Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: AU, OOC, Typo, YAOI, INCEST, dan hal absurd lainnya.

Rating: M for Mature and maybe—Sexual Content

Pairing: NaruSasu, NaruMina, FugaSasu, FugaIta

.

.


Complicated Relationship

.

~By: CrowCakes~

.:


Minato bergerak senang sambil sesekali berputar menari di ruang tamu rumahnya. Ini sudah ke sepuluh kalinya sang ayah tertawa cekikikan layaknya orang idiot. Naruto yang melihatnya dari dapur hanya menggelengkan kepala, prihatin. Mungkin benar kata tetangga, kalau ayahnya itu sudah tidak waras. Sejak Kushina meninggal, ayahnya selalu berwajah sedih dan hanya pada saat tertentu saja dia jejingkrakkan senang begini.

"Ada kabar gembira?" Tanya Naruto malas sambil menjulurkan sepiring buah melon pada ayahnya itu. Minato menoleh dengan wajah berbinar.

"Ayah berhasil!—Lihat!" Minato menunjukkan profil seseorang di salah satu Dating Website. Ya—Minato sedang gencar-gencarnya mencari pacar di jejaring media. Entah apa alasannya, tetapi setiap kali ditolak oleh beberapa cewek yang kencan buta dengannya, Minato selalu pulang dengan wajah menangis. Dan itu membuat Naruto susah.

"Kau pasti ditolak lagi." Ucap Naruto dingin. Minato berbalik untuk menunjukkan wajah menggembungnya.

"Jahat—Padahal'kan ayah sedang berusaha untuk mencarikan ibu untukmu!" Sergah Minato dengan wajah cemberut lucu.

"Aku sudah 17 tahun. Aku tidak perlu figur seorang ibu." Jawab sang anak yang membuat Minato murung seketika.

"Tapi—" Minato tidak meneruskan perkataannya. Wajahnya hanya menunduk dalam diam dan Naruto harus menggaruk kepalanya bingung.

"Dengar ayah—" Naruto berjalan menuju Minato kemudian menyentuh dagu ayahnya itu, "Aku sudah dewasa. Aku bukan anak-anak lagi. Aku hanya butuh ayah, bukan orang lain." Jelas pemuda itu yang semakin menatap ayahnya dengan intens.

Naruto menyentuhkan keningnya ke dahi Minato dengan suara -duk- kecil. Napas hangat pria itu membuat Naruto tersenyum. "Aku—menyu—"

TINGTONG!

.

Minato berbalik dengan cepat ketika bel pintunya berbunyi, "Sebentar!—" Seru Minato dari dalam. Pria itu kembali menatap anaknya, "Kau tadi ingin bilang apa, Naruto?" Tanyanya bingung.

Naruto menggaruk tengkuk lehernya malas, "Tidak jadi. Bukalah pintunya, mungkin dia teman dating ayah." Ucap Naruto yang kembali ke dapur untuk mengambil buah melonnya.

Minato yang mendengar kata 'teman dating' langsung berbinar dengan ceria. Dia melompat kegirangan sambil beranjak menuju pintu depan. Naruto hanya melirik ayahnya itu sekilas ketika Minato membuka pintu dengan wajah penuh pengharapan. Seorang sales berdiri didepan pintu rumah mereka, wajah Minato berubah kecewa ketika mengetahui yang datang bukanlah teman kencannya. Sedangkan Naruto berusaha menyembunyikan senyumnya.

"Bukan teman kencan ayah?" Tanya Naruto lagi setelah si sales diusir Minato. Pria itu hanya melengos kecil kemudian menutup pintu lagi.

"Ya—menyebalkan." Gerutu pria beranak satu itu.

Naruto menghempaskan pantatnya di sofa tepat disamping Minato.

"Memang kapan mau kencan?" Naruto bertanya pada ayahnya lagi. Minato menghitung jari tangannya.

"Dua hari lagi." Jawab Minato sambil memperlihatkan senyum lebarnya.

"Kenapa kau begitu ingin kencan?" Naruto mengambil sepotong melon kemudian memasukkannya dalam mulut. Manis.

"Sudah kubilang kan, aku ingin memberimu seorang ibu." Tegas Minato sambil menatap sang anak lekat.

Naruto meliriknya sekilas, "Kau itu bodoh, Ayah."

"Heee—Kau bilang apa?!—" Minato ingin protes pada Naruto, tetapi tarikan di kerah bajunya membuat pria itu tersentak kaget, karena kini wajah mereka saling berdekatan.

Dengan jarak sedekat ini Minato dapat melihat warna biru sapphire yang jernih dari mata Naruto. Pemuda itu hanya menatap ayahnya dalam diam. Kepalanya makin mendekat hingga kening mereka berdua beradu.

"Na—ruto?" Panggil Minato dengan bingung. Naruto tidak menghiraukan panggilan ayahnya. Dia terus mendekatkan wajahnya ke bibir Minato. Secara perlahan Naruto menekan mulutnya untuk mencium bibir ayahnya itu. Hangat. Kenyal. Dan Nikmat. Begitulah pendeskripsian Naruto akan bibir pria pirang dihadapannya. Detik selanjutnya Naruto melepaskan pagutan singkat itu dengan perlahan.

"Selamat malam—" Ucap Naruto yang bangkit dari kursi kemudian beranjak menuju kamarnya.

Minato terdiam. Tubuhnya masih kaku tak bergerak sampai Naruto membuka pintu kamarnya kemudian menutupnya pelan. Pria itu seperti tersadar kemudian segera merunduk sambil menyembunyikan wajah merahnya di lengan.

"Selamat malam—Naruto."

.

.

.

RIIIIINGRIIIINGRIIIING Jam weker di kamar Naruto berbunyi menunjukkan pukul 7 pagi. Pemuda itu mengulet dan menguap sebentar di kasurnya yang empuk kemudian bergegas menuju kamar mandi.

"Naruto—" Minato berusaha membangunkan anaknya itu dengan mengetuk pintu kamar Naruto.

"Sebentar—" Jawab Naruto dari dalam yang baru saja selesai mandi. Dengan santai pemuda itu membuka pintu kamarnya dan membuat sang ayah kaget ketika mendapati Naruto hanya mengenakan handuknya saja.

"Kau belum berpakaian?" tanya Minato lagi. Naruto mengacak rambutnya yang basah sambil bersender di ambang pintu.

"Ya—sebentar lagi kok." Jawab pemuda pirang itu sambil mengamati Minato yang memegang spatula di tangannya. Celemek berwarna biru membuat kesan sang ayah menjadi sosok figur seorang ibu. Naruto bahkan bingung, ayahnya yang sudah berumur 38 tahunan itu masih terlihat muda dan manis. Apa dia mempunyai darah awet muda seperti nenek Tsunade?

"Naruto?—Ada apa?" Tanya Minato lagi. Naruto menggeleng pelan kemudian melandaskan sebuah ciuman di kening sang ayah.

"Aku akan berpakaian dulu, jadi turunlah duluan ke dapur." Kata Naruto yang mendapat anggukan paham dari Minato.

Naruto menatap sang ayah yang menuruni tangga menuju dapur rumah mereka. Pemuda itu kembali masuk ke kamar kemudian menyenderkan tubuhnya ke dinding. Tangannya segera menyentuh dadanya yang berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Tidak bagus—sangat tidak bagus." Ucap Naruto lagi yang berusaha meredakan dentuman aneh di jantungnya.

.

.

"Sudah selesai?" Tanya Minato yang melihat Naruto turun dari tangga dengan berpakaian seragam rapi.

"Ya—Apa sarapannya?" Naruto bertanya dengan nada penasaran. Terlebih lagi menatap sang ayah yang tersenyum senang.

"Omelet." Jawab pria 38 tahunan itu.

Naruto hanya mengangguk mengerti kemudian duduk di meja makan, "Aku akan mengajak temanku kerumah," Ucap Naruto yang mendapat tatapan 'kenapa?' dari ayahnya itu, "—aku akan belajar kelompok." Lanjut pemuda pirang itu sambil menyendok sedikit omelet yang disuguhkan Minato.

"Ok—kalau begitu aku perlu menyiapkan cemilan kan?" Tanya Minato lagi yang mendapat anggukan dari sang anak.

Naruto melirik jam tangannya, sudah pukul delapan. Dia hampir telat untuk masuk sekolah hari ini. Dengan cepat pemuda itu bangkit kemudian bergegas ke luar rumah.

Sebelum pergi, Naruto sempat berbalik untuk mencium bibir ayahnya.

"Terima kasih untuk sarapannya." Ucap pemuda itu lembut. Minato hanya memperlihatkan cengiran khasnya. Kemudian melambai ringan hingga Naruto berbelok di tikungan pagar.

Minato kembali ke dalam rumah, mengunci pintu depan lalu bersender di dinding dengan wajah memerah. Kedua tangannya tertangkup pada dadanya yang menghentak-hentak keras.

"Kushina—ini tidak bagus... Sangat tidak bagus." Bisiknya pelan sambil menyentuh sudut bibirnya yang dicium oleh Naruto.

.

.

.

"Yooo—Naruto." Suara Kiba membuat Naruto yang sedang berjalan menuju sekolah menoleh sekilas. Pemuda penyuka anjing itu menampilkan senyum lebarnya.

"Pagi, Naruto." Sapa Kiba sambil merangkulkan tangannya pada bahu Naruto. Dia tersenyum manis.

"Pagi." Jawab Naruto yang berbalik untuk mencium bibir pemuda itu. Kiba mundur dengan panik. Wajahnya berubah menjadi pucat dan memerah.

"Sudah kukatakan jangan menciumku! Bodoh!"

"Kenapa?" Tanya Naruto dengan ekspresi datar, "Di keluargaku, semua orang menyapa dengan cara 'berciuman'." Lanjut Naruto yang mendapat gamparan di kepala.

"Aku tidak tahu tradisi di keluargamu. Tapi ciuman itu bukan sesuatu yang diumbar ke sembarang orang." Jelas Kiba sambil bergaya mirip seorang profesor lulusan universitas ternama.

"Aku dan ayahku sering berciuman."

"Sudah kukatakan! Jangan berciuman dengan sembarang orang! Kau bisa membuat orang lain salah paham!" Teriak Kiba frustasi.

Naruto tidak mempedulikannya dan berjalan menjauh menuju Shikamaru yang terlihat berjalan malas menuju pintu gerbang.

"Pagi, Shikamaru." Sapa Naruto sambil menarik kerah Shikamaru dan menempelkan mulutnya di bibir cowok pemalas itu. Dua detik bersentuhan bibir sanggup membuat Shikamaru yang mengantuk langsung terbelalak kaget.

"Naruto!—Astaga!—Bisakah jangan menyapa orang dengan ciuman?! Ini bukan diluar negeri!" Sergah Shikamaru sambil membersihkan mulutnya dari bekas ciumannya dengan Naruto.

"Ya—" Jawab Naruto singkat tanpa peduli. Kiba menggeleng dengan tingkah sahabatnya itu. Kebiasaan lama memang tidak bisa disembuhkan.

"Pagi, Gaara." Sapa Naruto lagi yang langsung melandaskan sebuah ciuman di bibir pemuda berambut merah itu. Lagi-lagi Kiba hanya menggeleng pasrah.

Ya, sudahlahsifat Naruto memang seperti itu, pikir Kiba dalam hati sambil melihat Gaara yang ber-blushing ria ketika dicium Naruto.

.

.

.

Jam pelajaran pertama dihabiskan Naruto duduk malas di kelas. Dia tidak semangat hari ini. Otaknya terus berputar membayangkan sosok Minato yang tersenyum, tertawa dan merengek layaknya anak kecil. Kemudian pikirannya beralih pada kejadian kemarin malam saat dia mencium bibir Minato. Wajah pria itu nampak kaget tetapi tidak berusaha berontak dari bibir Naruto. Hanya terkesiap bingung.

Naruto kembali menelungkupkan wajahnya diantara lengan. Sesekali dia menghela napas berat ketika mengingat kejadian tadi malam. Entah kenapa wajah pemuda itu langsung berwarna merah layaknya tomat cherry.

"Kaa-san—bolehkah aku menyukai ayah? Seperti saat kau menyukainya?" Bisik Naruto pelan. Seakan-akan bertanya pada hatinya sendiri. Sungguh—memiliki seorang ayah seperti Minato membuat hidup Naruto berantakan. Sejak kecil sang ayah menyayangi dirinya seperti sebuah permata. Selalu menciumnya saat tidur, memeluknya saat menangis dan menjaganya saat ada anak lain yang mengganggu. Sejak itu, Naruto berniat untuk melindungi Minato saat dia dewasa nanti. Menghalau semua teman kencan ayahnya dengan menjadi peneror. Membuat takut seluruh cewek yang berusaha mendekati Minato dan membayar berapa pun agar cewek tersebut mau putus dengan ayahnya.

Naruto benar-benar ingin mendominasi Minato hanya untuknya. Tidak boleh ada yang memiliki Minato selain dirinya.

.

"Ru...To!"

.

"NARUTO!" Teriakan Kakashi-sensei membuat Naruto terlonjak kaget. Mata birunya langsung menatap sang guru dengan bingung.

"A—Ada apa?" Tanya Naruto gelagapan. Kakashi menekan keningnya kemudian menghela napas.

"Aku menyuruhmu untuk memanggil murid baru di kantor guru. Kau kan ketua kelasnya." Kata Kakashi lagi sambil menaruh beberapa buku di mejanya. Naruto mengangguk paham kemudian bangkit dari kursinya. Pemuda itu membungkuk hormat sebentar pada Kakashi sebelum berjalan menjauh keluar kelas.

.

.

Sepanjang koridor hanya dihabiskan Naruto untuk menghitung jumlah jendela di sisi kanannya. Hanya iseng-iseng agar tidak suntuk saat melewati lorong sekolah. Saat hitungan mencapai dua puluh lima, Naruto sudah berdiri didepan pintu ruang guru. Menggenggam pegangannya dan menggesernya perlahan. Derekan halus terdengar saat pemuda itu membuka pintu.

.

"Kau terlambat." Suara seorang cowok berpakaian seragam membuat Naruto membuka matanya lebar-lebar.

Sepasang mata onyx menatap sang sapphire dengan tajam.

"A—Apa?" Tanya Naruto yang masih tidak mengerti maksud pemuda itu.

"Kau terlambat menjemputku." Sahut sang pemilik mata onyx sambil menyender malas pada senderan kursi di ruang guru. Tangan kurus putihnya menyisir rambut ravennya perlahan. Naruto hanya menatap pemuda itu dalam diam—terpesona.

"A—Aku minta maaf." Tukas Naruto yang terlihat sedikit panik. Pemuda raven itu melirik sekilas ke arah Naruto dengan ekor matanya.

"Namaku Uchiha Sasuke." Ucap si pemuda raven yang beranjak dari kursinya dan berjalan menuju Naruto. "—Salam kenal." Lanjutnya lagi.

Naruto tidak bergerak dan masih terdiam kaku saat Sasuke memperkenalkan diri. Iris birunya melebar ketika melihat cowok dihadapannya berkilau saat cahaya matahari di sela jendela menyentuh kulit putihnya. Bersinar layaknya sebutir permata dalam kerang. Rambut raven nya yang hitam, tatapan tajam dan malas, dan segaris datar bibir tipisnya membuat Naruto tidak menyangka bahwa ada orang lain yang jauh lebih cantik dibandingkan ayahnya.

"Kau tidak menyebutkan namamu?" Tukas Sasuke dengan decakan kesal. Naruto terkesiap sebentar.

"A—Apa?" Tanya pemuda pirang itu yang berusaha mengendalikan tubuhnya agar tidak kaku.

Sasuke hanya melengos malas kemudian berjalan melewati Naruto. Sebelum menjauh, lengan pemuda raven itu sudah ditarik oleh Naruto. Sedikit hentakan pelan membuat Sasuke menoleh bingung ke arah si penarik.

Naruto menatapnya dengan wajah yang tidak dapat dideskripsikan, mulutnya terbuka dengan gugup, "Na—Namaku Uzumaki Naruto." Ucapnya lagi, "—Salam kenal." Sambungnya.

Sebenarnya Sasuke ingin menjawab dengan 'Ya—salam kenal juga.' tetapi perkataannya tertelan oleh keterkejutan yang luar biasa. karena di detik selanjutnya, sang onyx terbelalak ketika bibirnya ditekan oleh sesuatu yang lembut. Sang sapphire memejamkan matanya ketika menyentuh bibir dingin Sasuke dengan mulutnya. Tidak ada lidah maupun air liur. Hanya kecupan pendek salam perkenalan.

.

PLAK!— Dan juga sebuah hadiah tamparan dari sang onyx.

.

.

.

Naruto mendesah malas di kursi kelas. Mata birunya tidak memperhatikan Kakashi-sensei yang sedang mengajar tentang masa revolusi sejarah. Dia hanya menelungkupkan kepalanya diantara lengan sambil melirik jendela luar. Disebelah bangkunya, Sasuke sibuk mencatat semua perkataan penting Kakashi. Tipikal cowok rajin dan pintar—tidak perlu dipertanyakan lagi.

"Hei—Psst—" Suara Kiba membuat Sasuke menoleh. Cowok yang memiliki tato segitiga diwajah itu berusaha merendahkan suaranya.

"Wajah Naruto kenapa?—kalian bertengkar ya? Aku melihat bekas merah di pipi kanannya." Kiba bertanya dengan rasa penasaran pada Sasuke. Cowok raven itu melirik Naruto yang berada disebelahnya sekilas kemudian kembali menatap Kiba.

"Dia menciumku." Entah harus malu atau marah, wajah Sasuke kini memerah. Kiba hanya terkikik kecil.

"Ah—kau belum tahu sifat Naruto ya? Pantas saja... Dengar ya—" Kiba memajukkan tubuhnya agar Sasuke yang berada didepannya dapat mendengar jelas, "—Naruto itu julukannya adalah Kisser Machine. Dia selalu menyapa orang dengan ciumannya. Yaaah—kebiasaannya memang seperti itu sejak dulu. Jadi jangan terlalu diambil hati. Bersabarlah." Kata Kiba lagi sambil menepuk pundak Sasuke.

Pemuda raven itu terdiam setelah mendengar penjelasan Kiba. Bersabar katanya? Yang benar sajaKisser Machine? Adakah julukan yang lebih aneh dari itu?Menggelikan, pikir Sasuke dalam hati. Jarinya kembali bergerak mencoret-coret buku tulisnya sambil memperhatikan Kakashi. Dia tidak terlalu memikirkan Naruto. Well—pemuda pirang itu sama tidak pentingnya dengan rumput diluar. Tidak bernilai dan tidak berguna.

Sasuke tidak peduli dan kembali mencoret-coret kertas... Kali ini ia membentuk sebuah nama yang tertulis disana dengan gambar 'love' disana-sini. Wajah Sasuke melembut dengan senyum tipis ketika melihat kata-kata itu terangkai menjadi sebuah nama yang sangat spesial.

.

Uchiha Fugaku.

.

.

"Kau sedang apa?" Suara Naruto membuat Sasuke terlonjak dan langsung menutup buku tulisnya dengan cepat. Pemuda raven itu menoleh gugup ke arah Naruto dengan panik.

"A—Apanya? Aku sedang tidak melakukan apa pun." Jawab Sasuke lagi yang berusaha bersikap normal. Naruto menatapnya lama.

"Siapa itu?" Tanya Naruto tiba-tiba yang membuat tubuh Sasuke menegang.

"Si—siapa? Apanya yang siapa?" Sahut Sasuke dengan suara tertahan.

"Itu—" Tunjuk Naruto pada buku tulis Sasuke, "Siapa yang kau catat disana?" Lanjutnya lagi. Sasuke panik, keringat dingin keluar dari pelipisnya.

"A—Apa maksudmu, Naruto?" Kali ini Sasuke berpura-pura mengeluarkan tawa keringnya. Naruto meliriknya kemudian menghela napas.

"Aku tanya, siapa yang kau tulis disana? Maksudku—nama tokoh revolusi sejarah. Aku lupa mencatatnya, dan tulisan dipapan tulis terlalu kecil untuk dilihat." Tunjuk Naruto pada Kakashi yang kini sudah menghapus beberapa tulisan di papan hitam itu. Sasuke hanya terdiam sebentar kemudian merileks kan tubuhnya karena ketegangannya mengendur.

Sedikit bernapas lega, Sasuke memperlihatkan catatannya pada pemuda pirang disebelahnya ini. Sedangkan kertas yang menjadi bahan coret-coretnya sudah di remas hingga berbentuk gumpalan dan dimasukkan ke laci meja tanpa diketahui Naruto. Hampir saja rahasia terbesarnya diketahui oleh orang macam Naruto. Tidak—jangan sampai itu terjadi. Sasuke akan mempertaruhkan apapun untuk menyimpan perasaannya dalam-dalam.

.

.

.

_Jam istirahat, pukul 10.00 Pagi_

"Naruto!—Tangkap!" Seru Kiba yang melempar sekotak jus jeruk pada temannya itu. Naruto dengan sigap menangkap kotak minuman itu dengan tangan kanannya.

"Thanks." Jawab Naruto yang duduk malas di pojok kantin. Kiba mendekat dan memilih kursi didepan pemuda pirang itu.

"Memikirkan sesuatu?" Tanya Kiba yang sibuk memakan roti melon kesukaannya. Naruto merenggangkan otot punggungnya sebentar.

"Ya—seperti biasa. Hanya memikirkan ayahku saja."

Kiba memutar bola matanya malas, "Biar kutebak—mau kencan buta lagi? Kapan?"

"Besok." Naruto menghela napas berat. Sedangkan cowok penyuka anjing itu hanya melirik Naruto sekilas.

"Kalau begitu biarkan saja. Toh tidak ada salahnya kan?" Jelas Kiba yang ditanggapi dengan delikan Naruto.

"Aku tidak ingin 'ibu' baru."

"Yeah—Yeah—Katakan itu pada ayahmu."

"Sudah kukatakan—" Naruto mengacak rambut pirangnya, "—dan tidak berhasil. Dia selalu saja bersikeras ingin memberikan 'ibu' padaku." Jelas Naruto lagi yang kali ini lebih memilih menyenderkan kepalanya di meja.

Kiba ingin berpendapat lagi, tetapi sosok Sasuke yang baru memasuki kantin membuatnya menghentikan omongannya. Mata Kiba melirik pemuda raven itu lalu melambai pelan.

"Hoi Sasuke! Sebelah Sini! Ayo Gabung Disini!" Seru Kiba lantang membuat orang yang dipanggil langsung menoleh cepat. Sasuke berpikir sebentar kemudian dengan berat hati ikut bergabung satu meja dengan Naruto dan Kiba. Bukannya Sasuke benci—hanya saja berdekatan dengan pemuda pirang itu agak—Yaahh—Risih.

Sasuke memilih duduk disebelah Kiba dan meletakkan nampan makanannya yang berisi semangkuk sup hangat yang mengepul panas dengan sekotak jus tomat. Memang bukan kombinasi yang bagus tetapi untuk saat ini hanyalah itulah makanan kesukaan Sasuke.

"Jadi—" Kiba muulai beruara lagi, pandangannya serius menatap Naruto, "apa yang akan kau lakukan kalau begitu?" Tanyanya sambil sesekali mencuri roti isi kacang merah di nampan Naruto.

"Entahlah—mungkin meneror cewek yang akan berkencan dengan ayahku mungkin." Jawab pemuda pirang itu lagi terkesan tidak peduli.

Sasuke yang berada didepannya hanya berusaha merunduk seakan-akan dia tidak menguping pembicaraan mereka. Dia lebih suka berkonsentrasi pada makanannya daripada mendengar pembicaraan orang lain. Tetapi tetap saja, perkataan Kiba selanjutnya membuat cowok raven itu harus melirik sekilas karena tertarik.

"Sebegitunya kah kau menyukai ayahmu, Naruto? Father complex, huh?—Aneh." Ucap Kiba lagi. Naruto tidak terlalu menanggapi celetukan sobat karibnya itu dan sepertinya dia juga tidak melihat gestur tubuh Sasuke yang bergerak gelisah karena benar-benar tertarik dengan topik ini. Father complex?apakah mirip seperti dirinya? Tebak Sasuke dalam hati.

"Tidak tahu—mungkin, sedikit." Ujar Naruto lagi yang berusaha menyeruput kotak jus jeruknya keras-keras. Pembicaraan ini membuatnya lebih haus sepuluh kali lipat.

Kiba berdecak kesal, "Kau membuat situasi ini makin rumit, Naruto." Kemudian matanya beralih memandang Sasuke yang sibuk memakan sup hangatnya, "bagaimana menurutmu, Sasuke?" Tanya pemuda penyuka anjing itu yang mendapat tanggapan kaget dari Sasuke.

"Apa maksudmu?" Sela Sasuke yang benar-benar berharap tidak akan terlibat pembicaraan bodoh ini.

"Ya tentu saja tentang Naruto." Kali ini Kiba menunjuk Naruto yang sibuk menatap Sasuke dalam diam. Pemuda raven itu tercekat sebentar kemudian berusaha mengendalikan tubuhnya yang sedikit kaku.

"Aku tidak tahu. Dan aku tidak mau tahu—" Sasuke membereskan makanannya yang setengah kosong itu, "—aku harus pergi, permisi." Sambung cowok bertubuh jenjang itu yang sudah berdiri untuk menjauh dari kantin. Kiba hanya melirik Sasuke dengan pandangan 'dia-sama-membosankanya-dengan guru-fisika' sedangkan Naruto kembali menyeruput jus kotaknya dalam diam.

.

.

.

_Kediaman Uchiha, pukul 04.00 Sore_

"Aku pulang." Suara Sasuke menggema di lorong rumahnya yang terlihat sepi. Dia mulai menggerakkan kakinya menuju ruangan tempat ayahnya bekerja. Bukan hal aneh melihat rumah besar itu yang sunyi senyap layaknya kuburan. Semenjak ibunya meninggal ayahnya menjadi lebih pendiam dan dingin dari biasanya. Hanya kepada kakaknya—Itachi—ayahnya bisa tersenyum... Cemburu—Sasuke benar-benar cemburu melihat kedekatan ayahnya dengan kakaknya itu.

"Ayah—?" Sasuke membuka pintu ruang kerja dengan suara pelan. Di kursi empuk itu terlihat Fugaku tertidur dengan beberapa lembaran kertas yang berserakan. Sasuke tersenyum tipis kemudian merapikan kertas-kertas yang berjatuhan dilantai, mengepaknya serapi mungkin dan meletakkannya di meja Fugaku.

Sasuke baru saja ingin menyelimuti Fugaku ketika Itachi sudah menyapanya di ambang pintu.

"Baru pulang?" Tanya Itachi yang ikut bergerak ke dalam ruangan. Sasuke tidak menjawab. Rasa cemburu nya dan rasa tidak suka membuat hubungan mereka agak merenggang. Salahkan Fugaku yang hanya menyayangi putra tertua keluarga Uchiha itu... Oh—salahkan juga Sasuke karena terlalu posesif pada ayahnya itu.

Itachi tidak mempedulikan sikap diam Sasuke dia hanya bergerak menuju Fugaku dan berusaha membangunkan ayahnya itu. "Ayah, kita tidur dikamar. Jangan disini, kau bisa demam."

Fugaku bangun dengan erangan pelan. Mata hitamnya melembut ketika menatap wajah putra tertuanya yang tersenyum kecil. "Ya—mungkin orang tua sepertiku harus tidur lebih lama." Ucapnya dengan tawa ringan.

Sasuke menatap mereka dalam diam. Mata onyxnya hanya membatu ketika Fugaku mengelus lembut kepala Itachi dan melewatinya begitu saja ketika keluar ruangan. Sebelum menutup pintu, Itachi melirik adiknya itu sebentar.

"Kalau kau lapar. Ada makanan di kulkas." Kata Itachi sebelum benar-benar pergi menuju kamar ayahnya.

"Hn—" Jawab Sasuke singkat.

.

.

.

Di kediaman Naruto, seorang pria terlihat berjalan tidak semangat menuju dapur. Sesekali segukan tangisnya mampir ditelinga Naruto yang sedang menonton tivi di ruang keluarga. Sedikit penasaran pemuda pirang itu berjalan mengikuti ayahnya ke dapur.

"Ditolak?" tebak Naruto tanpa basa-basi. Minato mendengus pelan sambil menyeka setitik air mata di sudut pandangannya itu. Bibirnya masih mempertahankan kerucut cemberut.

"Kalau sudah tahu tidak perlu bertanya lagi." Ketus Minato sambil mengambil sebotol susu dan menegaknya langsung. Tenggorokannya haus setelah menangis seharian ini.

"Kenapa bisa ditolak?" Tanya Naruto yang kali ini memilih duduk sambil menikmati sepotong melon yang ada di meja makan. Minato mengerang pelan seakan-akan Naruto baru saja mengingatkannya tentang anjing tetangga yang mati bulan kemarin.

"Mana aku tahu. Dia meneleponku dan membatalkan kencan untuk besok. Aargghh—kenapa semua cewek tidak bisa dimengerti sama sekali?" Minato membanting pintu kulkas setelah mengembalikan botol susu ke tempatnya semula. Naruto hanya melirik ayahnya itu sebentar kemudian menatap layar Hp miliknya yang tiba-tiba bergetar menandakan sebuah pesan datang.

Aku sudah putus dengan ayahmu! Puas?! Sekarang berikan aku uang yang kau janjikan!

Tulisan di layar membuat Naruto menyeringai tipis dan membalas dengan 'Sudah ku transfer. Cek saja kalau tidak percaya' kemudian menutup benda kecil itu dan berbalik menuju Minato.

Naruto mengalungkan lengan pada pinggang ayahnya itu. Memeluk tubuh wangi itu dari belakang, sedikit membuat Minato tersentak tetapi langsung menganggap bahwa anak itu hanya ingin bermanja-manja saja, jadi Minato membalasnya dengan tawa kecil.

"Kau menghiburku ya Naruto? Ibumu juga sering menghiburku saat aku sedih." Kata Minato lagi yang membiarkan anaknya itu memeluk pinggangnya.

Naruto tidak membalas hanya mempererat dekapannya saja. Entah untuk ke berapa kalinya jantungnya selalu berpacu lebih cepat saat berdekatan dengan ayahnya. Dan herannya—Minato sama sekali tidak keberatan atau menjauh saat Naruto mulai menjatuhkan diri mereka ke lantai. Pria itu hanya menatap bingung anaknya yang menindihinya, membuat seluruh berat tubuh Naruto terbebani di atas dadanya.

"Minato—" Naruto memanggil dengan suara bariton yang lebih dalam dan serak. Pria manis itu mulai bergerak gelisah di lantai dingin terlebih lagi Naruto mulai menyibak rambut pirang dikeningnya dengan lembut.

"Na—ruto, kau kenapa? Jangan panggil aku dengan nama. Panggil aku 'ayah'." Potong Minato cepat yang mencoba menghindari tatapan intim anaknya itu. Naruto bersikap cuek dan memilih menenggelamkan kepalanya di lekukan leher jenjang itu. Menghirup wangi tubuh ayahnya yang selalu memabukkan dirinya, membuatnya selalu berfantasy liar di alam mimpi.

"Naruto—" Sekali lagi pria itu berusaha memanggil anaknya. Entah kerasukan setan apa, Naruto malah semakin bernafsu untuk terus mencumbui leher ayahnya. Meninggalkan jejak merah yang tidak akan hilang selama tiga hari kedepan. Dan itu sanggup membuat Minato kalang kabut untuk menghindari hisapan di lehernya.

"Naruto!—Cukup!—Lepaskan ayah!" Setengah berteriak dan setengah memohon, Minato berusaha membebaskan dirinya dari pelukan sang anak. Agak mustahil memang—apalagi saat adrenalinmu malah berpacu dan menjalar ke bagian bawah yang seharusnya tidak boleh menegak itu. Dan hal itu semakin membuat Minato panik.

Naruto melepaskan pagutannya di leher Minato sebentar. Hanya sebentar—karena di hitungan detik selanjutnya bibirnya kembali memberi kenikmatan di mulut ayahnya. Menekan dan melumat habis bibir Minato yang tidak sanggup mengerang protes. Decakan panjang dari mulut mereka makin membuat suasana hening itu berubah menjadi panas seketika. Samar-samar Minato dapat melihat pergerakan tangan Naruto yang menyusuri daerah sensitifnya dibawah sana. Tertekan dan tersentuh oleh jari-jari yang membuatnya menahan erangan.

Tanpa terduga Naruto semakin mendekat dan membuat bagian bawah mereka saling bergesek penuh keintiman. Tanpa melihatpun, Minato yakin, milik anaknya itu sudah menonjol dengan sangat keras dan—besar.

Oh ya ampun—tidakkah Naruto tahu betapa mengerikan hubungan mereka saat ini? Seandainya Minato bisa bergerak sedikit saja untuk menghindari kesialan ini pasti dia akan langsung mendorong tubuh Naruto dan berlari panik ke luar rumah.

.

TINGTONG—Bel rumah menjadi penyelamat sementara hidup Minato.

Naruto yang tadinya sibuk mengendus dan mencumbu leher ayahnya itu langsung terdiam dan menegang ketika mendengar suara pintu rumahnya di ketok.

"Permisi—" Suara Kiba membuat Naruto berdecak kesal. Pemuda itu baru sadar kalau dia ada janji untuk belajar kelompok dengan temannya. Tetapi ingatkan dia agar menghajar sahabatnya itu nanti karena sudah mengganggu kesenangannya.

Sekarang Minato terlihat bergerak menjauh dan berusaha merapikan bajunya kemudian berjalan tergesa-gesa menuju pintu depan.

"Kiba-san—selamat malam." Sapa Minato yang berusaha senormal mungkin menyembunyikan nada serak dalam suaranya. Pemuda yang berada diambang pintu hanya tersenyum kemudian mengangguk hormat.

"Selamat malam, Minato-san." Balas Kiba dengan nada ceria tanpa curiga sedikitpun. Minato tersenyum kering kemudian menatap seseorang yang berada dibelakang Kiba. Pemuda itu ikut membungkuk hormat.

"Namaku Sasuke. Salam kenal." Ucap pemuda yang ditatap Minato tadi.

"Ah—salam kenal, Sasuke-san. Ayo masuklah." Ajak Minato lagi sambil mencoba merapikan kerah bajunya yang agak terbuka. Sasuke melirik sekilas sebelum Minato sempat menyembunyikan bercak merah di bagian lehernya yang terbuka.

"Kalian datang rupanya." Suara Naruto membuat Kiba dan Sasuke menoleh cepat. Pemuda itu terlihat mengancingkan retsletingnya. Walaupun Kiba tidak dapat melihat jelas tetapi Sasuke masih bisa menebak bahwa tonjolan di celana Naruto agak besar dan keras. Sepertinya pemuda raven itu sudah tahu apa yang terjadi sebelum mereka datang kemari. Ia hanya mendengus kecil. Tidak suka dan—tidak peduli.

"Aku mengajak Sasuke." Tunjuk Kiba pada pemuda yang berada dibelakangnya.

"Aku dipaksa olehnya." Balas Sasuke malas. Naruto mengangguk paham kelakuan Kiba.

"Ya aku tahu. Ayo ke kamarku." Kali ini Naruto menuntun mereka untuk naik ke lantai dua. Meninggalkan Minato yang berusaha tersenyum kaku sambil terus mempertahankan kemeja atasnya yang terbuka karena kancing bajunya sudah hilang entah kemana.

.

.

.

"Jadi—" Kiba memicingkan matanya pada Naruto. Pemuda pirang itu melirik sahabatnya dengan malas.

"Apanya yang 'jadi'?" Tanya Naruto yang mendapat erangan gemas dari Kiba.

"Kau pikir aku buta ya?—Aku bisa menebak dan melihatnya, Uzumaki Naruto." Tegasnya sambi mengacungkan pensilnya ke arah pemuda pirang dihadapannya. Walau enggan Sasuke juga melirik penasaran pada Kiba dengan maksud ucapannya yang 'menebak' dan 'melihat' itu.

Kiba menghempaskan tubuhnya di lantai lagi, sambil menggigit ujung pensilnya, "Kau apakan ayahmu tadi, heh?" Desak pemuda penyuka anjing itu yang mendapat delikan kaget dari Sasuke karena tidak mengira bahwa Kiba juga melihat 'kejanggalan' Naruto dan ayahnya itu. Ada sedikit rasa kagum di hati pemuda raven itu sebab ia tidak menyangka bahwa seorang Kiba pandai berakting dengan sempurna seakan-akan tidak melihat dan tidak mengetahui apapun. Sasuke ingin bertepuk tangan dan mengatakan—Bravo Kiba! Bravo! Aktingmu mengalahkan pemain Holywood sekarang ini.

Naruto hanya menanggapi malas, dia menggaruk tengkuk lehernya, "Sudahlah—tidak usah dibahas. Kau benar-benar pengganggu." Ucapnya sinis. Hampir saja Kiba mencolok mata biru pemuda dihadapannya ini kalau tidak mengingat bahwa pensilnya kurang tajam untuk dijadikan senjata.

"Jadi kau menganggapku sebagai pengganggu?!—Sial!—aku sudah menyelamatkan keperjakaan ayahmu dari 'dirimu'. Kau tahu itu, heh?! Dasar anak tidak berbakti!" Rutuk Kiba yang masih saja mengacung-ngacungkan pensilnya ke wajah Naruto.

"Dengar Kiba—pertama, kau memang pengganggu kesenangan orang. Kedua, ayahku sudah tidak perjaka lagi karena dia menikahi ibuku dan membuatku lahir didunia, oke?"

"Tetap saja—aku sudah menyelamatkan 'keperjakaannya' dari iblis sepertimu." Balas Kiba sambil membuat dua tanda petik dengan jarinya saat kata 'keperjakaan' yang disebutkannya keluar. Naruto melengos malas. Dia sudah terlalu capek untuk menanggapi ocehan sahabatnya ini.

Sasuke yang agak risih dengan pembicaraan ini mulai berdehem pelan, "Bukankah kita disini untuk belajar?" Jelasnya lagi yang membuat Naruto mengangguk mengiyakan.

"Lihat Kiba?—bahkan Sasuke pun tahu kalau tidak ada gunanya berdebat lagi."

"Ini bukan masalah berdebat dan belajar. Ini masalah 'keperjakaan' ayahmu, Naruto." Ucap Kiba sambil menggerakkan tangannya liar karena emosi.

Sasuke memutar bola matanya malas melihat kegaduhan yang dilakukan dua manusia bodoh dihadapannya ini. "Bisakah berhenti?—telingaku berdenging mendengar kalian ribut dengan masalah sepele seperti itu."

Kiba melirik Sasuke sadis, "sepele?—ini bukan masalah sepele, uchiha Sasuke—"

Naruto mendesah lagi sambil berteriak dalam hati, "Here we go... Dia mulai ceramah lagi." Dan Sasuke tahu arti desahan Naruto karena ia juga ikut mendesah tidak suka.

Kiba kembali membuka suaranya, "keperjakaan itu penting!—sangat penting!—coba aku tanya padamu Sasuke, kau masih perjaka atau tidak?" Tunjuk Kiba yang membuat Sasuke harus men-death glare nya dengan sadis. Tetapi tatapan Sasuke seakan tidak berpengaruh pada pemuda bodoh itu dan mental entah kemana.

"Tentu saja aku masih perjaka, Kiba." Jelas Sasuke dengan nada pasrah.

"See?—" Tunjuk Kiba pada Sasuke dengan mata menatap Naruto, "Sasuke masih perjaka, sedangkan kau sudah tidak suci lagi." Kali ini mata Sasuke yang melebar karena mendengar bahwa orang sependiam Naruto sudah—yaah—istilahnya 'tidak suci' lagi.

Naruto mendelik tajam ke arah sahabatnya yang memiliki mulut ember itu. Mengatakan 'Aib' seseorang juga ada batasnya. Bagaimana kalau ayahnya sampai tahu? Dan bagaiamana kalau Sasuke juga—

Naruto terdiam ketika melihat onyx Sasuke yang masih melebar dan memandangnya dengan tatapan tidak percaya. Well—sepertinya terlambat. Sang onyx sudah keburu mendengar dan tahu dari mulut Kiba bahwa Naruto sudah tidak 'perjaka' lagi. Oh—ingatkan Naruto lagi untuk membunuh Kiba setelah sesi belajar kelompoknya selesai.

Kiba yang sadar langsung menggaruk pipinya salah tingkah, dia mulai menjelaskan pada Sasuke, "Jadi—bagaimana ya?—dulu Naruto pernah pacaran dengan Hinata, kau tahu, siswi yang ada di kelas kita. Ceritanya panjang—"

"Dipersingkat saja—" Sela Sasuke yang mulai tertarik. Kiba melirik sebentar ke arah Naruto yang hanya diam tidak peduli, kemudian melanjutkan ceritanya lagi.

"Mereka pacaran—saat itu pertengahan tahun, kalau tidak salah. Aku memergoki mereka saat pulang sekolah. Kelas saat itu kosong dan mereka—"

"Kiba—" Naruto menginterupsi, "—kau tidak perlu menjelaskan detailnya." Terangnya lagi. Mata sapphire Naruto bertemu dengan onyx Sasuke yang terlihat tidak suka karena cerita Kiba dihentikan sepihak oleh pemuda pirang itu.

"Aku ingin dengar keseluruhannya." Potong Sasuke yang mendapat delikan tajam Naruto.

"Kau tidak perlu tahu." Jawab sang sapphire dengan nada dingin. Sasuke mendengus marah. Dia bukannya cemburu—hanya saja mendengar cerita yang cuma setengah itu membuat dirinya penasaran. Padahal banyak yang ingin ditanyakan Sasuke misalnya saja kenapa harus putus dengan gadis secantik Hinata? Tetapi jujur—Sasuke memang tidak terlalu peduli dan lebih memilih mengerjakan pekerjaan rumahnya saja.

"Naruto, kalau tidak salah kau putus dengan Hinata karena mengatakan bahwa kau lebih suka ayahmu daripada gadis itu kan?"

"Oh diamlah, Kiba—kau membuatku kesal." Potong Naruto yang bersiap melempar pemuda bodoh itu dengan tempat sampahnya.

Sasuke mengangguk pelan. OhJadi dia putus karena lebih suka pada ayahnyapantas saja.

.

.

"Hoaaamm—" Kiba menguap cukup lebar. Sasuke melirik jam tangannya, pukul 9 malam, wajar saja kalau pemuda yang ada disebelahnya ini mengantuk.

"Mau menginap?" Tawar Naruto yang disambut anggukan pelan Kiba.

"Ya—aku menginap saja deh."

"Aku tidak—" potong Sasuke yang bersiap untuk pulang tetapi tangannya keburu ditarik oleh pemuda penyuka anjing itu, membuat Sasuke kembali terduduk dilantai.

"Jangan pulang Sasuke!"

"Aku ingin pulang Kiba."

"Oh ayolah—kau itu seperti cewek saja. Kita menginap di tempat Naruto kan tidak apa-apa?"

"Tidak bisa. Ayahku mengkhawatirkanku." Sela Sasuke—atau setidaknya aku yang mengkhawatirkan ayahku, ucapnya dalam hati.

"Sasuke—Ayolah—jangan dingin begitu." Kali ini Kiba merengek sambil memegangi kaki pemuda raven itu.

"Aku sudah bilang, aku akan pulang!—jangan seperti anak kecil!" Sasuke berusaha mengibaskan kakinya agar genggaman Kiba terlepas, tetapi bukannya lepas, cengkraman pemuda bodoh itu semakin erat.

Naruto melirik mereka dengan helaan napas panjang, "Kalian berdua menginaplah disini. Dan kau Sasuke—jangan protes lagi." Tegas Naruto yang membuat Kiba bersorak senang. Sasuke lagi-lagi mendengus tidak suka, mata onyxnya menatap tajam ke arah Naruto. Percuma—death glare nya tidak akan ampuh.

"Aku mengerti—kalau begitu aku pinjam telepon rumahmu dulu." Kata Sasuke yang disambut anggukan Naruto.

"Turun dari tangga, dekat pintu depan." Sahut Naruto. Sasuke hanya berdiri dan bergerak menuju keluar kamar. Langkah kakinya bergema saat menuruni tangga kayu itu. Sebenarnya dia sangat enggan untuk menginap, bagaimanapun juga Sasuke ingin segera pulang dan bertemu ayahnya itu.

Sasuke mendekatkan gagang telepon ke telinganya, setelah beberapa detik menunggu sebuah suara menjawab panggilan teleponnya.

"Hallo—Ayah? Ini aku."

"Ya? Sasuke?" Suara ayahnya terdengar malas dan mengantuk. Pemuda raven itu menggigit bibirnya sebentar sebelum bicara lagi.

"Aku menginap di tempat Naruto."

"Hn—Baiklah, jaga dirimu."

"Iya—" Sahut Sasuke lagi. "—Ayah, selamat malam."

"Selamat malam." Jawab Fugaku yang ingin menutup teleponnya tetapi langsung terhenti ketika Sasuke mengatakan kelanjutannya.

"Aku mencintaimu, ayah." Dan Sasuke sudah menutup teleponnya dengan bibir yang membentuk lengkungan senang.

.

Fugaku yang berada diseberang telepon hanya mendesah lelah. Dia menekan keningnya yang tiba-tiba berdenyut sakit.

"Siapa yang menelepon?" Tanya Itachi di ambang pintu kamar dengan sebuah handuk yang tersampir di rambutnya yang basah.

"Sasuke—" Jawab Fugaku sambil berlalu menuju kamar tidurnya. Itachi menatap ayahnya lama kemudian menyunggingkan seringai aneh.

"Masih menatap Sasuke sebagai Mikoto? Asal ayah tahu saja, Sasuke dan ibu adalah orang berbeda, jangan karena warna mata anak itu yang mirip ibu, kau menatapnya dengan pandangan jatuh cinta seperti itu." Ucap Itachi dengan seringai bibirnya.

Fugaku melirik anak tertuanya itu tajam, "Hentikan ocehanmu Itachi dan cepat tidur."

"Tidur?—" Itachi menarik lengan Fugaku, "—Sayangnya aku tidak bisa tertidur." Bibir pemuda itu mengecup tangan Fugaku, menyentuhkan bibirnya yang dingin ke punggung tangan yang hangat itu. Fugaku tidak tersentak melainkan hanya diam menunggu ketika putra sulungnya mendekat dan menariknya ke dalam kamar pemuda itu.

Itachi merebahkan tubuhnya di kasur sambil menyisir surai rambut panjangnya, "Ayo—kita lakukan." Godanya dengan kekeh kecil. Lidahnya menjilat bibir atasnya dengan seringai tipis. Fugaku mendekat dan menghimpitkan tubuhnya di atas Itachi. Kecupan pendek di jatuhkan ke leher anaknya itu. Tangan besar Fugaku menyisir rambut Itachi yang berwarna hitam pekat.

"Rambutku—mirip ibu kan?" Ucap Itachi dengan suara serak yang menggoda. Fugaku tidak menjawab dan mendekatkan helaian rambut anaknya ke indera penciumannya. Wangi dan lembut. Membuatnya mengingat harum tubuh Mikoto dulu. Untuk sesaat Fugaku menghentikan gerakan tangannya dari kepala anaknya itu dan memilih menjauh.

"Tidurlah." Satu kata dari Fugaku membuat Itachi membuka matanya yang sebelumnya terpejam karena larut dalam deru napas sensualnya.

"Besok kau sudah harus sekolah." Jawab Fugaku yang melepaskan tindihannya dari Itachi.

"Tapi, kita belum melakukan apapun."

"Ya—dan sekarang tidurlah." Kali ini Fugaku keluar dan menutup pintu kamar anaknya dengan cepat. Tubuhnya bersender lemas di depan pintu Itachi, dia mengusap wajahnya yang penuh keringat. Lelah.

"Mikoto—" Bisiknya pelan, "—membesarkan anak sangat susah. Aku tidak sanggup lagi."

.

.

Sasuke mengembalikan gagang telepon dengan dentuman jantung yang cepat, bibirnya bergetar panik dengan rona merah di pipi, "Aku mengatakannya. Aku sudah mengatakan pada ayahku kalau aku—"

"Kalau apa?" Suara bariton Naruto membuat Sasuke terlonjak kaget dan membalikkan tubuhnya dengan cepat. Cowok pirang itu bersender malas di dinding tangga. Tangannya sesekali menyisir surai blonde nya yang lembut.

"Tidak ada apa-apa." Jawab Sasuke cepat yang bergerak panik menuju lantai dua melewati Naruto begitu saja. Tangan Naruto langsung bergerak untuk menangkap lengan pemuda raven itu, mata birunya menatap tajam ketika sang onyx berbalik dengan kaget.

"Ada apa?" Tanya Sasuke gugup. Naruto masih menatapnya tajam, kemudian menghela napasnya dalam.

"Tidak—hanya mau bertanya kau ingin minum apa?"

"Terserah kau saja." Jawab Sasuke lagi yang melepaskan pegangannya dari tangan Naruto. Pemuda raven itu bergegas untuk masuk ke kamarnya dan menutupnya dengan pelan.

Naruto hanya terdiam ditangga sambil menggaruk tengkuk lehernya dengan gelisah. Ia sudah mendengar pembicaraan Sasuke yang seharusnya tidak didengarkan oleh telinganya.

.

"Aku mencintaimu, ayah."

.

Naruto mendesah lagi, "Dia mirip denganku." Kini tubuh Naruto merosot dan terduduk di kaki tangga sambil menggaruk rambut pirangnya, bingung. Mata birunya melirik sekilas Minato yang sibuk mencuci piring di dapur.

"Dia sudah mengatakannya, huh?—Menggelikan, bahkan aku saja tidak sanggup mengatakan hal itu pada ayahku."

.

.

.

TBC

.

Untuk chap ini masih belum keliatan lemonan nya #plak XD *author digampar massa*

RnR please ^^