Cerita sebelumnya :

Hinata menikmati hembusan nafas yang ia rasakan di lehernya, kehangatan yang memancar dari tubuh pria itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Malam ini tak terasa begitu kelam dan senyu seperti malam-malam yang ia lewati sebelumnya, dengan keberadaan pria itu di sampingnya. ada seseorang yang seolah mampu membuat suara-suara di malam hari tidak begitu menakutkan. Jadi tidak ada ruginya melewatkan semalam lagi bersama pria itu.

"Bisakah aku menerima kehadiran pria ini?" batin Hinata sebelum ia memutuskan untuk menutup mata dan terlelap.

Hinata terlelap dalam pelukan Sasuke dan dengan hati yang menghangat.

Declaimer : Masashi Kishimoto

Warning : AU, OC dan OOC banget, terutama Sasuke hahahaha

Rate : M di bawah 18 tahun, pergi! Jangan kemari...

Pairing : selalu Sasuke dan Hinata

Experience of Love

Pagi itu mentari bersinar cukup cerah, Hinata memilih mengevaluasi tindakannya. Apa yang dianggapnya wajar semalam terkesan tidak baik pada pagi harinya. Hari ini ia harus berangkat ke sekolah beraktifitas seperti biasanya, setelah mandi dan berganti pakaian, bergegas ia memoleskan sedikit bedak dan pelembab bibir untuk melindungi kulit dari paparan sinar matahari.

Ia bingung dengan tindakannya, mengapa ia mengijinkan pria itu tidur seranjang dengannya? dan ketika bayi itu banyak bergerak, Hinata gelisah, berusaha rileks agar bisa istirahat dengan nyaman, Sasuke langsung memeluk dan berbisik di telinganya.

"Semua akan baik-baik saja."

Tangan Sasuke mulai bergerak, berhenti di perut Hinata, lalu mengusap-usap, hal itu terasa menyenangkan bagi Hinata. Tampaknya si bayi juga menikmati belaian itu sama seperti sang ibu, sehingga tak berapa lama gerakan gelisah bayi itu berhenti, dan Hinata dapat tidur nyenyak kembali.

Setelah usai dengan persiapannya berangkat ke sekolah, Hinata sekali lagi melihat penampilannya di depan cermin, Hinata mengakui betapa menyenangkannya jika ada seseorang untuk berbagi, baik dalam keadaan suka maupun duka.

Hinata berjalan keluar kamar, dan sedikit terkejut ketika ia mendapati Sasuke sedang mengenakan apron dan menghidangkan makanan, ada natto, segelas susu, roti panggang, dan nabe.

"A...ada apa ini?"

"Harusnya kau mengucapkan ohayou," ucap Sasuke lalu mencium kening Hinata sekilas.

"Duduklah, ini sarapanmu." Lanjut Sasuke sambil menuntun Hinata dan mendudukannya di kursi.

"Tapi aku tak biasa sarapan."

"Kau harus merubah pola makanmu."

"Tap-"

"Kau terlalu keras kepala. Makan atau aku memasukan makanan itu dengan paksa ke mulutmu?"

Well ultimatum Sasuke kali ini berhasil, dengan sedikit enggan Hinata meraih sendok dan mulai memakan nabe yang tersaji di atas meja.

"Aku memasaknya tadi pagi." ujar Sasuke sambil meneguk espressonya.

"Tapi aku tidak suka kedelai."

"Kedelai bagus untuk janinmu Hinata."

"Tapi aku tak mungkin menghabiskan makanan ini semua."

Pandangan tajam Sasuke menyiratkan bahwa percuma saja berdebat dengannya. Sasuke pasti tidak akan mempedulikan protes Hinata sekarang. Dengan pasrah akhirnya Hinata mulai menyendok makanan dan memasukkan kemulutnya.

Setelah Hinata menyantap cukup banyak untuk membuat Sasuke puas, pria itu lalu keluar untuk menyalakan mesin mobil dan memastikan bagian dalam mobil cukup hangat untuk Hinata. Di pintu depan Sasuke mendapati Hinata mengenakan mantel, ia membantu Hinata mengancingkan mantel itu, memasangkan syal lalu memakaikan sarung tangan.

"Apa kau sudah merasa nyaman?"

"..." Hinata hanya mengangguk.

"Udara dingin tidak baik untuk kesehatanmu."

Sebenarnya Hinata ingin tertawa melihat tingkah Sasuke, pria bertubuh gagah dan tegap itu, masih mengenakan apron dan begitu banyak bicara. Sungguh kontras dengan sifatnya yang keras. Hah, Hinata hanya bisa menghela nafas. Sekali lagi ia harus pasrah dengan apa yang dilakukan Sasuke, protes berarti pertengkaran.

"Aku harus pergi, maaf aku masih meninggalkan peralatan makanku yang masih kotor."

"Sudahlah, nanti biar aku yang membereskannya. Bawalah mobilku, aku masih harus melakukan sesuatu pada mobilmu, dia begitu rewel." Ujar Sasuke sambil sekali lagi memastikan bahwa Hinata telah benar-benar nyaman dengan pakaian yang dikenakannya.

Nafas Sasuke menghembuskan uap ke udara pagi yang dingin, sementara cahaya matahari memantulkan kilau di rambutnya yang pekat. Hinata mendapati dirinya diam-diam menikmati perhatian yang di curahkan pria itu kepadanya. Tapi semua itu takkan berlangsung selamanya, jadi semakin cepat pria itu keluar dari kehidupannya maka akan semakin baik.

"Sasuke-san kita harus bicara,"

Sasuke tetap diam dan mengabaikan Hinata.

"Aku bersungguh-sungguh, serius." Lanjut Hinata lagi.

"Aku juga. Hati-hati mengemudi nanti ya." Ujar sasuke santai sambil menatap Hinata dan mencoba menuntun wanita itu ke mobilnya.

"Sasuke-san, berjanjilah untuk tidak membongkar isi kopermu, ku mohon."

"Aku berjanji."Sasuke mencium puncak kepala Hinata mesra. Lalu membuka mobil dan membiarkan Hinata masuk di balik kendali mobil.

"Ayo pergilah, aku tidak mau kau ngebut supaya tidak terlambat." Tambah Sasuke lagi.

Hinata melangkah pergi, meskipun tidak yakin pria itu akan menepati janjinya. Sasuke terlalu cepat menyatakan persetujuannya, dan itu membuat Hinata ragu.

.

.

.

Hari ini benar-benar sibuk. Para guru bahkan tidak sempat mengajar karena harus mempersiapkan liburan musim dingin, para siswa terlalu antusias menyambut liburan natal dan tahun baru, begitu pun dengan kelas Hinata. Mereka sedang asik menghias mug sebagai hadiah tahun baru buat ibu mereka. Hasilnya yah bisa dibilang inovatif, dan Hinata yakin para ibu pasti akan sangat menghargai pemberian dari buah hati mereka.

Saat membantu anak-anak membungkus hadiah menggunakan kertas warna-warni, Hinata terharu membayangkan suatu hari nanti ia akan menerima hadiah tahun baru dari anaknya. Hinata akan memeluk anaknya dan menyatakan hadiah itu sangat berharga baginya.

Hinata membayangkan anaknya akan memiliki mata hitam yang memancarkan kejelian dan kecerdasan. Sebal menanggapi khayalannya, Hinata buru-buru menyingkirkannya. Hal itu jelas mengingatkannya pada pria yang saat ini sedang berada di rumahnya.

Hari ini, setibanya di rumah, Hinata akan menuntut Sasuke untuk segera pergi. Saran pria itu sungguh tak masuk di akal, berpura-pura menjadi suaminya? Eh, jika Sasuke bisa bersikap seposesif ini terhadap dirinya, bagaimana jika bayinya nanti lahir?

Bayangan itu membuat Hinata berkeringat dingin. Ketakutan itu menghantuinya lagi.

Tidak, Sasuke tidak akan mengambil bayinya kan?

Bukankah kemarin pria itu sendiri yang mengatakannya?

Lalu kenapa Hinata masih bersikap paranoid begini?

Namun jika pria itu masih tetap kukuh ingin mengambil bayinya, mungkin tawar menawar adalah solusinya, walaupun bukan solusi ideal, tapi merupakan putusan terbaik yang bisa diterapkan, untuk memuaskan pria itu sekaligus membuatnya pergi dari kehidupan Hinata.

Konyol memang jika dipikir, melakukan tawar menawar dengannya? tapi tak ada salahnya mencoba bukan?

Hinata akan melakukan tawar menawar, layaknya orang dewasa beradab. Ia bisa memberitahu Sasuke bahwa pria itu diijinkan sering-sering menengok anaknya, ia takkan menghalangianaknya untuk mengenal ayahnya. Mereka akan berperilaku layaknya pasangan bercerai, Sasuke akan tetap menjadi ayah yang memiliki hak berkunjung.

Setelah semua anak selesai membungkus hadiahnya, Hinata duduk di balik meja kerja, ia mulai membuat beberapa catatan yang nantinya bisa di serahkan kepada Sasuke. konsep tentang kapan, dimana dan untuk berapa lama Sasuke boleh menemui anaknya. Untuk tahun pertama sudah pasti hal tersebut tidak bisa dilakukan terlalu sering, namun untuk tahun-tahun berikutnya frekuensi berkunjung Sasuke bisa ditingkatkan. Hinata meringis membayangkan anaknya akan pergi jauh darinya untuk tinggal bersama Sasuke sepanjang musim panas. Pria itu pasti akan memanjakan anaknya dengan berbagai hadiah, mengajaknya ketempat-tempat mewah, bagaimana jika anaknya lebih sayang kepada Sasuke dari pada dirinya?

Itu takkan terjadi, Hinata memastikan hal itu tak akan terjadi.

.

.

.

Jemari lentik Hinata mencengkeram setir dengan was-was saat ia pulang. Ada beban berat menggelayuti hatinya, konsep tentang perjanjian itu memang telah ditulisnya, namun menyerahkannya kepada Sasuke dan membuat pria itu menyetujuinya, itu adalah hal yang mencemaskan bagi Hinata.

.

Kegelisahan Hinata berubah menjadi rasa penasaran saat iya membelok masuk ke area tempat tinggalnya dan melihat beberapa kendaraan lain diparkir di jalan masuk rumahnya.

'Ada apa ini?' batin Hinata.

Saat jutaan kemungkinan terlintas di benaknya, amarah pun tiba-tiba menguasai dirinya.

Hinata menyesali kebodohannya karena terlalu percaya dengan Sasuke, sekarang apa yang sedang dilakukan pria itu di dalam sana? Hinata mengerem mobilnya, menutup pintu mobil, lalu menuju pintu depan rumah dan membukanya lebar-lebar.

Apa yang terjadi di dalam sukses membuat Hinata terkejut, rumahnya kini benar-benar berantakan.

Hinata terbelalak saat melihat seorang wanita setengah baya, dengan seragam maid dan apron membungkus bagian depan tubuhnya, sedang membawa vacuum cleaner, dan dua orang pria bertubuh kekar dan tinggi memindahkan sofa serta menggelar karpet di bawahnya. Sesaat wanita setengah baya itu menoleh dan mendapati Hinata yang berdiri di ambang pintu. Segera wanita setengah baya itu menghampirinya.

"Oh... Hyuuga-san. Saya Yukiko, saya sering melihat anda di pagi hari, ketika anda berangkat ke sekolah, sedangkan saya berjalan di ujung jalan sana untuk membeli beberapa bahan masakan." Ucap wanita setengah baya itu setelah membungkuk memberi hormat pada Hinata.

Hinata sempat tak acuh kepada wanita itu, namun karena norma kesopanan yang telah melekat di dirinya, ia tetap tersenyum dan memberikan senyuman tulus pada wanita itu. Namun tetap manik keperakannya menjelajah mencari makhluk yang telah berani mengacaukan rumah terutama kehidupannya.

"A... ah Hyuuga-san, sebaiknya anda masuk dan segera menutup pintu, agar udara dingin tidak masuk. Bukankah udara dingin tidak bagus untuk kondisi tubuh anda?"

Setelah berujar demikian si maid dengan segera meraih tas dan mantel Hinata.

"Saya akan meletakkannya di dalam, dan saya akan memanggilkan Uchiha-san." Ujar si maid lagi dan membiar kan Hinata masih terpaku tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Baru saja Hinata akan menutup pintu, tiba-tiba...

"Benarkah di sini rumah Hinata Hyuuga?" tanya seorang pemuda.

"I... iya benar, anda si-"

"Dimana aku harus meletakkan sofa dan mesin pencuci piring itu?" ujar si pemuda sambil menunjuk ke arah mobil pick up yang berisi perabotan yang di pesan entah siapa.

Hinata mengernyit, 'sofa dan mesin pencuci piring?'. Oh Kami, apa saja yang telah di lakukan 'orang' itu selama Hinata tidak ada di rumah.

"Ya, apa anda Hyuuga-san?" tanya pemuda itu kembali dan sedikit mengibas-ibaskan telapak tangannya di depan wajah Hinata.

Hinata tersentak, kembali sadar dari lamunan singkatnya.

"Hai kau, bawa masuk barang-barang itu. Dan jangan pernah menatap Hinata dengan pandangan seperti itu, sialan." Ujar Sasuke tiba-tiba berdiri di belakang Hinata sambil melipat tangannya di dada. Dan aura mencekam muncul bersama kehadirannya.

"Ah, go... gomen." Ujar si pemuda kikuk –ketakutan- lebih tepatnya.

Dengan segera pemuda itu berbalik, terlalu takut dengan aura mencekam Uchiha yang bisa melakukan apa saja pada dirinya. Lalu memanggil temannya untuk menurunkan barang dan memasukkan ke kediaman Hinata.

Sasuke tersenyum puas, begitu senang bisa mengerjai pemuda yang masih terbilang ABG itu dengan tampang dinginnya. Walau pun sebenarnya dia juga merasa terganggu jika ada laki-laki menatap Hinata dengan pandangan seolah ingin 'memakannya'.

Baiklah walau pun hamil tapi wanita Hyuuga itu tetap terlihat cantik, bahkan iya terlihat begitu sexi. Apa lagi di mata Sasuke. hah, ingin sekali ia melahap Hinata saat itu juga, di sana, di depan pintu. Mungkin akan menjadi sensasi tersendiri jika itu benar-benar terjadi.

"Kau harus menjelaskan padaku apa yang terjadi, Sasuke." seru Hinata dengan pandangan menuntut.

Sekali lagi Sasuke tersenyum, walau hanya sekilas, entah kenapa pria itu banyak tersenyum hari ini. dan itu hanya berlaku di hadapan Hinata.

"Masuklah dulu, kau tak ingin berdebat di saksikan oleh orang lain bukan? Ingat, kita sepasang suami istri, Hinata." ujar Sasuke sedikit menyeringai.

"Aku tak peduli. Aku butuh penjelasanmu sekarang."

"Akan ku jelaskan jika kau masuk, tentunya setelah kau mengganti pakaianmu."

"Kau-"

"Apa perlu aku menggendongmu menuju kamar Hime?" bisik Sasuke di telinga Hinata.

Semburat merah seketika menjalar di kulit wajah Hinata. Sial, ia tak akan pernah menang berdebat dengan pria tampan sekaligus berbahaya ini.

Suara bedebam terdengar dari ruang tengah, dengan segera Hinata berlari, kekacauan apa lagi yang terjadi di sana. Hinata menarik nafas, mencoba menenangkan diri dengan apa yang terjadi. Sebelum ia benar-benar lepas kendali dan berteriak sekeras mungkin di hadapan pria Uchiha itu.

Tatapan tajam penuh tuntutan diarahkan wanita itu kepada si pria, menuntut penjelasan atas apa yang terjadi di ruang tengah, meja, kabel, rak, buku dan beberapa alat elektronik berserakan di sana.

"Aku sudah bilang, jangan sampai merusak apapun barang Hinata di sini." omel Sasuke, melewati Hinata dan berbicara dengan dua pria yang entah mengerjakan apa.

"Uchiha-san, dimana sofa dan mesin pencuci piring itu akan di letakkan?" tiba-tiba Yukiko muncul dan bertanya pada Sasuke setelah menghampirinya.

"Aku akan ke ruang tamu, dan suruh mereka meletakkan mesin itu di dapur."

"Baik Uchiha-san" lalu wanita setengah baya itu pun pergi setelah memberi hormat saat sekilas ia melewati Hinata.

Ingin rasanya Hinata menarik rambutnya, berteriak, menuntut penjelasan, namun itu bukanlah karakter Hyuuga yang melekat pada dirinya. Oh, demi Kami, pria itu benar-benar bisa mengaduk emosinya.

Hinata menarik nafas dalam-dalam sekali lagi, sambil berusaha mengendalikan diri, kemudian bertanya dengan nada lebih pelan,

"Apa yang terjadi Sasuke-san? Siapa mereka dan apa yang sedang mereka lakukan di rumahku?"

Sasuke meraih tangan Hinata, mengelus rambutnya yang panjangnya. Jujur, Sasuke menyukai aroma rambut Hinata, warna rambutnya serta kelembutannya. Bahkan semua yang melekat pada diri wanita itu, Sasuke menyukainya. Bahkan pria itu menggilainya.

"Wanita itu Yukiko, aku merekrutnya untuk bersih-bersih dan memasak, karena aku kurang bisa melakukannya dan kau tak mungkin melakukannya, apalagi perutmu semakin membesar," ujar Sasuke tenang sambil mengelus perut Hinata.

"Lalu dua pria itu," ujar Sasuke sambil menunjuk dengan ujung jarinya, ke arah dua pria yang sedang berjongkok " Mereka menginstalasi sistem WATS, sistem berlangganan di negara maju supaya aku bisa bekerja dari rumah dan tetap bisa berhubungan dengan kantorku. Yah semacam WIFi, kau tahukan?" jelas Sasuke tentang dia pria yang tadi memasang kabel telepon itu.

"Aku berencana akan menjadi ruangan ini sebagai ruangan kerjaku Hinata." lanjut Sasuke lagi.

"Kau-"

"Jika kau ingin berkata agar aku pulang dan meninggalkan rumah ini, itu tak mungkin aku lakukan. Ah, dan orang yang kau temui di pintu tadi adalah pegawai furniture, aku memesan sofa dan alat pencuci piring. Mengingat Yukiko-san tidak akan tinggal di sini dan kau suka memasak, mungkin alat itu bisa sedikit membantumu."

"Istrirahatlah di kamar, pasti kau lelah. Aku akan segera menyelesaikan kekacauan ini Hime." Ujar Sasuke sambil menuntun Hinata ke kamar.

Well sekali lagi kejutan di dapat oleh si wanita indigo ketika tepat berada di pintu kamar. Belum sempat ia bertanya,

"Aku membeli tempat tidur baru."

"Tempat tidur baru? Untuk apa? Aku bahkan tidak membutuhkannya Sasuke-san."

"Mungkin kau tak membutuhkannya, tapi kita perlu."

Entah mengapa mendengar perkataan itu, ada rasa senang menjalari hati Hinata. Akankah kejadian seperti semalam akan terulang kembali? Pria itu akan menemani malam-malam sepinya dan menenenangkannya kala gelisah akibat ulah si jabang bayi.

"Sasuke-san, kau sudah berjanji...,"

"Aku berjanji untuk tidak membongkar isi koperku bukan? dan aku belum melakukan itu. Tadinya ku kira aku bisa menyelesaikan ini sebelum kau kembali dari sekolah. Namun nyatanya kau datang lebih awal." Keluh Sasuke sedikit menyesal.

"Istrirahatlah, kau pasti lelah untuk berdebat."

Sasuke menuntun Hinata menuju kasur, mendudukkannya, mengangkat kaki Hinata dan membaringkannya. Jari jemarinya yang terampil memijat kaki Hinata sejenak.

"Tidurlah, aku akan keluar dan membereskan semuanya." Ujar Sasuke lalu mengecup kening Hinata.

.

.

Suasana rumah sudah kembali tenang. Entah bagaimana, dalam waktu singkat Sasuke berhasil membuat segalanya beres, sementara Hinata, mungkin dia masih terlelap dalam istirahat siangnya.

.

.

.

Udara senja itu semakin dingin, Sasuke memasuki kamarnya, membenahi selimut Hinata, lalu mengecup keningnya.

"Egh..." Hinata mengerjapkan matanya.

"Gomen jika aku membangunkanmu." Ujar Sasuke menyesal.

"Su... sudah berapa lama aku tertidur?"

"Sekitar 3 jam. Sekarang sudah sore, sebaiknya kau mandi. Yukiko-san sudah pulang, aku akan menyiapkan air panas untukmu."

Baru saja Sasuke akan melangkah pergi, perkataan Hinata menghentikannya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan Sasuke-san," Ujar Hinata, lalu menurunkan kakinya dari tempat tidur.

"Kau merubah tatanan rumahku."

"Aku hanya membelikanmu tempat tidur dengan kualitas terbaik, sofa yang lebih panjang, dan mesin pencuci piring. Apa masalahnya?"

"Itu masalahnya," ujar Hinata, lalu terdiam sejenak.

"Kau takkan tinggal di sini selama itu. Dan aku tak membutuhkannya." Hinata berdiri, berjalan melintasi ruangan menuju jendela, seraya melipat tangannya di depan dada dan memeluk sikutnya. Sangat penting bagi Hinata untuk menjaga jarak sejauh mungkin antara mereka. Jika berada terlalu dekat dengan pria itu iya akan merasa sangat santai, dan jika ia merasa sangat santai maka...

"Kau harus pergi. Hari ini."ujar Hinata lagi. Ketika Sasuke tidak menanggapi ucapannya dan tetap membisu di belakangnya, Hinata menambahkan

"Aku benar-benar menghargai kepedulianmu terhadapku. Yang pasti aku tak mengharapkan itu darimu, di era seks bebas seperti sekarang. Aku tidak berharap kau peduli pada apa yang akan terjadi padaku atau anak ini. aku bertanggung jawab sepenuhnya atas kejadian di Tokyo malam itu, termasuk membesarkan anakku sendiri."

"Kau tidak adil Hinata. dia anakku juga. Meskipun belum berkeluarga, aku sangat menghormati keutuhan keluarga, adat istiadat, memiliki keturunan, dan hal-hal kuno lainnya. Persetan dengan sek bebas dan tanggung jawab. Semua tidak ada hubungannya dengan keberadaaku di sini."

Hinata menarik nafas dalam-dalam, meskipun hal itu tetap tidak membuatnya merasa lebih mudah membahas topik yang harus dibicarakan ini.

"Aku sudah memikirkan hubunganmu dengan anak ini," ujar Hinata sambil mengelus perutnya yang buncit.

"Cukup sering malah aku memikirkannya, sepertinya tidak adil jika aku mencegah anak ini untuk mengenalmu atau... atau mencegahmu mengenal anak ini. karena itu aku akan mengijinkanmu untuk berkunjung sesering mungkin. Saat anak ini semakin besar dan bisa pergi sendiri, dia boleh mengunjungimu." Hinata susah payah melontarkan kata-kata itu, hingga nyaris tercekat.

Lalu Hinata menghampiri lemari dan meraih tasnya. Membuka dan mengambil sesuatu di sana. sebuah kertas yang ia buat sebagai perjanjian diantara mereka nanti.

"Aku sudah menulis kesepakatan yang menurutku cukup adil Sasuke-san, tolong kau baca dan beri tahu aku pendapatmu, aku senang mendiskusikan hal ini denganmu." Ujar Hinata sambil menyerahkan lembaran kertas tersebut kepada Sasuke. Sasuke meraihnya, lalu Hinata kembali keposisinya semua di dekat jendela.

Hening.

Tiba-tiba Hinata mendengar suara kertas di robek dan terburu-buru menengok untuk melihat Sasuke sedang mencabik dengan rapi kertas berisi perjanjian yang telah susah payah di tulisnya.

Hinata diam, mematung, melihat apa yang Sasuke lakukan.

"Kau tidak mengerti inti permasalahannya, Hinata." Sasuke melangkah mendekatinya, seperti predator yang siap memangsa, dan mendesis seperti ular di hadapan Hinata. ia menyelipkan satu tangannya ke pinggang Hinata, menariknya supaya mendekat. Lalu tangan satunya mendarat di tengkuk Hinata, dan mendekatkan wajah wanita itu ke wajahnya.

"Intinya adalah supaya kau tak perlu repot memberiku ijin berkunjung. Bukan untuk membuatmu takut, kalau aku akan merengut anak itu dari sisimu. Sialan! Kau pikir aku monster? Apa yang telah ku perbuat hingga kau berfikir aku akan mengambilnya, hah?" ujar Sasuke geram dan dengan nafas terengah menahan amarah.

"Ka... kau pernah memanfaatkan kelemahanku."

"Mungkin kau benar," ujar Sasuke kasar.

"Aku takkan membiarkanmu melakukan hal itu lagi Uchiha-san."

Sasuke geram, ia mengatupkan rahangnya dengan keras, nafasnya memburu. Wanita itu benar-benar mencampur adukkan logikanya.

"Aku tak ingin memanfaatkanmu. Aku menginginkanmu, apa kau pikir aku bisa melupakanmu? Sialan, aku selalu melacak keberadaanmu, bahkan jika bayi itu tak ada, aku tetap menginginkanmu."

"Tapi-"

"Diamlah dan dengarkan aku!"potong Sasuke tegas, lalu mendekatkan bibir Hinata ke bibirnya. Sehingga wanita itu bisa merasakan hembusan nafasnya,

"Apa kau tidak menyadari bahwa kau berbeda? Aku tidak sedang merayumu Hinata, aku tidak bisa melupakannya, apa yang terjadi diantara kita malam itu tidak salah. Aku tak pernah menganggapnya sebagai sebuah kesalahan. Lagi pula dari kebersamaan itu telah tercipta seorang bayi. Anak kita."

"I... itu kecelakaan. Saat itu kita terjebak." Hinata berjuang menyembunyikan pergumulan batinnya, sebagian dari hatinya senang mendengarkan itu, namun setengahnya lagi masih merasa takut.

"Kita tidak sedang terjebak sekarang, tidak ada mati lampu, klaustrophonbia, sake, dan kondisi histeris, namun kenapa aku masih begitu menginginkanmu bahkan lebih dari sebelumnya?"

Sasuke membenahi posisinya sedemikian rupa, agar Hinata dapat menyadari kekuatan gairah pria itu. Bukti gairah pria itu menempel erat pada tubuhnya. Sementara bagian tubuh Hinata yang sensitif menyambut gairah itu.

"Kau menginginkanku karena bayi ini, bukan?" tanya Hinata merona.

"Reaksi ini tak ada hubungannya dengan bayi itu Hinata." ujar Sasuke lalu memposisikan kembali dirinya senyaman mungkin di tubuh Hinata.

"Sekarang berhenti berdebat, dan cium aku."

Setelah sekali lagi mengeluarkan erangan protes, Hinata akhirnya membiarkan Sasuke mempersatukan bibir mereka dengan penuh hasrat. Sasuke agak menekankan bibirnya ke bibir Hinata, mengusap bibir wanita itu dengan lidahnya hingga merekah. Ciuman tersebut menyebabkan hasrat mengalir deras ke sekujur tubuh Hinata, meruntuhkan benteng pertahanan dan penolakannya yang paling kokoh. Ia sekali lagi mulai merasa terhanyut perasaan tidak mampu melawan, perasaan pasrah sekaligus perasaan aman, yang pernah dialaminya saat berada di pelukan pria itu.

Sekali lagi wanita itu mengerang, hingga tanpa sadar ia melingkarkan lengannya di leher Sasuke, Sasuke semakin mendesakkan bibirnya.

"Ya Hinata, jangan di tahan. Percayalah padaku, mendekatlah padaku seperti yang kau lakukan malam itu."

Kecupan pria itu terasa sangat lembut di bibirnya yang membengkak. Bisikan lelaki itu terasa menggoda di telinganya, membuat tubuh Hinata bergetar penuh kerinduan. Saat tanpa di sadari Hinata mulai mendesahkan nama pria itu, Sasuke bercinta dengan lidahnya di bibir wanita itu.

"O... oh" desah Hinata.

Sementara Sasuke sibuk memagut bibir atasnya.

"Ke... kenapa kau lakukan i... ini padaku?" tanya Hinata dengan pipi memerah, ketika ciuman itu terlepas sejenak. Namun dahi serta hidung mereka masih saling bersatu.

"Karena kau sangat memesona dan menyenangkan, selain itu kau pernah menerimaku, di 'dalam' dirimu hingga sekarang kau mengandung, Hime."

"Bu... bukan itu maksudku."

"Aku tahu, tapi intinya sama saja." Ujar Sasuke, dan bibirnya membelai telinga Hinata saat ia membisikkan kalimat itu. Bahkan hembusan nafas pria itu terasa bagai belaian, Hinata mendongak untuk melihat wajah Sasuke.

Hinata masih mengenakan pakaian kerjanya, gauh berwarna putih, di depan gaun tersebut terdapat sederetan kancing mutiara. Seraya membisikkan rayuan, jemari Sasuke dengan lihai mencoba melepaskan kancing itu satu persatu.

Namun tepat ketika Sasuke menyelipkan tangannya ke balik gaun dan mulai menyentuh payudara Hinata yang di balut bra nilon itu, momen penuh romansa itu hancur dan tubuh Hinata tiba-tiba menegang.

"Ja... jangan." Protes Hinata penuh ketakutan, meski ia tidak berusaha untuk menolak.

"Hinata, tidak ada salahnya jika sepasang kekasih saling membelai." Bujukan Sasuke terdengar begitu lembut di telinganya.

"Ta... tapi ki... kita bukan sepasang kekasih."

"Kita sepasang kekasih, kau mengandung anakku dan aku sudah pernah menyentuhmu lebih dari ini." ujar Sasuke lalu mengecup lembut bibir Hinata.

"Aku ingin menyentuhmu Hinata, menyentuhmu, lebih dari ini."

"Kau tidak boleh melakukan itu." Protes Hinata tak yakin. Karena sentuhan Sasuke membuatnya nyaman.

"Aku sudah melakukannya semalam. Aku sudah pernah menciummu di sini." Sasuke mengusap-usap puncak dada Hinata, yang langsung mengeras.

"Aku pernah membelainya dengan lidahku." Bisik Sasuke lagi, sedangkan Hinata mencoba menahan erangannya nikmannya di pelukan hangat Sasuke.

"Aku hanya ingin diijinkan menyentuhmu sekarang Hime, menyentuhmu, sekarang."

Sasuke menciumi leher Hinata dengan ujung hidung dan bibirnya, dan mengusap telinga wanita itu dengan lidahnya. Sentuhan itu tidak terasa menakutkan, justru sebaliknya meredakan ketakutan di tubuh Hinata yang menegang.

Tubuh Hinata tergugah sensasi ini, wanita itu merindukan sentuhan ini, sentuhan yang dulu pernah ia rasakan, dulu, lama sekali. Sensasi samar dan kabur yang sekarang berlomba untuk muncul kembali diingatannya. Sensasi yang pernah di berikan Sasuke 'malam itu'.

Payudaranya terasa penuh dan berat, keadaan ini sama sekali bukan karena kehamilannya. Puncak dadanya menegang di balik bra seakan memohon agar Sasuke tidak menghentikan sentuhannya.

Ketika Sasuke berhasil membuka bibir Hinata dan membelai rongga mulut wanita itu dengan lidahnya, runtuhlah sisi-sisi pertahanan Hinata. Tubuh yang tadinya tegang, terbelenggu oleh perasaan ragu-ragu dan khawatir kini telah hilang, Hinata mulai larut dalam kenikmatan permainan Sasuke. Pria itu tersenyum sekilas, ia senang akan perubahan yang terjadi pada Hinata.

"Jangan pernah takut padaku, jangan pernah Hime."

Hinata merasa nyaman, ia mengangguk menjawab pernyataan Sasuke. Lalu pada saat yang sama, Hinata membuka kancing kemeja Sasuke, menyelipkan tangannya di sana dan mengalungkan lengan itu ke leher Sasuke. Hinata menempelkan erat tubuh pria itu ke tubuhnya. Wanita itu dapat mencium dengan tegas aroma maskulin dari pria yang ada di pelukannya. Hinata sama sekali tidak tahu, kenapa ia tak bisa menolak pesona pria Uchiha itu. Saat bibir Sasuke menyapu bibirnya sementara tangannya 'berkelana' di balik bra dan menyentuh kulit Hinata yang telanjang, Hinata tak ingin pria itu berhenti.

Kemudia perlahan Sasuke menjauhkan diri, tangannya menyusup lembut di dada Hinata dengan sikap posesif, sebelum membetulkan kembali bra Hinata dan mengangkat kepalanya. Sembari menatap Hinata lekat-lekat, ia mengancingkan kembali pakaian wanita itu. Sorot mata Hinata memancarkan pertanyaan yang tak terucap.

"Ini adalah proses belajar Hinata." sahut Sasuke, seolah mengerti maksud dari tatapan Hinata. lalu mengusap lembut bibir Hinata dengan ibu jarinya.

"Aku ingin kau belajar mempercayaiku, sedikit demi sedikit Hinata." Sasuke menarik nafas dalam, lalu melanjutkan ucapannya.

"Sementara bagiku dan bukti gairah di balik resleting ini adalah ujian berat." Dengus Sasuke pasrah.

"Aku tak ingin melakukan 'itu denganmu jika kau memberikannya setengah hati."

wajah Hinata telah merona, memerah, sehingga ia menunduk. Sasuke tertawa dan memeluk Hinata erat-erat, sembari mengelus rambut indigo wanita itu.

"Kau benar-benar menggemaskan, hamil hampir 7 bulan namun tingkahmu seperti belum pernah di sentuh pria." Kekeh Sasuke.

"A... aku ha... hampir lupa rasanya, Sasuke-san." Balas Hinata malu, namun mencoba memberanikan diri.

Sasuke menjauhkan tubuhnya, memaksa Hinata menatap lurus ke matanya. Jemarinya kembali menyusuri lekuk bibir wanita itu, yang masih terasa hangat dan sensitif akibat ciuman tadi.

"Kau masih ingat Hinata. Jangan membohongi dirimu."

Kamudian dengan suasana hati yang tiba-tiba berubah, Sasuke meminta Hinata mandi dan berganti pakaian.

"Sebaiknya kau mandi, aku akan menunggumu di meja makan. Yukiko-san tadi sudah menyiapkan makanan dan aku akan menghangatkannya."

.

.

.

Suasana santai itu berlanjut saat mereka menikmati makan malam bersama, hidangan malam lezat yang ditinggalkan Yukiko untuk mereka di oven. Tadi Sasuke hanya menyiapkannya di meja makan sementara Hinata mandi dan berganti pakaian. Yukiko direkrut Sasuke untuk membantu namun wanita setengah baya itu tidak tinggal bersama mereka, dia hanya akan datang di pagi hari untuk membersihkan rumah dan memasak makanan untuk mereka, dan pulang di senja hari ketika usai memasak makan malam. Setelahnya wanita itu akan pulang. Karena ia memiliki anak yang juga membutuhkannya.

"Hinata..."

"Hm?" jawab Hinata mengangkat kepalanya demi menatap Sasuke. saat ia akan memasukkan makanan ke mulutnya.

"Kapan sekolahmu libur?"

"Mengapa kau menanyakan liburan?"

"Aku hanya sedang berusaha memutuskan, kapan sebaiknya kita menikah."

TBC

Hiks setelah melewati banyak hal, akhirnya Hikari bisa melanjutkannya lagi. Spesial thanks to Renita Nee Chan dan Pororo90, kalian telah memberiku semangat dan pencerahan.

Gomen ne Hikari tidak bisa membalas ripiu kalian satu per satu karena terlalu banyak dan Hikari harus kembali berkutat dengan kesibukan di RL, tapi Hikari sudah membaca semua ripiu dari kalian. Arigatougozaimas minna.

Hontouni gomenasai...

Thank to :

Kirei-neko, dindachan06, Hinataholic, Zian, hana91, Moku-chan, Eighar alifiah, Amu B, Momo, Ay Shi Sora-chan, Hinatauchiha69, chan, Hima kusu, Chibi beary, Kin Hyuuchi, Hyou Hyouchiffer, cheesynamonst, Mint Convallaris, Dewi Natalia, dtc. Susi, Lady Violeka, Lilac, Hime no Rika, SMAN1RHLOVMHPxUztad, Katsumi, Ryuuji, lovelly Uchiha, Percy Ghazi17, Me Yuki Hina, Astia Morichan, Ahmad Hyuuga, Cho Hyung Woo, hinahime7, Renita nee-chan, Azzahra, .777, noverius 2012, RenCaggie, Nara Tobi, Altadinata, jb, ashumy, lanjut donk author, kensuchan, mochi, moe, EryukaELF, woku, Jasmine Daisyno Yuki, yukio, Pororo90, Guest, Sushimakipark, Yukiko miyuki, hana37, guest, natasia sato, .7, Risristiawati, Kireina onna, aina.

Terima kasih untuk ripiu kalian, maaf g bisa bales satu-satu.