaimana? Haruskah aku katakan padanya bahwa aku sedang mengandung bayinya? Bagaimana mungkin aku menjadi racun dalam rumah tangganya? Istrinya ada disini, bagaimana bisa aku bertindak seolah hubungan kami hal yang wajar dan dibenarkan? Tentu aku takkan bisa seperti itu.

Harus aku terima, bahwa aku tak seharusnya ada antara mereka. Bahwa aku tak harus bersikap akrab dengannya.

Tok… tok…

Aku mengetuk pintu kamar tamu di depanku. Tak ada jawaban, namun aku bisa merasaknnya bahwa ia ada di dalam sana. Kenapa bisa demikian? Aku tidak tahu.

Tok…tok…

Aku mengetuk lagi, namun tak juga mendapatkan respon apapun.

"Tuan, aku membawakan makan malam untuk anda." Aku mulai bersuara. Tak lama, ia membukakan pintu.

Kini kami berhadapan, aku mengangkat wajahku untuk dapat melihat wajahnya. Seketika, aku merasa waktu berhenti antara kami. Kenapa? Kenapa aku kembali merasakan perasaan itu saat aku melihat padanya? Kenapa hatiku teriris melihat wajah sendunya?

Aku menunduk, menghindari tatapannya.

"Kenapa kau memanggilku 'tuan'? Panggil aku 'Athrun', seperti yang biasa kau lakukan." Ucapnya dengan pelan dan sedikit bergetar.

Aku menggigit bibirku, berusaha menahan air mata yang memaksa keluar saat ia bersuara. Aku tahu dari suaranya, bahwa saat ini ia sedang menahan air matanya. Bukan hanya sekali, dia dengan terbuka menunjukan sisi lemahnya dan menangis di pundakku. Tapi kali ini, kenapa ia menunjukannya? Karena apakah?

"Maaf, tuan." Ucapku pelan.

"Kenapa?" Tanyanya semakin bergetar. Dia mendekat padaku, meletakkan tangannya di puncak kepalaku dan menunduk menempelkan keningnya pada keningku.

Aku sempat terkejut akan tindakannya, dan semakin terkejut saat aku melihat air mata jatuh ke pipinya.

"Kenapa kau bersikap seolah tak mengenalku, Cagalli? Sebut namaku, sebut namaku Cagalli. Aku ingin mendengar namaku terucap olehmu lagi." Akunya.

Aku semakin menggigit bibirku, tak sanggup menahan air mata ini. Aku masih sangat menyayanginya, mencintainya. Dan melihatnya seperti ini, membuat hatiku teriris.

"A-Ath…" Tidak, aku tidak boleh kembali pada Cagalli yang dulu. Aku harus bersikap seolah tak mengenalnya, aku harus mengubur ceritaku dengannya demi kebaikan dia. Aku tidak ingin lagi menjadi wanita simpananya dan membuat ia berkhianat pada istrinya. Aku ingin mundur, membiarkannya hidup bahagia dengan keluarganya. Aku tidak boleh menjadi duri lagi.

"Cepat makan, jangan membuatku khawatir."

Aku memegang tangan kirinya dan menyerahkan nampan. Lama tak kulepas tangannya, merasa rindu akan hangatnya. Air mataku menetes, mengingat tiap kenangan antara aku dan dia. Tangan kami selalu bertautan, saling berbagi kehangatan dengan kedekatan sederhana. Tapi kali ini, sudah tidak ada lagi kata 'kami', aku adalah aku, dia adalah dia. Bukan kami lagi yang tinggal di rumah sederhana itu.

Maka kulepas tangannya dan pergi begitu saja meninggalkan tempat kami berdiri tadi.

Cagalli POV end

Xxxxxxxx WS xxxxxxxx

Athrun POV

Malam telah berlalu, pagi datang membawa hari yang baru.

Aku terbangun dari tidurku, di ruangan luas yang Kira sebut kamar tamu. Mataku memang telah terbuka, namun sangat malas untukku bangun dari ranjang ini. Hanya aku sendiri di bawah selimbut hangat ini, tidak ada istriku. Mungkin dia sudah bangun? Mengingat ini sepertinya sekitar pukul 9 pagi.

Aku menutup mataku kembali, membiarkan alam bawah sadarku mengambil alih kembali. Namun saat aku akan terlelap lagi, kudengar pintu terbuka dan langkah seseorang bergema di ruangan ini. Sinar matahari menyilaukanku, memaksaku untuk terjaga. Kubuka kembali dengan perlahan mataku, menemukan siluent seseorang yang tengah membukakan gordeng.

Tangan kecil nan rapuh, bibir merah muda yang tipis, rambut pirang melewati pundak dan bergelombang pada ujungnya, sanggul longgar, pundak ringkih, gaun musim panas, dan perut buncitnya. Dia berbalik menghadapku, memberiku sepintas senyuman yang selama ini aku rindu.

Aku sangat merindukan moment ini, dimana aku terbangun dan kau ada di hadapku dengan senyuman itu. Apakah kau merindukannya pula, Cagalli? Mungkin tidak.

Sekarang, kau sudah bebas, tidak perlu lagi menjadi dirimu yang dulu. Sekarang kau di sini, dengan kehidupan baru dan pria baru yang dapat aku pastikan bahwa ia pria yang baik, tidak sepertiku. Sekarang senyummu itu bukan milikku lagi, sekarang kehangatanmu bukan untukku lagi, sekarang semua telah berbeda, bukan?

Meski aku sangat tak mengharapkannya, meski aku berpikir ini mimpi terburuk, aku ingin menjadi pria baik untukmu walau hanya sekali saja dengan merelakanmu bahagia bersama yang lain. Sempat aku ingin kau pergi kembali denganku, namun aku tidak bisa melakukannya saat melihat kenyataan bahwa sekarang kau mengandung bayinya. Kau bukan wanita murahan, jadi saat tubuhmu menjadi milik seorang pria, itu tentu berarti hatimu pula.

"Athrun?"

Aku tersadar dari lamunanku, tersadar saat suaranya bergema memanggil namaku. Ah, aku sangat menyukainya. Aku tersenyum, lalu bangun untuk duduk di tepi tempat tidur ini.

"Cagalli, bisa kau duduk sebentar di sampingku?" Pintaku padanya dengan senyum senduku. Dia mendekat, lalu duduk di sampingku.

"Ada yang aneh denganmu, Athrun." Ucapnya seraya mengelus perutnya.

"Tidak ada yang aneh, Cagalli." Aku mengelus pipinya, membuat sembulat merah mucul di sana.

"Cagalli, kau wanita hamil tercantik di dunia ini." Ungkapku dengan meletakkan tanganku di perutnya, mengelusnya dengan lembut. Seandainya saja aku ayah dari bayinya, betapa akan bahagianya saat aku melakukan ini. Duduk bersamanya, berbincang-bincang tentang kondisi kandungannya. Kira, apa ini balasan darimu karena aku merebut kekasihmu?

"Dia menendang."

"Heh?"

Aku terkejut saat Cagalli mengatakannya. Apa bayinya merespon sentuhanku? Cagalli tersenyum lembut dan memegang tanganku.

"Ini pertama kalinya ia menendang." Ungkapnya dengan senyum mengembang. Entah kenapa, aku ikut merasa bahagia karenanya. Akupun tersenyum, menikmati saat-saat ini.

"Mungkin dia lak-laki." Cagalli nampak sangat bahagia memikirkan bayinya adalah laki-laki.

"Tapi aku berharap itu perempuan." Aku memanyunkan bibirku, sisi manjaku padanya yang tak pernah aku tunjukan pada yang lain termasuk ibuku.

"Tidak, Athrun. Aku sangat ingin anak lak-laki, O.k?" Ucapnya seraya mencubit hidungku. Lihat, jika kami tidak melihat kenyataan yang ada, bukankah kami nampak seperti pasangan suami istri yang normal? Seandainya demikian.

"Kau ingin tahu satu hal, Cagalli? Bahkan jika ini tak berarti apa-apa untukmu, bahkan jika fakta ini takkan merubah apa yang terjadi saat ini. Maukah kau mengetahuinya?" Aku mulai membuka percakapan serius, sepertinya inilah saatnya. Jika kami harus berpisah, setidaknya aku harus memberikan kejelasan pada hubungan kami yang lalu. Setidaknya harus aku katakana padanya tentang apa yang sebenarnya terjadi bertahun-tahun yang lalu.

"Apa itu, Athrun?" Dia menatapku.

"Sebenarnya, pernikahan antara aku dan Lacus adalah sebuah pernikahan politik. Dan bukan hanya itu saja, kami tidaklah saling mencintai, Cagalli. Saat itu kondisinya sangat rumit, aku harus menikahinya dan menyembunyikan kenyataan dari dunia ini termasuk darimu. Bukan aku tak ingin jujur, aku hanya tak ingin menarikmu dalam masalah politik PLANTS. Karena itu aku membawamu ke ORB. Selama ini aku hanya diam, tak ingin membawa hal-hal tentang politik PLANTS saat bersamamu. Aku ingin menjadi Athrun, Athrun yang sebenarnya saat aku bersamamu. Aku ingin selalu bersamamu, tapi kondisi PLANTS yang belum stabil membuat aku harus pulang pergi antara ORB dan PLANTS. Itupun, alasan mengapa aku tak bisa bercerai dengan Lacus. Zala dan Clyne dalam satu kesatuan akan lebih memudahkan untuk kembalinya PLANTS pada kondisi yang stabil." Terangku padanya.

"Jangan egois, Athrun. Ingat Tooru?" Dia menunduk, akupun menangkup pipinya dan memaksanya untuk menatapku.

"Tooru, akan lebih baik jika ia tumbuh dengan ayah kandungnya." Tegasku.

"Ayah kandungnya?" Tanyanya dengan bingung.

"Ya, ayah kandungnya. Ingat? Tiba-tiba saja aku menikah dengan Lacus pada hari itu. Kau tahu mengapa? Kami tidak bisa membiarkan bayinya lahir tanpa seorang ayah. Karena ayah sebenarnya, saat itu hilang ketika perang berakhir. Keluarga kami setuju untuk menikahkan aku dengan Lacus karena kami telah dekat sebagai sahabat. Aku tak bisa menolak, aku tak bisa membiarkan Lacus menanggung bebannya sendiri, apalagi ayah dari bayinya adalah sahabatku. Aku begitu lemah saat itu, aku tidak tahu adakah jalan lain untuk menolongnya tanpa harus menikahinya? Karena ada gadis lain yang ingin aku nikahi saat itu." Aku menunduk, menyembunyikan mataku dengan rambut depanku. Aku ingin menyembunyikannya, walau mungkin suaraku telah memberitahu Cagalli bahwa aku tidak sedang baik-baik saja. Aku ingin dia mendengar kenyataan ini secara lengkap, akupun meneruskan kalimatku, "Aku tahu aku sangat egois, aku ingin menolong Lacus dan tetap bersama gadis itu. Aku ingin tetap bersama gadis itu, tapi semua akan kacau jika media massa tahu kalau aku hidup dengan gadis lain saat aku telah memiliki seorang istri. Aku menyembunyikan gadis itu, aku tahu ini kejam. Sampai kondisi PLANTS stabil, setidaknya sampai saat itu aku melakukan peran ini. Jika sudah stabil, aku ingin benar-benar bersamanya. Tapi pada hari itu, aku melukainya. Pada hari itu aku meninggalkannya. Pada hari itu, aku begitu buta dengan rasa cemburuku dan melepaskan tangannya. Maafkan aku, maafkan aku." Tangisku pecah dan dia memelukku.

Aku menangis, seperti hari dimana aku memutuskan untuk menikah dengan Lacus.

"Arigatou, Athrun." Aku mendengar ia berbisik di telingaku. "Terimakasih atas kejujuranmu. Terimakasih telah menyatakannya. Kau tahu? Aku selalu merasa bersalah saat aku teringat akan posisiku. Aku sangat takut jika aku melukai istrimu dan membuatmu menjadi pria yang buruk. Tapi sekarang aku mengerti semuanya. Kau pria yang baik, Athrun."

Aku tersenyum lega, kata-kata darinya memberikan perasaan hangat di hatiku. Apalagi, saat ia melanjutkan kalimatnya.

"Aku senang bisa bertemu denganmu, Athrun. Aku bahagia telah hidup bersamamu."

Aku telah berhenti menangis. Aku memeluknya dan mencium bau harum rambutnya. Ini hal yang biasa aku lakukan selama bersamanya, aku sangat menyukai bagaimana perasaan hangat menjalar di tubuhku saat aku begitu dekat dengannya.

Kini semua telah jelas baginya, aku bersyukur dapat jujur padanya setelah lama membohonginya. Aku ingin dia bahagia, aku ingin melepasnya saat ia tahu semua kebenarannya. Aku ingin dia membuka lembaran barunya tanpa ada yang tersembunyi dikehidupan lamanya. Aku ingin dia terbang tanpa beban.

"Nah Cagalli, sekarang aku sudah sadar apa yang terbaik untukmu. Aku akan merelakanmu. Jagalah dirimu selalu, hiduplah dengan dipenuhi senyuman. Aku mencintaimu, Cagalli."

Aku memeluknya erat, mengabadikan moment terakhirku ini dengannya dalam memoriku. Cagalli diam, aku rasa dia menerima keputusanku. Walau sesak terasa jika ingat aku akan melalui hari-hariku tanpanya lagi, aku tetap harus melakukannya. Untuknya dan bayinya.

Xxxxxxxx WS xxxxxxxx

OWARI

.

.

.

Xxxxxxxx WS xxxxxxxx

Bercanda. hehe

Still Athrun POV

Waktu bergulir dengan cepat setelah Cagalli meninggalkan kamar ini. Sedari tadi setelah itu, aku hanya diam di atas ranjang bergelut dengan laptop. Tugas-tugasku telah selesai, saatnya bangkit dan menghadapi semuanya. Mungkin aku akan berpapasan dengan Lacus, Kira ataupun Cagalli. Siapapun itu, aku harus bisa menghadapinya dengan Athrun Zala yang biasanya, tidak seperti apa yang Kira katakan, mayat hidup.

Entah kebetulan atau takdir, orang yang pertama aku temukan adalah Kira. Dia duduk di kursi taman belakang dengan dua gelas teh di mejanya. Aku menghampirinya, lalu berdeham memberinya isyarat bahwa aku ada di belakangnya. Dia tersenyum, lalu mempersilahkanku untuk duduk.

"Apa yang membawamu kesini, Athrun?" Dia mengalihkan pandangannya dari laptop silvernya padaku.

"Ada hal yang ingin aku bicarakan." Kataku.

"Aku tahu. Karenanya aku menyiapkan dua gelas teh di meja ini." Dia tersenyum padaku.

"Kau seperti peramal saja." Candaku.

"Aku hanya pengamat setelah perang, Athrun. Walau bukan peramal, aku hampir tahu segalanya. Segalanya tentang apa yang terjadi di sekitarku." Ungkapnya dengan dicampuri sebuah seringai.

"Jadi, tak perlu kukatakan lagi?" Tanyaku memastikan.

"Aku ingin kau jujur, hadapi semuanya, apalagi itu pada orang di dekatmu. Mereka akan mencoba mengerti." Dia menatapku dengan tatapan dewasanya. Kira tumbuh menjadi pria yang bijaksana, tidak cengeng lagi seperti dulu.

"Tentang aku dan Lacus, tentang Cagalli." Ucapku dengan tegas.

Dia kembali tersenyum, lalu memberi isyarat untuk mempersilahkanku memulai cerita.

"Sebelumnya, maaf aku menikahi kekasihmu. Saat itu kondisi memaksaku melakukannya. Dia hamil, dan kau sebagai ayah dari anaknya menghilang saat perang. Aku sahabat kalian, jadi aku ingin melindungi Lacus dengan cara itu. Kau kembali tak lama setelah Lacus melahirkan, aku tak memiliki keberanian untuk dapat bertemu denganmu saat dunia tahu bahwa kini Lacus telah menjadi istriku. Aku terlalu takut tak bisa menyakinkanmu bahwa kami terpaksa melakukan ini. Aku selalu menunggu waktu yang tepat hingga aku berani menghadapimu."

Kira terdiam, "Aku tahu cerita itu dari Lacus." Kata Kira yang sontak membuatku terkejut. "Setelah aku kembali, Lacus segera menemuiku dan menjelaskan semuanya. Tapi akupun tahu, Athrun, itulah yang terbaik. Aku sama sekali tak menganggapmu merebut Lacus dariku. Akupun tak berdaya saat itu, aku tidak mungkin memaksa kalian untuk bercerai. Ini bukan hanya soal pribadi, bukan? Ini tentang politik pula, tentang PLANTS."

Aku menunduk, kembali mencoba merangkai kata soal permasalahan yang kedua, Cagalli. Apa yang harus aku katakana pada Kira? Mungkin, langsung saja pada intinya.

"Kira, tentang Cagalli, sebenarnya dia adalah perempuan yang aku Cintai. Selama ini aku menyembunyikannya dari publik. Satu kesalahan membuat dia pergi dariku. Lalu dia ternyata di sini, di tempatmu. Dia nampak sehat, aku yakin kau memperlakukannya dengan baik. Kira, aku mohon padamu, tolong jaga Cagalli, tolong bahagiakan Cagalli." Pintaku padanya.

Kira lagi-lagi diam, seperti sedang memikirkan satu hal. Aku menatapnya dengan cemas, aku khawatir Kira marah pada kenyataan bahwa Cagalli adalah wanita simpananku.

"Intinya, kau merelakan Cagalli?" Tanyanya dengan nada pedas.

"Ya, demi kebahagiaannya." Jawabku dengan pelan.

"Kebahagiannya? Sudahkah kau Tanya padanya apa yang membuat ia bahagia?" Lagi-lagi aku tersentak dengan kalimat darinya. Lagi, aku melakukan sebuah kesalahan. Aku tak bertanya padanya tentang apa yang ia inginkan. Aku datang, aku pergi, tanpa tau tentang apa yang ia rasa. Bahagiakan dia? Tentu, dia nampak bahagia dengan bayi dalam kandungannya.

"Ya, Kira. Lagipula, kau harus bertanggungjawab atas bayinya. Jangan melukai perempuan lain lagi." Ucapku dan memalingkan wajah.

"Athrun, tidakkah kau tahu berapa usia kandungannya? Tidakkah kau berpikir aku takkan melakukan kesalahan yang sama? Berpikirlah dengan jernih, lalu ketahui apa yang sebenarnya terjadi sebelum kau mengambil sebuah tindakan."

Aku terdiam, berusaha memahami maksud dari kalimatnya. Sebelum aku berhasil mengerti maksudnya, Kira melanjutkan kalimatnya. "Usia kandungan Cagalli, 7 bulan."

"Ah, sebentar lagi akan melahirkan, ya?" Ucapku dengan sendu.

Tapi tunggu, tujuh bulan? Bukankah Cagalli pergi dari ORB 5 bulan yang lalu? Itu berarti…

"Cagalli telah mengandung saat ia tiba di sini?" Ucapku dengan mata terbelalak.

"Ya, aku tidak tidur dengan WANITAMU, Athrun." Kira menyeringai, aku yakin pipiku memerah karena sadar apa maksud dibalik kata 'wanitamu'.

"Carilah dia, dan katakan apa yang engkau ragukan. Setelah tahu apa yang sebenarnya, kau tahu apa yang harus kau lakukan, bukan? Aku akan mengambil Lacus kembali." Kira meninju pundakku dan tersenyum memberiku semangat. Ya, inilah saatnya. Inilah saatnya aku menggapai kebahagiaanku.

Xxxxxxxx WS xxxxxxxx

Aku berlari, aku berlari menelusuri tiap ruang dan lorong kediaman Yamato ini. Aku mencarinya, mencari perempuan yang sangat aku cintai. Akan aku tanyakan perasaannya, akan aku tanyakan kebenarannya, akan aku tanyakan jawabannya.

Jantungku berdetak cepat, nafasku menjadi tak karuan. Tidak dapat berhenti, aku ingin segera bertemu dengannya. Bagaimana jika apa yang aku pikirkan adalah kenyataannya? Bagaimana jika bayi dalam kandungannya benar-benar anakku? Aku, aku tak bisa berhenti tersenyum bahagia memikirkannya. Aku akan menjadi pria yang paling bahagia di dunia ini.

Dan di sana aku menemukannya, berdiri menata bunga-bunga dalam vas di ruang tamu. Aku menghampirinya, lalu membalikan badannya agar dapat berhadapan denganku.

"Cagalli, Cagalli…" ucapku dengan nafas ngos-ngosan dan senyum yang tak hilang.

"A-ada apa Athrun?" Dia tampak terkejut.

"Katakan, katakan, apa aku, apa aku ayah dari bayi dalam kandunganmu? Apa itu anak kita?" Tanyaku.

Cagalli terdiam, dia mungkin sedang menimang-nimang mana jawaban yang tepat untukku. Aku tahu, dia bisa saja berbohong jika berpikir itu yang terbaik untukku.

"Katakan, Cagalli. Aku akan sangat bahagia jika itu memang anakku. Aku sangat mengharapkannya, aku sangat mengharapkannya. Jangan pikirkan yang lain, hanya katakan apa yang sebenarnya." Aku mencoba meyakinkannya. Dan tak lama, ia mengangguk dan membuatku sangat bahagia dan memeluknya saat itu juga.

"Yokatta… aku sangat senang mengetahuinya, Cagalli. Sekarang katakan lagi padaku, apa kau ingin hidup denganku?" Tanyaku lagi dan merasakan bahwa ia mengangguk.

"Ta-tapi…" Dia mulai bersuara dan aku perlahan melepaskan pelukanku, memberi jarak agar aku dapat melihat wajahnya. Dia sepertinya sangat bingung.

"Tidak ada tapi-tapian, Cagalli. Kau tahu apa yang sebenarnya, bukan? Kini tidak ada alasan lagi untuk kita berpisah." Ungkapku dengan senyum lembut. Dia memerah.

"Tapi…" sebelum ia selesai dengan kalimat 'tapi-tapiannya', aku membungkapnya dengan ciuman.

Aku mencium bibirnya, merasakan betapa manisnya itu setelah sekian lama merindukannya. Bibir tipisnya sungguh memabukan, membuatku ingin lebih dan lebih. Namun ini belum saatnya, aku melepasnya dan kemudian menangkup kedua pipi merahnya.

"Aku mencintaimu, Cagalli."

"Aku juga, Athrun…"

"Aku juga apa?" Candaku padanya.

"Aku juga mencintaimu, Athrun Zala."

"Ya, Cagalli Zala."

"Heh?" Dia terkejut dan melepaskan tanganku dari pipinya.

"Itu namamu, setelah kita menikah."

Pipinya kembali memerah, dan senyumku semakin merekah.

"Kau tidak bisa menikah dengannya sebelum menceraikanku, tuan Zala."

Aku berbalik dan menemukan Lacus dan Kira yang berdiri tak jauh di belakangku. Mereka tersenyum jail pada kami. Tak kusangka, mereka berdua yang merencanakan semua ini. Akupun tahu, Lacus telah berbicara dengan Cagalli saat aku sibuk dengan tugasku di kamar tadi. Lacus ikut menjelaskan semuanya pada Cagalli termasuk rencana aku dan Lacus yang akan segera bercerai.

Kira telah tahu semuanya, termasuk aku yang sering pergi ke ORB untuk menemui Cagalli. Aku pikir Lacus hanya tahu aku memiliki wanita lain di ORB tanpa tau namanya apalagi orangnya. Aku bersyukur memiliki sahabat baik dan pengertian seperti mereka. Akupun bersyukur, kini aku akan memiliki wanita yang aku cintai plus bayinya.

"Terimakasih telah menjaga Lacus dan Tooru, Athrun." Ucap Kira dan menghampiri kami dengan Lacus.

"Hanya ini yang dapat kami lakukan, Athrun." Tambah Lacus. "Katakan penyesalanmu, aku telah menceritakan betapa menyedihkannya dirimu pada Cagalli saat Cagalli jauh darimu." Kalimat dari Lacus sontak membuat pipiku memerah karena malu. Aku akui, aku sangat kacau tanpa Cagalli.

"Ma-maaf Cagalli, aku janji tidak akan mengulanginya." Aku berjanji seperti anak kecil pada ibunya.

"Ya, Athrun." Cagalli mengecup pipiku.

"Athrun, kau harus segera mengenalkan Cagalli pada ayah dan ibumu. Bagaimana ya tanggapan mereka jika tahu bahwa anaknya telah menghamili perempuan diluar nikah?" Kira tersenyum evily seraya menunjukan pesan singkat dari ibuku.

From : Athrun Mom

Katakan pada Athrun, Ibu sangat ingin bertemu dengan perempuan yang dicintai oleh anak tersayang ibu. Ibu juga sangat ingin cepat menimang cucu. Dan Patrick bilang, dia mengacungkan jempol atas TINDAKANMU, athrun! :D

"Heh?!" Hanya itu tanggapanku.

'Cagalli, apa mereka akan memaafkanku?' Batinku seraya melihat senyum polos diwajah Cagalli yang begitu menggodaku untuk mengecupnya.

OWARI

.

.

.

Maaf tamatnya gaje?

Jika ada yang berminat untuk epilognya, aku akan berusaha membuatnya.

Semoga chapter terakhir memuaskan.

Minta do'anya buat UAS :D hehe

.

.

Terimakasih untuk yang telah mengikuti ffc ini :

Lennethia, Lenora Jime, kirana haga, mrs. Zala, orb90

.

.

Terimakasih untuk yang telah memfavoritekan ffc ini :

EXIA Kyoudai, Ema Namikaze, Lenora Jime, vermiehans, memeylupht, mrs. Zala, orb90

.

.

Dan terimakasih untuk yang sempat kasih review :

Orenoexia, popcaga, Nemui Neko-san, Ichirukilovers30, Pandamwuchan, Asuka Mayu, Lennethia, Asucaga Lovers, nappy, Fivani-chan, vermiehans, loly jun, Misca, Dewi Natalia, Hoshi Uzuki, Lennethia, Lya Awlya, Lenora Jime, mrs. Zala, And All silent reader (Jika ada).