# Chapter 2: Digging Through the Past #

"Sabun mandi... Sereal... Tissue..."

Kugumamkan daftar benda-benda yang harus kubeli sambil mendorong troli. Beginilah nasib seorang bujangan. Sendirian belanja bulanan di hari Minggu yang sepi... Hahh. Malangnya nasibku. Nah, ini dia lorong sereal. Ketika hendak mengambil cornflakes yang biasa kumakan, mataku menangkap kotak sereal lain yang bergambar lucu. Sereal manis rasa buah-buahan dengan aneka warna dan bentuk yang unik. Aku bukan penyuka makanan manis seperti itu, tapi...

PRAK!

Tiba-tiba kotak sereal itu jatuh dari etalasenya - entah karena apa. Ya, sereal tersebut adalah favorit Luhan. Masih jelas dalam ingatanku bagaimana Luhan tersenyum seperti anak kecil tiap kali menemukan sereal ini. Dia suka sekali makanan manis - apakah mungkin karena itu bibirnya jadi terasa manis juga? Sampai kini pun aku masih tak dapat melupakannya. Aku sering menegurnya untuk tidak terlalu banyak membeli makanan manis, namun aku selalu luluh ketika ia memasang puppy eyes-nya dan ber-aegyo ria di hadapanku. Xiao Lu... Begitu banyak kenangan indah bersamanya. Terlalu banyak, hingga segala hal yang kulihat mengingatkanku akan dirinya. Terlalu banyak, hingga saat harus kehilangannya akupun remuk redam. Ketika aku berlutut hendak memungut kotak yang jatuh tadi, aku mendengar sebuah bisikan.

"Fan... Temukan aku"

Eh? Suara itu sangat familiar di telingaku. Meski agak samar, namun pesannya kutangkap dengan sangat jelas. Apakah aku berhalusinasi?

Barusan tadi suara Luhan yang terngiang di telingaku? Ah, mungkin aku yang terlalu terbawa perasaan.

"Kris sunbaenim?"

Aku disadarkan dari lamunanku saat sebuah suara bass menyerukan namaku. Secara reflek akupun menoleh - ternyata itu suara Park Chanyeol, hoobae-ku di universitas yang kini menjabat sebagai kepala kepolisian Seoul. Memang agak sulit dibayangkan bahwa laki-laki berwajah polos dan bodoh sepertinya ternyata merupakan seorang kepala polisi. Dia memandangiku heran dengan sepasang mata besarnya. Hah, aku baru ingat kalau sedari tadi aku berlutut dengan posisi aneh. Dengan gaya cool aku segera bangkit berdiri dan mengembalikan kotak sereal yang hampir terlupakan itu pada tempatnya, lalu menghadap Chanyeol. Tapi kok Chanyeol belanja sendirian ya?

"A-yo, what's up Yeol? Kok sendirian? Jangan bilang baru beberapa bulan menikah Baekkie-mu sudah minta cerai dan pisah rumah."

Mata Chanyeol membulat mendengar penuturanku. Ufufu, aku gemar sekali menggoda hoobae-ku satu ini.

"Enak saja! My baby Baekkie sedang ada karyawisata dengan murid-muridnya, tahu!", sahut Chanyeol cemberut.

"Wah, orang-orang pasti bingung membedakan mana gurunya dan mana muridnya... Baekkie-mu itu kan mirip anak SD! Hati-hati dia diculik om-om pedofil... Hahaha!"

Aku tertawa terbahak-bahak sementara cowok yang tak kalah tinggi dariku ini hanya menatapku tajam. As if looks could kill... Haha.

Istri Chanyeol, seorang perempuan bernama Byun Baekhyun, adalah guru musik di sebuah sekolah dasar. Orangnya cerewet dan ceria serta agak suka mengatur, cocok sekali dengan Chanyeol yang juga seorang Happy Virus walau cukup mudah di-bully. Mereka itu pasangan pengantin baru yang masih panas-panasnya.

"Ah, sunbae. Berhentilah mengejekku. Aku sedih nih tidak ditemani Baekkie semalam", celetuk Chanyeol mem-poutkan bibirnya sok imut.

Pffft... Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku menahan tawa. Chanyeol ini termasuk tipe tak seimbang. Badan besar dan suara beratnya tidak sejalan dengan tingkah laku dan wajahnya yang kekanakan. Tapi jangan salah, Chanyeol adalah pemimpin yang ditakuti di kantornya. Dirinya berubah 180 derajat kalau sudah menyangkut pekerjaan. Seorang lelaki konyol bin polos menjelma jadi kepala polisi yang tegas, berkharisma, dan kompeten saat menangani kasus.

Oh, sesuatu melintas di benakku lagi. Chanyeol-lah yang dulu memimpin investigasi pencarian Luhan, biarpun kasus itu terpaksa dihentikan sebelum selesai atas perintah orangtuaku. Dan mereka memintaku tak usah mengorek-ngoreknya lagi, karena bagi mereka tak ada gunanya mencari seorang wanita yang sudah mengkhianatiku. Itu kata mereka sih, dan mereka bebas mau percaya apapun - namun satu hal, aku mempunyai pemikiran lain. Ada yang aneh di balik semua ini, dan akan kuungkap kebenarannya.

Aku dan Chanyeol pun lanjut mengobrol santai seraya memilih barang belanjaan, namun ada sesuatu yang menggelitikku untuk berbicara serius dengannya mengenai penyelidikan yang sudah lama terlupakan itu.

"Yeol, lama sekali aku tak bertemu denganmu. Aku tahu sebuah cafe pasta yang enak di dekat sini. Bagaimana kalau kita kesana makan siang sambil ngobrol, aku yang traktir deh."

Mendengar perkataanku, wajah Chanyeol mendadak cerah. Huh dasar, dengar makan gratis saja langsung antusias... Dari dulu tidak berubah.

"Jinjja, sunbaenim? Baiklah, kita lanjut ngobrol di cafe saja kalau begitu!"

Kami segera ke kasir membayar barang belanjaan kami dan menuju mobil masing-masing, kemudian langsung berangkat ke tempat tujuan.

(At the Cafe)

"Ini saja, Tuan-tuan?", tanya sang waitress mengkonfirmasi pesanan kami.

"Ya, itu saja."

"Baik. Kalau ada tambahan, panggil saya saja."

Pelayan itupun melenggang pergi untuk menyampaikan pesanan kami.

"Ehm, Yeol", dehamku membuka pembicaraan.

"Ne, sunbae? Tumben sunbae baik hati mentraktirku makan, hahaha", jawabnya terkekeh.

"Aishh... Sudahlah. Ada sesuatu lebih penting yang ingin kubicarakan denganmu."

"Masalah apa, sunbae? Mau minta tips-tips menggoda yeoja? Sunbae datang pada orang yang tepat...", kata Chanyeol menepuk-nepuk dadanya.

Pletak! Satu jitakan dariku mendarat di kepala mulusnya.

"A, aduh sunbae! Aku kan cuma bercanda... Aish... Sunbae mau bicara tentang apa sih?!", gerutu Chanyeol sambil mengusap kepalanya.

"Begini, Yeol. Kau ingat kan tiga tahun lalu?"

Kutatap lekat mata besar Chanyeol. Ia balas menatapku nanar.

"Maksud sunbae...?"

"Ne. Kau tahu pasti maksudku..."

Mata Chanyeol sedikit membelalak.

"Kenapa sunbae mau membicarakannya lagi? Bukankah kasusnya sudah resmi ditutup?", tanyanya bingung.

Aku menatap keluar jendela dan menghela nafas sesaat, sebelum kembali menatapnya.

"Hal-hal aneh terjadi, Yeol. Ada yang janggal... Ada yang salah. Aku masih belum yakin itu apa, karenanya itu sangat mengganggu pikiranku."

Setelah itu kuceritakan mimpi-mimpiku dan beberapa kejadian aneh yang kualami. Chanyeol mendengarkan dengan seksama sembari menggangguk-anggukkan kepalanya.

"Begitulah... Jadi bantu aku, Yeol. Tolong ceritakan sedetail mungkin yang kamu ingat dari penyelidikan itu. Apa saja..."

Chanyeol menyentuh dagunya, terlihat sedang berpikir keras. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu menghela nafas dalam-dalam.

"Hmm... Bagaimana ya, sunbae... Sebenarnya kami pun belum tahu banyak tentang kasus itu. Belum ada seminggu orangtuamu sudah meminta penyelidikan dihentikan sih... Kami kan tidak bisa berbuat apa-apa juga...", ungkap Chanyeol lemas.

Aku menunduk kecewa, tapi tiba-tiba Chanyeol mengatakan sesuatu.

"Tapi ada satu hal yang amat mencurigakan."

Pandanganku langsung terfokus padanya. Chanyeol memasang tampang serius.

"Hal mencurigakan...?"

Aku mengernyitkan dahiku seraya menatapnya. Kepala polisi itu mengangguk mantap dan merendahkan suaranya.

"Sunbae ingat pesan yang ditinggalkan waktu itu?"

"Ne. Surat yang sangat aneh. Kata-katanya begitu gamblang, singkat, dan dingin. Tidak seperti sifat Luhan yang kukenal", jawabku.

"Benar. Dan di kertas surat itu tidak ditemukan sidik jari lain selain sidik jari sunbae."

DEG.

Nafasku tercekat seketika mendengarnya. Lantas itu berarti...

"Selain itu suratnya diketik, bukan tulisan tangan. Dari pernyataan sunbae ditambah dengan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan, dapat disimpulkan surat itu bukan dari Luhan noona, sunbae."

Mataku membulat, memandangi hoobae-ku dengan tatapan shock. Selama ini pemikiranku benar?

"Ja, jadi siapa yang...?", tanyaku agak terbata.

Chanyeol pun sekali lagi menghela nafas panjang.

"Itulah yang dulu kami cari. Sayangnya kasus itu ditutup paksa dan kami tidak bisa berbuat macam-macam tanpa instruksi."

###

Waktu sudah menginjak dini hari ketika aku dengan sempoyongan memasuki rumah yang kutinggali seorang diri. Baru saja aku menghabiskan waktu di bar, berusaha merilekskan pikiranku yang kacau dengan beberapa gelas alkohol. Kepalaku pusing sekarang, dan penglihatanku makin kabur. Mungkin aku memang terlalu banyak minum. Besok pasti aku tidak bisa bangun, padahal aku harus ke kantor - ah, persetan dengan kerjaan. Sekarang ini kondisi mentalku sedang kacau balau. Dengan langkah terseok-seok aku berhasil mencapai kamar tidurku, lalu kubuka paksa laci kayu dekat tempat tidur.

Dari dalamnya kuraih sebuah benda, yaitu undangan pernikahanku dengan Luhan. Selama ini masih tersimpan dengan baik.

Bersandar pada kaki ranjang, kuraba tulisan bertinta gold yang tertera di covernya, yang berbunyi: "Wu Yi Fan & Xi Luhan".

Kubuka sebuah lembaran dimana ada fotoku yang mengenakan setelan jas hitam beserta Luhan yang mengenakan gaun pengantin putih di sampingku. Itu gaun yang dirancangnya sendiri, dan ia tampak lebih cantik dari bidadari manapun. Setitik air menetes membasahi lembaran itu. Air mataku. Dengan erat kudekap benda itu di dadaku dan perlahan mataku terpejam.

###

Kelopak mataku terbuka perlahan, menangkap bias cahaya. Dimana ini? Dan apakah hari sudah siang? Seingatku barusan aku tertidur di rumah, bagaimana aku bisa sampai kesini? Eh, tunggu. Jalanan ini tidak asing juga sebenarnya. Setiap berangkat kerja aku selalu melewatinya.

Agak jauh dari arah pandangku terlihat sebuah klinik kecil. Sejurus kemudian pintu tempat itu terbuka dan seorang wanita keluar dari situ. Tubuhnya mungil, rambutnya coklat panjang bergelombang, wajahnya imut dan cantik, mata indahnya membentuk eye smile karena ia sedang tersenyum bahagia. Mini dress tanpa lengan warna pastel dengan rok selutut ber-floral print menambah kesan anggunnya. Dialah sosok wanita yang selalu mengisi hati dan pikiranku, wanita yang kucintai. Kucoba melangkah ke arahnya, namun tubuhku tak dapat digerakkan sedikit pun. Bahkan aku tidak bisa merasakan kaki, tangan, ataupun anggota badanku yang lain - hanya bisa diam melihat.

"Lu..."

Ingin kuteriakkan namanya, tapi lidah ini terasa kelu.

Dengan senyuman menghiasi wajahnya, ia melenggang sepanjang jalanan. Ia kelihatan sangat gembira, clutch bag kecilnya sampai dipeluknya erat di dada. Entah hal apa yang membuatnya sesenang itu. Perlahan penglihatanku semakin kabur seiring dengan munculnya cahaya putih yang makin lama makin terang seakan ingin membutakan manik mataku. Apa maksudnya semua ini? Just another dream, atau ada sesuatu di baliknya? Ini sedikit berbeda dari mimpi burukku yang biasanya. Yang ini terasa begitu... nyata. Seolah mungkin pernah terjadi. Tapi kapan? Aku samasekali tidak ingat.

###

"Ge... Gege..."

Suara bernada manja itu terngiang di telingaku seiringan dengan tepukan lembut di pipiku.

Wajah gadis cantik bermata panda adalah hal yang pertama kulihat saat kubuka kedua mataku. Secara refleks aku langsung melengos ke samping karena wajahnya amat dekat, kurang lebih hanya 10 cm dari wajahku sendiri.

"T, Tao... Apa yang kau lakukan?", seruku sambil mengucek mata.

"Ugh, bau alkohol...", gadis itu mengernyitkan dahinya, "Aku kemari karena tadi gege tak ada di kantor."

"Memangnya ini jam berapa sih?"

"Jam setengah dua siang", jawabnya setelah melihat jam tangan.

Aku membelalakkan mata, "Oh shit."

"Kemarin gege habis minum-minum kan? Pantas saja gege tidak bisa bangun. Eh, ini apa?", serunya saat mendapati kartu undangan yang teegeletak di sisiku.

"Ah, itu..."

Sebelum sempat kuhentikan tangan Tao sudah menyabet benda berbentuk segi empat tersebut dan melihat isinya. Setelah membacanya ia mengangkat kepalanya dan menatapku sembari tersenyum, namun senyum itu entah kenapa terlihat sendu.

"Luhan jie cantik sekali... Pantas gege sangat sulit melupakannya", ujarnya getir.

"Tao, aku..."

"Aku membawakan jjajangmyun kesukaan gege. Gege cepatlah sarapan dan segera ke kantor, tadi asisten gege seperti kebakaran jenggot mencari-cari gege", tukas Tao dengan lugas memotong kalimatku ketika aku bahkan belum sempat mengutarakannya.

Ngomong-ngomong soal asisten... Arghh! Aku benar-benar lupa hari ini ada meeting dengan wakil dari SM Corp! Dengan panik aku langsung melonjak dari posisiku yang terduduk di lantai dan lekas mencari smartphone-ku. Kutemukan benda tipis berbentuk persegi itu tergeletak di lantai kamarku. Untunglah kemarin aku tidak menghancurkannya.

You got 9 new messages and 15 missed calls!

Begitulah kata pop-up notification yang tertera di screen ponselku.

Kubuka inbox-ku dan sebagian besar isinya SMS dari Jongdae.

From: Kim Jongdae

Time: 07:38 AM

Message: Jgn lupa meeting dg SM jam 10.

#

From: Kim Jongdae

Time: 08:21 AM

Message: Terjebak macet? Tdk biasanya kau telat.

#

From: Kim Jongdae

Time: 09:51 AM

Message: KAU DIMANA?! Meeting hampir dimulai. Cpt kemari.

#

From: Kim Jongdae

Time: 10:07 AM

Message: Kris! Apa kau sakit?! Wakil SM sdh dtg! Kau sdg apa sih?! Bls.

#

From: Kim Jongdae

Time: 10:25 AM

Message: Kami terpaksa hrs mulai meeting tnpmu. Jgn slhkan aku kalau penawaran gagal!

Huffffft... Aku benar-benar bodoh. Penawaran ini sangatlah penting bagi perusahaan, bagaimana aku bisa lupa?! Aish... Aku hanya bisa gigit kuku dan harap-harap cemas dengan hasilnya. Semoga Jongdae memberiku kabar baik.

Pesan lainnya dari mama dan Tao.

From: Tao

Time: 09:37 AM

Message: Gege tdk ke kantor? Jongdae ge mencari gege.

#

From: Mama

Time: 10:10 AM

Message: WU YI FAN! Where the hell r u?! Get ur fucking ass to the meeting ASAP!

#

From: Mama

Time: 00:01 PM

Message: Kalau penawaran sampai gagal, posisimu sbg CEO terancam. Papamu tdk akan segan memecatmu. Ingat itu, Wu Yifan. YOU ARE IN TROUBLE.

#

From: Tao

Time: 01:15 PM

Message: Aku menuju rmhmu ge.

Aduh... Gawat kalau bisnis dengan SM Corp sampai gagal. Kami pasti rugi banyak karena SM Corp adalah salah satu perusahaan terbesar di Korea. Papa dan mama pasti marah besar, beliau bahkan sudah mengancam akan memecatku. Dengan kening berkerut aku asyik berkutat dengan ponselku, sedikit banyak melupakan Tao yang berdiri di sampingku.

"Sebaiknya aku pulang sekarang. Bye, ge ", pamitnya singkat.

Pikiranku terlalu kacau untuk menanggapinya jadi aku hanya menganggukkan kepalaku.

Setelah Tao pergi, ponselku berbunyi menandakan ada telepon masuk.

Call from Mama

Huft... Siap-siap kuliah dadakan nih.

###

Kupingku panas setelah terpaksa mendengar kuliah satu jam dari ibundaku tercinta. Baru saja aku menutup telepon dari beliau, benda elektronik yang kugenggam ini bergetar lagi.

Call from Kim Jongdae

Oh, God. Sebaiknya ini berita baik. Aku tak ingin kupingku yang satunya ikut memanas. Dengan ragu kujawab panggilannya.

"H-halo..."

"Kris! Kau kemana saja, hah?! Membolos tanpa kabar...", keluh asisten sekaligus sahabatku itu.

"Maafkan aku, Jongdae-yah. Aku benar-benar tidak enak badan dan tidak bisa bangun", bohongku.

"Hah, seharusnya kau memberitahuku... Aku kesulitan menghadapi wakil dari SM Corp yang tua dan cerewet itu..."

"Ngomong-ngomong soal itu... Penawarannya bagaimana?", tanyaku gugup.

"Hm... Begini Kris...", nada bicara Jongdae mulai tidak enak. Suaranya turun satu oktaf.

Glek. Aku menelan ludah. This isn't gonna be good.

"Well... Si tua itu maunya banyak sekali. Menuntut ini dan itu, bertanya tentang macam-macam hal. Aku kewalahan, Kris...", ujar Jongdae disertai helaan nafas panjang.

"J, jadi... Maksudmu kita gagal?"

Gagal. Aku dalam masalah besar. I'm doomed. Setelah ini mungkin aku akan menggelandang di jalanan.

"Begitulah... Maaf, Kris... Tapi..."

"Hahh, sudah kuduga. Tapi apa, Jongdae? Semua sudah berakhir. Hidupku hancur, aku akan dipecat dan menggelandang di pinggiran kota Seoul... Lalu aku akan kelaparan dan..."

Nah, bicaraku mulai ngelantur.

"Tapi aku hanya bercanda Kris, hahaha", potongnya singkat.

Setelah mendengar celetukan itu rasanya tanganku gatal untuk mencekik namja berwajah kotak itu. Jadi dia berbohong padaku?! Benar-benar tidak lucu. Aku hampir mengalami mental breakdown tadi. Intinya kita berhasil kan? Kim Jongdae sialan.

"KIM JONGDAE! Kau pikir itu lucu?! Aish... Kupikir aku benar-benar akan jadi gelandangan..."

"Hahaha, maafkan aku Kris. Habisnya tadi kau tidak muncul dan membuatku sebal sih...", jawabnya santai seraya terkekeh.

"Aish... Tapi nggak begitu juga dong... Huh, kau menyiksa jantungku, Jongdae. Untung aku tidak punya kelainan jantung... Kalau sampai aku mati karena gagal jantung, aku pasti menghantuimu! Ishhh... Intinya kita berhasil, kan? Mereka menyetujui, kan?",tanyaku penuh harap.

"Memang susah, tapi untungnya dengan kemampuan bicaraku akhirnya aku berhasil meyakinkan mereka untuk menandatangani kesepaktannya."

Ada sepercik rasa bangga di dalam nada bicaranya. Ya, aku tahu. Kim Jongdae adalah lulusan terbaik seangkatanku. Dia memang bisa diandalkan, tidak salah aku mengangkatnya sebagai asistenku.

"Huh, sombong sekali kau. Tapi terimakasih, Jongdae-yah. Good job, kau memang yang terbaik. Asalkan jangan sampai sifat angkuhmu yang menyebalkan dan keusilanmu menurun pada calon bayimu", dengusku sebal pada sahabatku.

"Hahaha, justru bagus kan. Dengan begitu aku dan anakku nanti bisa bersama-sama menyusun rencana untuk mengganggumu", balasnya mengejek.

"Ishh... Diam kau. Aku heran kenapa yeoja kalem semacam Minseok mau menikah dengan troll tingkat dewa sepertimu."

"Karena aku tampan, tentu saja. Oh ya, Kris. Tadi EXO Group menelepon", cetus Jongdae kembali serius.

"Benarkah? Ada masalah apa?", balasku antusias.

"Mereka memintamu secepatnya ke Daegu untuk melihat lokasi... Kudengar mereka berencana membangun sebuah resort baru."

Apa hubungannya resort baru dengan usaha trading yang kujalani? EXO Group adalah perusahaan real estate milik keluarga temanku, Kim Junmyeon, dan aku termasuk pemegang saham terbesar disitu. Singkatnya, aku salah satu orang penting di perusahaan itu. Tidak ada salahnya untuk mencoba melebarkan sayap ke bidang lain, kan?

"Aku sudah memesankan secara online tiket penerbanganmu kesana, dan buktinya sudah kukirim lewat e-mail, bisa kau cetak sendiri. Oke, itu saja yang ingin kusampaikan. Sudah dulu ya, aku masih banyak pekerjaan. Dah, Kris!"

Sambungan telepon pun terputus.

Ahh, benar-benar lega rasanya. Setidaknya aku selamat dari ancaman orangtuaku berkat Jongdae. Kali ini dia pahlawanku.

Kini yang mengganjal pikiranku cuma satu, apa arti semua mimpi yang kudapat? Apakah semuanya berhubungan? Apakah itu sebuah pesan, wujud permintaan tolong, atau sekedar mimpi tanpa makna?

Dan dari semua itu...

Dimanakah belahan jiwaku?

*TBC

Keep it cool if you wanna leave reviews/comments!

A.N: *sembunyi di bawah ketiak Kris* Huweee T.T Saya beneran malu mengepost chapter ini... Demi apa saya sedikit nggak ada feel pas nulis, jadilah chapter yang amburadul kayak gini. Saya merasa gagal jadi author... Udah ngupdate-nya lama jadinya jelek pula... Ini belum masuk misteri. Pasti banyak yang udah gak sabar T.T Maaf *bow* alur kilat bukan saya banget.. Saya alur kura-kura (?)

However saya terimakasih banget kalau ada yang ngereview, follow, atau favourite hehe :p

Special thanks to: zoldyk, KyungInKIM, ByunnaPark, lisnana1, MidnightPandaDragon1728, aspirerainbow, fishy xiaolu thehunnie, luhan deer. *bonus XOXO kiss&hug dari saya. LoL*