Title : Perfectly Imbalanced (Indonesian)

Author : Supergelie

Main pairing : ChanBaek / BaekYeol

THIS STORY BELONGS TO SUPERGELIE

AND I JUST TRANSLATE IT INTO INDONESIAN

PLEASE DO NOT REUPLOAD THIS STORY!

.

.

.

.

PERFECTLY IMBALANCED

.

.

.

.

Chapter 20 : Blind

.

.

.

Pagi datang jauh lebih cepat dari yang ia perkirakan. Gorden suah dibuka untuk membiarkan sinar matahari masuk saat matanya berkedip. Ada sedikit berat di lengan kanannya saat dia berusaha bergerak. Dia menunduk dan melihat Leo memeluk lengannya. Sedangkan Arthur ada di sisinya yang lain. Ia perlahan mengangkat lengan Leo agar ia bisa menarik kembali lengannya dan dengan hati-hati meletakkan kembali tangan Leo di ruang yang sekarang kosong itu. Dia turun dari tempat tidur sepelan yang ia bisa dan mencari Tristan di sekitarnya saat ponselnya atau ponsel Luhan berdering. Mereka memutuskan untuk bertukar ponsel jaga-jaga kalau Chanyeol menelepon dan tau kalau dia tidak menelpon secara internasional.

"Halo?"

"B, Chanyeol menelepon! Aku mengatakan padanya aku akan menelepon lagi karena kau... pergi."

"Baiklah lakukan hal konferensi itu. Lalu telepon dia."

"Baiklah baiklah." Terdengar beberapa bunyi beep sebelum Luhan berbicara lagi. "Selesai. Apa kau bisa mendengar suara ponsel Chanyeol berdering?"

"Ya." Setelah deringan ketiga, Chanyeol akhirnya menjawab. Nafas Baekhyun secara otomatis terhenti.

"Baekhyun?"

Suaranya.

Dia sangat merindukan suaranya.

"Hey."

"Hey Baek! Apa kabar? Aku meneleponmu tadi! Luhan bilang kau pergi." Entah bagaimana dia bisa membayangkan Chanyeol menyeringai dan kemudian berganti menjadi cemberut dalam sesaat.

"Y-ya. Aku sebenarnya sedang tidur tadi."

"Oh iya, sudah sore ya di sana sekarang?"

"Ya." Baekhyun menutup matanya dan menarik nafas dalam. Ia memikirkan wajah Chanyeol, senyumnya, dan kedutan khasnya. Dia membayangkan dirinya duduk di kamarnya, di tempat tidurnya berbicara dengan Chanyeol seolah-olah semuanya normal, seolah semuanya baik-baik saja. Ia mendengar burung berkicau dan dedaunan bergerak di luar. Dia bisa mencium aroma kamarnya sendiri. Dia bisa merasakan tekstur tempat tidurnya. Dan dia tetap seperti itu. "Jadi...bagaimana di London?"

"London bagus! Aku mengambil banyak foto! Orang-orangnya juga baik! Aku berharap kau ada di sini denganku." Baekhyun tersenyum. "Oh aku tau! Aku akan mengirim fotoku di Big Ben padamu!" Dia bisa mendengar suara klik beberapa kali. "Sudah! Apa kau melihatnya?"

Baekhyun melirik ponselnya untuk melihat sebuah gambar yang dikirim Luhan padanya dan dia tidak bisa menahan senyuman. Ada Big Ben. Dan ada wajah besar Chanyeol di sudut foto itu menyengir lebar. Dia terlihat sangat bodoh. "Aku melihatnya." Jawab Baekhyun.

"Terlihat bagus kan?" Chanyeol tertawa. "Saat aku pulang aku akan membawa banyak buah-buahan untukmu. Kau akan menontonku nanti kan?"

"Y-ya tentu saja aku akan menonton."

"Hebat! Aku harus pergi sekarang." Ucap Chanyeol. "Hey Baekhyun."

"Hm?"

Ia diam sebentar tapi tak masalah karena Baekhyun suka suara nafas Chanyeol.

"Aku merindukanmu."

Baekhyun menundukkan kepalanya. Entah kenapa menatap lurus ke depan menjadi sangat berbeda. Dia sangat lemah. Dia benci fakta bahwa dia sangat lemah dengan kata-kata Chanyeol. Dan sangat sakit rasanya karena dia merindukan Chanyeol lebih dari yang seharusnya.

"Aku... aku juga merindukanmu Chanyeol." Ia menggigit bibirnya untuk menahan air matanya.

Dia seolah-olah bisa mendengar senyuman Chanyeol dan dia merasa senang. Rasanya menyenangkan mengetahui bahwa dia bisa membuat Chanyeol tersenyum, bahwa hal-hal sederhana seperti ini bisa membuatnya bahagia. Dan ia ingin membuatnya terus bahagia tapi ia tidak bisa. Itulah kenapa ini sakit.

"Sampai jumpa Baek." Chanyeol menutup telepon. Baekhyun hanya bisa memegang kata-kata itu.

"Baekhyun." Ucap Luhan dari seberang telepon. "Semuanya akan baik-baik saja."

Dan jatuhlah air matanya. "Aku tau." Dia menyeka air matanya segera dan mendongak untuk mencegah air matanya jatuh lagi. "Terima kasih."

Luhan mengakhiri panggilan grup itu.

Baekhyun berjalan ke arah jendela tinggi dan menatap ke luar. Ia hanya berdiri di sana dan memandangi matahari yang perlahan menyinari langit pagi. Hari ini itu dimulai. Hari ini ia akan mengambil apa yang telah menjadi miliknya. Dia tidak bisa bersembunyi lagi. Sudah cukup. Ini saatnya memberitahu orang-orang siapa dia. Walaupun itu artinya ia akan kehilangan orang yang paling ia cintai, dia tidak bisa membiarkan kerja keras ayahnya terbuang sia-sia. Ini sulit tapi memang beginilah atau pengorbanannya akan sia-sia.

Ia merasa sesuatu meraih ujung bajunya jadi ia menoleh ke bawah. "Ellie." Panggil Leo sambil menggosok matanya. "Aku lapar."

Baekhyun berlutut untuk menggendong Leo di pelukannya. Ini mengingatkannya pada saat ia biasa menggendong Yuan dulu. Ia ingin mereka berdua bertemu. Mereka mungkin bisa menjadi teman baik. Dia menoleh ke tempat tidur dan melihat Arthur masih mendengkur. "Kakakmu masih tdiur."

"Dia selalu tidur..." Gumam Leo sambil mengalungkan lengan kecilnya di leher Baekhyun.

Baekhyun berjalan ke arah tempat tidur dan mengguncang lengan Arthur pelan. "Arthur, bangun."

"Dia tidak akan terbangun seperti itu." Ucap Leo.

"Oh? Kenapa tidak?"

"Kau harus berteriak."

Baekhyun mengerutkan alisnya. "Berteriak?"

Leo mengangguk. "Tristan selalu berteriak padanya."

Baekhyun terkekeh dan perlahan menurunkan Leo ke lantai. Kemudian dia bersandar di dekat telinga Arthur.

"ARTHUR BANGUN ADA KEBAKARAN KITA AKAN MATI!"

Arthur tersentak dan mulai panik dan berakhhir terjatuh ke lantai dengan bunyi keras. Leo mulai tertawa dan Baekhyun juga.

Arthur duduk. "Sialan."

Baekhyun hanya mengedik. Seolah-olah diberi isyarat, pintu terbuka dan Tristan masuk dengan tangan penuh dengan kantong kertas. "Aku membelikan kalian pakaian dan makanan." Ia berjalan ke samping untuk membiarkan para staff mendorong sebuah troli dengan sarapan pagi mereka. Leo dengan senang berjalan saat ia melihat makanan. Arthur mengikutinya beberapa saat kemudian.

"Hey." Ucap Tristan pada Baekhyun dengan senyuman. "Jadi apa kau siap untuk ini?"

"Aku tidak bisa mengubah keputusanku sekarang kan?" Baekhyun terkekeh. "Bagaimana kau akan melakukan ini sebenarnya? Aku hanya akan... berjalan di tengah perjamuan itu dan memperkenalkan diriku? Atau?"

"Itulah apa yang harus kau lakukan. Tapi kita juga harus hati-hati."

"Tunggu, bukankah ini sebuah acara eksklusif? Itu artinya akan ada penjaga di mana-mana. Bagaimana aku bisa masuk?"

"Itulah kenapa kita butuh Yixing." Jawab Tristan singkat. "Dia yang mengontrol para penjaga."

"Oh iya Yixing." Baekhyun mendesah.

Tristan mendesah. "Dengar, aku tau kau tidak ingin bertemu dengan Yixing tapi—"

"Bukan begitu." Baekhyunn memotong. "Hanya saja...aku tidak tau harus mengatakan apa padanya. Tapi aku akan baik-baik saja."

"Aku tau kau bisa melakukan ini. Kau keluarga Van der Gilt."

Lucu sekali bagaimana hampir setiap kalo dia berusaha menolak fakta bahwa dia memang anggota keluarga Van der Gilt. Edward mungkin memang bukan ayah biologisnya tapi ibunya sangat mencintai ayahnya dan dia bisa melihat itu setiap hari. Edward sudah bersamanya sejak dia lahir dan dia sangat menyayanginya tanpa pamrih seperti anak kandungnya sendiri. Ini tidak bisa disangkal lagi. Tidak peduli berapa kali dia mencoba melarikan diri dia akan selalu kembali ke titik awal.

Ia hanya berharap bahwa dia tidak mengacaukan apapun karena jatuh kembali ke titik awal itu sakit. Hanya memikirkan orang-orang yang harus ia tinggalkan membuatnya ingin berhenti di tengah jalan segera. Tapi seperti ibunya yang dulu sering katakan, orang-orang yang berpisah akan bertemu kembali suatu saat nanti. Dan dia akan memegang kata-kata itu selama yang ia bisa karena dia tau bahwa itu akan terus seperti ini, berharap, berharap, dan berharap.

.

.

.

Jam menunjukkan pukul 3 sore. Perjamuan itu akan dimulai pukul lima. Tapi tidak baginya. Saat ia melangkah keluar kamarnyalah semunya mulai berubah—hidupnya dan hidup orang lain. Baekhyun sudah menatap ke cermin sangat lama, mencoba untuk mengingat wajah yang akan berperan itu. Dia memakai sweater berwarna baby blue, dengan kerah kemeja polo keluar, serasi dengan jeans hitamnya dan mantel hitam panjang sebagai penutup dari udara yang dingin. Ia terlihat...normal. Dan ini sempurna karena dia ingin terlihat normal.

"Apa yang kau pakai?" tanya Tristan setelah keluar dari kamar mandi.

"Uh, pakaian?"

"Kau akan memakai itu ke perjamuan?" Baekhyun memutar matanya. "Ellie, aku membelikanmu jas—"

"Aku tidak akan memakai jas." Ucap Baekhyun sambil perlahan berbalik untuk menghadap Tristan.

"Apa? Apa maksudmu kau tidak akan memakai jas?"

"Maksudku, aku tidak akan memakai jas."

"Kau harus pakai jas. Kita akan pergi ke acara formal!"

"Tristan aku tidak mau memakai jas! Aku tidak datang ke sini untuk itu. Aku datang untuk megklaim milikku. Aku tidak akan menjadi 'Elliemu'! Aku ingin menjadi diriku sendiri!"

Tristan hanya menatapnya, jelas sekali dia kaget dengan sikap yang ditampilkan Baekhyun di depannya. Ia ingat Baekhyun adalah anak yang penurut dan sopan, tidak seperti ini.

"A-aku minta maaf Tristan. Aku hanya resah..." Baekhyun berbalik dan mengipas wajahnya dengan tangannya.

"Tidak apa." Ucap Tristan. "Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk memakai jas. Cukup...pastikan kau bisa melakukan ini. Ini bukan lelucon Ellie."

"Aku tau. Aku akan pastikan untuk mengklaim milikku."

.

.

.

Tempat perjamuan itu sangat megah seperti yang Yixing katakan. Dia terus keluar masuk pagi ini untuk memeriksa persiapan dan hal-hal lain hingga ia belum juga merasakan tekanannya. Dia lelah tapi dia suka bekerja. Bekerja membuatnya terus sibuk sehingga ia tidak bisa memikirkan hal-hal yang tidak penting. Satu setengah jam lagi acara perjamuan itu akan dimulai secara resmi jadi para pengelola sedikit kewalahan akhir-akhir ini dengan semua perubahan mendadak dan masalah yang muncul tiba-tiba.

"Tuan Zhang, kita punya masalah." Salah satu pengelola berkata.

"Apa sekarang?" tanya Yixing dengan desahan berat.

"Bunga yang Nyonya Amanda pesan uh," Pengelola itu kemudian melihat catatannya. "Bunga dandelionnya...terkirim ke tempat yang salah dan akan butuh waktu satu setengah jam untuk sampai ke sini."

"Apa?! Bagaimana kau bisa membiarkan ini terjadi?! Kau hanya punya satu pekerjaan!" Yixing berteriak frustasi. "Ya tuhan—" Dia melirik tanda nama staff itu. "—Susan! Cepat temukan penggantinya!"

"Tapi pak—"

"CEPAT TEMUKAN PENGGANTINYA ATAU AKU AKAN MENAMPILKANMU SAJA DI SANA."

Susan terhenyak dan mulai berlari. "Baik pak!"

Yixing mendesah.

"Pak!" Yixing berbalik dan melihat salah satu pegawainya berlari ke arahnya. "Pak, semua pegawau berkumpul di luar!"

Yixing diam-diam bersyukur akhirnya dia bisa melakukan pekerjaannya. Benar, ia memimpin petugas kepolisian yang bertugas untuk acara hari ini, mereka semua. Ada petugas yang disuruh untuk menjaga gerbang, dan ada juga yang disuruh berdiri di luar ruangan dan di jalan. Acara ini adalah salah satu acara terbesar tahun ini, belum lagi banyak orang-orang penting dan pebisnis yang hadir. Menjaga tempat ini adalah prioritas utamanya.

Ia bertemu dnegan penjaga yang berbaris di luar dengan percaya diri. "Baiklah. Kalian semua tau seberapa pentingnya acara ini kan?"

"Ya, pak!"

"SEKARANG AKU INGIN KALIAN SEMUA UNTUK FOKUS DAN PERHATIAN! PERHATIKAN SEKELILING KALIAN BAIK-BAIK! LAPORKAN APA SAJA YANG MENCURIGAKAN PADAKU SEGERA!"

"Ya, pak!"

"JANGAN BIARKAN APAPUN MENGACAUKAN ACARA INI DAN PASTIKAN SETIAP SUDUT DARI TEMPAT INI DIJAGA DENGAN BAIK! KALIAN MENGERTI?!"

"Ya, pak!"

"Bagus. Sekarang pergi ke tempat kalian!"

Para petugas segera bubar dan mulai berlari ke tempat mereka masing-masing. Yixing menoleh berkeliling dari tempatnya untuk memeriksa seluruh tempat dan untuk melihat apakah semua bawahannya melakukan pekerjaan mereka. Dia cukup senang dengan hasilnya tapi dia tidak pernah bisa tenang. Banyak hal terjadi secara tidak terduga di acara seperti ini jadi dia harus bisa sefokus dan seteliti mungkin seperti para bawahannya. Dia hanya diberikan satu kesempatan ini utnuk membuktikan bahwa dia pantas di mata ayahnya jadi dia tidak akan mengacaukan yang satu ini. Dia bersikeras untuk berhasil dengan pekerjaan ini tidak peduli bagaimana caranya.

Walaupun dia melakukan semua ini dengan setengah hati. Ketiadaan Baekhyun membuat segalanya jauh lebih buruk dari yang ia duga. Terutama dengan berita tentang Edward yang meninggal dunia. Amanda satu langakah lebih dekat dari merampas perusahaan sekarang. Dia melakukan beberapa percobaan untuk menggagalkan rencana Amanda tapi dia tidak punya kekuatan sebesar itu. Hal terbaik yang bisa ia lakukan adalah mendapatkan kepercayaan Amanda dan jika Amanda sukses mengganti hak waris, dia akan terus bersamanya hingga ia bisa merampas balik semuanya dengan kekuatannya sendiri. Itu spekulasi yang berbahaya tapi dia tau bahwa Baekhyun akan kembali.

"Pak."

Yixing berbalik menghadap petugas itu. "Ada apa?"

"Ada laporan tentang laki-laki yang terlihat mencurigakan berkeliaran di pintu 3."

"Bagaimana mencurigakan?"

"Uh...sepertinya mereka mabuk."

"Singkirkan mereka. Media akan menggunakan pintu 3. Aku tidak ingin mereka membuat berita tentang para pria mabuk itu."

"Siap pak." Petugas itu berbalik pergi tapi berbalik kembali menghadapnya. "Ada satu lagi pak. Laporan ini masuk hari ini...tentang orang yang kau cari?"

Yixing segera mengambil file itu untuk melihatnya. Ia kaget saat ada yang menarik ujung seragamnya. Ia menoleh ke bawah dan melihat Leo. "Leo apa yang—tunggu sebentar, aku sibuk." Ia kembali melihat file itu.

"Yixing!"

Yixing mengerutkan alis saat ia melihat Arthur di sebelahnya. "Kau juga? Tunggu, apa yang kalian lakukan di sini?"

"Kami ingin menunjukkan sesuatu padamu!"

"Aku tidak bisa. Aku sibuk. Pergi bermain di tempat lain."

"Tapi ini penting!"

"Aku punya hal lebih penting untuk dilakukan okay?"

Arthur kemudian menarik lengan Yixing dan mulai berjalan.

"Arthur! Apa yang kau lakukan?! Aku harus bekerja!"

Leo, sebaliknya mendorong Yixing dari belakang.

"Kemana kalian akan membawaku?"

Tidak ada yang menjawab maka Yixing tidak mengulang lagi pertanyaannya. Mereka sampai di belakang tempat acara dan memasuki lorong-lorong di mana petugas-petugas katering bekerja. Kemudian mereka berbelok beberapa kali, kiri dan kanan, sebelum mereka akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan.

"Baiklah, apa ini?" tanya Yixing.

"Masuk saja." Jawab Arthur singkat.

Yixing memutar matanya dan membuka pintu. Ia melihat Tristan berdiri di tengah ruangan, menatapnya. "Baiklah...uh...Tristan, apa-apaan—" Ia berhenti saat Tristan menyingkir ke samping dan menunjukkan seseorang yang berdiri di belakangnya. "Oh tuhan..." Yixing menghela nafas kaget, tidak yakin apa dia harus menangis atau tertawa. "Ya tuhan—" Ia segera berlari ke arah Baekhyun dan memeluknya erat. "Kau baik-baik saja... kau di sini... aku tidak percaya." Ia melepas pelukannya dan menangkup wajah Baekhyun yang tersenyum padanya. "Ini benar-benar kau... bagaimana kau bisa ada di sini... apa yang kau lakukan di sini? Ya tuhan." Tangis Yixing kemudian pecah. Tapi dia teersenyum. Dan Baekhyun bersyukur karena Yixing tersenyum padanya karena tadinya dia tidak tau bagaimana dia harus bereaksi. Tapi dia senang dan lega melihat Yixing belum berubah sama sekali. Dia harusnya tau tidak peduli apa yang terjadi, Yixing akan selalu tersenyum padanya.

"Bagaimana... kabarmu?" Tanya Baekhyun. Yixing hanya tertawa padanya.

"Bagaimana kau sampai di sini? Bagaimana mereka menemukanmu?"

Tristan berjalan ke arah mereka. "Terima kasih pada Arthur."

Mereka semua menoleh pada Arthur yang menyengir balik pada mereka.

Yixing mulai menyeka air matanya dan akhirnya tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Baekhyun melirik Tristan sebelum akhirnya menjawab. Ia melihat Yixing tepat di matanya untuk satu permintaan penting itu. "Aku butuh bantuanmu."

.

.

.

"DAAAAN KITA MENYIARKAN LANGSUNG PERJAMUAN VAN DER GILT! TINGGAL 15 MENIT LAGI SEBELLUM ACARANYA DIMULAI DAN SATU PERSATU ORANG-ORANG MULAI MENGISI KURSI! BUKANKAH INI MENYENANGKAN?!"

Luhan memutar matanya. "Reporter itu sangat berisik."

Sehun hanyatertawa di sampingnya. "Mungkin dia mabuk."

Luhan mendesah. "Aku merasa sedikit tidak enak karena tidak ada di sana untuk mendukung Baekhyun..."

"Ayolah. Kau sudah melakukan segala yang kau bisa."

"Dan Kai entah di mana. Apa yang terjadi pada dunia ini?"

Sehun tertawa lagi dan bersandar ke depan untuk meraih popcorn di meja. "Semuanya akan baik-baik saja."

"Ya." Ucap Luhan. "Lebih mudah berbicara daripada bertindak."

Jauh lebih sulit saat kau hanya biisa berdiri dan menonton semua orang yang penting bagimu kesakitan. Saat kau merasa sangat tidak berguna atau semacamnnya saat sebenarnya kau bisa saja melakukan sesuatu. Begitulah yang Luhan rasakan sekarang. Semenjak Baekhyun pergi, dia tidak pernah berhenti memikirkan apa yang akan terjadi jika dia menghentikan Baekhyun pergi waktu itu. Jjika saja dia menjadi egois dan memohon padanya agar dia tetap tinggal. Akankah ada yang berubah?

Tapi semua sudah terjadi sekarang.

Dia hanya bisa berharap setelah semuanya, Baekhyun bisa menemukan kebahagiaannya, walaupun semuanya blur saat ini.

.

.

.

Yixing berdiri tegak di sudut di belakang lorong. Perjamuannya sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Amanda dan Elliot Van der Gilt palsu itu sudah masuk saat dia masuk ke dalam. Semua meja terisi, suatu peringatan bahwa acara ini memang sangat penting. Salah satu rekan bisnis kepercayaan Amanda sedang berpidato di depan untuk memulai acaranya secara formal. Dia melirik para bawahannya , yang kemudian mengangguk padanya. Wu Fan dan Chanyeol duduk di depan , beberapa kursi di sebelah Amanda. Mereka akan memberikan presentasi dan pidato nanti dan kemudian para tamu akan diberikan kesempatan untuk bertanya, itulah kenapa ada mic di tengah ruangan. Sebelum Amanda akan mengumumkan perusahaan mana yang ia pilih, para tamu akan disuguhi makanan. Yixing bertanya-tanya apakah mereka akan sampai ke tahap itu. Dia berdiri tegak di sana dengan tujuan baru di kepalanya.

"Aku butuh bantuanmu."

Yixing mengerutkan allis. "Bantuan apa?"

Baekhyun mendesah dalam. "Aku tau tentang rencana Amanda dan aku tau kau juga mengetahuinya. Aku ingin menghentikannya."

"Bagaimana... bagaimana kau akan melakukan itu?"

"Aku akan menginterupsi acara perjamuan itu dan memperkenalkan diriku."

"Apa?"

"Hanya itu cara satu-satunya sekarang."

"Kalau begitu bantuan apa yang kau butuhkan dariku?"

Baekhyun melirik Tristan memintanya untuk melanjutkan. Dia tidak pernah bagus dalam menjelaskan sesuatu jadi mungkin dia hanya akan membuatnya terdengar seperti lelucon besar.

Tristan berdeham. "Dengar, karena Amanda punya penipu itu untuk memerankan Elliot, akan sulit untuk membuktikan bahwa Ellie yang ada di sini sekarang adalah Elliot Van der Gilt yang asli. Jadi kami butuh bantuanmu untuk menolong kamu dan memaksa Amanda mengaku."

Ini adalah satu permintaa yang egois bagi mereka semua.

Baekhyun bersandar lebih dekat, ekspresinya hampir memelas sekarang. Dan Yixing tidak mau melihatnya memelas karena tidak peduli apa yang terjadi, dia akan selalu menjadi penolong nomor 1 Baekhyun. "Apa kau bisa membantu kami?"

Dia tidak perlu bertanya.

"Tentu saja."

Apapun untukmu.

Yixing tersadar saat speaker memanggil Amanda untuk mengatakan sepatah dua patah kata. Seharusnya Elliot yang melakukan itu karena dialah pewarisnya, sebenarnya, dialah pemiliknya sekarang karena Edward sudah meninggal dunia. Tapi sepertinya Elliot palsu itu masih belum terlatih untuk memberikan pidato sendiri. Amanda perlahan berjalan ke depan.

"Pertama-tama, aku ingin berterima kasih pada kalian semua karena telah hadir di sini malam ini, walaupun dengan adanya berita baru-baru ini tentang suamiku yang telah meninggal dunia." Amanda mendesah. "Aku tidak bisa menunda acara ini karena aku tau seberapa pentingnya acara ini baginya. Peninggalannya akan selalu ada di hatiku." Para tamu menangguk setuju. "Aku harap dia bisa melihat ini dari atas bagaimana sudah perusahaan ini berkembang."

Yixing hanya bisa tertawa sekarang.

"Dia adalah lelaki yang baik."

"Dia masih lelaki yang baik."

Baekhyun perlahan membuka pintu, suara deritannya menarik perhatian para tamu dan tanpa disadarinya semua orang telah menatapnya. Tapi dia tidak berlari, dia malah berjalan ke dalam, tumitnya yang menapak lantai adalah suara satu-satunya di tengah kesunyian itu. Dia menatap lurus pada Amanda yang menatapnya dengan mata melebar. Dia tidak melirik sekelilingnya. Dia tidak melihat Chanyeol karena dia tau bahwa saat dia melihat wajah Chanyeol, dia tidak akan berhasil melakukan misinya. Dan dia harus berhasil. Dia harus mengakhiri ini.

Yixing memperhatikannya hati-hati. Ia selalu kagum dengan kepercayadirian Baekhyun, bahkan di saat-saat yang buruk. Baekhyun selalu memiliki aura itu pada dirinya, perasaan kuat yang kau dapatkan saat kau melihatnya. Dia mengintimidasi semua orang, bahkan yang paling sukses sekalipun. Seperti ayahnya.

Baekhyun berhenti di depan mic dan meraih micnya.

Ia menepuknya pelan dan berdeham.

"Namaku adalah Elliot Van der Gilt—" Para tamu terhenyak kaget. "Putra dari Edward Van der Gilt dan pewaris sattu-satunya dan Van der Gilt Corporation. Orang itu," dia menunjuk ke arah penipu yang duduk dengan tenang di depan. "adalah penipu!"

Bisik-bisik para tamu semakin keras.

Chanyeol tercengang. Dia bahkan tidak bisa bereaksi. Ia hanya berdiri di sana dan menonton semuanya. Dia tidak tau tempatnya.

Kris, sebaliknya, adalah yang paling tertarik dengan ini. "Ini menarik."

Amanda segera merebut mic saat ia akhirnya tersadar. "DIA BERBOHONG! DIALAH PENIPUNYA! TANGKAP DIA!" Dia berteriak pada para penjaga di sekitar tempat itu tapi tidak ada yang bergerak. Bisik-bisik semakin keras hingga ia bahkan bisa mendengar apa yang mereka katakan sekarang. Kemudian dia menjadi panik. "KENAPA KALIAN TIDAK BERGERAK?!"

"Apa kau lupa, Nyonya Amanda." Yixing perlahan berjalan ke tengah. "Bahwa orang-orang ini hanya menerima perintah dariku?" Kemudian dia berhenti di samping Baekhyun.

"SEMUANYA, APA YANG DIKATAKAN PRIA INI MEMANG BENAR! DIALAH ELLIOT VAN DER GILT YANG ASLI! PRIA ITU, YANG NAMANYA SONG JOONGKI, ADALAH PENIPU YANG DIBAYAR OLEH NYONYA AMANDA SEBAGAI RENCANANYA UNTUK MENGUBAH HAK WARIS TUAN EDWARD AGAR DIA BISA MENNGAMBIL SEMUA UANGNYA DAN TIDAK MENYISAKAN APAPUN UNTUK PARA PUTRANYA!"

Sekarang tidak ada bisikan. Semua tamu terus berbincang-bincang hingga ruangan itu penuh dengan suara. Apalagi dengan adanya reporter yang sudah keluar dari kursi mereka ke tengah ruangan untuk mengambil foto dari kedua pihak.

"PEMBOHONG! DIA BERBOHONG!" Amanda berteriak panik.

"Dia tidak berbohong." Kali ini Tristan yang menjawab. Dia berdiri di samping Baekhyun, dengan Leo dan Arthur berdiri dekat dengannya.

"PENGKHIANAT! APA-APAAN INI?! SETELAH SEMUANYA YANG KUBERIKAN PADA KALIAN! KALIAN SEMUA PENGKHIANAT!"

Yixing mengisyaratkan agar para penjaga menangkap Amanda dan juga penipu itu dan mereka dengan cepat mematuhi sementara yang lain menghalangi agar para reporter tidak berkerumun di sekitar keluarga Van der Gilt. Terdengar suara klik dan cahaya kamera di mana-mana. Bukan hanya itu, para tamu juga sudah menyebar di sekitar ruangan. Tristan mencoba mengusir para reporter sambil menjaga adik-adiknya sementara Yixing memerintahkan para penjaga agar memberi mereka jalan.

Tapi Baekhyun tidak peduli.

Dia menatap ke depan, meregangkan lehernya untuk melihat di balik kerumunan para reporter dan kamera-kamera dan melihat Chanyeol menatap kosong padanya. Dia tidak tau apa artinya atau apa yang Chanyeol coba katakan padanya tapi tatapannya kosong, seolah-olah Chanyeol sudah berhenti bertanya-tanya, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi atau kenapa ini terjadi. Dia hanya menatapnya.

"Baekhyun ayo pergi!"

Dia berbalik saat Yixing menarik lengannya keluar dari kerumunan. Dia menoleh ke belakang dan tidak bisa menemukan Chanyeol di manapun. Dia menarik lengannya kembali dan Yixing menatapnya bingung. "Aku tidak bisa! Aku harus mencari seseorang!"

"Baekhyun ini bukan waktunya untuk berdebat!" Yixing berteriak kembali dan menariknya lebih keras. Baekhyun tidak punya pilihan lain. Dia membiarkan Yixing menariknya ke pintu dan melihat Kris menyeringai ke arahnya. Dia menatap lelaki tinggi itu saat dia berjalan, dan Kris hanya melambai padanya dan pergi.

Saat pintu akhirnya tertutup di belakangnya, suara-suara dari lorong mulai menghilang sementara ia berjalan semakin masuk ke lorong. Mereka berjalan melewati para penjaga yang berlarian ke sisi lain lorong, mungkin ke arah parkiran dan disitulah dia ingat bahwa dia ingat mereka harus melewati parkiran untuk masuk ke dalam. Dia segera berbalik dan berlari ke sisi lain lorong, menabrak beberapa penjaga.

"Tunggu Baekhyun kau mau kemana?!" Yixing berteriak dan hampir memerintahkan para penjaga untuk mengejarnya saat Tristan mengangkat lengannya untuk menghentikannya. Yixing menoleh padanya heran.

"Biarkan saja dia." Ucap Tristan seadanya.

.

.

.

Lorong itu hampir terasa seperti labirin. Dia tidak ingat betul kemana dia berjalan dari tadi atau arah mana yang dia ambil (sejujurnya itu tidak penting saat ini) jadi dia hanya bergantung pada instingnya untuk membawanya ke parkiran. Dia bahkan tidak yakin kenapa dia merasa Chanyeol ada di parkiran tapi coba pikirkan, jika dia ingin pulang, mobilnya pasti terparkir di sana. Dia pasti ada di sana. Dia harus menemuinya. Dia harus berbicara dengannya. Dia harus mendengar suaranya. Dia harus melihat wajahnya. Dia harus.

Dia membuka pintu saat dia sampai dan dia berjalan ke arah pagar. Parkiran itu luas di bawahnya. Dia menoleh berkeliling mencoba mencari kepala keriting yang sudah terasa familiar. Dia terhenyak saat dia melihatnya jauh darinya. Dia segera berlari turun tangga dan ke arah Chanyeol. Dia tidak melihat wajahnya. Bahkan saat jaraknya sudah semakin dekat dan dia sudah semakin kencang berlari. Dia bahkan tidak yakin apakah dia siap menghadapi Chanyeol tapi itu bukan alasan. Siap atau tidak dia harus menemui Chanyeol.

Dia hanya beberapa meter dari Chanyeol saat dia berteriak. "Chanyeol!" Dan dia berhenti saat dia melihat Chanyeol perlahan berbalik. Dia menangkap nafasnya tapi dia terus ngos-nngosan saat Chanyeol perlahan menoleh padanya, menatap tepat di matanya seolah-olah mencoba mencari penjelasan di sana dan berpikir mungkin mereka tidak perlu berbicara. Karena memang mereka tidak seharusnya berbicara. Jika Baekhyun jujur dari dulu, tidak ada yang perlu dijelaskan sekarang.

Baekhyun mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara. "S-supirmu sudah pergi?" Dia ingin meninju wajahnya sekarang tapi tidak ada hal lain yang muncul di benaknya.

"Dia berasal dari perusahaan Yixing." Jawab Chanyeol.

Baekhyun menghirup nafas dalam. "Yeol, aku minta maaf—"

"Aku tidak ingat kenal dengan seseorang dengan nama Elliot Van der Gilt."

Secara mengejutkan, atau mungkin tidak, mendengar Chanyeol mengatakan nama itu di depannya terasa seperti dia baru saja ditusuk di jantungnya berkali-kali.

Baekhyun melangkah maju. "Tolong biar kujelaskan—"

"JELASKAN APA?!" Chanyeol berteriak. Dia terlihat sangat marah hingga bahkan Baekhyun merasa ketakutan. "Selama ini aku dibodohi! Kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku?! Kau selalu punya kesempatan untuk mengatakan yang sebenarya padaku! Inikah kenapa kau tidak mau ikut?! Jadi kau bisa datang ke sini sendiri dan menampar wajahnya dengan semua ini?! Kenapa kau tidak mengatakan saja padaku bahwa kau adalah keluarga Van der Gilt?! Tidak ada sedikitpun petunjuk!"

"KARENA AKU TIDAK MENGINGINKANNYA!" Baekhyun akhirnya berteriak kembali. "Aku tidak menginginkannya. Itulah kenapa aku melarikan diri."

Sunyi sejenak seolah mereka berdua sedang melakukan perdebatan mental sementara ingin memeluk satu sama lain. Tapi ada rasa sakit. Rasa sakit mengubah segalanya.

"Kau bisa saja memberitahuku." Ucap Chanyeol pelan, sangat pelan hingga dia terdengar seperti menyerah. "Kalau begitu aku tidak akan perlu berdiri di sini sekarang mencoba menunjukkan padamu betapa sakitnya ini." Bahwa orang yang rela kau berikan segala yang kau miliki adalah seseorang yang tidak punya perasaan yang memendam sesuatu selama ini hingga semuanya harus berakhir seperti ini. Inilah batasnya. Dia sudah sampai pada batasnya. Dia sudah sulit mempercayai orang hingga di sinilah semuanya berakhir. Inilah akibat dari kebohongan bagi seseorang yang telah memberikan seluruh kepercayaannya.

"Kumohon Yeol, aku tidak menginginkan semua ini terjadi. Aku tetaplah Baekhyun. Biarkan aku menjelaskan semuanya." Pinta Baekhyun, hingga bahkan hampir memelas sekarang. "Aku harus melakukan ini. Aku tidak punya pilihan—"

"Aku tau." Aku tau kau tidak akan melakukan sesuatu yang semberono jika kau tidak punya alasan yang baik. "Tapi apa kau tau kenapa ini menyakitkan?" Apa kau tau kenapa aku marah Baekhyun?

Baekhyun menatapnya.

Kumohon Baekhyun.

Katakan padaku kau tau.

Baekhyun menelan ludah, matanya tergenang air mata. "Karena aku berbohong."

Tidak.

Chanyeol menundukkan kepalanya.

Aku bisa memaafkanmu untuk itu.

Dia berbalik ke mobilnya dan meraih kunci.

Tapi aku tidak bisa memaafkanmu karena kau tidak tau betapa aku mencintaimu hingga kau bahkan tidak bisa menyambutku di duanimu ini.

"Chanyeol..." Panggil Baekhyun saat Chanyeol membuka pintu. "Apa yang kau lakukan? Kau akan pergi?"

Dan karena melakukan ini semua, benar-benar tidak mempedulikanku.

Chanyeol menutup pintu dan menyalakan mesin.

"Tunggu, Chanyeol!" Baekhyun mengetuk jendelanya pelan.

Chanyeol tidak menatapnya, bahkan tidak meliriknya. Dia memundurkan mobilnya, memaksa Baekhyun untuk mundur dan berbelok ke arah jalan terbuka menuju gerbang.

"Chanyeol! Tidak! Kumohon!" Baekhyun berteriak tak berdaya sambil mengejarnya, air matanya mengalir tanpa henti.

Aku selalu di sini Baekhyun.

Chanyeol menggigit bibirnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk menangis. Tidak. Dia tidak seharusnya membiarkan tangisan Baekhyun mempengaruhinya.

Tapi kau tidak pernah melihatku.

Dia menambah kecepatan dan Baekhyun berhenti berlari. Dia menambah kecepatan karena dia ingin ini berakhir. Dia tidak suka melihat Baekhyun menangis tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Ini sudah terlalu menyakitkan. Dari kaca dia bisa melihat Baekhyun berlutut di tanah dan dia segera mengalihkan pandang saat pemandangan itu menghilang.

Baekhyun diam di tanah, akhirnya mengeluarkan semua rasa sakitnya, berteriak dan menggeram. Kehilangan seseorang untuk ketiga kalinya , dan menyaksikan semuanya terjadi, dia sungguh merasa dia akan terbiasa dengan perasaan itu sekarang. Tapi tidak. Karena Chanyeol berbeda. Chanyeol tidak mati. Chanyeol pergi dan rasa sakit itu tinggal di sana karena cintanya hidup. Ini menyedihkan—kehilangan seseorang dan menjadi alasan kau kehilangannya, karena kau tau seberapa keas kau mencoba mengulang waktu, atau seberapa menyesalnya kau atas apa yang terjadi, semuanya tidak akan sama lagi.

Dia sudah membuat Chanyeol benar-benar pergi.

Dan sudah tidak ada cinta yang bisa dia dapatkan lagi.

Orang tuaku sudah meninggal, apa lagi yang kau ingin kulakukan?

.

.

.

"Menarik." Kris berbisik pada dirinya sendiri sambil memperhatikan dari pagar, menyaksikan Baekhyun tersungkur dalam kesedihan. Dia melihat semuanya dan dia tidak pernah merasa setertarik ini dalam hidupnya sebelumnya. Dia tau Baekhyun itu sesuatu saat dia pertama kali melihat si rambut cokelat itu dulu di Seoul dan sejauh ini, dia belum pernah gagal membuatnya tertarik dengan setiap kehadirannya. Dia memeriksa jam dan memutuskan untuk pergi. Dalam perjalanan, dia melihat Yixing berjalan ke arahnya dan berhenti tapi Yixing tidak.

Dia menyeringai. "Dia cukup menarik."

Yixing berhenti. "Ini bukan urusanmu."

"Untuk saat ini."

Yixing memutuskan untuk mengabaikannya dan terus berjalan ke arah parkiran.

Kris mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. "Di mana si jalang Amanda itu sekarang? Baik. Kirim mobil ke sini. Kita harus berbicara."

.

.

.

Baekhyun tidak tau bagaimana dia berakhir kembali di dalam limor tapi seingatnya Yixing yang menariknya dari parkiran sebelum ia jatuh pingsan karena kelelahan. Kemudian dia hanya tidur hingga sekarang. Dia bangun saat hujan mulai jatuh mengetuki jendela. Dia melihat berkeleliling dari pandangnya dan melihat Arthur dan Leo tidur bersama di satu kursi sementara Tristan duduk di sebearang mereka, perhatiannya tertuju pada file yang dibacanya.

"Tristan." Panggil Baekhyun sambil duduk tegak.

Tristan segera menyingkiran file-file itu dan bersandar lebih dekat. "Kau bangun. Apa kau ingin air?" Baekhyun mengangguk. Tristan segera mengambil botol dari dalam kulkas mini di ujung kursinnya dan memberikannya padanya. "Bagaimana perasaanmu? Yixing mengatakan kau pingsan."

"Aku baik-baik saja." Jawab Baekhyun setelah mengatasi rasa hausnya. "Aku hanya kelelahan. Di mana Yixing?"

"Dia tinggal di sana untuk mengurus segalanya. Masih banyak reporter di sana."

"Kemana kita akan pergi?"

"Kita akan pulang ke rumah."

Rumah.

"Ke mansion. Beberapa pelayan sangat bersemangat untuk bertemu denganmu." Tristan menginformasikannya dengan senyuman. Baekhyun hanya menatapnya, bertanya-tanya bagaimana Tristan bisa tersenyum seperti itu saat dia sendiri tidak bisa. Limo itu berhenti. "Kita sampai."

Arthur dan Leo akhirnya terbangun saat Tristan bergerak-gerak di kursinya. Para pekerja menyambut mereka dengan payung satu persatu dengan Baekhyun menjadi yang terakhir sampai di rumah. Melangkahkan kaki ke dalam rumah yang ia tinggalkan memberikannya perasaan yang aneh. Dia tidak bisa mengerti perasaan macam apa ini karena dia merasa sangat berantakan sekarang.

"Tuan Elliot! Kami senan kau akhirnya pulang!" Salah satu pelayan berkata.

"Tuan Elliot, apa ada yang ingin kau makan saat ini? Kami akan memasakkannya untukmu segera!"

Baekhyun mengalihkan pandang. "Tidak, aku ingin ke kamarku sekarang."

"Oh, kami akan mengantarmu kesana!"

Baekhyun berhenti. "Jangan ganggu aku." Ucapnya tegas dan berjalan ke ruangannya, meninnggalkan pelayannya terdiam.

"Biarkan saja dia beristirahat untuk sekarang." Ucap Tristan kemudian dia berbalik pada Arthur dan Leo. "Pergi ke kamar kalian sekarang."

Arthur dan Leo mengangguk dan mulai berlari ke lantau atas.

.

.

.

Baekhyun berdiri di ambang pintu kamarnya dan menoleh berkeliling ke setiap sudut. Semuanya masih sama. Gambar-gambar, buku-buku, pakaian-pakainnya, semuanya masih di tempat yang sama saat dia meninggalkannya tiga tahun yang lalu. Jendelanya bersih, sepertinya para pelayan selalu membersihkan kamarnya tanpa menyusun ulang barang-barangnya , baguslah jadi dia tidak perlu menyesuaikan diri.

Melihat kamarnya terasa seperti dia kembali dari perjalanan kekecewaan panjang. Dia ingat bagaimana dia bersumpah dia tidak akan pernah kembali tapi di sinilah dia sekarang, terpaksa mengambil alih perusahaan, terpaksa hidup dalam kehidupan yang tak diinginkannya.

"Selamat datang kembali." Gumamnya. "Elliot."

.

.

.

"Tuan Zhang memutuskan untuk menahannya di sini sementara. Masalahnya masih diselidiki jadi dia dikirim ke sini di ruang observasi." Salah satu petugas polisi memberitahu Kris sambil menuntunnya ke ruangan yang tadi disebutkan. "Apa Tuan Zhang mengirimmu Tuan Wu?"

Kris menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku hanya ingin berkunjung. Ini tidak akan lama."

Mereka berhenti di depan ruangan. "Baiklah. Aku akan menunggu di sini." Penjaga itu membuka pintu dan dia berjalan masuk. Amanda menatap kosong sambil duduk diam. Makeupnya sudah berantakan dan kerutannya mulai terlihat. Pemandangan yang menyedihkan untuk seorang wanita dengan image yang kuat.

Pintu tertutup dan Kris berjalan ke seberang meja. "Hello, Amanda."

Amanda menyeringai. "Astaga, ada Wu Fan. Apa kau di sini untuk proyek itu? Maaf, posisiku sudah digantikan." Dia mendesik dan menggelengkan kepalanya. "Kau harus memohon pada Elliot setan itu untuk itu."

"Aku di sini bukan untuk itu." Ucap Kris. "Aku di sini untuk hal lain."

Mereka diam sejenak.

"Apa kau tau bagaimana rasanya penjara Amanda?"

Amanda tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menatap Kris.

"Kau akan ke sana."

"Apa yang kau inginkan?"

"Aku bisa mencegahmu masuk penjara atau bahkan kehilangan semua uang atas namamu." Lanjut Kris.

"Dan balasannya?"

"Kau kabulkan permintaanku." Ucap Kris sederhana. "Posisimu tidak sepenuhnya diambil. Aku yakin kau masih punya beberapa orang di bawah kekuasaanmu yang masih bisa kau gunakan."

Mereka diam lagi.

"Bagaimana menurutmu Amanda? Ini adalah situasi yang sama-sama menguntungkan."

"Aku tidak tau kenapa kau mau ikut campur dalam masalah ini tapi baiklah." Amanda menatapnya dingin, harga dirinya masih menguasai siatuasinya. "Apa permintaanmu?"

Kris tersenyum dan bersandar lebih dekat padanya untuk berbisik.

TBC

Sorry for typos