Drap.

Drap.

Drap.

"Celaka, jangan sampai dia lepas!" sekelompok prajurit berlari mengejar sesosok figur yang melesat kencang. Barrier sihir maupun pintu besi tak bisa menghentikan sosok itu. Para prajurit yang jumlah dan skill-nya diatas rata-rata bahkan tidak bisa melumpuhkannya, walau hanya sesaat. Mereka kewalahan, lelah berlari mengejar sosok gesit itu dalam waktu kurang lebih lima belas menit.

Mereka semakin panik ketika sosok berbaju kemeja putih itu semakin dekat dengan sebuah gerbang menuju balkon yang hanya ditutupi sel besi. Mereka yakin kalau sel itu tidak mungkin bisa menghentikan si buronan, dan nantinya sel besi itu hanya akan rusak dan menambah kerugian mereka saja.

"GYAOOH!" dan akhirnya, prajurit dari garis depan pun datang membawa dua makhluk hitam besar.

"Cukup sampai disana, Xaiphos putih!" geram salah satu dari prajurit yang berdiri di luar sel. Mereka sebetulnya tidak ingin memakai cara ini. Tapi kalau barrier sihir dan ratusan prajurit tak mampu melumpuhkannya, apa yang mau dikata? Figur yang tengah dikejar tidak menampakan reaksi yang bearti, minimal terkejut pun tidak.

Auranya terlihat dingin, atau bahkan ia tidak keberatan untuk berhadapan dengan kedua makhluk setinggi tiga meter dan buruk rupa yang dibawa oleh musuhnya. "Ceh, tidak takut rupanya. Oi, lepaskan segelnya!" perintah ketua dari prajurit garis depan. Dan bawahan pun mematuhinya.

"Veloc!"

Hyung.

Dengan satu mantra sihir saja, segel yang mengikat kedua makhluk tadi lepas seketika. Kedua makhluk buruk rupa itu semakin mengaung kencang, bahkan membuat bangunan tempat mereka berdiri sedikit bergetar. "GYAAAAAAAAHH!"

Jarak sosok yang masih berlari dengan gesit tadi tinggal lima meter dari kedua makhluk buas yang menunggunya di luar. Prajurit yang tertinggal di belakang hanya berharap-harap cemas. Figur bertubuh atletis itu mengarahkan tendangannya ke arah sel besi yang menganggu jalannya tadi, sampai ada aura biru yang menyelimuti kakinya dan―

GRAAAAAK.

WHOOOOSSH.

"UWAAA!" prajurit-prajurit garis depan yang tadi berbaris dengan indahnya langsung terhempas ke luar balkon karena angin kencang yang diciptakan figur tadi. Mereka-mereka yang masih berlari dari dalam pun melongo terkejut, prajuris senior garis depan bisa dilumpuhkan dengan tangan kosong?

"GRAAAAH!" tapi tidak untuk kedua makhluk buas yang menatap tajam ke arah sosok itu, seakan ingin memakannya hidup-hidup di tempat. Figur tadi berhenti berlari dan menatap santai ke arah dua kanibal hitam itu, dan tak perlu menunggu lama sampai ia menyeringai pelan.

"Dasar sampah," katanya, perlahan. Kemudian ia meloncat tinggi sebelum tangan-tangan monster tadi mencengkram sosoknya. Dua tangan―ah, tidak, bahkan lebih dari dua tangan untuk seekor monster hitam itu menghantam lantai balkon sampai hancur berkeping-keping.

DHUAAK.

KRAAAK.

"U-Uwaaaa!" tentu saja kehancuran―besar―itu berdampak, sampai-sampai prajurit lain yang masih berkerja dalam proses pengejaran pun kewalahan untuk terus bergerak. Belum lagi figur tadi mengeluarkan gelombang angin dahsyat dari kedua tangannya dan melemparkannya pada kedua kanibal mengerikan tadi.

DRAAAAAAAKK.

"WAAAKH!" oke, kali ini prajurit malang tadi tidak hanya kesulitan untuk berlari, bahkan puluhan dari mereka terhempas kencang karena pantulan gelombang angin tadi. Tembok-tembok bangunan retak dalam hitungan detik dan hancur seketika. Juga, kedua makhluk menyeramkan tadi berteriak kesakitan lalu lenyap.

"Ti-Tidak mungkin, ba-bahkan ia bisa memukul habis Xaiphos hitam dengan mudah..." ucap salah satu dari prajurit yang selamat dari amukan dahsyat tadi. Ia syok melihat teman-teman seprofesinya yang mati karena tertimpa puing-puing bangunan atau terlempar oleh angin kencang tadi. Tubuhnya bergetar. Seharusnya ia mengejar makhluk tadi selagi masih hidup.

Tapi kedua kakinya membisu karena menyaksikan kejadian ini. Sosok yang dikejarnya ini memang terlampau kuat. Melebihi dirinya yang masih dalam kategori prajurit pemula. Ia memandang figur tadi yang masih asyik melayang-layang di udara.

"Hah, membosankan. Seharusnya kalian mengejarku kalau sudah merasa lebih kuat dariku," katanya dengan senyum kalem nan mempesona. Tak membuang waktu, ia pun membalikan badannya dan melesat pergi.

Significance Essence

Cardfight! Vanguard fiction from © Hyucchi

Cover madeby © Hyucchi.
SO DON'T TRY TO STOLE AND MAKE IT YOURS!

Disclaimer:
Cardfight! Vanguard belong to Bushiroad, it's not our own

Genre:
Superanatural, Fantasy, Romance, Horror, Angst, Adventure, Crime.

Main Pairing:
Kai x Aichi

Rating:
T+ (for violence, horror, and angsty)

WARNING(!):
AU (alternative universe) story, karakter OOC, cerita sesuka fantasi author, misstypo beredar seperti tawon tanpa sarang, penulisan tidak sesuai dengan EYD, shounen-ai, romansa bukan rating utama, ReverseKai mode later, beberapa karakter menggunakan kartu Vanguard (ex: Ezel, Beaumains, etcs), characters death, bloody scene, and all.

DON'T LIKE DON'T READ!
We're already told you before!

Enjoy the fiction~

.

.

ᴲᶳᶳᶟᶯᶜᶟ₁ When He Found The Stranger World

TRANG.

TRANG.

"Emneda Bioc!" pemuda bersurai brunet merapalkan mantra sampai tangan kanannya diselimuti aura-aura putih, kemudian dihempaskannya ke beberapa kanibal hitam yang berlari ke arahnya. Dan tak perlu menunggu lama sampai kanibal itu terhempas kuat―

BRAAKK.

WHOOSH.

"GRAAAAAHH!"

―kemudian lenyap dalam hitungan detik. Tapi sayangnya hal itu tidak menghentikan aksi si pemuda karena masih banyak kanibal hitam yang menanti. "Ceh, sebenarnya hutan apa ini? Isinya hanya sampah hitam," katanya sinis. Ia berlari semakin masuk ke dalam hutan sejak berhasil lolos dari penjara tadi.

"GYAAAOHH!"

Nah, 'kan, seperti apa yang tadi dikatakan, masih banyak makhluk mengerikan lainnya sepanjang perjalannya untuk melarikan diri. Bentuk mereka bahkan terlalu kreatif untuk diukur sebagai monster. Ada yang matanya sembilan, ada yang tulang rusuknya keluar dari permukaan kulitnya, atau bahkan yang kakinya berbentuk seperti tangan. Satu hal yang sama―

"Emneda Bioc!"

BWOOSH.

Mereka sama-sama hitam, dan sama-sama kalah hanya sekali tebasan sihir angin dari pemuda tadi. Manik emerald-nya melihat ke sekitar dengan tajam, memastikan kalau tidak ada makhluk hitam lainnya yang menyerang. Ia melompat dari dahan pohon besar ke dahan lainnya dengan cepat. Kalau tidak, mungkin ia akan kembali diburon oleh―

"Silence Silk, sampai kapan organisasi menyebalkan itu terus mengejarku?" guman sosok berumur delapan belas tahun ini tak berhenti melompat dari dahan-dahan pohon. Sekalipun ia sudah mengantuk, tapi ia tetap tidak lengah. Ia tahu kalau makhluk hitam tadi tidak hanya berjumlah seratus, atau mungkin tidak bisa terhitung lagi.

Ia lelah menghancurkan mereka.

Yang seharusnya sederajat dengan dirinya. Setiap kali bertemu, mereka pasti akan mencoba untuk menyerang―dan bahkan ingin memakan figur tersebut. Tapi entah mereka yang terlalu lemah atau bagaimana, sampai sekarang pun ia masih sanggup untuk memukul habis semuanya dengan mudah. Tapi jumlah mereka, membuat pemuda ini kelelahan sendiri. Sampai kapan makhluk mengerikan itu habis dari dunia?

Tapi sekalipun wujud mereka berbeda derastis, intinya mereka sama-sama...

Sebuah Xaiphos.

Ṧᵢᵍᶮᶖᶠᵢᵓᵃᶮᵉ Ḛᶳᶳᶒᶮᵓᵋ

Year 2278.

"Ja-Jadi begini, aku mengusulkan kalau festival sekolah nanti bertemakan tentang dunia sihir. Jadi dari bentuk dekorasi dan struktur kostum memiliki unsur tentang sihir. Berhubung fantasi sihir sedang tenar-tenarnya, pasti festival sekolah kita akan diminati banyak pengunjung," kata salah satu dari pengikut rapat Osis mengenai festival sekolah mereka. Begitu ia selesai berbicara, ia tidak langsung duduk di kursinya. Banyak panitia Osis lainnya yang berbisik-bisik, minimal di wajah mereka terpampang raut wajah tertarik.

"Anu, aku sangat setuju dengan ide Sendou-kun. Di festival sekolah sebelumnya kita hanya memakai tema yang mudah, jadi terlihat umum dan biasa-biasa saja. Pengunjung dari luar sekolah pun tidak banyak. Tapi kalau memakai tema sihir, sepertinya pengunjung akan merasakan sesuatu yang tidak biasa," salah satu dari panitia Osis yang duduk pun berkomentar.

"Iya, aku juga setuju. Kalau hanya bermodal Maid-cafe, semua festival sekolah juga bisa melakukannya. Itu sudah terlalu umum. Lalu festival sekolah kita pernah dibantai habis oleh festival sekolah sebelah yang membuka ide membuat Wedding Photo Studio. Sekali-sekali kita memakai ide yang fantastik seperti idenya Sendou-kun, bukan?" sahut lainnya lagi. Sementara panitia lainnya yang tidak membuka suara pun sepertinya ikut mengiyakan.

"Kau boleh duduk, Sendou-kun," ucap sang ketua Osis. Pemuda bermarga Sendou tadi pun mengangguk pelan dan duduk kembali di kursinya. "Aku mengerti dengan kemauan kalian. Aku pun tertarik dengan idenya Sendou-kun, tapi kalau bertema sihir, otomatis kita memerlukan designer dekorasi yang pintar untuk semuanya, bukan?" katanya dengan raut wajah bingung.

Oh, tentu saja. Kalau dekorasi bertema mudah seperti valentine, tak perlu profesional pun pasti bisa membuatnya. Cukup bermodal tanda love-love, warna merah, coklat, semuanya langsung selesai. Sementara tema sihir butuh imajinasi yang luas bagaimana menggambarkannya.

"Tenang saja, soal itu sudah aku perhitungkan. Aku sudah membayangkan apa saja yang harus dibuat nanti. Aku hanya perlu banyak bantuan untuk menyelesaikannya dalam waktu singkat," pemuda bernama Sendou tadi kembali membuka suara. Dan perkataannya itu langsung membuat lainnya menghela nafas lega, atau bahkan ada yang menggeram semangat.

"Hm, begitu, ya. Kau memang bisa dihandalkan kalau soal imajinasi, ya," kekeh si ketua Osis tidak bermaksud menyindir. Tapi hal itu malah membuat semua peserta rapat kecuali Sendou tertawa cekikikan.

"Huahahaha, aku setuju dengan ketua! Aichi-kun memang jagonya berhayal!"

Oh, jadi nama pemuda tadi Sendou Aichi, yang membawa pencerahan di rapat Osis kali ini. Ia menggembungkan pipinya dan memasang tampang marah. "Huh, sudah kubantu mencarikan tema, kalian malah meledekku! Ini tidak adil! Awas saja kalau aku marah!" katanya mengancam. Tapi tidak satu pun dari peserta rapat lainnya yang ketakutan.

Ekspresi Sendou Aichi sama sekali tidak ada seram-seramnya, atau bahkan setara dengan wajah hamster yang ngambekan, nah, lho. "Hahaha, maaf, maaf. Oke, jadi semuanya setuju kalau tema festival sekolah kita adalah Magic? Apa ada yang keberatan?" ketua Osis kembali membuka suara.

Lainnya hening. Beberapa diantaranya menggeleng-geleng instan alias tidak keberatan sama sekali. "Oke, kalau begitu sudah diputuskan, tema festival sekolah kita yang berlangsung dua minggu lagi adalah Magic." Sepotong kalimat itu membuat seisi ruang rapat langsung bersorak gembira. Tidak ada yang perlu mereka cemaskan lagi sekarang.

"Suiko-san, buatkan poster untuk ditempelkan di papan pengumuman dan dibagikan keluar sekolah. Bidou-san, buat sebuah spanduk besar mengenai festival sekolah kita untuk ditempelkan di depan sekolah. Izaki-kun, kau yang membantu Suiko dan Bidou mendesain poster dan spanduknya nanti, tolong desain semeriah mungkin..." ketua Osis mulai membagi-bagikan tugas. Yang lainnya pun mencatat tugas mereka dengan teliti. Masing-masing peserta Osis mendapat bagiannya masing-masing, tentu saja.

Seusai mencatat tugasnya, rapat Osis pun resmi ditutup. Aichi menghela nafas lega, ia merasa sangat senang karena usulannya mengenai tema festival sekolah disambut dengan baik oleh semua anggota Osis. 'Semoga saja lainnya juga senang dengan tema ini, aku jadi tidak sabar menunggu festival sekolah berlangsung,' pikirnya.

Melamun dalam hayalannya sendiri, Aichi baru sadar kalau tinggal ia sendiri di ruang rapat. Aichi memandang ke arah pintu ruangan yang menganga ditiup angin. "E-Eh, kok aku sendirian!? Tunggu aku!" serunya gelagapan dan langsung buru-buru keluar.

Ṧᵢᵍᶮᶖᶠᵢᵓᵃᶮᵉ Ḛᶳᶳᶒᶮᵓᵋ

Aichi membawa nampan makannya menjauh dari tempat pemesanan makan. Ia melirik-lirik ke arah meja-meja makan yang berderet di ruangan itu. 'Wah, hampir semuanya penuh, tidak mungkin 'kan aku bergabung dengan meja makan kakak kelas dengan pedenya...' katanya bingung. Sial, ia telat di jam istirahat karena ada rapat Osis tadi. Ia jadi kesulitan untuk mendapat tempat duduk.

"Aichi-kun! Aichi-kun!" Pemuda bersurai biru sebatas bahu itu menghentikan acara cari tempat duduknya. Ia menoleh ke sumber suara yang begitu familiar baginya. "Duduk denganku saja!" katanya dengan senyum ceria, seperti sudah bisa membaca situasi kalau Aichi sedang mencari tempat duduk saja.

Aichi tersenyum riang. "Kenji-kun!" serunya lalu langsung menghampiri meja dimana Kenji duduk, meja yang biasanya diduduki oleh murid yang sedang pacaran, karena hanya untuk dua orang. Aichi pun meletakan nampan makannya dan duduk berhadapan dengan pemuda bermanik perak itu.

"Kukira rapatmu akan lebih lama sampai melewati jam istirahat, lho," ucap Kenji seraya menuangkan saus mayones ke makanannya. Aichi menggeleng tatkala selesai menuangkan saus sambal di piring plastik kecil.

"Tidak, setelah aku memberikan ide bagus untuk tema festival sekolah kali ini," Aichi tersenyum senang mengingat idenya tadi disambut baik oleh semua peserta rapat. Ia merasa dirinya berguna sebagai Osis setidaknya. Kenji memiringkan kepalanya.

"Oh, ya? Aku jadi penasaran, apa temanya?"

Aichi menggeleng menolak untuk memberi tahu. Kenji sedikit cemberut, lalu ia menyumpit sepotong daging dan mulai memakannya. "Kalau kuberi tahu, nanti bukan kejutan lagi, dong, Kenji-kun," tambah Aichi sembari menggoyang-goyangkan sumpit makannya di depan sahabat baiknya itu.

"Euhm, ayolah. Aku 'kan teman baikmu, masa kau merahasiakannya dariku? Lagipula aku bukan mulut ember seperti Morikawa-kun, aku tidak akan memberitahu siapa-siapa, kok," pemuda bermanik perak itu terus merajuk agar temannya mau memberi tahu. Aichi terkekeh dalam makannya, untungnya ia tidak tersedak karena itu.

"Hehe, bagaimana, ya," Aichi menatap ke langit pura-pura menimbang keinginan Kenji. "Baiklah, bagaimana kalau kau menebaknya? Mudah sekali, kok. Clue-nya, tema itu ada hubungannya dengan hobi dan minatku," bukannya memberi tahu, kini Aichi malah mengajak temannya main tebak-tebakan sambil makan.

Tapi Kenji tidak keberatan, ia mulai berpikir sambil mengunyah makanannya. "Hm... apa, ya..." pemuda yang postur tubuhnya lebih besar dari Aichi itu terus berpikir penuh penghayatan. Sampai otaknya tertuju pada suatu kata, dan seketika ia menatap Aichi dengan ragu-ragu.

Pemuda bersurai biru itu terkekeh seraya mengunyah makanannya. "Tema yang kau maksud... bukan sihir, 'kan?" tanya Kenji pelan.

Aichi justru mengangguk senang. "Ahahaha, kau memang temanku yang paling baik, Kenji-kun! Kuberi 100 poin untukmu, deh," jawab Aichi dengan bahagia, Kenji sampai tersedak karenanya.

"Uhuk uhuk!"

"EH!?" Aichi panik seketika. Ia segera mengambil gelas minum Kenji dan memberikannya. "Makannya pelan-pelan, dong," nasehatnya dengan nada khawatir.

Glek.

Glek.

"Ini gara-gara kamu tahu..." keluh Kenji perlahan setelah meminum minumannya sampai habis. Aichi tertawa lagi. Padahal ia sedikit berharap kalau temannya akan senang dengan idenya itu. Pemuda berambut keemasan itu mengelus lehernya perlahan.

"Haah, dasar anak sihir. Aku tidak percaya kalau kau akan menggunakan sihir untuk tema festival sekolah. Apa anggota Osis lainnya tidak merasa aneh denganmu?" ledek Kenji, hitung-hitung membalas balik karena tadi Aichi sudah membuatnya kesedak.

"Hu─uh, tentu saja tidak! Kau saja yang daya imajinasinya kurang sampai tidak bisa merasakan sehebat apa fantasi sihir itu!" sunggut Aichi membela diri. Kenji mengangguk, walau sebetulnya tidak ingin mengiyakan perkataan Aichi. Habis seumur-umur, adu mulut dengan anak bermanik biru itu sama saja cari mati.

"Memangnya apa yang membuatmu sebegitu tertariknya dengan dunia sihir, sih? Bahkan di dunia tidak ada hal seperti itu, paling-paling yang ada sulap. Itu pun ada triknya," komentar Kenji sembari menyumpit daging makan berikutnya.

Aichi mengendikan bahunya. "Mungkin sudah hobi."

"Hanya itu?" Kenji mendesak Aichi karena terlanjur penasaran―lagi―. "Tapi kau itu sudah seperti mendarah-daging pada apapun tentang sihir, Aichi-kun. Kau bahkan tahu mitologi-mitologi dan sejarah bagaimana sihir itu ada. Otakku sampai pecah kalau mendengarmu bercerita,"

Aichi memiringkan kepalanya polos. "E-Eh? Benarkah separah itu? Aku suka dengan dunia sihir karena kakekku, kurasa ia lebih parah daripadaku. Dan otakmu tidak hanya pecah, mungkin mati kalau mendengar cerita kakekku tentang sihir," katanya sembari mengacung-acungkan telunjuknya di depan wajah Kenji.

"Kakekmu?" kemudian Kenji memutar bola matanya. "Baru kali ini aku mendengar kalau kau tertarik pada sihir karena kakekmu, lho, Aichi-kun."

"Ehehehe, memang tidak pernah kuceritakan. Berbagai buku mitologi tentang sihir dan mantra-mantra sihir pun dimiliki kakekku. Ia menyimpannya di suatu ruangan, sudah seperti perpustakaan saja. Tapi dia sangat peliit, aku tidak boleh membawa satu dari buku itu untuk kenang-kenangan!" Aichi cemberut mengingat dulu ia merengek-rengek meminta satu dari buku sihir kakeknya, tapi tidak diperbolehkan.

Kenji tertawa lebar. "Itu mungkin karena kalau kau memiliki satu, maka dunia akan hancur karena dirimu, Aichi-kun, huahahahahaha!"

"Ke-Kenji-kun jahaat!"

Ṧᵢᵍᶮᶖᶠᵢᵓᵃᶮᵉ Ḛᶳᶳᶒᶮᵓᵋ

Aichi menghela nafas dan terus cemberut. Ia bertopang dagu sambil menegak susu miliknya dengan cepat.

"Hahahahaha, Ayah ini... Kenapa tidak memberikan satu dari buku-buku koleksian anehmu itu pada Aichi-chan, sih?"

"Tentu saja, Shizuka. Dunia bisa hancur kalau ia memiliki salah satu dari buku koleksianku..."

Head shot.

Rasanya punggung Aichi tertohok sembilah pisau begitu mendengar ucapan kakeknya yang mirip persis dengan ledekan sahabatnya di sekolah tadi. Dan lagipula benar-benar good-timing, ia membicarakan kakeknya di jam istirahat sekolah, dan kemudian ia mendapati kakeknya sedang minum teh di rumahnya.

"Hu―uh, terus saja kalian memperolokku!" Aichi menggembungkan pipinya lagi, kebiasaan kalau sudah marah. Ibundanya, Shizuka, hanya tersenyum manis tatkala meletakan piring makan yang selesai ia cuci ke rak. Ia menghampiri putranya dan mengambil gelas susu yang sudah habis tadi.

"Hehehe, kami tidak memperolokmu, kok, Sayang. Masa' Ibu tega menjelek-jelekkan anak sendiri, hm?" tanya Shizuka seraya mengelus pucuk kepala anaknya penuh sayang. Aichi menghela nafas dan mengangguk kecil.

"Maaf, Okaa-san," ucap Aichi pelan. Kemudian ia menghela nafas. Ada baiknya ia mengerjakan pr di kamarnya, daripada ia terus jadi bahan ledekan oleh kakeknya itu.

Graak.

"Mau kemana, Aichi?" tanya sang kakek melihat cucunya merapikan tempat duduknya. Aichi tersenyum kecil dan menggaruk-garuk punggung kepalanya.

"Biasa, Kek. Ada pr dari sekolah," jawabnya singkat, walau tak sepenuhnya benar berhubung pr yang diberikan dikumpulkan tiga hari lagi. Aichi bisa mengerjakannya besok kalau mau. Sang kakek yang umurnya sudah lebih dari tujuh puluh tahun itu pun mengisyaratkan Aichi untuk tetap disini.

Aichi memiringkan kepalanya bingung. "Ada apa, Kek? Perlu kubelikan sesuatu?" kakeknya menggeleng. Lalu dengan kedua tangannya yang sudah keriput, ia mengambil sebuah tas yang tadinya ia bawa dari rumahnya kesini. Oh, Aichi bahkan baru sadar kalau kakeknya tidak hanya membawa diri ke rumahnya.

"Temani kakek membeli sesuatu. Aku sudah terlalu tua untuk berjalan sendiri, dan setidaknya aku ingin cucuku yang menemaniku," dan Aichi hanya bisa cengo mendengar penuturan kakeknya itu. Jadi maksudnya selagi ada cucu minta temani saja biar keren, begitu? Ha―ah, entahlah, bagi Aichi pikiran orang yang sudah lanjut usia sulit untuk dimengerti.

"Baiklah, Kakek."

Ṧᵢᵍᶮᶖᶠᵢᵓᵃᶮᵉ Ḛᶳᶳᶒᶮᵓᵋ

"Kek..."

"..."

"Kakek~,"

"..."

Aichi memanyunkan bibirnya, diantara depresi dan frustasi. Selama perjalanan, kakeknya sama sekali tak membuka suara. Bahkan tak memberitahukan kemana mereka akan pergi, atau setidaknya barang apa yang ingin dibeli kakeknya itu. Sosok tua yang masih terlihat cukup gagah tetap berjalan di depan, dan Aichi yang mengikutinya di belakang sudah seperti anak ayam yang tak mau kehilangan jejak induknya.

"Ayolah, Kakek. Katakan sesuatu, setidaknya beritahu aku kemana kakek ingin pergi," sunggut Aichi sudah seperti perempuan saja. Tapi kakeknya tetap tidak membuka suara, sampai beberapa langkah kemudian ia berhenti. Aichi pun ikut berhenti berjalan, juga memandang sekitarnya. Ia masih berada di lingkungan perumahan, kok.

"..." tidak berbicara, sang kakek menunjuk ke arah taman bermain yang sepi. Aichi memandang arah yang ditunjuk kakeknya, sebuah kursi taman. Dan sebelum Aichi berpikir kenapa, kakeknya sudah lebih dulu berjalan memasuki area taman bermain itu.

"He-Hekh, tunggu, Kakek!"

Lalu Aichi segera menyusul kakeknya, daripada sang kakek nantinya kesandung kucing lewat, otomatis Aichi yang akan disalahkan.

HYUUU.

Semilir angin lembut berhembus di sekitar taman, dan Aichi cukup menikmatinya. Entah ia yang aneh atau apa, tapi walau sudah SMU, Aichi masih tertarik dengan suasana alam yang sangat sulit ditemukan di daerah perkotaan seperti ini.

"Duduklah, Aichi."

"Heh!?" Aichi terperanjat kaget begitu mendengar suara berat kakeknya tiba-tiba. Sementara yang tadi bersuara hanya menghela nafas, arah kepalanya menunjuk ke sebuah kursi taman.

"Duduklah," ulangnya dengan nada berat khas orang lanjut usia. Aichi mengernyitkan dahinya, kenapa kakeknya bertindak aneh hari ini? Biasanya ia akan diledek habis-habisan sampai Aichi menjadi kesal sendiri. Tapi sekarang, rasanya seperti bukan kakeknya saja. Tapi Aichi tidak banyak bertingkah, ia lebih memilih untuk menurut.

"Bagus," kemudian orang tua renta itu ikut duduk di samping cucu kesayangannya, juga mengeluarkan sesuatu dari tas kecil miliknya. Lagi-lagi Aichi tidak menyadarinya kalau sang kakek membawa tas. Aichi sampai membawa dompet berjaga-jaga kalau nanti kakeknya berbelanja tanpa membawa uang.

Kakeknya mengeluarkan suatu benda yang disukai cucunya sejak dulu, dan sekarang benda itu ditunjukannya di depan Aichi. Sementara si cucu mencerna-cerna apa yang terjadi sekarang. Sampai otaknya connect, ia baru menampilkan ekspresi terkejut serupa dengan komik kuno. "ITU 'KAN―"

"Ya, ya, ini salah satu dari buku sihir yang kupunya, Aichi. Jadi tolong kontrol dirimu, aku takut dengan wajahmu yang mirip dengan muka aneh di komik-komik lama," Aichi langsung cemberut diledek begitu, sementara kakeknya langsung tertawa renyah. Tapi entah kenapa, tawa kakeknya kali ini berbeda. Samar-samar, Aichi bisa melihat raut wajah sedih dari orang lanjut usia ini.

'Kenapa? Apa buku kesayangannya rusak, lalu ia ingin bertanya padaku bagaimana membetulkannya? Tapi kalau begitu, aku punya kesempatan untuk melihat-lihat, dong? Yey, asyik!' Aichi bersorak senang dalam hatinya.

"Aichi, kau tahu. Dari semua cucu kakek, hanya kamu yang memiliki minat sama seperti kakek. Aku sangat senang melihat keantusiasanmu mengenai ilmu sihir yang harusnya menjadi bahan ledekan anak seumuranmu," sang kakek kembali membuka suara, bernostalgia sembari memandang langit sore yang berwarna jingga indah.

"Hehehe, kakek ada benarnya. Temanku sampai meledekku karena kesukaanku pada sihir. Padahal menurutku sihir itu menarik," sahut Aichi dengan polosnya. Kakeknya melihat jelas wajah naif cucu kesayangannya, lalu memejamkan matanya perlahan.

'Alangka baiknya kalau sihir hanya lelucon konyol...' batinnya berkata demikian. Lalu ia tertawa miris membuat cucunya kebingungan. Ia pandangi sampul buku yang sudah termakan usia itu.

"Kau memang cucu yang sangat kusayang, Aichi..."

Deg.

Aichi merasa denyut sakit di hatinya mendengar itu. Padahal tak pernah terlintas di pikirannya kalau sang kakek menyayanginya, Aichi justru sedikit kesal setiap kali sang kakek mengejek dirinya hampir di setiap pertemuan. Tapi sepotong kalimat itu begitu bermakna, Aichi merasa kakeknya akan pergi jauh setelah mengucapkan kata itu.

"Ka-Kakek..." Aichi menatap kakeknya dengan wajah sedih. Rupanya anak ini memiliki indera perasa yang kuat. Sampai-sampai sepotong kalimat saja mampu dimengerti olehnya sampai ke dalam hati.

"Aichi, sejak dulu kau menginginkan salah satu dari buku koleksianku, bukan?" pertanyaan itu dijawab dengan anggukan polos dari Aichi, "Kalau begitu, bawalah buku ini besertamu. Kakek sudah terlalu tua untuk memilikinya,"

Dengan sedikit bergemetar, kedua tangan Aichi terulur untuk mengambil buku tua yang disodorkan kakeknya untuk Aichi. Tapi, rasa bersalah terus menyelimuti hatinya. Ia menjadi tak kuasa untuk menerimanya, padahal itu barang yang begitu diinginkannya sejak lama. Aichi menarik tangannya lagi membuat kakeknya kebingungan.

"Kenapa, Aichi? Kau tidak mau?" sang kakek tampak kebingungan. Ia mengira Aichi akan menerimanya dengan efek screentone dan wajah aneh komik lagi.

"Ti-Tidak, aku tidak mau menerimanya kalau kakek pergi dariku," kedua bola mata kakeknya membulat seketika, "Maaf, Kek. Ta-Tapi aku merasa kalau kakek akan pergi jauh dariku setelah itu, a-aku tidak mau! Aku rela tidak memegang buku koleksian kakek lagi, selama kakek terus bersamaku!" seru Aichi lantang, dengan binaran mata yang putih dari kata dusta.

Seruan itu membuat kakeknya membeku beberapa detik, ia terpanah dengan ketulusan hati Aichi. Ia yakin tidak salah memilih orang untuk memegang buku kesayangannya ini.

JDUK.

"Adu-duh!" Aichi meringis sakit begitu kepalanya dipukul dengan buku tua yang cukup tebal bawaan kakeknya.

"Bicara apa kamu ini, kenapa anak muda tapi sudah berpikir tentang kematian, kau sungguh mengecewakanku," sunggut kakeknya sembari melipat kedua tangannya. Aichi langsung tertunduk, manik birunya hampir membendung air mata untuk sesaat.

"Maaf..."

"Aichi, aku tidak akan memberikan buku kesayanganku pada sembarang orang, kau tahu? Aku memberikannya padamu, anggap saja hadiah dariku. Aku ingin kau menjaganya baik-baik, aku percayakan buku ini padamu, Aichi," ulang kakeknya kembali menyodorkan buku itu ke hadapan cucu kebanggaannya. Dan kali ini Aichi menerimanya tanpa ragu.

"Be-Begitu," kemudian kedua mata shappire Aichi memandang sampul buku itu dengan tatapan berbinar. Sudah sejak lama ia ingin memegang satu dari buku-buku sihir koleksian kakeknya. "Aku pasti akan menjaganya baik-baik!"

"Itu baru cucu kesayanganku."

"Ta-Tapi aku ingin kakek berjanji satu hal, kakek harus datang lagi kesini untuk minum teh!" kata Aichi dengan tatapan seriusnya. Sang kakek menghela nafas, kenapa cucunya satu ini begitu keras kepala?

"Ya, ya, aku berjanji. Aku ini terlalu kuat untuk mati, Bodoh," kata kakeknya lalu membusung dada bangga.

"Janji kelingking dulu," kemudian Aichi memperlihatkan kelingking tangan kanannya, membuat sang kakek langsung gedubrak di tempat.

"Aichi, kau ini laki-laki! Kenapa masih percaya pada hal seperti itu, sih!?" omel pria tua itu rasanya ingin menjitak kepala cucunya lagi, kalau perlu ia mematahkan ranting pohon dan menggunakannya untuk memukul kepala cucunya.

"Ehehehehe, habisnya kakek 'kan suka bohong," ucap Aichi dengan polos tanpa rasa berdosa. Pria tua itu mendengus lalu bangkit berdiri dan beranjak pergi.

"E-Eh, kakek sudah mau pergi membeli sesuatu lagi?" Aichi pun ikut bangkit berdiri dan menyusul kakeknya, tapi pria tua itu langsung mengangkat tangan kanannya dan mengisyaratkan Aichi untuk tidak mengikutinya.

"Aku ingin pulang, kau merusak selerahku untuk berbelanja saja. Titip salam pada Shizuka," katanya dengan nada ketus lalu kembali melanjutkan jalannya. Aichi tidak mengejarnya, karena ia tahu kalau kakeknya akan langsung melemparnya dengan kursi taman kalau ia nekat melakukannya.

Kemudian Aichi kembali memandang sampul dari buku tua yang sudah resmi menjadi miliknya. Diantara rasa senang dan tidak percaya bercampur aduk. Ia tidak sabar untuk pulang dan membacanya.

Ṧᵢᵍᶮᶖᶠᵢᵓᵃᶮᵉ Ḛᶳᶳᶒᶮᵓᵋ

Tek.

Seorang pria lanjut usia meletakan gelas minumnya yang sudah tak berisi. Ia menghela nafas panjang. Ia pandangi pantulan wajahnya di cermin yang sudah keriput tanpa suara. Suasana ruangan itu memang hening, karena hanya ia sendiri yang tinggal. Istrinya sudah lama meninggal, dan semua buah hatinya sudah menikah dan tinggal di rumah keluarganya masing-masing.

Bosan memandang wajahnya di pantulan cermin, kini ia menatap bulan purnama yang terpampang jelas di jendela kamarnya yang begitu luas. Bulan malam ini terlihat besar. Juga murni. Ia kembali teringat detik-detik yang cukup bearti baginya tadi sore.

"Aichi..." ucapnya pelan, walau ia yakin tidak ada yang menyahut. Juga pemilik nama itu tidak berada disana. Untuk sesaat, yang ada di otaknya hanyalah sang cucu kesayangan, Sendou Aichi. Dimana ia sempat mengobrol bersamanya tadi sore, itu sudah cukup untuk pria tua ini.

"Ti-Tidak, aku tidak mau menerimanya kalau kakek pergi dariku,"

Ia tidak menyangka kalau cucunya yang begitu naif dan polos itu berkata demikian, pada dirinya yang sudah tua renta ini. Keberadaannya masih sebegitu berhargakah? Sekali lagi ia pandangi langit malam tak berbintang, hanya bergantung pada sinar bulan sebagai penerang alami.

"Maaf, Kek. Ta-Tapi aku merasa kalau kakek akan pergi jauh dariku setelah itu, a-aku tidak mau! Aku rela tidak memegang buku koleksian kakek lagi, selama kakek terus bersamaku!"

Tes.

Tes.

Tanpa sadar kalau wajah keriput yang termakan usia itu mulai dibasahi air mata. Ia menangis, tanpa isakan ataupun suara. Air matanya terus mengalir deras dari kedua kelopak matanya. Rasa sedih, rasa haru, rindu, menyesal, semuanya berkecamuk dalam hatinya.

DUUM.

Sampai akhirnya sesosok makhluk mengerikan menutupi pemandangannya. Sosok mengerikan itu bertubuh setinggi tiga meter, memiliki banyak duri di sekitar tubuhnya, dan juga bergigi tajam dan besar. Mata merahnya berkilat tajam memandangi sosok tua di hadapannya. Kakek itu tidak terkejut sama sekali, tapi air matanya tak berhenti mengalir.

Tes.

Tes.

"Akhirnya kau datang juga, Xaiphos hitam," katanya dengan suara gemetar. Walau ia tak yakin makhluk mengerikan itu akan mengerti perkataannya. Kanibal itu membungkuk dan masuk ke dalam ruangan yang tak terlalu luas. Ia menggeram.

"GRRRR..."

GREP.

"Ukh!" sosok tua itu mengerang kesakitan saat tubuh rentahnya dicengkram kuat oleh kedua tangan monster itu. Dan parahnya lagi, di telapak kedua tangan monster itu juga memiliki duri, otomatis duri-duri itu menusuk tubuh tua tadi saat dicengkram. Darah segar termuntahkan olehnya, bahkan tak sedikit darah yang mulai mengalir dari tubuhnya, merembes sampai membasahi ruangan.

'A... Aichi...'

"Ta-Tapi aku ingin kakek berjanji satu hal, kakek harus datang lagi kesini untuk minum teh!"

Persetan dengan bayang-bayang wajah Aichi yang mulai terkenang di depan matanya, ia tak ingin mati sebelum mengatakan suatu hal pada cucu kesayangannya itu.

"Ehehehehe, habisnya kakek 'kan suka bohong,"

'Maafkan kakekmu, Aichi. Kakek memang tidak pandai berkata jujur,' batin sang kakek berkata demikian. Ia tersenyum dan terus berlinang air mata, sampai tubuhnya ditelan hidup-hidup oleh kanibal besar tadi dengan beringasnya.

.

.

.

Significance Essense

"If you touch the second world, don't try to escape from them..."

To Be Continued...

.

.

A/N: Hai, semuanya! Terima kasih sudah membaca karya multichapter terbaru kami berjudul Significance Essence. Bagi yang masih bertanya-tanya kenapa fiksi berjudul Ketika Harus Memilih Diantara Dua Seme dan Necroxirmus discontinued, kalian boleh melihat wall facebook Gane apa yang terjadi, atau bertanya-tanya kepada beberapa pembaca yang sudah tahu kabar ini, gomenasai.

Sebagai gantinya, kami membuat karya multichapter berikutnya. Fiksi Significance Essence ini menang polling dari kedua fiksi yang akan kami buat, terima kasih bagi yang sudah memberi voting! XDD

Sebenarnya Gane sedikit deg-degan juga membuat karya ini, soalnya karya ini benar-benar berbeda dari yang selama ini coba ia buat. Maklum, ide cerita bermula dari Saki, hehehehe. Kami ingin mencoba menggambarkan fiksi bergenre action yang mengkombinasikan banyak genre lainnya. Semoga saja pendeskripsian bagian action-nya sudah cukup baik.

Karena cerita ini full author imagination alias tidak ada hubungannya sama fakta-fakta dunia nyata yang berlaku sekarang, maka jangan sungkan untuk bertanya hal-hal yang kurang kalian pahami. Kami pun akan selalu memberi informasi di setiap episode-nya di bagian Information Fiction dan Biodata Character (tidak ada hubungan dengan karakter asli di anime-nya) untuk memenuhi keinginan pembaca, hehehehe.

Information Fiction:
1. Setiap mantra sihir ataupun jurus yang dipakai di dunia sihir selalu berakhir dengan huruf 'c' yang bisa dibaca sebagai 's'. Contoh: Emneda Bioc dibaca Emneda Bios.

Biodata Character:
1. Sendou Aichi
Umur: 16 tahun.
Kota Tinggal: Tokyo.
Hobi: Mengoleksi film sihir dan superanatural, mencicipi cemilan baru, membagi permen ke teman-temannya, mendengar musik klasik.
Jenis: Manusia.
Kelebihan: Mudah berinteraksi dengan orang asing, ramah kepada siapa saja, selalu optimis dan lembut pada siapa pun.
Kelemahan: Fisiknya lemah untuk bertarung, takut serangga, cepat percaya bahkan pada orang asing.

Review, onegai?
Saran dan kritik sangat diperlukan untuk meng-improve skill penulisan kami.
Maaf mengenai misstypo.
Wait for next chapter, okay? *giggle*

Sincerely,
HYUCCHI (Saki & Gane)