Disclaimer is disclaimed.

Bonjour~ this is the second part! Ini yang terakhir, AHAHA. Aku seneng bisa menyalurkan pikiran ku ke FF.N. HUHU.

Warning : M chapter. Yaoi. Hm. Read on your own risk. Sexual innuendos everywhere. Frustasi!Kris. Jorok!Lu.

Personal Note : Irene, I told you not to read this fucking chapter and you still read it. Read on your damn risk.

Edit: maaf kemaren ada kesalahan teknis ;_; seharusnya ga di-publish soalnya itu masih setengah jalan AAAAA MALU BANGEEEEDDHHHH MAAFKAN AKUUUUUU

Yuliafebry : iya Luhan itu serem sekali apalagi kalau sudah menyangkut Xiumin. Beh semuanya dilindes pake ducati kalo sampe deketin baozinya. /serius

siira137 : XDDDD MAKASIIIIIH wakakaka Xiuhan di ffn sangat sedikit hal itu membuat airmataku keluar huhu karena itu aku bikin yang rate M karbitan ini huhu

Dazzlingpanda : TQ Dazz xDDD

mmillo : gapapa selama kamu review kamu ga ada kata-kata juga gapapaaaa /dilempar

AngAng13 : iya sih tapi saya lebih senang kalau kami menunjuk kesalahan sayaaa xDD iya makasih udah baca :")

Gun31 : d-doubleu tee-ef... what is that LOL I LOVE HOW YOU USED KOREAN ACCENT THAT'S FUNNEH

tiaa : kamu juga daebak :DDD

kkangji : gapapa xDD jadi tuh sebenernya birds court the bee itu slang amerika. Kan orang luar negeri suka bingung mau jelasin gimana kehidupan seks ke anak kecil, jadi mereka pake perumpamaan. Kayak, 'ibu sama ayah tidur, trus punya anak' gitu. Aduh aku ga bisa jelasinnya deh susah! xDDD

cranescort : UGH CRANESCORT-SAMA IS HERE I HAVE TO—

NO DON'T FLIP EVERYTHING PLS . Makasih udah ngasih tahu aku emang agak buru-buru pas ngepost ini :"

IYA HE'S THE EPITHOME OF PERVERTNESS I CAN NOT

makasih :" sebenernya pengen bikin yang eng. Ver tapi malas sekaliii jadi ga ada untuk sementara ini hikseu

IYA INI SUDAH DIBUATKAN~ huhu maaf kalo kurang hot ya abis jus otakku lagi abis belum diblender haha HAHA /Garing abis

P.S wai did I even add Kris HE'S NISTA

totomato : ada lanjutannya nih xDD

.

.

.

.

.

.

.

.

Luhan sudah buta. Oleh kecantikan dan kelembutan dari seorang Kim Minseok, pria menyebalkan penghancur hidup orang. Keju sekali. Cheesy sekali. Luhan tidak suka sesuatu yang berbau keju, tapi apa yang dia katakan memang benar adanya. Luhan sudah buta.

(Luhan lebih suka susu. If you know what I mean...)

Buta. Oleh cinta?

Dan, Luhan menyeringai memandang Minseok yang tengah berbalutkan udara. Nafas Minseok sudah satu-satu, dua-dua. Entah sejak kapan, baju Minseok sudah rebah diatas lantai, merana. Entah sejak kapan, dasi milik Luhan mengikatkan dirinya ke bedpost dan pergelangan tangan Minseok yang menggenggam udara. Yang Luhan tahu adalah sejak kapan Minseok jadi begini cantik, begini memikat, begini—

Menggoda.

"Luhan," Minseok memandang Luhan lurus, matanya takut bercampur keinginan yang kuat untuk... melarikan diri? Atau melemparkan diri ke pelukan Luhan?

Luhan akan menemukan alasannya nanti.

"Minseok-ssi," Luhan berkata datar, karena Luhan tahu betapa takutnya Minseok dengan nada datarnya. "Kau berdosa. Kau berdosa karena sudah membuat seorang pria menjadi begini marah, begini terangsang, begini menyedihkan..." Luhan mendekati Minseok yang mengerjapkan mata, seperti anak kelinci yang dipojokkan oleh macan yang lapar, seperti seorang perempuan cantik yang akan diterkam serigala.

You're my endearing beauty,

And I'm your wolf.

.

.

.

Credit to

The explicit scene will start now.

IRENE STOP READING.

.

.

.

"Ja—" Minseok terpotong oleh pagutan ular tepat dimulut oleh Luhan, dan lidah mereka bersatu. Saliva bertumpahan dari sudut mulut. Tangan mereka terikat bersama-sama, dan keringat berbutir-butir jagung keluar dari pelipis. Minseok menarik tangannya dari dasi Luhan dan Luhan melepas ciuman mereka. "Nu-uh," Luhan menggelengkan kepalanya. "Kau tidak akan mau pergelangan tanganmu jadi terluka dan fans tahu kita," Luhan menelusuri perut Minseok, menggoda, menggoda, "Melakukan..."

Luhan menggenggam kejantanan Minseok yang sudah memuntahi cairan putih sekali.

Nafas Minseok menajam.

Sekali lagi perlu diingatkan—Luhan sudah buta. Ketika sekali lagi tangan Luhan bekerja dengan sihirnya, memberikan dia kepuasa tiada tara. Menggigit bibirnya dengan keras, sekali dua bibirnya merekah, indah. Kepalanya meneleng dengan mata menutup nikmat, menajamkan atensi Luhan yang ada. Bibirnya terwarnai saliva transparan, terwarnai darah dibalik kulit tanpa warna milik Minseok yang luka. Minseok sudah jatuh, jatuh, ke dalam pusaran gila, kedalam lubang hitam dosa, dan tangan Luhan yang mengalahkan seluruh fantasi liarnya.

"Kau suka?" Luhan bertanya, suaranya rendah dan serak. Matanya tidak merusak kontak apapun dari wajah Minseok yang bagaikan buku cabul—yang isinya indah dan vulgar, manis tapi sensual. "Jawab aku, Minseok. Kau. Suka?" Luhan mengelus ujung kejantanan Minseok dengan jempolnya dan Minseok mendongak, mulutnya terbuka, nikmat. Nikmat sekali. Sekujur tubuhnya terasa hangat. "Ah. Ah. Su-suka." Minseok mencicit kecil, ogah-ogahan, tidak ingin berhenti menikmati sensasi adiktif tangan Luhan dan suara Luhan dan senyuman Luhan dan nafas Luhan dan—segalanya dari Luhan.

"Apa?"

"Suka...!"

"Bagus. Karena yang ini masih belum apa-apa." Luhan berhenti memberikan hand job pada Minseok, yang disahut dengan geraman kecewa dari Minseok. "Jilat." Luhan memerintah seperti alpha wolf yang belum pernah menyentuh mate-nya. Dia menyorongkan tiga jari ke mulut Minseok, dan Minseok lebih dari senang untuk melakukan perintah Luhan.

Luhan tidak bisa lagi berfikir rasional ketika kehangatan mulut Minseok membungkus tiga jarinya. Jelas, Minseok adalah bidadari yang terjatuh dari surga. Dia berdosa, dia penuh dosa. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seseorang bisa menjadi terlihat sangat polos, sangat putih, sekaligus menantang dirinya? Luhan mencintai Minseok dengan seluruh jiwa.

Luhan is no eloquent lover—he is by no mean the epithome of sugary-coated talker. Tapi dia bisa menunjukan cintanya lewat sentuhan setiap malam, setiap siang, pagi, dan sore. Dan Luhan cukup suka itu. Luhan tidak tahu lagi bagaimana caranya jika Minseok tidak lagi ingin bersatu dengannya. Luhan tidak bisa membiarkan hal itu.

"Minseok," serak Luhan. "Stop."

"Eung?" Minseok mengerjap dengan matanya yang lebar dan, tuhan, berikan Luhan kekuatan. Besok mereka ada reherseal dan Greg-seonsaengnim tidak akan suka jika salah satu main dancer EXO tiba-tiba saja 'sakit'.

Luhan menarik tiga jarinya dan menelusup kebalik bokong putih milik Minseok, dan kalau bisa, nafas Minseok terdengar lebih parah. "Aku akan masuk." Bisik Luhan, suaranya jatuh satu oktaf dan membuat dada Minseok berdesir hebat. Mereka sudah sering melakukan hal ini—tapi sensasinya seakan mereka baru melakukan itu pertama kali.

Satu jari.

Dua jari.

Tiga jari, dan Luhan dengan sengaja memutar jarinya didalam rektum Minseok, menghancurkan segala pertahanan Minseok untuk tidak—

"Nyah!" Mendesah. Minseok mendesah, dan Luhan mengejang. Dia menatap Minseok. "Kau," Luhan menatapnya tidak percaya. "Tadi...?"

Minseok menenggelamkan wajahnya ke pundak Luhan yang masih berbaju, menggigit baju tersebut. "Bersuaralah lagi," Luhan membujuk. Tapi tangannya bergerak tidak manusiawi. Menginginkan mendengar suara Minseok lagi. "Kau terdengar seperti kucing tadi. Aku—" Minseok mengejang ketika jari Luhan makin dalam, "—suka sekali. Mungkin aku akan membelikan... baju maid untukmu—" Luhan menusuk satu dinding yang kenyal di ujung sana dan Minseok mendesah ditelinga Luhan.

"Oooh," Luhan menyeringai, wajahnya merah karena adrenalin memuncak dan gairah. "Oh, apa ini menyenangkan?" Luhan bereksperimen, dia memandang reaksi Minseok ketika jarinya mengelus prostat Minseok. "Ah. Luhan! Ja-jangan, ngh." Minseok memeluk pundah Luhan untuk suport karena rasanya seluruh pusat tubuhnya di pencet dan di elus bersamaan, Minseok tidak tahan.

"Kalau begini?" Minseok merasa Luhan mencubit prostat diujung sana. "Nyaaah! Angh!" air mata mengalir. Saliva berjatuhan. "Kau suka?" Luhan bertanya, dan dia menusuk prostat Minseok lebih keras. Hanya satu tujuan hidup Luhan sekarang—membuat Minseok bahagia dan senang. Tidak apalah jika kebutuhannya sendiri dia tidak hiraukan demi mendapatkan satu dua engahan Minseok yang manis. Tidak apalah dia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan sekarang ini.

Semua demi Minseok.

Minseok tidak dapat menjawab, hanya erangan dan desahan tanpa arti, dan ketika tangan Luhan menggenggam kejantanannya yang terbasahi precume, Minseok, tanpa tedeng aling-aling, langsung memuncratkan isi skrotumnya.

"Wow," Luhan tersenyum. Jarinya terlengketi oleh jaring-jaring cinta Minseok. "Minseokkie," bisik Luhan manis. "Kita masih belum selesai, Minseokkie..."

Minseok memucat.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Aaaaaah!"

Luhan tidak hanya buta, dia bisu dan gila akan Minseok. Dia tidak akan merespon desahan menyedihkan Minseok. Tidak akan, bahkan dalam seribu tahun penuh anjing-anjing menyalak. Dia tidak akan menjawab erangan meminta Minseok. Luhan tidak tahu apakah dia bisa tahan untuk tetap bisu, setidaknya dalam keheningan yang terobek penuh nikmat.

Minseok mengerang lagi. Kakinya melayang diudara, terbuka lebar untuk siapapun melihatnya. Punggungnya merebah diatas kasur, dan jari kakinya melengkung ekstrem, pergelangan kakinya mengejang keatas dan kebawah. Luhan hanya memandang dua vibrator di dalam lubang Minseok yang dengan riangnya bergetar-getar tanpa ekspresi wajah yang berarti.

"Sudah mau menyerah?" Luhan berbisik. "Ini masih belum high, lho, Minseokkie. Kenapa kau lemah sekali?"

Minseok tidak mendengar apa-apa.

Dia sibuk mengerang, rasa nikmat dan rasa yang aneh dan menyenangkan berputar ditubuhnya, membuatnya hampir gila. Cock ring dikejantanannya membuatnya gila. Nipple crample ditonjolan merahnya membuatnya gila. Luhan membuatnya gila. Tidak, Luhan memang sudah gila.

Tapi rasanya nikmat Minseok tidak bisa mendengar apa-apa.

"Minseokkie," Luhan tersenyum pada Minseok. Minseok memandang Luhan, matanya tertutupi air mata frustasi. "Jangan menangis," Luhan mencium kelopak mata Minseok, tapi tangannya memencet tombol high yang mengakibatkan vibrator-vibrator itu bergerak lebih liar. "Luhaaaaan!" Minseok datang untuk keempat kalinya, kelima, keenam... bahkan tanpa tangan siapapun menggenggamnya.

"Aku tidak tahu seseorang bisa orgasme sebanyak itu," Luhan mengangguk kasual. "Sepertinya vibrator ini membosankan. Ayo kita coba yang ini." Luhan tersenyum dan mengambil sesuatu yang mirip vibrator... hanya saya seluruh permukaannya terlihat mencurigakan. Dengan tentakel-tentakel kecil yang tumpul, dan mata Minseok melebar ketakutan tapi juga excited. "L-Luhan, jangan... a-aku sudah datang li-lima kali, a-aku capek..." Minseok memohon pada Luhan. Sengaja melebarkan mata supaya Luhan bisa melepaskan dirinya barang semenit saja.

Oh, betapa dia salah. Luhan tidak akan melepasnya bahkan jika dia melancarkan jurus mata lebarnya.

Hal itu mungkin malah menambahkan minyak ke dalam api yang berkobar.

"Oh?" Luhan terlihat sedikit sedih. "Padahal, aku belum memasukimu... apa kau begitu tidak inginnya denganku?"

Minseok melebarkan mata.

Trik Luhan berhasil.

"Bu-bukan! Bukan seperti itu..." Minseok mengerutkan dahinya. "Cuma..."

"Cuma?"

"Aku... capek..."

"Baiklah..." Luhan berdiri, wajahnya terlihat sedih sekali. Dia berdiri, dan. "Aku akan pergi sekarang..."

"Tu-tunggu!" Minseok mengerjap, dia ingin berdiri tapi kakinya lemah sekali. Bagian bawahnya juga sangat sakit, tapi dia memaksa untuk duduk. "Jangan... Luhan, jangan marah padaku, aku mohon! Baiklah! Tapi... habis ini kita se-selesai, oke?"

Luhan menyeringai. "Iya, Minseokkie." Luhan berbohong.

.

.

.

.

.

.

Luhan. Sudah. Tuli.

"Luhan. Annnng... su-sudah... ca-capek..."

"Kita... belum selesai." Luhan menggeram rendah sambil menggerakan pinggulnya.

Brutal. Maksimal. Keji, tapi juga sensual. Mereka berpadu. Berpadu jadi satu, berpagut. Luhan adalah pendominasi. Luhan suka menang. Dia tidak suka kalah, dan tidak akan pernah kalah. Luhan juga suka sekali mendapat hadiah.

Masalahnya wajah Minseok yang terlihat kuyu dan basah oleh cairan air mata dan air liur itu terlihat lebih menggemaskan dan manis dari setiap hadiah yang pernah Luhan dapatkan. Setiap kerjapan mata penuh cinta dan penyesalan. Setiap katupan rahang, mencoba melawan. Setiap gigitan bibir yang dilakukan Minseok seperti reward—hadiah, untuk Luhan.

"Luhan—" mata Minseok terlihat horor dan kaget melewati bahu Luhan. Memandang kearah pintu yang sedikit terbuka, menyisakan cahaya yang bersinar menyedihkan. Luhan bisa tidak peduli. "Luhan, s-stop, a—ngh!" Minseok mencakar bahu Luhan keras ketika Luhan dengan sengaja mendorong pinggulnya lebih kedalam agar Minseok diam. Menerobos dinding rektumnya. Menerjang dinding kenyal diujung sana, dan. "Stop, Luhan, kumohon st-op!" Minseok memohon, mencoba, tapi nihil, nihil, nihil. Luhan sudah tuli.

Dia sudah tuli.

.

.

.

.

.

.

.

"fuck you!"

Luhan mengangkat mukanya dengan wajah 'Ada Apa Sih.'

"Besok kita akan ada interview dengan SINA!" Kris mengomel dengan wajah pucat. "Dan—dan... you with your fucking balls! Fuck. You! GAH!" Kris mengacak dan menjambat rambutnya frustasi. Bagaimana tidak? besok interview, dan salah satu anggota member EXO-M tidak bisa datang karena 'sakit'. Alasan paling tidak profesional untuk boyband Korea yang tengah mendunia ini.

"Jangan ngomong dengan Bahasa Inggris dong." Kata Luhan santai.

"Bukan masalah inggris atau. Ah sudahlah..." Kris terkulai dilantai. "Dengar, Luhan. Aku harap ini terakhir kalinya. Oke? aku cuma tidak ingin membuat fans kecewa. Apa kau mau membuat bayangan mereka terhadap kalian berdua jadi terlalu dekat." Kris merubah wajahnya yang serius menjadi tambah serius. "Jangan lupa, ini bukan Kanada, Luhan. Ini korea. Orang-orang disini, jika bukan seorang yang hipokrit, adalah orang-orang yang konservatif."

Luhan tahu benar apa yang dikatakan oleh pria yang ada didepannya. Tapi dia lebih memilih untuk bisu, untuk tuli, untuk buta. Terhadap semua yang akan menerjangnya—memakinya, serta Minseok kekasihnya. Tidak ada yang bisa jadi penghalang dua insan manusia seperti mereka. Apa yang bisa? Bahkan gender yang sepatutunya menjadi dinding besar itu tidak juga memberhentikan pria ini menerkam baozi-nya.

"Urus saja urusanmu sendiri." Luhan akhirnya berhasil mendapat jawaban atas pertanyaan serius Kris.

Mata Kris mengejang. Sialan.

"Oya, satu lagi." Kris menajamkan pandangannya. "Lain kali kalau gituan tutup pintu."

Luhan menaikkan alis. Untuk apa? Menutup pintu terlalu mainstream untuk Luhan. Lagipula mempunyai seseorang melewati pintu ketika dia dan Minseok jadi satu itu sangat hot dan menantang.

Belum lagi adanya kemungkinan threesome.

"Tadi malam ibunya Minseok-hyung datang." Kris menyeringai, yang mana ekspresinya berbalik seratus delapan puluh derajat dari Luhan.

"M-Mama? Dia datang?" Luhan mencicit. Layaknya anak burung kurang cacing.

"Ya. Dan dia melihat—"

Omongan Luhan terhenti oleh tepukan dibahu Luhan. Luhan berbalik melihat Minseok yang terlihat capek—Luhan tidak dapat berhenti nyengir.

"Kenapa, baobei?" tanya Luhan manis.

"Ibuku telepon." Suara Minseok serak, tapi dia terlihat panik. "Dia bilang dia mau bicara denganmu. Dia... dia lihat kita kemarin—"

Rasanya Luhan bisa mendengar Kris tertawa nista dibelakangnya, tapi dia bisa mengurusnya nanti.

.

.

.

.

.

.

.

.

.