Baekhyun mendesah sembari mengerat peluk di tubuhnya sendiri. Ia belum pergi dari stasiun itu meski beberapa menit yang lalu muncul suara dari pengeras suara yang menandakan kereta ke arah Gwang-ju telah berangkat. Ia menangis diam-diam di balik pilar besar yang menyembunyikan tubuhnya dari pandangan mata Chanyeol.


3600


-disclaimer-

Inspired by Love Phobia. I was adapting the plots and charas not mine. Copy-paste is allowed as long as it's just for re-read. I beg you to don't disclaiming it as yours.

genres: sweet-angst (bitteromance)
rating: T (PG-12)
length: twoshoot

warn(s): Shounen-Ai | OOC | AU | EYD-failure | Kleenex-warning

p/s: LONG! This is a very-very long fanfiction. Baca ketika sedang luang saja :)


-forewords-

Baekhyun tak pernah bermaksud menolak Chanyeol; Chanyeol hanya berpikir jika Baekhyun terlalu takut…


Az, with nonsense things followed…

presented

3600


Selepas kepergian Baekhyun yang kini beranjak memasuki hitungan delapan bulan, hidup Chanyeol seolah kembali hampa. Seperti siang dan malam itu sama saja. Hitam, putih, ah!—abu-abu lebih tepatnya.

Menurut Jongin, Chanyeol seperti zombie hidup yang kerjanya hanya mengisi daftar absen dan kerja seperti robot yang programnya telah disetel lebih dulu. Pasif, monoton, membosankan.

Saat karyawan dan rekan kerjanya yang lain telah pulang, ia akan tetap menempat di meja transaksinya. Duduk bersandar di kursi seraya memandangi tali sepatu yang dulu pernah ia gunakan untuk membelenggu Baekhyun.

Paling tidak itu berhasil. Meski hanya satu jam. Ya, mungkin saja Baekhyun tidak bisa lebih lama berada di sisinya melainkan hanya sejam lamanya.

Di saat-saat seperti itu, ia akan membayangkan bagaimana kiranya rupa Baekhyun selepas ini?

Chanyeol akan pulang dengan kereta bawah tanah dan kembali teringat di hari di mana ia mengantar kepergian Baekhyun kala itu. Namun ketika gerbong kereta mulai memasuki lingkup pandang, Chanyeol tidak benar-benar berniat naik sampai pengelola mengumumkan itu adalah kereta terakhir yang mereka punya. Yang dilakukannya hanya sibuk memandangi garis kuning yang dulu memisahkannya dengan Baekhyun. Kepalanya seakan diisi oleh persepsi bahwa hidup mereka tidak akan pernah bisa disatukan. Baekhyun ya, Baekhyun. Chanyeol ya, Chanyeol. Tidak akan pernah ada yang namanya Park Baekhyun.


3600


Malam itu restoran Jepang milik Yoochun cukup ramai. Beberapa tamu mengadakan kunjungan masuk-keluar, dan rata-rata mereka akan bilang masakan pria itu amatlah enak. Fakta bila pelayanan tempat dan makanan di sana memuaskan adalah salah satu yang menarik para pengunjung untuk kembali datang. Tidak heran jika Yoochun selalu punya langganan baru tiap harinya.

Ketika selesai menyoja salah satu tamu suami istri, ia melirik ke tempat di mana anaknya duduk menyesap soju dengan begitu lesu.

Menghela napas, Yoochun memutuskan untuk tak ikut campur dan memilih melanjutkan membuat sushi lain untuk disantap tamu-tamu yang baru datang.

Saat Chanyeol ingin kembali menuang soju ke tenggorokannya, ponselnya berbunyi dengan cukup nyaring. Tertera di sana nama Jongin, terang-redup terang-redup seiring keraguan Chanyeol mengangkatnya.

"Halo?" Ia sempat mendesah tapi pada akhirnya Chanyeol memilih untuk tetap mengangkatnya.

"Halo."

"Jongin?"

Terdengar desahan di seberang sambungan, "Apa kau tidak tergerak ingin mengunjungiku?"

Ah, ya. Chanyeol sampai lupa ia punya janji akan menjenguk Jongin esok hari. Yang itu artinya malam ini. Persoalannya gampang saja, Jongin mengalami kecelakaan ketika berkendara bersama Chanyeol di Rabu malam kemarin. Anehnya, Chanyeol tidak menderita apapun namun Jongin harus dirawat, leher pria itu bahkan harus digips.

Cukup lama Chanyeol terdiam membuat Jongin kebakaran jenggot, "Yah! Bahkan kau yang menyebabkan kecelakaan sial ini!" makinya lalu mulai mengumpat Chanyeol dengan kosakata berwarna miliknya. "Sekujur tubuhku berantakan," sambung Jongin lagi. Chanyeol diam, kali ini untuk mendengarkan. "Kaki dan leherku sakit sekali. Aku sampai tidak bisa merasakan mereka."

Jongin mendengus terakhir kali sebelum bertanya, "Sudikah kau datang menjenguk?!"

Chanyeol membenarkan letak duduknya yang bergeser. "Aku akan ke sana besok,"

Jongin mengerang tapi membolehkannya, "Ya. Tapi bisakah kau membeli beberapa buah persik dalam perjalanan ke mari? Terimakasih," ucapnya bermaksud menyindir.


3600


"Aku kira aku akan mati,"

Jongin mendengus sambil menatap Chanyeol dengan sangat sinis. Mukanya tidak berhenti menilik raut konyol Chanyeol yang seolah minta ditonjok detik itu. Chanyeol sama sekali tidak menampakkan rasa bersalah, sama sekali. Sebaliknya, Chanyeol justru sempat menggoda Jongin lewat seringainya yang lebar.

"…Karena mobil itu menabrak mobil kita dari bagian depan," Jongin menyambung lagi, "tapi anehnya kenapa kau yang di kursi kemudi malah baik-baik saja, huh?"

Jongin berdecak, "Keadannya sungguh sangat kacau,"

Chanyeol tidak mengindahkan Jongin dan malah bermain-main dengan tangkai infus berjalan Jongin. "Mau mendengar sesuatu?" tawarnya.

"Silahkan saja," jawab Chanyeol acuh tak acuh.

"Aku mendengar ini sangat bagus untuk pria; jika kau meletakkan siput di lidahmu," kata Chanyeol.

Jongin bergidik, melotot aneh, dan segala ekspresi yang tidak biasa diumbarnya kali itu menguar tiba-tiba—bicara Chanyeol aneh sekali. Sungguh. "Apa?"

"Bisa meningkatkan kejantananmu," balas Chanyeol kemudian. Membuat seorang dokter yang bertugas mengiringi Jongin tertawa dengan tertahan.

Jongin mencibir lalu menepuk pundak sang dokter, "Apakah yang dikatakannya benar, dok?"

Dokter itu menggeleng dengan pasti dan tertawa kecil. Jongin makin kesal, "Mengapa kau bicara omong kosong?" desaknya pada Chanyeol.

Sementara mereka masih melanjutkan perdebatan tidak penting itu dengan percakapan seputar masalah seksologi, tanpa dinyana ternyata si sumber informasi juga berada dalam satu pijakan yang sama. Baekhyun juga di situ. Terjebak dalam lift satu ruangan. Dan tentu, telinganya mendengar dengan jelas percakapan Chanyeol serta Jongin yang menurut sebagian orang mungkin sangat tidak masuk akal.

Baekhyun berdiri sambil menahan napas. Ia tersedak deru godam dalam dada kala kali ini mau tidak mau ia mesti kembali bersembunyi.

Segera ketika pintu besi itu terbuka bersamaan denting bel yang menandakan itu ialah lantai paling atas rumah sakit, Baekhyun yang berdiri tepat di depannya langsung melangkahkan kaki dengan terburu-buru, terlampau cepat.

Ia masih terus memandang ke depan dengan menutupi wajahnya dengan cara menunduk dalam. Rambutnya sudah agak panjang, sedikit memudahkannya.

Jongin yang saat itu sedang akan melangkahkan kaki, alisnya dibuat mengernyit kala siluet mungil di depan pintu lift seolah menyadarkannya. Ia menoleh ke Chanyeol, "Bukankah itu Baekhyun?"

"Baekhyun?"

"Ya," angguk Jongin, "itu benar-benar terlihat seperti dia,"

Ia menunjuk. Siluet itu telah menghilang di balik tembok dingin. Chanyeol melangkah dengan lebar sambil menyimpan gunduk tanya. Penasaran setengah hidup.

Awalnya langkah kaki itu kecil dan terkesan lelet, namun ketika Baekhyun merasa ia dibuntuti di belakangnya, laju kakinya makin ia percepat. Chanyeol di belakangnya terasa seperti ingin mengejarnya lagi.

"Baekhyun?" panggilnya.

Drap. Drap.

"Baekhyun?" Ia mengulanginya.

Dan saat Chanyeol hampir berhasil menangkap bahu mungilnya, Baekhyun terburu ditarik salah satu suster yang berujar, "Tuan Park Chanhyun, mari ikut saya."

Jongin yang tertatih mengikuti langkah Chanyeol dibuat bisu ketika melihat pandangan Chanyeol kembali kosong dan tidak berselera. Pria tinggi itu mencelos dan menepuk dahinya.

Benar. Mana bisa Baekhyun ada di sini? Dia kan di Amerika. Kan?

"Bukan dia?"

"…"

"Hei, Chanyeol…" Jongin menggumam, "kurasa itu bukan dia,"


Pintu eboni berwarna terang itu ditutup dengan santai dan si pelaku menyadarkan badannya. Ia menarik napas kemudian menghelanya dalam.

Ia mengerang dan kemudian ingat sesuatu. Sekarang ia mesti menemui dokter pribadinya yang mungkin sudah menunggu.

Ia duduk di kursi konsultasi dan mulai memainkan apa saja untuk mengisi waktu. Menatap tak berselera pada tumpukan berkas serta map yang dijadikan satu. Itu laporan kesehatannya—yang sialnya tak pernah kunjung menunjukkan perbaikan.

"…Dia tahu aku ada di sini," adunya pada sang dokter.

Dokter itu menoleh bersamaan dengan tatapan mata mereka yang beradu, "Apa?" ucapnya, "Itu tidak terdengar bagus,"

Baekhyun melengos dan menyelesaikan tumpuan lengannya yang terkesan malas, "Aku ingin pergi,"

"Tapi mau ke mana? Kau akan lari ke mana lagi?"

"Tempat yang pernah kau katakan padaku, Kyungsoo." Baekhyun menjawab seadanya.

Dokter bernama Kyungsoo itu memutar bolamatanya yang bundar besar dan lalu melepas kacamata yang bertengger di wajahnya, "Apa kau sadar? Setelah kau masuk ke sana, sulit untuk dapat keluar."

Ia—Baekhyun mengerjap, "Aku… tidak peduli," ucapnya.

Kyungsoo beralih mencomot pulpen dan menyibukkan dirinya dengan lembaran kertas, "Tapi…"

"Ck," decaknya. "Kau bahkan berhutang budi padaku,"

Kyungsoo menoleh malas, "Apa?"

Baekhyun mendengus. "Kau bilang itu hanya pilek. Tapi mengapa kau sendiri tidak bisa menyembuhkannya?"

"Aish." Kyungsoo menepuk kepalanya serta menatap pria di depannya itu dengan frustasi. Baekhyun selalu pandai memojokkan seseorang dengan kata-katanya yang halus. Sedikit menyindir. "Jangan bilang begitu." Kurang lebih, Kyungsoo merasa gagal menjadi dokter.

Tiba-tiba Baekhyun mengulurkan tangannya seolah menyambut tangan Kyungsoo berjabat. Menyisakan raut Kyungsoo yang heran. "Kau akan sangat kesepian tanpa diriku di sini," ucap Baekhyun.

Kyungsoo mengerang dan setelah itu mengerat jabat di tangan Baekhyun yang mulai mendingin, pengaruh pendingin udara—dan mungkin sakitnya. "Kau takkan menemukan dokter sebaik aku."

Baekhyun mengangguk, "Itu pasti!"


"Itu pasti!"

"…"

"Dia bukan Baekhyun. Itu orang lain," Jongin berkata lagi kemudian sedikit membenahkan gips lehernya yang kurang nyaman. Ia beralih menatap temannya, Chanyeol, yang duduk menatapi marmer sangat kosong. Jongin tak ambil pusing, "Lagipula… Beberapa orang nampak sama dari belakang,"

"…"

"Lihat?"

Chanyeol menggumam, menghela napasnya lelah dan tidak pernah berhenti memikirkan mengenai Baekhyun di kepalanya. Semakin berdenyut sakit, semakin memori itu lekat kuat di sana. Kalau saja tidak ada Jongin, barangkali Chanyeol sudah menangis seperti perempuan yang dicampakkan kekasihnya di pinggir jalan. Chanyeol benar-benar tidak tahu akan apa yang dirasakannya. Hatinya beku, penuh biru lebam tak nampak. Baekhyun tak pernah memberi kejelasan terhadap semuanya. Bahkan, pria itu selalu datang kembali padanya tapi ujung-ujungnya akan pergi lagi.

Jongin masih mengoceh seputar kekonyolan Chanyeol yang tak pernah berkembang. Menurutnya, Chanyeol itu orang paling sinting. Bayangkan, betapa banyak wanita cantik rekan mereka—dari yang sederhana sampai yang anak konglomerat—berjajar dan mengantri menjadi pacarnya. Cukup Chanyeol memilih salah satu, dan semuanya beres. Tapi Chanyeol selalu kepala batu dengan bilang Baekhyun pasti akan kembali lagi. Meski entah kapan itu.

Yah, dan yang dapat dilakukannya hanya menunggu.

"Aku harus pergi," potong Chanyeol tiba-tiba. Jongin masih berputar pada topik wanita cantik. Namun Chanyeol menepuk pundaknya, "Aku akan kembali esok hari."

Jongin mencelos, "Baik. Tapi jangan lupa belikan buah persik," katanya.


3600


Malam itu juga, Baekhyun memutuskan kembali ke Vihara. Kali ini ia tak langsung masuk kamar untuk istirahat melainkan membicarakan masalahnya dengan Pendeta Siwon.

Siwon menatap langit malam yang bertabur bintang, sama seperti yang dilakukan Baekhyun di sisinya.

Cuaca mulai tak bersahabat dan Baekhyun mengerat jaket semampunya, "Kyungsoo memberitahuku sebuah tempat yang lebih baik. Letaknya strategis." bukanya, ketika ia melihat Siwon tidak berniat membuka percakapan lebih dahulu.

Cukup lama sebelum Siwon memutuskan menatap anaknya itu. "Lalu bagaimana dengan perkembangan pameranmu?" jawabnya tidak sama sekali sinkron. Ia membelokkan arah bicara, yang hanya ia tahu alasannya mengapa.

Baekhyun tersenyum simpul, "Teman-temanku ikut membantu, tapi kau tidak diundang,"

Siwon mengerling dengan agak bingung, "Mengapa tidak?" tanyanya. Baekhyun mengedikkan bahu, "Karena mereka rasa kau tidak suka fotonya,"

Baekhyun tersenyum lagi. Dan akhirnya setelah sunyi beberapa waktu, ia memutuskan kembali beristirahat. Kyungsoo telah berpesan padanya jika ia tidak boleh berada dalam hawa dingin terlampau lama, itu tidak bagus baginya. Ia mendirikan tubuh dan mulai berjalan. Tapi ketika langkahnya ada sekitar lima buah, Baekhyun berhenti. Tanpa menoleh, ia memanggil Siwon lirih, "Bagaimana diriku jika dilihat dari belakang?"

Siwon mendongak. Melihat bagaimana dan mulai meneliti, menebak raut muka Baekhyun kini tengah bagaimana. Tapi biksu bijak itu gagal, yang ia temukan adalah blur. Seakan ada rona tak kasat mata menyembunyikan perasaan serta gestur Baekhyun. Gerakannya tidak bisa dibaca.

Baekhyun menggembungkan pipi di tempatnya. "…Dapatkah kau mengetahui itu adalah Byun Baekhyun, Pendeta?" tanyanya sekali lagi. Lirih sekali. Bibirnya sempat terhias senyum yang kelamaan memudar, berganti dengan lengkung miris, dan ia menjauhi tanah seraya mencegah bulir beningnya menitik. Memikirkan Chanyeol tidak pernah serumit ini.


3600


Itu adalah tempat yang cukup menakjubkan.

Bentang hijau menghampar di lingkup mata, menyejukkan. Semilir angin bertiup pelan-pelan. Dan itu, seperti ada dalam lukisan saja. Beberapa bunga bakung putih serta dandelion tersemat malu di rumpun rerumputan. Baekhyun meliriknya enggan dan kemudian meneruskan langkah.

Dari dalam kafe milik seorang teman, pria yang diaku Baekhyun karibnya itu menunjuk-nunjuknya. Dan Baekhyun dibuat sumringah ketika manik itu beradu. Temannya masih setia di sini.

Dengan beberapa jepretan singkat, di sana tercetak jelas pemandangan Baekhyun yang melambai pelan.

Ia melangkah tanpa ragu dan matanya segera disuguhi banyak bingkai yang fotonya berupa UFO, E.T., dan lingkaran misterius—crop circle.

"Bagaimana kabar kalian?" buka Baekhyun, menilik apik matanya pada teman-temannya itu, "Mengapa tidak ada pelanggan yang datang?"

Salah satu yang berambut abu metalik mencelos, "Bisnis semakin lesu semenjak kau pergi,"

"Aku sudah bilang kalau membuka kafe di sini adalah ide yang sangat buruk," timpal yang lain.

"Memang seharusnya kau mendengarkan, Sehun." Dua lagi yang tadi sibuk di konter pelayan langsung mengambil duduk dan bergabung bersama mereka.

Sehun mendecih, lalu ia menatap Baekhyun, "Dari mana saja kau?"

Dengan inosen Baekhyun seperti biasa akan menjawab, "Tidak ke mana-mana,"

Desah napas mewakili perasaan teman-temannya, "Tapi mengapa kau tiba-tiba saja menghilang?"

"Ya. Kau selalu berbuat begitu," timpal yang rambutnya hitam, Joonmyeon.

Baekhyun mengangkat kepalanya dengan bangga dan tersenyum dengan senyum yang tidak dapat dibaca maknanya, "Bukankah itu bagus? Dengan begitu, kalian akan lebih merasa rindu ketika kembali melihatku,"

Joonmyeon mendecih, "Kau aneh sekali," jedanya, "Aku tak pernah bisa mengerti dirimu…"

Dengan senyum malu-malu Baekhyun mengulum bibir bawahnya dan beralih untuk mengubek isi tasnya. Ia mengeluarkan sebuah kertas cukup lebar dan membentangnya di atas meja. Sketsa. Karyanya.

"Aku akan mengadakan pameran foto," jelasnya tanpa diminta.

Teman-temannya membelalakkan mata dan bertepuk tangan. "WOW! Selamat!"


Sepulang dari mengunjungi kafe temannya, Baekhyun ingat ia punya jadwal kunjungan rutin untuk mengetahui perkembangan mengenai penyakitnya.

Ia menapaki koridor rumah sakit dengan yakin, ia hapal akan rutenya. Dan kali ini yang ditemuinya adalah dokter baru. Bukan Kyungsoo lagi.


Ia berbaring di ranjang pesakitan menunggu dokter Jongdae (dokter lulusan asal Universitas Nanjing di China) yang menyiapkan injeksi.

Dokter itu tersenyum dengan lesung pipinya yang khas dan menyingkap lengan baju rumah sakit Baekhyun. "Ini akan sedikit sakit," katanya, lalu menyuntikkan jarum di lengan Baekhyun yang makin hari makin ringkih.

Baekhyun memejamkan matanya sebentar dan menatap Jongdae dengan pandangan menantang begitu dokter itu selesai melakukan pekerjaannya. "Kau pasti dipenuhi kekhawatiran,"

Sambil membereskan peralatannya kembali ke tempat, Jongdae menoleh dan memfokuskan atensi terhadap Baekhyun, "Maksudmu?"

Baekhyun terkekeh, "Kau hanya terlalu tampan. Pasti gadis-gadis tidak sanggup mengabaikanmu,"

Jongdae mendengus, "Sebetulnya aku sudah punya kekasih…" kekehnya agak terpaksa.

"Hah, tertawanya aneh sekali. Pasti dia bohong saja, dia itu masih lajang, Kak! Jangan percaya,"

Mereka mengerjap. Mendengar ada suara lain ikut bergabung dan memberi komentar secara lancang. Ternyata pasien di ruang rawat yang sama layaknya Baekhyun. Berpipi gembul dengan mata sipit. Dia seorang gadis remaja yang mungkin usianya beranjak duapuluh—di awal-awal situ, barangkali. Baekhyun tahu dia. Namanya Kim Minseok, dan dengar-dengar, anak ini menaksir si dokter alias Jongdae.

Saat Jongdae meliriknya dan tersenyum menawan, ia mati kutu. Buru-buru membuang muka seraya mendengus.

Beberapa saat kemudian Jongdae mengambil map berisi catatan perkembangan Baekhyun, meniliknya sebentar. "Katakan padaku jika kau merasakan mual atau pusing lagi." kata dokter itu perhatian.

Baekhyun mencibir. "Aku tidak akan memberitahumu,"

Jongdae mengernyit, "Mengapa tidak?"

Baekhyun menggembungkan pipi, "Kau tidak mengizinkanku untuk pergi ke pameranku sendiri," sergahnya. Membuat Jongdae menghela napasnya dalam, "Kau tahu kita punya peraturan di sini,"

"Kakak…, kumohon," pinta Baekhyun memelas. Ia memasang lensa berkaca seperti anak kucing yang lupa diberi makan oleh tuannya.

Apa yang dapat diperbuat Jongdae selain kembali mendesah. "Tidak ada yang bisa kulakukan,"

Minseok yang duduk berancang-ancang kaki di ranjangnya sendiri pun tak tahan untuk tak kembali bicara, "Pergi saja, Kak!" katanya, "Lagipula… Kau akan mati sebentar lagi,"

Baekhyun tertegun. Telinganya dapat jelas mendengar perkataan Minseok barusan. Dan itu sedikit menohok hatinya. Tapi Baekhyun tak merasa ia punya alasan untuk marah. Ia pikir, Minseok sangat benar dan gadis manis itu bicara sesuai kenyataan. Nyatanya Baekhyun akan mati sebentar lagi. Ia sudah tak ada harapan hidup. Bahkan menarik napas pun, ia mesti bersyukur karena Tuhan masih sangat berbaik hati. Maka ia tersenyum miris, membuat Minseok merutuki dirinya dan menunduk dengan takut. Ucapannya terbilang refleks saja.

Jongdae menoleh menatap Minseok, coba memberi teguran lewat pandangan matanya. Lalu kembali lagi ke Baekhyun, "Aku akan bicara dengan direktur rumah sakit dan kalau beliau membolehkannya, aku tak punya alasan melarangmu lagi."

"Terimakasih, dok!" timpal Baekhyun berbunga-bunga.


Baekhyun menginap. Ini hari keduanya berada di kamar baru dan ia mesti menyesuaikan. Untunglah teman sekamarnya tidak terlalu posesif, sehingga Baekhyun dapat dengan bebas melakukan yang ia ingin lakukan di dalam kamar itu.

Dengan penerangan cukup oleh lampu tidur, Baekhyun iseng membaca catatannya semasa sekolah SD dulu. Tulisan cakar ayam yang sayangnya… tak bertahan lama. Kertas itu telah kusam dimakan waktu.

Minseok sibuk bergumam—nyanyi-nyanyi kecil, Baekhyun mendengarkan sekali-kali.

"Ketika kau merasa bersedih… Nyanyikanlah sebuah lagu…" cicit Minseok di ranjang sana. Ia kebosanan dan mesti mencari alternatif hiburan lain. Jadi dia memberanikan diri bertanya pada Baekhyun, "Kau sedang melihat apa, Kak?"

Ia mendirikan tubuh dan berjalan, meringsut mendekat ke ranjang Baekhyun. Tapi menunduk. "Umm, Kak!" panggil Minseok. Baekhyun menoleh dan memasang raut terbaik, "Tidak usah takut. Aku tahu kau pasti tidak enak dengan yang kau katakan, kan? Tidak apa-apa," senyumnya.

Minseok mengangguk.

Baekhyun mengulum bibir, "Kemarilah," ajaknya yang dibalas sumringah oleh Minseok.


Mereka menatap bingkai foto yang di sana terpajang siluet Baekhyun dan Chanyeol, sama-sama tersenyum ramah ke arah kamera. Sama-sama menghadirkan seulas garis yang menawan. Waktu itu, saat terakhir Chanyeol berada di Vihara yang esoknya ia dipanggil kembali ke kota. Sedikit waktu yang ia punya bersama Baekhyun mungkin saja hanya dibekukan dalam potret bisu ini. Dan, Baekhyun serasa ingin melepaskan semua. Tidak ada beban. Tidak.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Baekhyun, menanyakan tanggapan Minseok.

Minseok mengerjap sedikit-sedikit, "Apa dia pacarmu, Kak?"

"Dia percaya pada semua yang kukatakan," balas Baekhyun pelan. Bolamatanya tidak beralih dari potret wajah Chanyeol, mengaguminya. "Ia bahkan percaya padaku ketika aku bilang ada hantu di desa kami," sambungnya kemudian.

Minseok menarik garis maklum, "Dia pasti sangat bodoh…"

Baekhyun melirik Minseok yang sekarang terkekeh melihat foto itu. "Benar. Dia bodoh karena masih terus menungguku."

Minseok mencelos dalam hatinya. Mengapa Baekhyun terdengar seperti ingin menghindar? Ia menduga-duga namun tak sepenuhnya betul. Karena Minseok tidak tahu pasti apa yang menjadi alasan Baekhyun masih menyimpan foto itu bahkan suka memandanginya dalam waktu lama.

"Apa dia tahu kau ada di sini?" tanya gadis itu.

Sunyi. Baekhyun mengerjap dengan kilatan lensa penuh rasa sesak. Sesal dan sakit berbaur di iris mata itu. Lelah berbohong dan lelah berlari. Ia ingin berhenti dan sesekali mencoba, sedikit saja melupakan kenyataan dan berbalik arah untuk melihat Chanyeol di belakangnya. Namun ia pikir, ia memang harus melakoni pihak egois, agar Park Chanyeol tak merasakan sakit…

"…Ajaklah dia ke mari kapan-kapan," kata Minseok lagi. "Dan katakan padanya untuk membawa seorang teman,"

Neuron otaknya memaksa ia menuntun jemarinya mendekat. Sampai akhirnya itu betul-betul menyentuh permukaan foto yang cukup berdebu. Telunjuk ringkih itu menari apik di atas sana. Gradasi warna potret yang agak pudar mungkin cukup terlihat namun tak mengurangi garis rupawan sosok di dalamnya. Jadi Baekhyun sebentar mengelus tepat di titik di mana senyum Chanyeol terkembang. Pria itu jadi ingat sesuatu.

Di saat Baekhyun mulai sibuk dengan alam pikirannya sendiri, Minseok yang masih belum mengerti sepenuhnya hanya menjadi penyimak. Ia cuma bisa menatap Baekhyun seraya menerka apa yang tengah Baekhyun hirau saat ini.

"Aku jadi ingin bertemu dengannya. Tidakkah kau merindukannya?" Minseok membisikkan kalimat tersebut, tepat di telinga Baekhyun yang bebas. Membuat Baekhyun yang tepat di sisinya mendengar dengan jelas akan apa yang si gadis katakan. Jemarinya belum berhenti mengusap, namun wajahnya tertegun.

Kamar mereka sunyi, tanpa suara sama sekali. Itu membuat segalanya akan didengar lebih baik oleh telinga satu sama lain. Hembus napas pun bisa didengar kentara. Detik seolah terbunuh. Tengah malam beranjak entah sejak kapan. Telinganya masih jelas ingat ujaran Minseok. Berputar jadi satu dalam kepala serta pikirannya yang menguras rona rasa. Dan Baekhyun tak sadar hingga tahu-tahu pipinya telah jadi basah. Sebutir menitik tanpa bisa dicegah.

Tidakkah kau merindukannya?

Satu kalimat yang cenderung sulit untuk bisa Baekhyun jawab meski ia tahu jawabannya. Tentu saja. Apalagi yang dapat ia usahakan.

Tiba-tiba saja aliran air di wajahnya telah menyungai membentuk garis pucat. Bibirnya telah sepenuhnya putih digerogoti penyakit. Dan, matanya redup. Minseok diam saja hingga ia mengerti Baekhyun sedang menangis. Tak perlu bertanya sebab ia pun tahu dari airmata yang turun di pipi Baekhyun diam-diam.

Sepertinya Minseok mengungkit kenangan itu begitu dalam.

Ia kebingungan akan Baekhyun yang tak juga mendengarkannya, "Kak, kau menangis?"

Butuh beberapa saat tepatnya dua menit sebelum Baekhyun menolehkan kepalanya dan buru-buru menghapus rautnya yang masih belum pulih. Ia mendesah lamat-lamat dan menggigit bibir, menghadirkan senyum penuh kasih. Ia tertawa dengan kikikan, mengerjap menyembunyikan mata yang memerah. "Tidak. Aku hanya kelilipan…"


3600


Chanyeol bersyukur ini hari Minggu, bukan Senin. Jadi dia bisa cepat-cepat melunasi hutangnya pada Jongin yang mendadak jadi manja. Pria itu merajuk minta dijenguk dan Chanyeol yang telah terlampau pusing akan permintaan aneh rekannya itu terpaksa menuruti. Terpaksa. Dengan tambahan, ia bahkan mesti membeli sekantung buah persik untuk dibawanya ke kamar rawat Jongin.

Saat itu Jongin masih tidak berhenti memberinya petuah seperti orang bijak yang gagal. Sebab percuma saja, sampai mulutnya berbusa pun, Chanyeol masih seperti kambing dungu yang tidak pernah tertarik untuk mendengarkan. Sebetulnya Jongin sudah senang Chanyeol benar datang, tapi sayangnya, buah persik itu ketinggalan di pasar. Atau jika mau jujur katakanlah, Chanyeol lupa membelinya.

"…Mau berapa kali aku harus memberitahumu untuk membeli buah persik?" desak Jongin pada Chanyeol yang baru selesai menunduk untuk mengambil minuman kalengan dari mesin minuman di pojok koridor. Raut pria itu teramat kesal sampai Jongin janji jika ia sembuh saat ini juga sudah pasti muka Chanyeol babak belur ditijunya. Sementara itu Chanyeol justru menarik napas dan mengangsurkan kaleng minuman pada Jongin.

Jongin mendelik, "Aku sama sekali tak bisa tidur. Aku memikirkan buah persiknya sepanjang malam," keluhnya.

"Kau memikirkan buah persik atau dokter yang merawatmu itu?" kekeh Chanyeol, "Siapa namanya—Kyu… Kyungsoo?"

Jongin mendecak, menatap kesal Chanyeol yang memasang tampang tidak berdosa dan memilih merebut kaleng dingin itu cepat-cepat. Sebelum Chanyeol membukakannya untuknya. Enak saja, ia bukan orang cacat yang segalanya mesti disiapkan orang lain. Lagipula, dokter yang namanya Kyungsoo itu tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Cukup katakanlah, Jongin agak dekat dengannya karena dokter itu memang yang bertugas merawatnya.

"Ini dingin, tidak adakah yang hangat?" gerutu Jongin. Ia membalik badan berniat kembali ke kamar, "Seharusnya aku ini seorang pasien. Kafein pasti tidak baik."

Chanyeol menjengit tidak mengerti akan kosakata Jongin yang berwarna. Mulutnya penh sumpah serapah. Tapi untungnya Chanyeol tak ingin ambil pusing. Di belakang dia, kembali ke tempat ambil minuman, ada anak laki-laki berjinjit. Ia berusaha memasukkan uang kertasnya ke dalam mesin namun badannya terlampau rendah untuk menjangkau. Jadi dia mendesah-desah. Kurang lebih itu menarik perhatian Chanyeol yang berdiri tertegun di tempat. (Jongin meninggalkannya semenit lalu—dengan langkahnya yang pincang.)

Ia tersenyum sebelum akhirnya mendekati si anak dan dengan sigap membantunya. "Biar Kakak yang lakukan…" katanya, mendorong ujung uang masuk dan menyisakan kerjapan inosen di mata anak itu.

Anak laki-laki itu tampaknya juga merupakan pasien rumah sakit. Ia mengenakan baju biru dan kepalanya ditutup topi. Mungkin ia penderita kanker, Chanyeol menebak-nebak asal. Dan kepalanya yang tertutup itu untuk menyembunyikan kebotakannya dari orang lain. Efek kemoterapi memang tak pernah sekalipun menyenangkan.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Chanyeol setelah cukup lama ia berdiam mengamati anak itu.

"Kopi." Anak itu membalas singkat. Sangat mampu menghadirkan kernyitan di dahi Chanyeol. "Apa?" kerjap pria itu, "Kau terlalu muda untuk minum kopi, lebih baik minum jus jeruk?"

Ia tidak bertanya dan tidak pula menunggu jawaban si anak. Telunjuk itu dengan sombongnya menyentuh tombol untuk mengeluarkan minuman; jus jeruk. Ia membungkuk sebab mereka meletakkannya di paling bawah. Berlutut menyejajarkan diri di depan sang anak, "Nah, ini dia. Jus jeruk." senyumnya, "Ambillah,"

Dongkol Chanyeol menjadi kala anak itu justru menggeleng dengan angkuh. Mukanya cemberut, menambah emosi pria itu memuncak ke ubun-ubun. Tapi alih-alih Chanyeol marah pada anak kecil, ia menghela napas dan mengambil satu tangan si anak. Awalnya memang bermaksud memberikan minuman itu, tapi—

Matanya melebar saat itu.

Di tangan mungil tersebut, tertelut apik kadal-kadalan yang pernah ia berikan khusus untuk Baekhyun. Sebelum keluarganya pindah ke kota, sebelum mereka bertemu terakhir kali, dan sebelum Chanyeol sempat menanyakan apa yang menjadi alasan Baekhyun menghindarinya setelah ia mendapat cacar air di tubuhnya.

Ia sedikit meneliti namun itu memang meyakinkan. Ia merasa tidak salah lagi. Itu kadalnya, kadal yang pernah Chanyeol titip pada Pendeta Siwon untuk diberikan langsung pada Baekhyun.

Merebutnya dengan cepat dan mengamati dalam-dalam, sang anak protes dan merajuk dengan kental. Ia memberengut dan segera berusaha merampas kadal miliknya dari tangan si pria asing. Tapi tenaga pria yang lebih dewasa jadi berkali lipat lebih kuat ketimbang anak kecil penyakitan. Chanyeol menahan napasnya dan beralih, "Dari mana kau mendapatkan ini? Huh?"

Kerjapan. Anak itu menghalau mukanya yang ditatap manik Chanyeol sangat tajam. Menusuk, seolah ingin merobek fakta. "Apa ada seseorang yang memberikan ini kepadamu?"

Dan berulang-ulang Chanyeol bertanya perihal siapa yang memberi atau dari mana anak itu mendapatkan si kadal, anak itu juga terus-terusan membalasnya dengan gelengan.

"…Katakan padaku!" Chanyeol akhirnya membentak karena tak sabar lagi. Anak itu terkicep dan seperti akan menangis, "Seorang kakak," cicitnya.

Chanyeol mengerat pundak mungilnya. "Siapa? Apakah Baekhyun namanya?"

Anak itu menggeleng. "Bukan…"

"Lalu siapa?"

Anak itu meringis dan sedikit kemudian suara tangisannya bergema. Ia merasa takut dan khawatir, dibentak tiba-tiba oleh pria yang tidak dikenal dan orangtuanya sedang pergi mengurus administrasi kamarnya. Ia terisak-isak, "Kak Chanhyun yang memberikannya padaku,"

Chanyeol terpaku. Membutuhkan tiga detik masuk dalam lingkaran waktu sebelum ia tersadar dan menarik kesimpulan.

Ia berdiri dengan segera dan matanya kosong. Langkahnya cukup lebar dan yakin akan ke mana. Meninggalkan Jongin (yang untungnya kembali untuk menyusulnya di saat yang tepat) dengan tongkat bantu berjalannya menangani anak laki-laki yang kini positif menangis. Jongin yang pincang dibuat makin kerumitan kala si anak mengerat lehernya yang berbalut gips. "Tak apa-apa nak, aduh!"


"Katakan padaku apa yang terjadi?"

Brak, brak.

"AKU PERLU TAHU!"

Brak, brak, brak, brak.

"KUMOHON, DOK!"

Cklek.

BRAK.

Pintu ruangan dokter itu ditutup dengan gerakan sangat kasar dan pelakunya tak lain adalah Chanyeol. Ia barusan datang ke ruangan Kyungsoo dan menanyai pria itu macam-macam perihal kebingungannya. Di dalam sana, membanting-banting map serta tumpukan data pemeriksaan pasien lain yang Kyungsoo juga tangani. Tapi Kyungsoo kukuh tak mau banyak membantu. Dokter itu seolah bisu, membuat Chanyeol geram. Serius, Chanyeol tak pernah dalam keadaan semarah ini sebelumnya sebab ia pria yang sifatnya sangat menjunjung tatakrama. Namun semuanya akan berubah bila menyangkut Baekhyun.

Chanyeol rela menjadi sosok yang berbeda. Bahkan meski itu mengubah peringainya.


3600


Chanyeol tidak tahu sejak kapan ia menjadi sosok yang mudah putus asa.

Sebab, itu bukanlah dia.

Yang ia mengerti, ia melakukan semua dalam hidupnya hanya demi Baekhyun.

Jadi dengan sedikit menambah tekadnya yang separuh, ia menapaki jalanan terjal untuk sampai kembali ke Vihara yang letaknya terpencil. Indah, diapit oleh dua gunung di belakangnya.

Tidak perlu bertanya bagaimana ia bisa sampai ke mari, yang jelas setelah kemarin malam ia tahu jawaban Kyungsoo sama sekali tidak bisa menjawab tanyanya akan Baekhyun, pagi-pagi sekali Chanyeol sudah rapih.

Pria itu berpakaian lengkap dengan kemeja putih yang terbalut tuksedo hitam di mana bagian dada kanannya tersemat sekelopakan ivy, masih segar dan terbilang baru dipetik. Di tangannya yang kokoh, ada sejerigen minyak tanah. Langkahnya cenderung tegas dan berwibawa tapi ketika ia sampai tepat di pelataran bangunan tua itu, tubuhnya menggesturkan kepasrahan.

Siwon yang saat itu akan masuk ke dalam ruang khusus untuk meditasi dibuat heran dan membalik badan di kala ia menilik siluet anak cacar air yang kini menarik napasnya dalam. Berusaha mengatur temponya.

Dan tanpa basa-basi, Chanyeol menyiramkan isi jerigen tersebut tepat pada sekujur tubuhnya. Dimulai dari tempatnya berdiri, naik ke celananya dan badan (tak lupa lengan) kemudian yang terakhir kepalanya. Rambutnya yang ditata apik pun tak luput kebasahan. Ia memejamkan mata saat melakukannya. Sementara Siwon memandangnya dengan sambil menarik hembus udara.

Chanyeol menarik napas lebih dalam dari sebelumnya dan mengangkat kepalanya pelan. Kantung matanya menghitam, pertanda ia telah menghabiskan harinya dengan tanpa tidur. Butir minyak tanah jatuh satu-satu dari helai rambutnya yang basah. Dan ia mempertemukan onyx miliknya dengan mata tajam si biksu.

Satu tindakan yang akan menyelesaikan semuanya hanyalah dengan keberanian.

Ia mengerat sebuah pematik dan mulai menyalakannya…

…membuat Siwon dilanda cemas akan tekad pria ini. Yang sangat tidak wajar.


Di sebuah jalan tol besar yang tengah senggang, ada mobil silver metalik melaju dengan kecepatan sedang, masuk ke kecepatan tinggi. Rata-ratanya 120 kilo per jam. Mobil tersebut ditumpangi oleh sekeluarga bahagia. Lengkap, dan terdiri atas ayah, ibu serta anak semata wayang mereka.

Rencananya, mereka ingin pergi mengunjungi salah satu pusat hiburan di Seoul (Lotte World), dan rumah mereka yang berada cukup jauh dari sana memaksa sang kepala keluarga memutuskan untuk mengendarai itu.

Mereka berbincang hangat sesekali. Ibunya cemberut kala ayahnya merokok dengan bandel. Anaknya yang berumur lima tahun, bercerita mengenai rasa senangnya. Sayangnya, ia belum bisa sepenuhnya mengerti jika terkadang balon pun bisa menimbulkan bencana.

Ya. Anak itu tanpa sengaja memainkan balon beraneka warna miliknya tepat di samping ayahnya yang sedang menyetir, membuat pria itu kehilangan fokus pandangnya terhadap jalanan depan. Pandangannya tertutupi.

Di seberang sana, ada truk besar yang memuat tangki berisi minyak impor. Datang dan melaju dengan kecepatan sama tinggi. Tabrakan tak bisa terhindar dan kecelakaan tak bisa ditunda lebih lama. Menyisakan teriakan sang anak bergaung seirama dengan asap yang menguar dari tangki pembakaran mobil ayahnya.

Balon yang menjadi akar dari segala peristiwa ini, terbang melalui celah jendela yang sempit dan mulai mengisi angkasa luas.

Seharusnya, itu menjadi liburan keluarga paling indah sepanjang masa. Tapi sayangnya, bukan.


Anak itu mengalami waktu koma yang cukup lama sebelum ia bisa dinyatakan berhasil melewati masa-masa kritis. Kira-kira ada dua minggu lebih ia terbaring dengan asupan darah menginfus lengannya yang masih rapuh. Lewat selang yang tak cukup besar diameternya, darah transfusi sumbangan di palang merah sukses masuk, menggantikan kebutuhan darah di tubuhnya yang terkuras akibat insiden kecelakaan tempo lalu.

Tim paramedis sudah bekerja mati-matian, mengerahkan segala yang mereka mampu untuk lakukan. Dokter terhandal pun bahkan ikut turun tangan. Bersama-sama mereka mengoperasi bagian rusuk si anak yang mengalami patah.

Ketika sadar dan pulih setelah memakan waktu berbulan, ia hanya dapat tertunduk menatapi lantai marmer yang putih dingin. Sama seperti kulitnya.

Ranjangnya tidak cukup rapih seperti biasa namun ia tahu di sana ia sedang tidak sendiri. Ada seorang pria dewasa dengan kepala sepenuhnya plontos (anak itu tahu ia harus memanggilnya paman biksu), menatapnya dengan iba dan rasa simpatinya menguar dengan begitu hebat. Anak itu merasakannya. Anak itu sudah tahu semuanya.

"Ayah dan ibumu…" ucap sang biksu menggantung. Anak itu menghalau wajahnya memandang hamparan langit di sana (bayangan balon-balon terbang mengisi mereka membuat ia agak pusing), "Aku sudah tahu apa yang terjadi, Paman."

Ia menangis dengan tangisan pelan yang menyayat hati siapapun yang melihat. Bayangkan saja, di saat indah seperti kemarin justru berakhir duka. Orangtuanya telah tiada dan ia sekarang sebatang kara. Tidak punya apa-apa. Tidak punya siapa-siapa.

Ia menatap kosong ke depan seraya bergumam, "Paman, ini semua salahku, kan?"


Keakuratan data memang terkadang perlu divalidasi lebih lanjut.

Sama seperti apa yang terjadi di sini. Ini adalah pertama kalinya mereka melakukan sebuah kesalahan fatal.

Beberapa kali kumpulan dokter itu melakukan observasi selingan hanya demi membuktikan sesuatu yang belum sepenuhnya mereka yakini. Tapi itu sedang tidak salah. Kaca mikroskopik yang melakukan rotasi (berisi cairan darah transfusi yang beberapa saat lalu pernah mereka pakai), hasilnya menunjukkan kecengangan.

Yang tubuhnya agak pendek cepat-cepat merobek kertas dan pandangannya dibuat makin membelalak. Menilik data yang tersaji.

Ini berawal karena suatu kecerobohan.

Karena ternyata…

sampel darah tersebut milik seorang pendonor yang positif terjangkit virus HIV.

Dan sekantung darah yang sampelnya diambil dari sana, sukses mengaliri sistem tubuh seorang anak. Otomatis penyakit itu menurun padanya, bukan?


Segera, tim dokter yang bertugas menangani anak itu mengadakan rapat dadakan. Biksu tersebut juga dipanggil, entah untuk maksud apa. Dan ia tidak berhenti menghardik para dokter tersebut dengan raut wajah yang bercampur sesal, marah, serta kecewa. Berbaur menyatu.

Katanya, "AIDS? Lalu kalian minta maaf?"

"…Kami merasa tidak enak,"

"Asalnya dari transfusi darah?" tanyanya, kali ini bentakannya teramat keras. Ia memelototi satu-satu dokter yang rata-rata mengerut, "Dan kalian menyebut diri kalian dokter?"

Sayang beribu sayang, ketika rapat itu dilangsungkan, ada seorang petugas yang lupa mengunci pintu sehingga menimbulkan sedikit celah.

Tanpa mereka tahu…

sang anak yang pikirannya masih murni, ikut mencuri dengar dari luar.

Ia tertunduk saja. Melangkah diam-diam menjauhi ruangan itu. Dan ketika bertemu salah seorang dokter yang sedang keenakan menikmati makan siang, ia menarik jubah putihnya.

Dokter itu menunduk. Anak itu mengerjap ketika direspon. "Bisa aku membantumu, adik kecil?"

"Pak dokter, apa itu AIDS?"

Ia tercekat semacam salah mendengar, jadi ia mengorek kupingnya. "Ya?"

"A-I-D-S."

Dan ejaan kata yang terdiri dari empat huruf itu sanggup membuat sang dokter membeku di tempat.


Anak itu tersedu di kamar rawatnya yang dilengkapi penghangat udara. Walau ia suka berada di sana, ia menyesalkan segala yang dituliskan di dalam buku bodoh yang kini dipangkunya. Sempat ia baca beberapa saat lalu…

AIDS atau kepanjangannya; Acquired Immuno Deficiency Syndrome, ialah sekumpulan gejala serta infeksi yang ditimbulkan akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia karena infeksi virus. Virusnya sendiri dinamakan HIV, yaitu Human Immunodeficiency Virus, yang bisa memperlemah ketahanan tubuh manusia. Itu akan merentankan penderitanya terhadap segala gejala opoturnistik. Biasanya, orang yang terjangkit virus ini akan sukar untuk sembuh dari satu penyakit. Bahkan untuk penyakit ringan sekalipun seperti influenza, yang rata-rata bisa pulih hanya dalam jangka satu minggu, namun bagi penderita HIV flu bisa menjadi berbulan atau bahkan tidak pernah sembuh.

AIDS itu seperti penyakit pilek bagi alien.

jika kau makan makanan bergizi dan rajin belajar…

para alien akan datang dan menjemputmu; mereka akan memberikan obat untuk menyembuhkan penyakitmu.

dan tak lama kemudian, kau akan sembuh.

Tingkat kematian tinggi—

Belum ditemukan obatnya—

Sakit yang tidak kunjung sembuh—

Dirawat bertahun-tahun—

Banyak penderitanya mati di usia muda—

Tidak ada harapan—

...melahirkan butir airmata yang menitik satu-satu membasahi pakaian rumah sakitnya.


"Kita mau pergi ke mana, Paman?" tanya si anak ketika sang biksu tanpa ragu menaikkan tubuh mungilnya ke dalam gendongan. Membopong anak itu dalam gerakannya yang cepat. Ia berjalan dengan langkah lebar menyusuri koridor rumah sakit (yang malam hari sangat lengang).

"Pulang," jawabnya singkat. Paling tidak bisa dijadikan alasan untuk menjawab tanda tanya si anak.

Anak itu masih sangat penasaran; "Tapi hari sudah gelap?"

"Kita hanya harus pergi. Tempat ini buruk." Biksu itu berucap. "Aku akan memberimu nama yang baru…"


Ketika mereka sampai di tempat yang disebut tujuan untuk pulang, anak itu memiringkan kepalanya dengan antusias. Sekeliling tempat tersebut nampak asing. Bangunan tersebut besar dan terdapat lonceng tua yang bila berdentang, bunyinya cukup menyeramkan.

"Apa ini rumah kita?" tanyanya.

"Benar. Ini rumah kita."

Anak itu mengangguk, "Tapi… Apakah aku juga harus menjadi biksu?"

Biksu tersebut tersenyum sebelum membalas, "Kau mau?"

Anak itu mengerling, membalikkan badannya dan menatap dengan matanya yang tipis. "Tidak," ucapnya, "aku ingin jadi seorang fotografer. Sama seperti Ayah."

"Oh, begitu."

"Umm. Mengapa kau menjadi biksu, Paman?"

Menghirup napasnya, biksu bijak itu berdiri kemudian berjalan pelan menghampirinya. Dan saat sampai tepat di depan anak (membuat tinggi anak itu terlihat begitu kontras dengannya), ia berhenti. "Kau tidak perlu memanggilku Paman lagi,"

"Mengapa tidak?" inosennya.

"Lakukan saja permintaanku," jawabnya, lalu berlalu mendahului anak tersebut beberapa langkah.

"Oke, Paman."

Biksu itu menghentikan jalannya. Berputar, dan membuat sang anak tergugup, "Oke, Pendeta…"

Tersenyum, ia melangkah mendekatinya, menyikapi dengan pelan. "Ayo masuk ke dalam," ajaknya, mengelus helaian hitam di kepala si anak laki-laki…

yang hanya bisa tertunduk. "Kau seharusnya tidak menyentuhku, Pendeta…"

Ia melanjutkan katanya, "Tubuhku dipenuhi kuman yang jahat."


3600


3600x24x7x2

1209600

3600-600+3000 = 3600

"Ayo kita menikah?"

Dia tidak pernah betul-betul seantusias ini sebelumnya. Wajar saja, ini ialah kali pertama karyanya akan dapat dinikmati orang banyak. Itu merupakan impiannya sejak kecil tepatnya saat umurnya lima tahun.

Ia cukup dibuat sibuk dengan para pengunjung yang sesekali (lumayan banyak) menawar karyanya untuk dibeli dan dijadikan pajangan di rumah mereka. Banyak sekali orang-orang yang melihat-lihat pameran fotografi di tempat ini. Sesekali beberapa orang didampingi seorang guide untuk menjelaskan makna-makna foto-foto yang dipajang di sini. (Tentu saja bila ia sendiri, sudah tentu tidak sanggup melayani tanya mereka.)

Kebanyakan karyanya menyangkut sesuatu yang tidak masuk akal namun mengundang simpati. Seperti contohnya… pelataran Vihara. Tidak banyak fotografer berpikiran untuk mengabadikannya, bukan? Dan ia adalah yang melakukannya pertama kali.

"Terimakasih" selalu menjadi kata andalannya bagi tiap pengunjung. Juga tidak lupa menghadirkan senyumannya yang (meski lemah) tetaplah terlihat anggun.


Chanyeol berlari secepah citah. Ia bahkan tidak peduli pakaiannya yang masih bau minyak tanah (ia belum sempat berganti—dan hei, mana mungkin membuang waktu lebih lama hanya demi berganti baju?).

Menyusuri trotoar yang masih agak ramai oleh pejalan kaki. Ia mengedarkan pandang, matanya menilik sana-sini. Atau saat pandangannya tertumbuk pada pamflet yang tertempel sopan di beberapa tiang lampu jalan, ia berhenti sebentar. Untuk menarik napas dan menyeka peluhnya.


Baekhyun tertidur saat pengunjung galerinya sudah habis dan tinggal tersisa beberapa staf di sana. Di sofa di ruangan yang khusus disebutnya sebagai ruangannya, ada meja. Telepon selulernya yang ia biarkan beberapa saat lalu, berdering dengan denting cukup nyaring. Ia yang masih setengah mengantuk dengan segera mengangkat sambungan itu.

"Pendeta?"

—Yang ternyata dari Siwon.


Dapat dikatakan Chanyeol sampai tepat pada waktunya.

Dengan tidak sabar, ia membuka pintu kecil (satu-satunya akses masuk) ke dalam gedung kecil itu dan meniti anak tangganya dengan dua-dua langkah. Setengah berlari, walau napasnya akan habis.

Ia menyusur lorong, koridor dan beberapa ruangan. Mendorong pintu, sampai akhirnya ia tiba di aula utama—tempat karya-karya itu dipajang.

Saat berhenti menarik napas, bersamaan dengan mata tajamnya yang menangkap tulisan; Photograph by Park Chanhyun; dilengkapi dengan hangul nama tersebut (Park Chanhyun).

Chanyeol dibuat berjengit heran ketika ia menangkap sinyal aneh.

Chanhyun. Satu lagi; hangul tersebut berdiri atas padanan hangul Chan dari namanya, dan Hyun dari nama Baekhyun.

Jadi…

Chanyeol sempat tertegun sebentar sebelum kembali memutuskan mengarungi langkahnya yang lebar. Ia tidak bisa berlama-lama, jadi dia melangkah pergi dengan tuksedo hitam yang ia sampir di bahunya.

Sampai di koridor, ia menyisir kaki pelan-pelan. Banyak dari hasil potret yang memberi kesan mistik, tergantung rapih di sana. Dan ia dibuat heran kala melihat isinya yang rata-rata tidak jauh dari tema Vihara serta kadal.

Ketika Chanyeol akan masuk ke ruangan (sekat, lebih spesifiknya) matanya tidak sengaja menangkap bingkai besar yang tergantung di tembok. Seperti ia hapal.

Pelan-pelan ia mendekat untuk lebih bisa memastikan gambar di potret bisu tersebut.

Ada dua bingkai, lebih tepatnya. Yang di kanan hanya foto hitam putih dari sebuah sofa. Dan yang di kirinya, itu gambar kekasihnya. Diedit menjadi hitam putih juga.

Chanyeol berhenti melangkah dan memaku tungkai kakinya melihat itu. Hitam putih, hmm, monokrom. Tertegun. Sebab, Chanyeol masih ingat betul. Dia, cantik seperti biasa. Masih dengan pakaiannya yang panjang menutup lengan. Tak lupa, tersenyum dengan matanya yang membentuk bulan sabit.

Saat Chanyeol ingin bergerak untuk mendekati foto tersebut, ada suara menginterupsinya;

"…Apakah kau menyukai laki-laki itu?"

Sebuah suara. Ringan, tak cukup berat. Dan aksennya kental sekali. Dan, tidak perlu mengingat susah payah sebab tanpa mengingat sekalipun, Chanyeol tahu itu Baekhyun. Jadi Chanyeol mengerjap di tempatnya berdiri seraya mengulum senyumnya. Tanpa membalikkan badan, ia memejamkan mata dengan teramat lega. Bahagia menyeruak di sisi-sisi hatinya. Dadanya tersemat bunga tak kasat mata. Ia mengangguk, "Aku menyukainya melebihimu, Park Chanhyun." Lalu mengulum senyum lebih tulus beberapa detik kemudian.

"Memangnya apa yang kau sukai dari dirinya?"

Chanyeol masih tersenyum, "Dia cantik." ucapnya begitu yakin. Tampak tak ada keraguan dalam mata ataupun bibirnya.

Sedetik berlalu, dan Chanyeol mengerling. Ia memutar tubuhnya menghadap ke lawan bicara. Dan tidak kaget lagi ketika ia betul-betul menemukan Baekhyun yang berdiri di sana. Tepat berjarak lima langkah darinya.

Baekhyun mengenakan kaus sweter hitam tebal berlapiskan coat dan dilengkapi syal abu-abu melilit leher. Tersenyum untuk Chanyeol.

"Lebih cantik dariku?" tanyanya.

Chanyeol menyeringai, "Dia lebih cocok dengan tipeku,"

"Dan tipe seperti apa itu yang kau suka?" tanyanya lagi.

Baekhyun mengulum bibir bawahnya kala Chanyeol tak kunjung menghadirkan jawaban atas tanyanya. "Tipe seperti apa?" ulangnya.

Mengerjap. Chanyeol memandang manik Baekhyun begitu lekat, "Yang seperti Baekhyun."

Baekhyun membalas mata Chanyeol yang memakunya. Senyumnya semakin lebar, "Kalian berdua terlihat cocok jika bersama."

Kata-kata Baekhyun seolah menjadi mantra untuk keadaan selanjutnya yang menjadi hening. Chanyeol melepas pandangannya dan menghalau wajah. Dan ia mengulum senyum, untuk satu alasan yang hanya ia yang tahu dengan pasti. Keping rindunya berbaur hangat, menyisip masuk dalam keping rindu milik Baekhyun. Di seberang sana ia tahu, Baekhyun juga pasti sangat merindukannya. Cukup hanya dengan melihat tatapan matanya…


Mereka pulang dengan berjalan kaki. Dengan Baekhyun di sisi kanan Chanyeol, tak sama sekali berniat melepas tautan lengannya dengan sang pria tinggi. Jadi mereka berjalan berdampingan dengan Baekhyun yang menumpu kepalanya di pundak Chanyeol.

Chanyeol menghela napas lega dan beralih menatap langit. Yang saat itu penuh oleh bintang. "Kau berada dalam masalah sekarang,"

"Mengapa?"

"…Aku melumuri Lem Super di seluruh lenganku." Chanyeol menoleh, "Kita akan terus menempel mulai sekarang."

"…"

"Kita harus pergi ke kamar mandi bersama-sama seperti ini."

Baekhyun mengendikkan bahu ketika Chanyeol menyeringai dibuat-buat, "Baguslah. Aku selalu ingin pergi ke toilet bersamamu," komentarnya singkat, mengundang senyum di garis bibir Chanyeol.

Mereka berjalan dengan mesra hingga atensi Baekhyun tertarik kala ia melihat pasangan mesra lain berjalan di sebelah mereka (tapi lawan arus). Yang pria mengenakan pakaian militer lengkap (hijau-hijau) dan yang wanita mengenakan rok selutut serta sweter panjang berwarna biru velvet. Sangat serasi.

"Mereka pasti menggunakan Lem Super juga," kata Baekhyun saat ia sadar bahwa yang wanita mengalung lengan pria-nya dengan sangat cinta. Seperti tidak ingin jauh-jauh.

Chanyeol melirik pasangan yang dimaksud, dan menatap Baekhyun, "Jika polisi militer melihat mereka, orang itu pasti akan masuk penjara."

Baekhyun tercengang, "Mengapa?"

"Dia telah melangggar aturan." Chanyeol berujar, "Dia akan dipenjara selama limabelas hari."

"Karena berjalan bergandengan tangan?" cibir Baekhyun sinis. Ketidaksetujuan nampak memenuhi wajahnya.

Chanyeol mengangkat pundak, "Musuh sedang mengawasi mereka…"

"Musuh apa?"

"Mata-mata Korea Utara! Mereka pasti akan mengirim fotonya ke Korea Utara! Mereka pasti akan menganggap kita bodoh ketika melihat orang yang seperti dia. (re: berkencan di saat suasana Negara tengah tidak kondusif)"

Baekhyun mendengus, "Itu konyol."

"Hei, ini perang psikologis!" gertak Chanyeol, "Aku punya seorang teman yang dijebloskan ke penjara selama tigapuluh hari." Baekhyun memelototinya, "Kau bilang tadi limabelas?"

"Dia menggandeng dua gadis di kanan kirinya," kata Chanyeol, lalu ia terkekeh. Baekhyun yang mengerti kemudian memukul lengan atasnya, merasa dimainkan. Oh, itu— "Omong kosong!"

"Entahlah. Tapi aku iri dengannya…"

"…"

"…"

"Ung. Gendong aku, Chanyeol-ah?"

"Sampai mana?"

"Rumahku."


3600


"Suatu hari seorang petani terbangun dan menemukan bentuk yang aneh di kebunnya."

"…"

"Itu sama sekali bukan buatan manusia…"

"…"

"Beberapa orang menyebutnya sebuah tanda, dan yang lain berpikir itu hanya lelucon."

"…"

"Mereka menyebutnya lingkaran misteri, (crop circle)"

"…"

"Aku pikir… Itu adalah tanda-tanda yang ditinggalkan oleh alien."

Chanyeol telah mendengarkannya beberapa lama. Ia menoleh, melihat Baekhyun yang juga menghadapnya. "Maka itu aku selalu berdoa dan berharap datangnya pesawat ruang angkasa…"


Mereka ada di tempat lapang yang dikelilingi dandelion serta bluebells kecil-kecil. Warnanya menyembul di pekat malam. Mereka duduk, di sampingnya ada teropong bintang (digunakan untuk melihat sesekali). Dan tentu saja, Chanyeol kembali menjadi pendengar setia Baekhyun.

"Pemilik kafe ini pernah melihat UFO empat tahun yang lalu,"

"Lalu?"

"Tapi orang-orang tidak ada yang percaya kepadanya, jadi dia membangun sebuah kafe di sini,"

"Benarkah? Cukup keren…"

Sunyi mengisi kala Chanyeol beralih memandang kerlip cahaya di langit. Nampaknya hanya sebuah, itupun agak redup. Baekhyun menatapnya yang serius, "Jika… UFO benar-benar datang, maukah kau melepas kepergianku?"

Dan meski perhatian mata Chanyeol tertumpu untuk pemandangan tersebut, ia tetap bisa mendengar dengan baik kata-kata Baekhyun (walaupun suaranya teramat kecil). Ia mengerling, "Tidak," katanya, "aku akan ikut denganmu." Lalu berdiri dan mengantungi kepalan tangannya di celana. Udara mulai dingin dan menusuk tulang, dan itu sedikit banyak berpengaruh padanya.

"Kau tidak bisa ikut denganku, bodoh." maki Baekhyun.

Chanyeol meliriknya, "Kalau begitu… Aku akan meminta mereka untuk membantumu sehingga kau bisa tetap tinggal di sini," Ia menjeda, meneruskan langkah kakinya yang terhenti sesaat, "Dengan begitu, kita bisa menikah; kita akan sangat bahagia; dan kita akan selamanya berhutang budi kepada kebaikan mereka."

Chanyeol mengulum senyumnya dan menatap Baekhyun. Baekhyun tersenyum nyinyir, memberengut. Lalu entah untuk alasan apa, ia menunduk, "Cukup biarkanlah aku pergi sambil tersenyum."

Chanyeol mendengus. "Tidak."

Baekhyun mengangkat kepalanya dan memutar mata, "Kumohon?"

"Tidak mungkin. Aku tidak akan melepasmu lagi." Chanyeol berucap kemudian mengambil duduk tepat di samping Baekhyun yang diam. Posisi mereka saling membelakangi.

"Bahkan jika aku mati?" tanya Baekhyun lagi.

Chanyeol tersentak. Mukanya dihalau supaya tak menilik manik Baekhyun. Dan ia tahu, kata-kata Baekhyun sepenuhnya benar. Mereka tidak pernah bisa bersama. Lagipula… Dokter juga sudah memvonis penyakit Baekhyun. Telah di ambang batas, dan peluang untuk sembuh hanya sekitar 2,5%. Hal yang mustahil. AIDS yang telah berada pada stadium mendekati akhir, apakah memungkinkan bagi penderitanya untuk punya cukup kesempatan jadi kembali sehat dan normal?

Cukup lama mereka hening lagi dan Baekhyun menyadari ucapannya pasti cenderung frontal bagi Chanyeol. Ia mengedipkan mata, merasakan angin menghembus kulit wajahnya, dan memaksa seulas senyum terpatri di sana. Buru-buru ia mengerat pelukan di lengan kokoh Chanyeol, menenggelamkan pipi empuknya (yang sayang makin hari makin tirus) di bahu tegap Chanyeol. Otaknya berpikir apa kiranya yang bisa mengalihkan perhatian Chanyeol akan perkataannya belum lama. Ia memejamkan mata, sebisanya menghirup segala yang menguar dari tubuh Chanyeol yang mungkin nanti akan sangat-sangat dia rindukan di kemudian hari.

"…Lem Super ini pasti benar-benar kuat?"

Baekhyun mulai merasakannya.

"Bahumu terasa sangat menyenangkan… Aku akan tidur sebentar…"

Baekhyun berkata dan detik selanjutnya ia benar-benar lelap dengan kepala menumpang di bahu itu. Menyisakan Chanyeol memejamkan mata, menghalau apapun itu yang hangat melesak, ingin dikeluarkan.

Airmata.


Kondisi Baekhyun drop lagi. Benar, itu karena ia membandel tidak mendengar apa pesan Kyungsoo beberapa waktu lalu. Pria itu tidak bisa berlama-lama menghabiskan waktu dalam udara yang dingin. Dan Baekhyun mengingkari janjinya karena ia telah lebih dari tiga jam berada di luar (bersama Chanyeol). Yang tentunya dengan suhu menusuk kulit.

Bunyi ambulans kentara terdengar ketika membelah jalan sepi. Dan orang-orang kafe dibuat panik setengah mati saat mereka membopong tubuh rapuh Baekhyun untuk dimasukkan ke dalamnya.

Baekhyun tergolek lemah tak sadarkan diri dengan masker oksigen menempel. Bersama dengan Chanyeol yang terus menggumamkan namanya seraya duduk di sisi Baekhyun, mengerat genggaman tangan dingin itu dengan miliknya yang hangat.


Hujan turun sudah satu jam lamanya. Itu artinya, Chanyeol juga sudah berbasahan selama satu jam lamanya di bawah hujan. Tetesannya yang deras jatuh bersamaan dengan sunyi malam, bunyi jangkrik kentara terdengar. Bulir-bulirnya merembes masuk ke dalam celah parit dan juga paving block yang ditanam di depan gedung tersebut. Rumah sakit.

Siwon menghampirinya sambil menatap dengan datar. Ia iba melihat Chanyeol dengan segala kegigihannya dalam menunggu Baekhyun segera pulih. Simpatik. "Masuklah, Chanyeol." ajaknya, namun Chanyeol bergeming seraya membalas, "Aku merasa lebih nyaman di sini,"

Sementara sang biksu yang melindungi diri dari hujan dengan payung, menatapnya dari ujung ke ujung. Sepatunya serta helai rambutnya telah sepenuhnya basah oleh hujan. Chanyeol masih belum berhenti. Pria yang lebih muda tertunduk memandangi aliran air yang masuk ke dalam celah parit. Tidak kuasa membalas tatapan menasehati milik sang biksu.

"Aku minta maaf…" Siwon melirih kemudian. Membuat Chanyeol sedikit tersenyum, "Baekhyun pasti lebih suka seperti ini…" balasnya lagi, dan memilih untuk tidak lagi membuka percakapan lebih jauh, melainkan memejamkan mata. Meresapi tubuhnya yang dingin karena ditimpa hujan tanpa penghalang. Tapi tidak, di dalam sana Baekhyun pasti lebih kedinginan ketimbang ini. Dan ini, kurang lebih menjadi suatu ajang nostalgianya; Chanyeol tiba-tiba jadi ingat akan dirinya (yang masih tujuh tahun ketika itu), rela berhujanan demi Baekhyun. Tepatnya untuk mencari kadal Baekhyun—yang namanya Tirukaka. Dan jika kehujanan sekali lagi, tidak ada yang mesti dimasalahkan.


Baekhyun terbaring tak berdaya di kamar UGD-nya yang intensif. Selimut rumah sakit terbentang hingga batas atas dadanya. Kelihatan tertidur sangat damai.

Dari luar, dari kaca jendela tempat ia menempat, Chanyeol tak pernah sekalipun menghalau pandangannya. Terus-terusan diam di tempat seraya menatapi hujan. Ia baru mengetahui ini tadi; ketika Baekhyun menumpangkan kepalanya namun tidak kunjung bangun. Ia sudah panik sendiri sebelum sadar bahwa Baekhyun pingsan. Kondisi pria itu memang tidak pernah jadi baik dan Chanyeol merutuki dirinya yang lamban dalam bertindak. Ia tak dapat membaca gestur Baekhyun yang sakit.

Bohlam besar yang dikelilingi keramik putih itu berpendar. Tiangnya tinggi dan jumlah mereka sepasang. Menerangi Chanyeol yang sama sekali tidak terlihat lelah. Hujan berselang dua jam lamanya, dan kini hanya menyisakan tetes-tetes yang dibawa oleh dahan pohon.

Chanyeol bergeming, menatapi pantulan dirinya di genangan air yang tidak sepenuhnya terserap oleh paving block. Tetesan hujan menitik lewat kontur wajahnya yang selalu terlihat tampan (bahkan untuk saat-saat seperti ini). Dan dia berulang-ulang menarik-ulur napasnya lewat hidung. Uap hangatnya menguar. Pantulan dirinya menjelaskan jika ia terlihat begitu kacau.

Semua yang pernah Baekhyun katakan, baik dulu maupun sekarang, berputar-putar dalam pikirannya dan seperti hantu. Menjelajahi kepalanya yang sudah jejal oleh Baekhyun. Bersama dengan ujarannya yang seolah selalu membetulkan pria mungil itu—entah itu nonsense maupun masuk akal.


Baekhyun berdiri, melihat bintang dari jendela kamar dan menjawab, "Agar kami bisa merampok bank bersama-sama…" jedanya sebentar, "…lalu kita akan membeli pesawat ruang angkasa buatan Rusia."

Tak mendengar ada respon berarti, Baekhyun tersenyum pelan, "Kemudian aku akan menggunakannya untuk pergi dari planet ini…,"

Chanyeol mengulum senyumnya taat, "Memangnya untuk apa?"

Agak lama sebelum Baekhyun beralih menatap pasang mata coklat terang milik Chanyeol. Masih dengan binarnya yang kekanakan seperti dulu, itulah dia. "Karena planet ini bukanlah tempatku…" bisik Baekhyun kelewat halus.

.

.

"Apa kau mau mendapat cacar air lagi?"

.

.

"Mereka menyebutnya lingkaran misteri…"

"…"

"Aku pikir, itu adalah tanda-tanda yang diberikan oleh alien."

"…"

"Aku selalu berdoa dan berharap datangnya pesawat ruang angkasa."


Chanyeol mendesah. Tarikan napasnya mulai tidak teratur karena kebutuhan oksigen yang makin banyak, diimbangi oleh kapasitasnya yang hanya sedikit. Udara malam hari memang selalu jelek jika dihirup. Apalagi jika berdiri di dekat pohon besar. Tapi Chanyeol mengerjakannya tanpa diselingi protes. Cukup lama ia tertunduk sampai akhirnya mengangkat kepala, mengerjap dua kali di kelopaknya, dan melangkah mundur menjauhi area rumah sakit.

Sedikit berlari, dan Siwon menatapnya dari dalam gedung rumah sakit—Chanyeol yang melangkah pergi.


3600


"Itu bukan awan lenticular. Itu sudah pasti!" Luhan berargumen keras kepala seraya menunjuk sebuah potret yang kini sama-sama mereka tekuni. Saat itu ia sedang berkunjung ke kafe milik Oh Sehun.

Joonmyeon mengalihkan atensi dan memandang Luhan yang berapi-api, "Tapi bagaimana bisa kau mengambil fotonya?"

Ia mengibaskan tangan, "Foto ini diambil oleh seorang fotografer berita," katanya, telunjuknya menunjuk pada satu objek yang mereka sama-sama lihat. "Kecepatan mereka, bentuk mereka, mereka adalah pesawat yang sama."

"Apakah kau mengatakan kalau itu adalah UFO?" tanya yang bernama Wufan. Ah, dia itu pria China (sama seperti Luhan namun Luhan lebih dulu tinggal di sini), bartender di kafe kecil ini, dan ia ke mari (Korea) bersama—

"Mereka terlihat seperti kopian karbon," sela Tao. Mencibir lewat bibirnya yang mirip kucing, "Orang-orang akan berpikir kalau itu palsu."

Sehun lalu mendecak, "Ketimbang berdebat perihal palsu tidaknya foto ini bukankah lebih baik kita pergi menjenguk Baekhyun saja?"

Tepat ketika bibir Sehun selesai bertanya, pintu kafe didobrak keras oleh seseorang. Bukan orang asing. Dan menjadi hal yang cukup wajar jika Chanyeol telah menjadi dekat dengan teman-teman Baekhyun meski tempo pertemuan mereka baru semalam—Chanyeol adalah pria yang terbuka. Mereka mengernyit saat mendapati Chanyeol—yang nampaknya sampai dengan cara berlari—dan anehnya lagi, pria itu tidak pakai basa-basi. Ia tidak mengucap salam melainkan langsung menghambur ke salah satu sisi dinding kafe—di mana di situ terpajang macam-macam foto yang objeknya selalu sama: lingkaran tanaman alias crop circle.

Ia ngos-ngosan dengan napasnya yang diambil cepat-cepat, "Jika aku membuatnya… Apakah pesawat ruang angkasa akan datang?"


Mungkin Chanyeol telah terlampau sinting karena terlalu banyak memikirkan Baekhyun.

Jadi dia dengan tekadnya yang masih membara, menggulung kemeja sebatas lengan dan mengambil tongkat cukup panjang—kira-kira semester duapuluh senti. Ia meniti jarak dari gubuk kecil di belakangnya yang ada jarak kurang lebih sepuluh meter. Ia mengedarkan pandang ke lingkupan hektar kosong yang hanya diisi oleh ilalang setinggi pinggangnya. Tangannya dipakai sebagai topi, ia melihat jarak jauh dan segera memperhitungkan dengan perkiraan. Dengan sambil mengapit tongkat tersebut, mulai dari tengah-tengah area. Ia mematok tongkat kayu itu tepat di diameter tempat yang telah ia tetapkan. Akan jadi pusat dari segala kegiatannya nanti.

Chanyeol mengambil tali, mengaitkannya dengan meteran, serta mengukur langkah dari patok. Ia menandai sisi satu dengan cara menginjak, membuat jejak karbon sehingga nanti bisa ditandai. Setelah selesai dengan sisi satu, ia akan berpindah untuk mengerjakan sisi yang lainnya lagi. Membentuk gerakan memutar yang tentu terlihat jelas karena ilalang tersebut tinggi.

Tubuhnya terlihat kecil jika dilihat dari atas langit. Tapi Chanyeol tidak peduli, walaupun harus mengerjakan semuanya sendirian, tetap akan ia lakukan. Demi Baekhyun.

Lingkaran serta patoknya telah siap. Ia sedikit mengandalkan dirinya yang unggul dalam kelas olahraga (beruntunglah dulu ia atlet basket sekolah), jadi dia berlari-lari selama beberapa puluh putaran hanya untuk mengitari sang lingkaran. Ia masih memegang ujung tali, tapi kakinya tak berhenti sedikitpun untuk beristirahat. Cinta yang memaksanya agar dapat menyelesaikan ini secepat mungkin.

Sedikit belajar dari pola yang kemarin dirampas—paksa—dari kafe Sehun, ia memikirkan bagaimana nanti rupa dan bentuk lingkaran misteriusnya ini. Dan banyak berharap jika ia melakukannya dengan benar. Ia meniru sketsa, mengambil garu dan menginjak pola tersebut supaya terbentuk jelas. Ilalang yang telah diinjak menjadi datar dan kelihatan seperti lingkaran sungguhan. Sebab diapit oleh teman-temannya di luar lingkaran.

Chanyeol mengerjakan itu semua tekun, tidak mengeluh. Satu desahan ia sengaja tak keluarkan. Ia mau Tuhan tahu, ia ikhlas mengerjakan semuanya demi Baekhyun semata. Jadi dia melepas kemejanya, menyampirkannya di tongkat patok, serta mengulangi langkah-langkah agar cetakannya terlihat sangat kentara.

Lingkaran utama itu selesai bersamaan dirinya yang sudah bermandi peluh.


Jongdae bilang pada Siwon yang menginap untuk menunggui Baekhyun jika mereka harus mengadakan tindak lanjut secepat mungkin. Penyakit Baekhyun sudah tidak lagi bisa ditolerir. Mungkin tinggal menghitung hari. Atau mungkin juga bisa sebaliknya. Tergantung takdir. Itu membuat Siwon tertunduk, kurang lebih. Sebab sang biksu tahu kalau Baekhyun sudah tidak ada harapan. Dan dirinya yang menganggap Baekhyun sudah seperti anaknya, merasakan jika perasaan itu semakin nyata. Perasaan jika… Baekhyun sudah tidak sanggup lagi.


Lain halnya dengan tubuh ringkih Baekhyun yang dingin, ditutup oleh selimut sebatas dada serta ruangan hangat penuh pemanas udara; Chanyeol tengah melawan terik sembari membuat patok-patok yang lebih kecil yang fungsinya untuk lingkaran pelengkap. Terkadang saat ia lupa bagaimana rancangannya, ia akan merogoh saku dan melihat sketsa.

Chanyeol memundurkan langkah, melingkupi bentangan lewat pandangan matanya dan menghitung berapa banyak patok yang telah ia buat. Semuanya berbaris rapih di tempat, Chanyeol menghimpunnya dengan menggunakan tali berwarna oranye. Tidak lupa, ia juga membuat jalan memanjang untuk sampai ke lingkaran utama. Dengan menginjak ilalangnya dulu, tentu.

Chanyeol bekerja mulai subuh hari dan baru akan berhenti ketika matahari pulang di sore hari. Teman-teman Baekhyun (Sehun, Joonmyeon, Luhan, Wufan serta Tao) menatapnya dengan pandangan penuh keheranan dari balik kaca kafe mereka. Inisiatif sendiri, Luhan segera mengambil kamera SLR-nya dan mulai memotret Chanyeol yang tekun. Mereka menggumam sekali waktu, merasakan kegigihan Chanyeol menguar keluar lewat kharismanya. Wajah yang tertimpa sinar lembayung membuat Chanyeol makin memesona.

Sementara Chanyeol tetap mengusahakan lingkaran itu demi Baekhyun, Baekhyun juga sedang berjuang mati-matian melewati masa kritisnya. Ia sedang koma, Siwon melihatnya sedih dari luar kamar rawatnya. Sesekali, Minseok si gadis dengan pipi bulat, bermain ke tempatnya dan membawa sesuatu. Ia menaruhnya di atas selimut Baekhyun dan bergumam, "Mereka meninggalkan ini untukmu," sesuai dengan yang dipesankan teman-teman Baekhyun usai menjenguk pria itu. Itu foto, dengan Chanyeol sebagai objeknya. Foto Chanyeol yang tengah menyelesaikan lingkaran tanaman yang besarnya bahkan seluas lapangan bola. Sendiri.

Minseok menunduk, merasakan kehangatan cinta menguar lewat foto bisu itu. Seolah menjelaskan betapa di sini ada kekuatan tidak kasat mata yang membuat Baekhyun tetap bisa terhubung dengan Chanyeol di luar sana. Lalu setelah beberapa menit lamanya, ia menghela napas dan memutuskan keluar dari kamar Baekhyun.


Malam hari tidak pernah jadi halangan bagi Chanyeol asalkan itu demi misinya yang harus segera rampung. Maka dia mengenakan topi bersenter yang bisa menerangi pandangannya, membuat tenda yang cukup bagi tempatnya tidur serta tidur di tengah karyanya tersebut.

Kadangkala, ia merasa dingin oleh angin malam yang bertiup kencang. Kadang juga, ada nyamuk nakal yang menggerogoti lengan atau betisnya. Tapi bukan itu yang membuatnya terjaga, melainkan memikirkan Baekhyun.

Chanyeol merebahkan badannya menatap langit-langit tenda, dengan mengeratkan diri di wadah kepompong berbentuk selimut lapis yang membungkus tubuh. Mulai kepikiran tentang kondisi Baekhyun.


3600


Ia akan berlari ketika pagi tiba. Belum juga matahari naik, tapi Chanyeol akan memandangi hasil kerjanya setelah seminggu lamanya. Ada salah satu patok tinggi yang tingginya melebihi dia, berjajar di samping ia yang tegak. Chanyeol mencabutnya dengan kepuasan, lalu berlari.

Lingkaran tanamannya sudah jadi. Sepenuhnya.

Tanpa basa-basi ia masuk kafe dengan (lagi-lagi mendobrak) mengagetkan Sehun serta Luhan yang sedang bercumbu mesra di sudut bangku pelanggan.

Ia naik tangga yang menghubungkan dengan lantai atas dan kebanggaan terpatri jelas kala matanya menilik lingkaran tanaman itu. Jelas, dan bentuknya rapih. Sama persis seperti yang ada dalam sketsa. Ia menghela napas dengan begitu lega. Puas, hasil kerjanya tidak sia-sia.


Entah ada angin apa, pagi itu pula, Baekhyun sadar. Padahal kemarin malam Jongdae mengecek kondisinya, ia masih di ambang kritis. Itu membuat Siwon kaget setengah hidup, ia yang sudah paruh baya, berlari-lari dengan kemampuannya diikuti oleh Jongdae di belakangnya. Di tengah koridor, mereka bertemu Minseok yang juga berekspresi terkejut (sama sekali tidak terpikir) akan Baekhyun. Mereka bertiga berlari untuk sampai di kamar UGD Baekhyun.

Menghela napas dengan teramat lega, Minseok tanpa permisi masuk ke dalam kamar Baekhyun. Dua orang yang bersamanya berdiri tepaku di ambang pintu.

Minseok tersenyum seraya mempersilahkan mereka ikut masuk. Baekhyun membelakangi mereka bertiga. Matanya basah dan sepertinya ia telah lama bangun dari tidur. Di tangannya, tertaruh apik—foto-foto Chanyeol membuat lingkaran tanaman. Ia tidak melepas pandangannya dari sana semenjak sadar dan diberitahu oleh Minseok.

"Kak…" panggil Minseok ceria.

Tubuh Baekhyun tersentak dan sedikit tegak. Ia menolehkan kepalanya di mana ia langsung mendapati wajah Siwon yang meneduhkan. Ia yang belum menghapus jejak airmatanya, tersenyum balik untuk ayahnya. Siwon mengulum simpul senyum. Maklum.

"Minseok…" panggil Baekhyun balik.

Minseok mengeliminasi langkah dan duduk di ranjang Baekhyun, "Ya?"

Baekhyun mengerjap dengan matanya yang merah, "Aku boleh minta bantuanmu?"


Minseok berjalan secara mengendap-endap. Ia melihat sekeliling koridor yang (terimakasih, Tuhan) sedang sangat sepi. Di dekapannya ada kotak berukuran sedang, dan ia bersembunyi di balik pilar.

Ia melongokkan kepalanya tiba-tiba dan tersenyum. Ah, berlari-lari dengan semangat untuk sampai ke kamar seseorang—

Baekhyun langsung menyambutnya di saat bersamaan ia menutup sambungan telepon dengan seorang teman. Minseok muncul di depannya dengan wajah seperti anak anjing, lucu. "Lihat aku bawa apa?"

Baekhyun mengangkat dagunya dan melirik benda-benda itu—yang Minseok pamerkan. "Hanya itu?" katanya, membuat senyum lebar yang Minseok tebar menghilang seiring keluhannya, "Apa kau tahu betapa sulitnya mendapatkan ini?" ucapnya sambil menghentak-hentak kaki. Ia kesal, dirinya seperti diperalat. Saat mati-matian menuruti perintah Baekhyun yang diktator, pria itu justru mengomentari kerjanya.

Sementara di balik punggung tangannya yang mengatup mulut, Baekhyun tertawa diam-diam. Mengamati tingkah lucu Minseok saat gadis itu merajuk dengan imut.


3600


3600

06.00 (00:00:01)

9x3600 = 32400

32400-06.00 (128√e980) = (3600:9)

3600

[01001101011001010110111001101001011101000010000001110000011001010111001001110100011000010110110101100001]

Itu hari Minggu. Masih pagi, tapi Baekhyun sudah rapih dengan pakaiannya. Ranjang rumah sakitnya ia rapihkan sendiri tanpa disuruh. Ia akan pergi.

Ia menggenggam ponsel di tangan dan menghubungkannya ke telinga. Tersenyum, "Chanyeol-ah, kau tidak menjemputku?"

Chanyeol yang saat itu sedang sibuk melihat hasil kerjanya (sudah dua hari ini kerjanya hanya begitu)—lingkaran tanaman itu—membelalakkan mata dan segera berlari cepat. Ia begitu bersemangat menuruni tangga dan membelah setapak. Kemejanya yang belum sempat ia ganti sejak kemarin masih melekat. Bahkan, dia belum mandi. Ia terlampau senang hingga melupakan segala yang mungkin berhubungan mengenai dirinya. Adalah Baekhyun yang utama.

Jongdae panik ketika ia datang mengecek kamar Baekhyun, tapi pasien itu tidak di sana.


3600


3600

3600x8,5 = 30600

510 = (30600x60)

60x510 = 30600

30600:8,5 = 3600

Untunglah di tengah perjalanan ke mari, Chanyeol tidak lupa berbenah diri. Ia sedikit menata rambutnya dan ganti baju. Di tangannya ada sebuket mawar merah, kelopaknya terkembang manis. Buket tersebut mekar penuh, jumlahnya ada sembilanpuluh sembilan tangkai—Chanyeol telah mengecek sebelumnya.

Dia berlutut di hadapan Baekhyun, persis seperti pangeran yang akan melamar seseorang, dan mengangsurkan buket tersebut langsung pada Baekhyun. Sedikit menunggu lama karena Baekhyun hanya diam mengamatinya, ia mendesah ketika Baekhyun tersenyum dan bilang, "Aku tidak suka bunga yang berduri."

Chanyeol menyeringai dan menarik buket itu. Sedikit salah tingkah, ia menggaruk tengkuknya. Lalu tanpa diminta, ia agak membuka kemasan plastik buket tersebut. Mawar yang masih segar dengan duri yang menancap, ada di sana. Dengan hati-hati, Chanyeol mempereteli duri si mawar. Seperti biasa, Chanyeol mengerjakannya dengan ikhlas. Baekhyun tersenyum dan tercekat menahan napas.

"Chanyeol-ah…" panggilnya, Chanyeol tersenyum. Ia masih sibuk dengan duri mawarnya. "Terimakasih." sambung Baekhyun lagi. Chanyeol membalasnya dengan mengangsurkan buket, mawar tersebut selesai dengan duri yang telah dibuang. Sesuai kemauan Baekhyun.

Baekhyun menerimanya dan segera menghirup mawar. Aromanya masih segar, membuat matanya agak membesar ketika ia tahu ia menyukainya. Chanyeol memandanginya.


Di dalam, mereka tidak tahu jika Jongdae beserta anak buahnya (perawat) sedang kelabakan mencari keberadaan Baekhyun—yang sebetulnya berada hanya di depan—belum jauh dari kawasan rumah sakit.

Minseok dengan segala kenekatannya, menghadang Jongdae, "Kalian tidak bisa lewat!" katanya, "Tolong biarkan Kak Baekhyun pergi!"

Jongdae mendesah kentara, "Minseok, kau tahu aturan kita!"

"Tidak! Berhenti!" teriak Minseok saat tubuhnya dibopong dua pengawal berbadan kekar. Membuatnya tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Tadi, Baekhyun berpesan bila ia akan menemui kekasihnya dan Minseok tentu saja menyetujui. Ia akan mati-matian membela orang yang sudah ia anggap kakak sendiri. Tapi sayang, tubuhnya yang mungil tidak bisa berbuat apa-apa. Jongdae berlari mengejar keberadaan Baekhyun.

"Tunggu! Tunggu, dokter Jongdae!"


"Apakah kita akan tetap berada di sini? Diam saja?" tanya Baekhyun setelah cukup lama mereka berdiam diri hanya saling memandang.

Chanyeol menghela napas, "Tapi kau bisa sakit jika kau pergi," katanya, mencoba menimbang keputusan Baekhyun.

Baekhyun memberengut. "Tapi kau sudah memanggil sebuah pesawat ruang angkasa…"

Chanyeol mengerjap, mengerang, dan merutuki tingkahnya. Benar, ia memang membuat lingkaran itu. Bagaimanapun, Baekhyun pasti akan kecewa jika dia bilang itu tidak benar-benar. Baekhyun nanti pasti berpikir ia hanya ingin memainkannya.

"Bagaimana jika pesawatnya nanti benar-benar datang?" Baekhyun bertanya lagi.

"Tapi Baekhyun, itu hanya…"

"Jika kau tidak memercayainya, mengapa kau membuatnya?" desak pria yang mungil. Chanyeol menarik napas seperti kalah. Baekhyun selalu bisa membuatnya gila.

"Aku ingin melihatnya," lirihnya kemudian.

Butuh sedetik sebelum Chanyeol menarik napasnya dan mengulurkan tangan kanannya. Ia mengisyaratkan jika Baekhyun harus cepat jika benar berniat ingin. Dan tanpa menunggu lama, dua tangan tersebut tertaut dalam satu genggaman hangat. Chanyeol tersenyum, sedikit mengubah letak hingga tangan besarnya membalut milik Baekhyun. Genggaman tersebut terasa pas. Sangat sempurna.

Hati mereka dipenuhi cahaya dan kehangatan. Perut mereka seperti dipenuhi kupu-kupu, seiring dengan laju lari yang kecil-kecil. Tautan tersebut makin mengerat bersamaan teriakan Jongdae yang berlari mengejar mereka (tepatnya Baekhyun) untuk dibawa kembali ke ruangannya.

"Baekhyun! Baekhyun!"

Chanyeol segera membukakan pintu mobil dan menyuruh Baekhyun duduk di bangku belakang. Ia lalu duduk di samping Baekhyun dan mobil tersebut melaju.


Jalanan lengang dan selama itu baik Baekhyun maupun Chanyeol tidak ada yang berniat melepaskan tautan tangan. Mereka diam dalam hening seiring ban mobil yang berputar di tol itu. Baekhyun menumpangkan kepalanya di pundak Chanyeol dan Chanyeol menatap pemandangan sekitar lewat jendela mobil.

Sopir taksi yang menyopiri mereka kadang mengintip diam-diam. Betapa mesranya pasangan itu. "Kalian berdua pasangan yang serasi." Ia berkomentar.

"Apa yang terjadi di sana—rumah sakit?" tanyanya lagi, membuat keduanya tersenyum menanggapi. "Apa kalian buronan?" guyon paman itu.

"Nah, kalian mau ke mana?"

Baekhyun yang kali itu tersenyum begitu lebar, "Ke luar angkasa," katanya tanpa ragu.

Paman sopir itu terkekeh, "Itu lumayan jauh dari sini," sambil tetap fokus mengendarai mobil. "Aku dulu pernah terpesona dengan luar angkasa ketika masih kecil,"

Baekhyun tertawa. "Aku yakin ada alien di luar sana," tambah paman itu.

"Pernah dengar tentang lingkaran hitam? (black hole)"

"…"

"Lingkaran itu pernah muncul di peternakan." ucapnya. "Alien memang ada. Aku yakin akan hal itu!" katanya lagi, membuat dua orang yang di bangku penumpang tertawa. Paman itu tidak tahu saja, alien tersebut kini menumpang di mobilnya.


3600


3600

9-5 = 4

4x60 = 2400

60x60 = 3600

2400+1200 (skn) = 3600

Perjalanan menuju Seoul untuk sampai ke desa mereka memang membutuhkan waktu sangat lama. Kurang lebih sudah terhitung lima jam mereka berada di taksi. Dan Chanyeol harus habis-habisan menguras dompetnya demi menyewa taksi. Karena ia mengadakan perjalanan jauh. Itupun mungkin masih harus tiga jam lagi hingga benar-benar sampai.

Selama perjalanan itu, Baekhyun tidak banyak bersikap. Ia hanya memandangi langit yang terserak dengan awan putihnya. Tidak jauh beda dengan Chanyeol.

"Chanyeol-ah?" panggilnya, membuat perhatian Chanyeol terbuyar dan beralih menatap pria mungil itu, "Hmm?"

"Maukah kau melepas kepergianku?" tanyanya lagi sambil tetap memandangi luar. Mata hitam Baekhyun sedikit berkaca, menahan apapun yang melesak dalam hati sempitnya. Chanyeol mengulum senyumnya tipis, "Aku hanya terpaksa." katanya, lalu mengerjap.

Baekhyun menghela napas, "Sambil tersenyum?"

Chanyeol agak ragu menjawabnya dan sebagai ganti, ia hanya mengangguk satu kali. "Tersenyum."

Baekhyun menunduk dan kemudian membalas untuk menatap Chanyeol, "Jangan lupa, kau adalah manusia pertama yang pernah berkencan dengan alien," ucapnya. "Kau harus bangga dengan dirimu sendiri."

Chanyeol melengos, "Tapi kau terlihat seperti manusia,"

Baekhyun mencibir. "Apa kau lebih suka kalau aku terlihat seperti E.T.?"

"Tidak."

"Hehehe."

Kebersamaan mereka di kursi penumpang membuat paman itu merasakan imbas. Jadi dia melirik lewat spion depan dan ikut mengguyon, "Memangnya kenapa dengan E.T.? Dia itu makhluk kecil yang lucu!"


3600


3600

4-3 = 1

1x1 = 3600

60x60 = 3600

3600 = 3600

3600

[sore, 17:32]

Taksi tersebut berhasl mengantar mereka selamat hingga tujuan. Kurang lebih, Chanyeol merasa berhutang budi untuk si paman sopir. Pria paruh baya itu baik sekali, walau Chanyeol bilang ia tidak punya tambahan komisi karena ia mengantar mereka sampai pada waktunya.

Ia ingat dengan semua yang pernah ia janjikan pada Baekhyun. Tentang mimpi mereka, cita-cita, juga sesuatu yang berkenaan masa depan. Ia ingat ia pernah menandai Baekhyun dengan kadal kayunya. Bagai debu yang bergulir diterpa angin musim dingin, Chanyeol tak mementingkan itu sekarang. Yang ia perlu lakukan hanya menghabiskan sedikit masa yang mereka punya dengan (paling tidak) sepotong kebahagiaan.

Jadi tidak heran jika mereka di sini. Menyandar pada batang pohon yang sering mereka datangi dulu; tempat Baekhyun mengumbar cerita-ceritanya. Tumpuan siluet besar itu mengusik mereka. Baekhyun tersenyum, di sisi yang membelakangi dia dengan Chanyeol.

Diam agak lama sebelum Baekhyun memejamkan mata, "Chanyeol-ah?"

Pria yang besar berdeham tanda menyahut.

"Berapa tanggal lahirmu?"

Chanyeol mengernyit kemudian ia memutuskan mendekati Baekhyun-nya, tidak lagi membelakangi. "Mengapa?"

"Ingin tahu saja…"

"…"

"Ah," Baekhyun mengerjap semacam ingat sesuatu, "tanggalnya saja?" Ia mengeliminasi duduknya menjadi ke dekat Chanyeol. Mereka berdampingan, Baekhyun di sisi kanan.

"22."

"Kalikan empat!"

"88."

"Tambah tigabelas!"

Chanyeol mengernyit, tidak mengerti ke mana topik Baekhyun, "101."

"Kalikan lagi duapuluh lima."

"2525."

"Kurangi 200… Hmm, 2325 tambah angka bulan lahirmu!"

"Sebelas?"

"Ya." Baekhyun berucap, "Ah, begini saja," katanya lalu mengalihkan tatapan menilik Chanyeol, "Dua digit di belakang tahun lahirmu?"

"87."

"Sama bukan?" tanya Baekhyun saat dia mengangsurkan sebuah kertas (yang bingungnya tidak tahu dari mana asalnya) ke muka Chanyeol. Dan di sana ada tulisan tangan Baekhyun yang rapih: 22111986. Persis sama seperti tanggal lahir Chanyeol. Tapi… Chanyeol tidak mengerti bagaimana itu bisa jadi sama. Padahal ia kira Baekhyun hanya iseng. Iseng yang—kalau ternyata jika mengalikan beberapa angka, terkadang kita akan menemukan angka itu berbalik pada angka itu sendiri.

Tapi yang lebih Chanyeol tidak paham adalah maksud Baekhyun yang terselubung.

Sebab, pria itu menulis penjumlahan di bawah angka-angka itu:

4-3 = 1

1x1 = 3600

60x60 = 3600

3600 = 3600

3600

Chan Yeol & Baek Hyun


3600


3600

3600-600 = 3000

3600

Mereka benar-benar membuat hari itu terasa seperti Surga.

Dan sekarang ini, mereka sampai pada padang ilalang besar tempat Chanyeol membuat lingkaran tanamannya. Sudah seharian mereka mengitari distrik, dan itu membuat Baekhyun tersenyum ceria. Meski wajahnya tidak lagi dipenuhi binar, ia tetap cemerlang di mata kekasihnya.

Baekhyun menaruh kepalanya di pundak, Chanyeol menggendongnya di belakang. Dan matahari nampak memerah malu. Padang ilalang itu terisi oleh banyak bunga bermekaran. Musim semi sepertinya akan berlangsung. Dan itu membuat tubuh Chanyeol tertutupi sebatas pinggulnya. Ia yang tinggi terlihat menyusup dalam padang tersebut.

Mata Baekhyun setengah terpejam. Lengannya mengalung di depan dada Chanyeol. Bahu Chanyeol kekar dan lebar. Punggungnya juga bagus. Apalagi, jarak wajahnya dengan wajah Chanyeol yang tidak jauh membuat ia bersemu.

"Apa aku terlalu berat?"

Chanyeol sedikit terengah namun tetap menjawabnya, "Jangan bicara padaku," katanya, "kupikir pesawat ruang angkasa tidak akan mampu menahan bobot tubuhmu."

Baekhyun cemberut dan tanpa sadar mengarahkan tangannya ke pipi Chanyeol. Ia mencubit pria itu, membuatnya mengaduh sakit. "Apa kau bilang?" tanyanya. Chanyeol terkekeh, "Tidak, aku hanya bercanda. Kau ringan sekali seperti kapas."

Baekhyun tertegun untuk waktu cukup lama dan ia hanya memandangi kumpulan ivy yang bermekaran di dekat ilalang. "Punggungmu bagus dan lebar. Aku menyukainya," Dia berkata pada akhirnya.

"…"

"Umm. Chanyeol-ah?"

"Ng?"

"Park Chanyeol."

"Ada apa?" tanya Chanyeol sambil tetap berjalan—dengan Baekhyun di punggungnya.

Baekhyun menghirup udara dalam-dalam lalu memejamkan matanya. Perkatannya terlampau mengejutkan bagi pria yang tinggi, seperti salju pertama yang mencairkan musim panas; "Aku cinta padamu"

Chanyeol memilih memandangi langit sore yang luas dan tidak berujung. Itu adalah satu-satunya kalimat yang ia tunggu selama hampir sepanjang hidup Chanyeol. Mendengar pada akhirnya bahwa Baekhyun juga mencintainya adalah mimpinya. Bahkan Baekhyun mengatakannya sangat lirih. Untuk pertama kali dalam hubungan mereka berdua, Baekhyun membalas cinta Chanyeol.

Rasanya sangat menyenangkan sampai Chanyeol pikir ia tidak bisa berhenti tersenyum, "Apa?" desaknya, berdalih tidak mendengar supaya—barangkali—Baekhyun mau mengulanginya.

Baekhyun mengerjap, "Aku tidak bilang apa-apa,"

"Ya. Kau mengatakan sesuatu." Chanyeol meliriknya, "Apa itu sesuatu tentangku?"

"Aku hanya bilang kalau kau tampan…"

"Aku juga tahu itu…"


Ketika matahari terbenam dan bintang-bintang mulai bermunculan, Baekhyun pergi keluar dan melihat lingkaran tanaman yang Chanyeol buat dengan memakan waktu seminggu lebih. Dengan sedikit melongok, ia mencari keberadaan Chanyeol yang hilang tiba-tiba.

"Chanyeol? Di mana kau?" ucapnya setengah berteriak. Mulai dongkol saat Chanyeol tidak menampakkan diri lama, "Chanyeol?"

Saat ia ingin berbalik masuk kembali ke kafe Sehun, tanpa dinyana, lampu-lampu neon kecil berwarna terang memendar dengan serentak membuat area itu benderang. Dimulai dari yang paling ujung, hingga lampu yang berada di dekat tempat Baekhyun berdiri.

Baekhyun tercekat menahan napasnya. Ia sangat terkesan dan kagum. Siapapun yang membuat ini pastilah orang yang sangat romantis, ia tahu itu. Dan tanpa menduga pun, Baekhyun mengerti pasti Chanyeol-lah pelakunya. Siapa lagi?

Ia mengatup mulut, matanya berkilau dengan pendar seolah-olah mengatakan: "Ini menakjubkan!"

Secepat jentikan jari, atau mungkin karena Baekhyun terlalu fokus mengamati lingkaran tanaman itu, Chanyeol tahu-tahu sudah ada di belakangnya. Pria itu mendeham sebentar lalu mengambil ruang di samping Baekhyun. Baekhyun memandanginya kagum sampai Chanyeol memberi lengannya. Ia mengisyaratkan Baekhyun berjalan bersama untuk sampai di lingkaran utama.

Malam itu benar-benar nyata dan tidak ada kepura-puraan di dalamnya. Tawa riang yang meletus bersamaan dari bibir dua pria itu seakan memberitahu jika mereka tidak butuh hal hebat untuk saling membuktikan cinta.

Ketika akhirnya mereka sampai di kursi taman yang telah Chanyeol siapkan sebelumnya, Chanyeol mendudukkan Baekhyun di sisinya.

Chanyeol tahu napas Baekhyun mulai memberat, jadi dia bertanya, "Apa kau kedinginan?" sambil memberi tubuh Baekhyun selapis jaket tebal yang terbuat dari wol domba.

Baekhyun memaksakan senyumnya lembut, "Tidak," katanya, "waktu itu memang benar-benar terasa dingin…"

"Ng?"

"Hari ketika kau mencari kadalku di lumpur… Waktu itu benar-benar sangat dingin…" ucapnya. Pria itu menggigil dan napasnya jadi pendek. Chanyeol di sampingnya sangat khawatir, mengerat tubuh mungil itu makin dekat dengan dadanya. Ia membungkus Baekhyun dalam pelukan, "Apa merasa sedikit lebih baik?"

Baekhyun menoleh sebentar. "Tidakkah kau tahu jika panas juga mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah? Panas tubuhku sekarang berpindah ke tubuhmu." ujarnya. Pria itu lalu menyamankan diri di dekapan yang lebih tinggi. Kepalanya diletakkan di bawah dagu Chanyeol. "Apakah aku terasa hangat?" tanyanya.

Chanyeol mendesah, ia memutar matanya dan bingung. Pada akhirnya ia menjawab, "Ya. kau terasa seperti kompor." sambil tetap mengelus Baekhyun yang terlindung pakaian hangat berlapis-lapis.

"Kau juga terasa hangat… Ketika kita berada di bawah jas hujanku rasanya sangat menyenangkan…" ucap Baekhyun. Mengingatkan mereka pada pertemuan awal mereka yang masih hijau-hijau dan juga memori itu. Entah di mana sekarang jas hujan kuning Baekhyun, ia tidak tahu. Tapi meski bagaimanapun, ingatan akan sesuatu yang indah tidak akan mudah pupus dari kepala seseorang. Begitu juga halnya ia.

"…Aku telah mengembalikan kehangatan yang telah kau berikan kepadaku…"

Baekhyun berkata semakin lirih. Chanyeol yang menaruh dagunya di atas kepalanya, memejamkan mata dan meresapi. Terlebih saat Baekhyun sudah sangat lemah.

"Chanyeol-ah, aku mulai merasa mengantuk." Baekhyun berujar, matanya terpejam.

Chanyeol sedikit panik namun menyembunyikannya, "Jangan sekarang. Pesawatnya akan datang sebentar lagi…" bisiknya. "Kau harus tetap kuat."

"…"

Ia mengeratkan pelukannya berkali-kali lebih kuat hingga tubuh pria yang mungil tersembunyi di sana. "Lihat, aku melihat satu yang datang!"

"…"

"Ayolah, Baekhyun."

"…"

"Kau adalah alien. Ayolah."

Chanyeol mulai menjadi geram saat tidak kunjung melihat pesawat yang datang. Ia tiba-tiba jadi sinting, mengalahkan seluruh persepsi rasional yang selalu ia junjung—Chanyeol jadi konyol dengan memercayai olok-olok. Lagipula, mana ada UFO?

"…"

"Aku mulai melihatnya sekarang." katanya sendiri, uap napasnya tercetak jelas di udara malam yang dingin. "Pesawatnya akan sampai sebentar lagi."

Ia mendudukkan tubuh Baekhyun yang lemah ke bangku dengan hati-hati tanpa melepaskan jaketnya. Sementara Baekhyun belum tidur sebenarnya, ia hanya menundukkan kepala dalam.

"Mengapa pesawatnya tidak datang?" geramnya, "Apa mereka tidak bisa melihat tandanya?"

Baekhyun tertohok. Kata-kata Chanyeol memenuhi ruang dalam kepalanya dan ia menggigit bibirnya. Ia mencoba mengabaikan tenggorokannya yang kering dan juga suaranya yang semakin berat, diam-diam, ia menangis. "Aku tidak percaya kalau kau percaya padaku…" lirihnya. "Bodoh…"


3600


3600

3000-1500 = 1500

3600

Chanyeol memutuskan mengambil alternatif lain untuk menghibur Baekhyun. Jadi dia menuntun sepeda single-nya dan mengendarai itu memutari lingkaran utama. Lampu kecil di belakang sadel sepeda menyala-nyala. Membuat pemandangan kontras antara pekat malam.

Saat ia memutari itu, di kepalanya hanya ada Baekhyun. Sudah dua putaran ia lewati dan matanya memaku Baekhyun yang tertunduk dengan rambut menutup wajahnya (Chanyeol baru sadar jika rambut Baekhyun sudah sepanjang itu).

"Baekhyun-ah?" panggilnya pelan sambil tetap mengayuh. Baekhyun mengangkat kepalanya, menghadirkan sebuah senyum rapuh di balik wajahnya yang pucat.

Chanyeol pun tersenyum dan tak lama mulai menunduk. Memfokuskan matanya menghadap tanah seraya mencegah sebuah isakan agar tidak benar-benar lolos dari mulutnya.

Ia tetap seperti itu sampai sudah duapuluh putaran lewat. Chanyeol tersenyum, memaksa senyum yang terlihat kuat di depan kekasihnya. "Baekhyun-ah?" panggilnya lagi. Baekhyun tersenyum, aliran air di pipinya makin menderas karena ia tahu waktunya tidak akan lama lagi. Chanyeol mengayuh sepedanya menambah kecepatan sedikit-sedikit. Ia menghalau pandangannya, melihat Baekhyun menangis seperti itu membuat ia tidak tahan untuk tidak ikut. Pada akhirnya Chanyeol mengalah, membiarkan isakan tersebut lolos bersamaan setitik bening jatuh ke bawah. Ia menahan punggung tangannya di ujung hidung, napasnya mulai susah seiring tangisannya yang menjelas.

Baekhyun yang duduk di kursi taman itu juga.

Chanyeol mengangkat wajahnya, "Baekhyun-ah, ingat ini?" tanyanya. Dan ia mulai bernyanyi:

"The Turtle Crane

Scholar Chichi Wolly…" suaranya serak. Segala emosi bercampur satu dalam nada nyanyiannya, membuat sumbang. Tapi itu tidak berarti banyak bagi keduanya, airmatanya tidak juga mau berhenti.

"Setelah itu apa?" tanya Chanyeol, agak berbohong jika ia lupa karena nyatanya, tidak ada satupun kenangan bersama Baekhyun yang pernah ia lupakan.

Baekhyun mengambil napas dan menahan isakannya jatuh lebih jauh, "Frida Kang…"

"Frida Kang…

Methuselah Cloudy…"

"Hiks…"

"Hurricane Wall

Cat Dog and Dolly…"

Pada akhirnya, tembang tersebut selesai tanpa rumpang. Chanyeol berhasil menyelesaikannya meski banyak tersedak di tengah-tengah lagu. Kayuhan di sepedanya terhenti bersama ia menundukkan kepalanya.

Semuanya lebur. Semua. Rasa cinta juga harapannya bersama Baekhyun. Saat itu adalah saat saat paling manis dalam diri Chanyeol, namun jauh di dalam hatinya, saat itu juga adalah saat yang paling menyakitkan. Dan walaupun Chanyeol berusaha menghalau binernya mengeluarkan airmata, dan walaupun alunan musik malam terus berdentum seiring dengan keheningan di antara mereka, ia bisa mendengar suara tangis Baekhyun.

"Baekhyun-ah, aku mencintaimu…"

Mengambil beberapa detik sebelum Baekhyun tergerak dan meresponnya, "Maafkan aku..."

"Aku mencintaimu…"

"Maafkan aku…"

"Aku mencintaimu…" kata Chanyeol. Dan walau berulang-ulang Baekhyun akan mengatakan ia minta maaf, Chanyeol tetap akan gigih mengulang kata cintanya. Aku mencintamu, tanpa rasa sesal sedikitpun.

Baekhyun terisak hebat, seluruh wajahnya basah oleh airmatanya sendiri. Membuatnya kepayahan, "Aku benar-benar minta maaf…"

Chanyeol menundukkan kepalanya, membiarkan matanya juga menangis hebat. Berbarengan dengan Baekhyun meneruskan kalimatnya. Cenderung retorik, "Apa yang harus kulakukan padamu, Chanyeol-ah?"

Mereka terbenam dalam isakan masing-masing tanpa tahu bagaimana cara untuk sekedar menghentikan tangisan yang kelamaan deras. Chanyeol juga tidak tahu mengapa ia yang kuat bisa mendadak bisa menjadi sosok yang lain jika dengan Baekhyun. Hati mereka terhubung, sangat kuat.

Beberapa saat kemudian terdengar dencing lonceng, lampu-lampu yang terpasang di patok lingkaran tanaman itu berkelap-kelip. Menarik perhatian dua pria itu. Mereka menengadah—


3600


3600

1500-1500 = -

1500+2100 = 3600

3600

—Chanyeol tidak tahu sejak kapan Baekhyun berjarak lima meter darinya. Yang jelas, cahaya yang mengitari Baekhyun terasa begitu menyilaukan, menusuk lensa matanya. Dirinya dibuat bingung mengapa Baekhyun bisa berdiri di lingkaran penuh cahaya terang tersebut seolah baik-baik saja.

Pesawat itu benar-benar datang menjemput Baekhyun.

"Baekhyun-ah!" panggilnya, dan ia sudah akan berlari mendekat saat Baekhyun mengangkat tangannya, "Jangan!" Membuat Chanyeol berhenti, mengurungkan niatnya. "Di depanmu adalah garis pembatasnya. Jangan melangkah lebih jauh lagi."

Chanyeol terengah-engah, "Apa kau gila? Aku tidak akan mendengarkan kata-katamu kali ini!" ucapnya. Luka dan kesakitan seolah tergambar jelas di sana.

Baekhyun mengerjap—entah mengapa, "Jika kau memaksa melihatku, kau akan buta!"

Chanyeol diam saja. Dadanya turun naik seiring kesadarannya yang timbul tenggelam. Baekhyun yang tadi (beberapa waktu lalu) akan dapat dijangkaunya, tiba-tiba kembali menciptakan pembatas. Tangannya mengepal erat dan ia tidak terlalu peduli lagi dengan airmata.

"Chanyeol… Kumohon…" bisik Baekhyun lembut di tempatnya.

Saat itu seperti kaca utuh yang dilempar sembarang arah menjadi rusak berkeping, seperti itulah Chanyeol. Ia menunduk, merasa kalah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tangisannya tidak hanya bergema dalam dada melainkan dikeluarkan. Tapi, biasanya kelegaan akan mampir dan untuk saat ini—tidak. Dengan berat hati, Chanyeol terpaksa membalik badannya. Sesuai permintaan Baekhyun. Bahunya bergetar turun naik dan ia tidak tahu maksud Baekhyun.

"Jika aku pergi Jangan pernah menungguku untuk datang kembali…"

Chanyeol memejamkan matanya erat. Perkataan Baekhyun bagaikan panah yang menancap tepat di ulu hati dan menyakitkan. Ia mengambil napas dalam-dalam, "Tidak akan…" ucapnya, "kau sakit ketika berada di sini." Kata-katanya terpatah-patah.

Baekhyun tersenyum lembut— "Aku harus pergi…"

Chanyeol tidak tahan lagi, ia membalik badannya, "Baekhyun-ah," Namun sebelum tekadnya tercapai penuh, Baekhyun berteriak sambil tetap terisak, "JANGAN MELIHAT KE BELAKANG!"

"…"

"Jika kau melihatku… Aku tidak akan bisa pergi."

Ada merah menyeruak saat ego mengisi relung Chanyeol. Ia ingin Baekhyun di sini. Ia ingin mereka tetap bersama. Dan ia ingin menahan Baekhyun supaya jangan pergi…

…tapi ia tidak bisa.

"Selamat tinggal…" merupakan kata-kata Baekhyun untuk terakhir kalinya yang bisa Chanyeol dengar. Suara itu masih sama lembut dan Chanyeol tahu, ia pasti akan merindukan suara tersebut dan juga pemiliknya.

Butir airmatanya terhempas kasar menuruni kontur wajah dan dagunya. Dan Chanyeol tidak tahu harus melakukan apa selain menangis. Ia tahu ia mungkin tergolong pria cengeng saat ini namun ia tidak mau peduli. Perpisahan dengan Baekhyun tidak pernah seindah ini.

Siluet tegap itu tetap gemetar bahkan ketika cahaya yang berasal dari UFO tersebut redup dan menyisakan kelam. Sepedanya tergeletak, seolah menjadi saksi bisu antara pertemuan terakhir Chanyeol dan Baekhyun.


Daun-daun ek tengah terserak dan terhempas angin pagi. Dingin menusuk, meski itu telah masuk hitungan musim gugur. Kini dengan gerakan terlampau semangat, seorang anak laki-laki menghambur keluar dari dalam salah satu Vihara tua itu dengan sebelumnya mendorong pintu kayunya.

Anak itu tersenyum dengan cerah seakan mentari menyambut tanpa beban. Ia memakai sepatu merah mencoloknya dengan cepat. Sedang dari arah depan ada biksu tua bersahaja menapaki halaman depan, mondar-mandir dengan agak linglung sebelum akhirnya menghampiri si anak seraya menatap dengan selidik.

Biksu itu terlihat kebingungan sampai si anak berjas hujan kuning menengadahkan kepala dan memberinya satu senyuman pembuka hari. Cerah sekali.

"Jangan khawatir, Pendeta. Aku sudah punya rencana," katanya. Ia menepuk dadanya, jas kuning tersebut melekat dengan kebanggaan, "Ini akan melindungi anak-anak lain dariku,"

Biksu itu lalu dibuat bingung saat si anak merogoh kantung jas hujannya, "Apa itu?"

"Bukankah dia menakutkan?" Anak itu bertanya balik, sebelumnya meletakkan seekor kadal kecil di jas hujannya. "Dia akan menakut-nakuti para guru. Mereka tidak akan mendekatiku,"

Sang biksu tersenyum bijak.

Anak itu berlari kecil, membalikkan badan, kemudian melambai dengan gerakan khas. Sang biksu membalas lewat senyum kecil ketika mengerti akan isyaratnya.


3600


3600

4-3 = 1

1x1 = 3600

60x60 = 3600

3600 = 3600

3600

Chan Yeol & Baek Hyun

Kini sudah sepuluh tahun berselang. Semenjak hari itu, Chanyeol sadar ia harus menjalani hidupnya dengan lebih berwarna. Ia menjadi berkali lipat lebih tekun dan rajin. Tidak ada waktu yang ia buang percuma. Bahkan kini, ia menjadi koki handal di restoran keluarganya. Pagi hari hingga sore ia akan bekerja sebagai teller dan malamnya, ia mengandalkan keterampilannya membuat sushi untuk bantu-bantu Yoochun, ayahnya.

Dan ya, restoran tersebut telah lebih maju ketimbang tahun-tahun lalu berkatnya. Dengan merundingkan sebentar, Yoochun setuju jika restorannya diganti nama menjadi Chan – Hyun, inisial anaknya dengan Baekhyun. Ia bahkan membuat menu spesial yang dinamakan Baekki. (Mengambil dari tatanan sushi yang dulu pernah Baekhyun nikmati.)

Saat itu masuk musim salju. Desember awal, dan orang-orang menjadi lebih sering berkunjung ke mari.

Denting lonceng terdengar, sepasang muda-mudi—yang rautnya sangat bahagia—masuk dan segera disambut Chanyeol. Ia tersenyum. Tiba-tiba ingat dia.

Baekhyun, dengan jas hujan kuningnya dan kebohongan putihnya. Dan Chanyeol, yang selalu percaya dengan setiap perkataannya. Waktu kebersamaan mereka yang sedikit, kini menjadi kenangan.

Orang-orang mungkin tidak memercayainya, tapi Baekhyun memang benar-benar berasal dari luar angkasa. Dan dia… telah kembali ke tempat kelahirannya.

Dan setiap kali Chanyeol merasa sedikit sedih, ia akan melihat meja kosong yang disediakan khusus untuk kekasihnya. Saat Chanyeol melihatnya, ia teringat dengan senyuman pria mungil yang indah.

Tapi… Ada saat-saat ketika Chanyeol berharap dapat memutar kembali jarum jam dan meniadakan semua kesedihan di sana… Namun perasaannya mengatakan bahwa kalau ia sampai melakukannya, saat yang menyenangkan itu juga akan ikut hilang bersamaan dengan leburnya harapan semu untuk bersua dengan keping hatinya.

Jadi Chanyeol memilih untuk menerima semua kenangan itu apa adanya. Memilih untuk menerima semuanya, membiarkannya menuntun dirinya setiap kali ia bisa. Hal itu terjadi lebih sering daripada yang disadari olehnya.

Karena cinta…

…adalah kenangan.

Meskipun Baekhyun telah pergi, hati Chanyeol masih mengingat dirinya.

Terkadang, ia membuka kembali kotak kenangannya. Berharap agar kenangan itu tetap terkunci di dalam hatinya selamanya.

Saat para pengunjung telah pergi dan restorannya sepi, Chanyeol keluar. Ia memandang sekeliling dan udara dingin langsung menghempas kulitnya yang tak terlindung apa-apa. Apron masaknya tersemat dengan kebanggaan tersendiri dan ia tersenyum. Kotak tersebut tidak cukup besar, dan tangan Chanyeol bergerak membukanya.

Ada fotonya dengan Baekhyun, tersenyum bersama-sama ke arah kamera meski berjarak cukup jauh—foto yang diambil ketika mereka tujuhbelas tahun—serta kadal-kadalan kayu yang tetap ia simpan rapih di dalamnya—pengganti Tirukaka.

Chanyeol tertegun beberapa saat lamanya.

Ia bisa merasakannya. Ia merasakan perasaan yang menggebu-gebu. Ia merasakan saat pertama kali ia melihat Baekhyun si anak kecil berjas hujan.

Salju pertama merintik lemah. Baekhyun pasti telah mengirimkannya sebuah tanda. Dan Chanyeol tahu… ia harus membalasnya.


—Owarimashitta—