.

.

Salju turun lagi.

Kushina melenguh pelan dalam tidurnya. Udara yang mendingin membuatnya terbangun. Dengan pelan ia bangkit untuk duduk dan melemaskan otot tubuhnya sejenak. Tempat tidur di sebelahnya sudah kosong. Seharusnya suaminya ada di sana setiap pagi. Suara gemericik air dari dalam kamar mandi akhirnya membuat dirinya mengerti. Ia tersenyum cerah sebelum bangkit berdiri dengan semangat dan merapikan ranjang.

''Ohayou, Naruto..,'' wanita muda berumur 23 tahun itu merentangan tangan ke dalam ranjang bayi di sebelah tempat tidurnya. Tampaklah wajah mengantuk si kecil yang tengah sibuk menggeliat malas. Diangkatnya perlahan makhluk rapuh itu ke dalam pelukan hangatnya. Dengan gemas diusapkannya pipinya pada pipi gembil sang bayi. Binar-binar polos dari mata Naruto akhirnya sepenuhnya terlihat.

Ini adalah kehidupan impiannya. Bahagia bersama keluarga dalam rumah kecil yang hangat.

.

.

Wanita

8

Disclaimer Masashi Kishimoto

Warning: OOC, Rush, typo(s), misstypo(s), dan lainnya

DLDR!

.

.

.

"Hm..,"

Lagi ia bergumam. Setelah dirasa pas, ia tersenyum puas. Diangkatnya panci berisi sup yang masih panas itu ke atas meja permanen setelah mematikan kompor. Dengan lembut dituangnya sarapan pagi ini ke dalam mangkuk kaca tahan panas yang lumayan besar. Senandung kecil tak henti terlontar dari bibirnya. Sesekali kepala bersurai merah itu ikut bergoyang mengikuti irama lagu- entah- apa yang mengalun pelan. Menyusup dari celah kecil yang tercipta pada bibirnya.

Tepat setelah seluruh sup telah siap di meja, aroma rempah-rempah yang berpadu menjadi satu menguar cepat ke seluruh penjuru ruang makan. Merebak kuat, menari bebas menggelitik hidung setiap penghuni di sana. Menggoda siapapun untuk segera menyantap objek hangat di atas meja makan itu. Kushina menata peralatan makan yang kiranya akan dibutuhkan untuk sarapan pagi ini. Tak lupa satu wadah nasi dengan asap yang masih mengepul. Dan jangan lupakan segelas susu untuk setiap orang. Ia memutari meja persegi panjang berwarna cokelat tua itu, lalu berhenti tepat di sisi sup. Wajahnya dicondongkan ke depan, ia hirup aroma sup itu dalam-dalam untuk memastikan kelayakan (?) sup itu.

"Hah! Kurasa ini cukup enak – ttebane!" Ibu dari Namikaze Naruto itu berujar semangat – percaya diri. Senyuman lebar tak luput dari wajah bulatnya yang dewasa.

"Daa! Nya~ nya~" seakan menyetujui opini yang diajukan sang ibu, bocah berambut pirang yang sedari tadi terduduk di atas baby seat mengeluarkan gumaman semangat. Mata biru yang lebar itu berbinar bahagia, dengan pipi tembamnya yang turut bergerak pelan seiring dengan gerakan mulutnya yang bergumam 'nyam nyam'. Tergiur dengan masakan hangat sang ibu di pagi yang dingin ini (padahal ia tahu dirinya tak akan ikut menikmati sup menggoda buatan Kushina).

"Hee, Naru mau ya?" Kushina terkekeh, ia bangkit dari duduknya. Berjalan ringan menuju Naruto di sudut ruang makan, dekat dengan perbatasan ruang keluarga. Ia mengusap kepala kuning itu dengan sayang, lalu mencium pipinya pelan. Naruto mendongak menatap ibunya, mata bulat birunya mengerjap polos. Tangan mungilnya menggapai udara hampa di depan ibunya, lalu tertawa-tawa riang. Sang ibu terkekeh geli, "Nanti kalau sudah punya gigi, ibu akan buatkan ramen dan sup enak untuk Naru, ya? Sekarang Naru minum susunya dulu, biar cepat besar!" tangan putih itu terulur meraih botol susu berisi ASI (Kushina tak menyusui Naruto secara langsung ketika pagi, pekerjaannya banyak) di sudut meja rendah dekat dinding pembatas. Ia menyodorkannya pada anak lelakinya yang sekarang menatapnya dengan tampang berubah drastis. Bibirnya mencebik turun dan kedua mata lebarnya berkaca, memelas pada sang ibu untuk tak menjejalkan cairan putih hambar itu ke dalam mulut mungilnya. Hah, bahkan ketika masih bayi pun bocah ini sudah anti dengan yang namanya susu. Benar-benar Minato sekali.

Alis Kushina terangkat sebelah. Tangannya masih kukuh mengangsurkan botol susu itu pada anaknya yang kini mulai aktif menggerakkan tangannya. "Ibu tidak mau dengar penolakan," ia bersikeras, menjejalkan ujung lunak botol itu pada mulut anaknya. "Daaaa! Huuuuu! Mph!" Naru menutup mulutnya rapat dengan dua tangan mungilnya. Kepalanya tergerak kesana kemari, menggeleng kencang sampai ia merasa pusing sendiri. Ia terus menolak keras, menentang keinginan ibunya.

"Ibu bilang, minum susunya, Naru," Kushina berkata lembut dengan senyuman manis di wajahnya.

PLUK

"HUEEEEEEEE!"

=o0o=

TRAK

"Terima kasih untuk sarapan dan tehnya, Kushina," Minato meringis lebar sembari meletakkan cangkir tehnya setelah menandaskan isinya. Ia bergumam pelan, lalu menghembuskan nafas puas. "Aku harus berangkat sekarang," ia melanjutkan, lalu berdiri dari duduknya. Rambut kuningnya tampak berantakan hari ini (yah, meski tiap harinya memang berantakan, sih). Wajahnya tampak pucat dan guratan lelah terukir beberapa di sana. Minato tampak seperti pangeran berkuda putih yang kelelahan mencari putrinya. Meski begitu sinar cemerlang di kedua mata biru jernih itu tak berkurang sama sekali— atau mungkin, belum.

Kushina mendesah, lalu meletakkan piring cuciannya yang terakhir. Ia mengelap tangannya yang basah diatas celemek hijau tuanya, sebelum melepasnya dan menggantungnya di gantungan baju yang ditempel di sebelah kulkas. Badannya berbalik pelan dengan bungkusan kain berwarna ungu muda di tangan kanannya. Kakinya melaju ringan menuju suaminya yang sedang bersiap di ruang depan. Membenahi jubah dan ikatan hitai ate di kepalanya.

"Kau pucat, Minato. Apa tak sebaiknya istirahat dulu di rumah?" Kushina menatap wajah pucat di depannya, tangannya meraba pipi dan leher Minato dengan teliti. "Suhu tubuhmu masih normal sih, tapi sebaiknya beristirahatlah di rumah untuk beberapa hari," lanjutnya. Kemudian ditatapnya sepasang mata biru di depannya. Minato memandangnya penuh arti, ayah muda itu tersenyum lebar. "Kushina-chan mengkhawatirkanku," ia tertawa melihat wajah Kushina yang memerah.

"Si—siapa yang khawatir? Aku hanya tak mau repot mengurus bila kau jatuh sakit— ttebane!" wajahnya beralih kesamping. Cepat-cepat menarik tangannya dari wajah Minato yang hanya tertawa. Lelaki itu lalu berdehem pelan ketika beberapa detik kemudian Kushina melotot kesal padanya.

"Ehem, baiklah nyonya. Aku baik-baik saja, jadi kau tenanglah. Nanti juga kembali lagi, kok. Mungkin sel tubuhku sedang kehabisan pewarna kulit?" Minato meringis, mengusap tengkuknya aneh. Ada apa dengannya?

Sementara Kushina, wanita itu menatapnya dengan wajah yang tak terdefinisikan. Hati dan pikirannya berekecamuk saat ini.

Baik-baik saja apanya? Jawabannya saja sudah ngelantur parah begitu, ia mendesah pasrah. Suaminya itu bisa jadi sosok keras kepala. Sekali ingin ya ingin, tak bisa dibantah.

"Baiklah, baiklah. Terserah kau saja, tapi bawa ini. Kau harus memakannya untuk nanti siang, kalau sampai tak kau makan, Minato. Kau tahu akibatnya-tte-ba-ne!" Kushina mulai mewanti-wanti. Sementara bibirnya sibuk mengoceh ini-itu, kedua tangannya meraih bungkusan ungu yang tadi sempat ia letakkan di meja. Setelah sedikit merapikan bungkusan yang sedikit kusut serta mempererat ikatannya, ia menyerahkan bungkusan yang lumayan berat itu pada Minato.

"Jaga dirimu, jangan memaksakan diri dan pulang sebelum pukul 7!" Kushina berkata tegas sambil menatap suaminya serius. Ia mencubit pinggang Minato keras ketika pria berambut kuning itu siap membuka mulutnya.

"Tidak ada penolakan. Tidak dengan alasan pekerjaan atau apapun. Kalau kau sampai melanggar, aku akan menjemputmu langsung dan menjejalimu dengan satu liter susu murni supaya kau cepat sembuh karena keinginanmu untuk pulang malam, Mi-na-to-kun~" suara yang manis sekali. Tetapi tidak bagi Minato. Wajahnya bertambah pucat saja. Ia bahkan lebih memilih 'berkencan' dengan tumpukan dokumen sinting yang terus berdatangan menumpuk di meja kerjanya ketimbang dijejali satu liter susu murni yang mengerikan itu oleh istrinya sendiri.

"Oke, oke. Aku akan berusaha mematuhi semuanya, Kushina," Minato menyambar bungkusan ungu yang masih menggantung di tangan Kushina. "Aku berangkat dulu, jaga dirimu dan Naruto. Kalau terjadi sesuatu, hubungi aku," Minato tersenyum lemah— Kushina mengerutkan dahinya, ada yang aneh di sini.

"Minato, kau tampak sakit, bagaimana kala—''

Kushina terdiam sesaat. Ia menatap khawatir pada suaminya yang pucat. Minato melepaskan ciumannya pada pucuk kepala Kushina. "Aku baik-baik saja. Terima kasih," ditepuknya kepala Kushina pelan. "Aku berangkat, Kushina," Lalu menghilang dalam sekejap.

Helaan napas.

"Baik-baiklah di sana, Minato,"

Ia mematung, menatap ruang depan yang telah kosong.

=o0o=

"Kushina!"

Kepala bersurai merah itu tampak menegak, lalu menoleh ke sekeliling mencari sumber suara. Kedua matanya berbinar senang ketika mendapati sosok berbaju gelap berjalan pelan ke arahnya. Kushina membalas— ia mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi dan melambaikannya dengan semangat.

"Mikotoooooo!" perempuan periang itu langsung berbalik dan berjalan cepat mendatangi sahabatnya. Bibirnya tampak merenggang membentuk lengkung senyuman yang amat lebar. Ibu baru itu langsung memeluk tubuh sahabatnya tanpa ragu, dengan gumaman riang gembira yang amat kentara.

Mikoto hanya tertawa pelan, balas memeluk Kushina. Tetapi sedetik kemudian refleknya berubah mendorong Kushina menjauh— perempuan merah itu nyaris membuatnya mati lemas.

"Jangan bunuh istriku,"

Dahi Kushina berkedut ketika mendengar suara lain yang mendekat. Kedua alisnya berkerut sebal ketika melihat sosok lelaki monyong –entah darimana Kushina mendapat sebutan itu— yang berjalan (sok) cool ke arah dirinya dan Mikoto.

"Cih, cemburuan,"

Kushina melepaskan pelukannya pada Mikoto yang hanya tertawa—lagi. Wanita itu menatap Fugaku sinis, kemudian membalikkan badannya dan merengut. Menyumpahi Fugaku yang telah mengganggu acara lepas-rindunya dengan Mikoto. Berbagai sebutan –monyong, dingin, patung, tembok— terlontar terus-menerus dari bibirnya.

"Menyebalkan—dattebane!"

Kushina mendengus dan membalikkan badannya (ia sedikit menyesal setelah mendapati wajah datar-menyebalkan-sok oke milik suami-cemburuan-nya-Mikoto). Dia bersumpah akan menghajar wajah memuakkan itu suatu saat nanti.

Mikoto menggelengkan kepalanya pelan, ia tak bisa berhenti tertawa menyaksikan kelakuan sobat merah dan suami datarnya. Dalam hati ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk menikmati saat-saat seperti ini. Momen konyol seperti ini akan sangat jarang ia temui di kemudian hari.

"Sudahlah, kalian berdua," Mikoto menarik tangan Fugaku pelan, memutus adu tatap sengit di antara keduanya. Tatapan membunuh dari suaminya sama sekali ia hiraukan.

"Bukankah kau harus segera berangkat ke kantor, anata?"

Fugaku menatap istrinya, lalu mendengus dalam diam.

"Hn," lalu kemudian hening.

"Jaga dirimu," Fugaku bergumam, lalu berbalik menjauh dengan tangan tersampir di dalam saku. Ia melirik melalui ekor mata, memastikan keberadaan istrinya yang masih setia menatap punggungnya. Kemudian ia melesat, melompati atap-atap penduduk menuju singgasana kerjanya.

Mikoto hanya tersenyum ke arah kepergian Fugaku, kemudian ia kembali memfokuskan dirinya terhadap Kushina.

"Jadi..., apa kabar?"

Mikoto membuka kembali pembicaraan dengan pertanyaan paling umum di dunia. Ia menarik tangan Kushina yang masih sibuk merengut untuk menjauh dari jalanan, membawa ibu muda itu menuju kursi taman di sekitar hutan pinggir desa.

"Kushina?" Mikoto mengguncang bahu Kushina yang masih terdiam. Wajahnya tampak berkerut dan memikirkan sesuatu.

"Kau marah dengan kelakuan Fugaku? Kalau benar begitu maafka—''

"Tidak—ttebane..," Kushina memutus perkataan Mikoto dengan nada tak bersemangat. Jemarinya bertaut, saling meremas dalam hening. Desahan napas berulang kali terlontar dari bibir merahnya.

"Ada yang mengganggu pikiranmu?"

Tidak ada jawaban.

Kushina terus-menerus mendesah seperti orang yang sedang berputus asa. Pikiran-pikiran itu samasekali tak bisa ia pungkiri, menggertaknya dalam bayangan-bayangan mengerikan yang terus mengganggunya. Bagaimana keadaannya di sana?

Apakah... semua baik-baik saja? Entahlah

Kemudian ia memutuskan untuk berpikiran positif dan berharap bahwa semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Helaan napas terdengar –Kushina bertekad ini yang terakhir— dan perempuan itu menggerakkan tangannya dan melewati udara kosong.

Tunggu dulu.

Sepertinya ia telah melupakan sesuatu...

"Dattebaneeeeeee!"

Mikoto terlonjak kaget ketika mendengar teriakan spontan dari sahabatnya yang sedari tadi diam di sebelahnya. Istri kepala klan Uchiha itu memandang Kushina dengan heran.

"Ada apa? Hei, Kushi—''

"A—aku melupakan Naru-chan—ttebane!"

Bagaimana kalau malaikat kecilnya itu menangis karena tidak melihat dirinya? Bagaimana kalau putra kesayangannya itu takut karena merasa ditinggalkan sendirian? Bagaimana kalau—

Kushina berujar panik, kemudian berdiri cepat dan—tanpa sadar— menarik tangan Mikoto yang sedang kebingungan. Dua perempuan dengan warna rambut yang tampak kontras itu menerobos kerumunan manusia di pasar pagi Konoha. Satu orang dengan rambut merah tampak panik, satu lagi yang berambut hitam tampak kebingungan dengan reaksi manusia yang sedang menyeretnya.

"H—hah?!"

Mikoto melongo heran. Kushina. Melupakan. Naruto.

"Nee, Kau tinggalkan Naruto dimana?"

"Aa— d—di rumah, kurasa. Dia tertidur tadi. Aduh, baka! Dattebane!"

Mikoto menghela napas dan ikut mempercepat langkah – atau mungkin lari— menuju kediaman Namikaze. Bagaimanapun dia juga seorang Ibu, dan dia sedikit banyak bisa merasakan kekhawatiran yang dirasakan sahabat merahnya itu.

Dua pasang kaki itu berderap dengan kecepatan penuh. Menembus jalur Konoha yang mulai dipadati penduduk. Beberapa kali menyenggol orang dan semuanya berakhir dengan Mikoto yang menunduk-nunduk meminta maaf (kalau membungkukkan badan sambil diseret lari bisa dianggap begitu). Mereka berdua terus berjalan lurus menerobos pertokoan Konoha yang berjajar di sepanjang jalan, menapaki tangga taman bermain yang sedang sepi untuk memotong jalan, kemudian berbelok tajam di ujung jalan yang menanjak. Kushina bahkan nyaris melupakan keadaan napasnya yang terputus, dia meninggalkan Mikoto yang sedang membenahi alas kakinya. Istri Hokage ke empat itu berlari kencang menuju pintu rumah, menarik kuncinya dari saku baju, kemudian membukanya dengan panik.

BRAKK!

Kushina terpaku diam di muka pintu yang telah terbuka kasar. Jemarinya membeku, melayang kaku di atas udara. Dia terbelalak dan berbagai spekulasi negatif merasuki pikirannya dengan cepat.

"A—apa—''

Mikoto berjalan menyusul menuju pintu, kemudian berhenti di sebelah Kushina yang berdiri dengan tatapan kosong. Wajahnya berkerut kebingungan dan gerak kedua bola mata indah itu tampak bergulir gelisah. Perempuan bersurai hitam itu meneliti keadaan sekitar, kemudian berhenti pada sebelah tangan Kushina yang masih menggenggam kunci dengan gantungan berbentuk lambang Konoha yang tergantung membisu dari celah jemarinya. Ada yang tidak beres di sini.

Dan saat itulah wanita penyandang marga Uchiha itu sadar.

Pintu rumah sahabatnya tidak terkunci. Lebih tepatnya , sudah tidak terkunci.

"Kushina. Kau yakin telah mengunci pintu sebelumnya?"

Perempuan di sebelahnya meneguk ludahnya gugup. Ia menatap rumahnya dengan sorot ketidakpercayaan.

"A—ku menguncinya. Aku yakin. Aku telah memastikan pintu ini terkunci karena aku meninggalkan Naruto sebentar. Dia sedang tertidur dan aku tidak bisa membawanya ke pasar dengan keadaan yang bising seperti itu,"

Kecurigaan Mikoto bertambah. Dia menelaah sebentar, entah bagaimana di saat-saat seperti ini keberadaan suaminya atau suami sahabatnya justru dibutuhkan. Perempuan itu setengah bimbang, mengambil tindakan ceroboh dengan menerobos masuk dan mengecek semuanya tentu tidak akan menjamin semuanya akan terus berjalan baik-baik saja.

"Kakashi,"

Mikoto menoleh, setengah tidak mendengar gumaman Kushina yang tetap mengerutkan alis dan memikirkan semuanya.

"Apa—''

"Kakashi. Aku tahu Minato menugaskannya sementara untuk mengawasi rumah ini. Untuk itulah aku meninggalkan Naruto sebentar agar dia tetap tertidur di sini, di bawah pengawasan Kakashi,"

Hah? Tunggu,

Kalau memang Kakashi menjaga tempat ini, maka mungkin saja ia yang masuk ke sini, kan? Tetapi, bukankah ANBU muda itu memiliki Kunci duplikat rumah ini? Jadi.. untuk apa ia menerobos masuk sampai pintunya lecet begini?

"Kushina, sepertinya kita memang harus mengecek semuanya. Ke dalam,"

.

.

.

.

Bersambung

A/N: Horaaa, minna. Akhirnya bisa publish juga. Maaf ngadat setengah tahun (?) Maaf juga karena saya nggak bisa menepati janji untuk update secepatnya. Hngg, saya menyesaaaal banget sudah membuat reader kecewa. Mungkin, ini ff sudah terlupakan , kayak artefak kuno baru diupdate sekarang. Oke, saya nggak akan banyak alasan. Saya baru mulai nulis lagi. Sebenernya ini sudah mulai saya tulis tahun 2014 -,- tapi baru disambungkan sekarang setelah mendapat akses ke FFn. Maaf ya.., minna. Belum diedit. Jadinya pendek begini juga, dan saya sadar ceritanya tambah ngelantur :3 #digampar Gomennasaaaaiiii T.T

Ini.. anggep aja Naruto sudah mulai tumbuh dan nggumam-nggumam nggak jelas xD

Yah.. apa boleh buat. Maaf sudah menyebabkan kekesalan tak berujung. Moga aja masih ada yang jadi reader xD #enggak

Uhm... Balasan Review. Nggak lewat PM ya.. (iya, review chapter sebelumnya yang dulu sekali. Maafkan saya =,=)

Impostertobi117: Eetto? M-maaf updatenya lama sampai membuat emosi begitu xD Eh? Cerita ini mesum? O-oke oke. Muahaha~ saya nggak nyantumin hal-hal frontal kok. Tergantung imajinasi masing-masing #digamparreader

Talithabalqis: Nyaaaa! Arigatoooo , Naruto? Eheheh, diusahakan ya. Makasih banyak, mau mampir lagi? :D

Sifa A: Iyaaa, terimakasih banyaks :3 Gaje? Ngeheheh. Iya sih. Ini tulisan labil yang mulai ketika dulu saya baru masuk FFn sampai sekarang - purba #plak

Himarura Kiiromaru: Wehehe, Himamura-san lebih keren #apaansihwoi. Iya ini lanjuut. Bikin nangis? o.O huweeee? Ng—nggak maksud bikin nagis, beneran , nyehehe, maaf kalau masih garing

Faisal13islamico: Iya... nggakpapa kok. Mau review aja sudah menyenagkan banget. Balik lagi ya? Makasih banyak ,

Soora: terharu T.T soora-san mau mereview satu-satu nyiehe. FugaMiko? Saya sendiri enggak tahu. Tapi kalau sudah nikah, jadi satu klan kan ya? Suka durian sama yang polos? Entah kenapa di kepala saya watak yang muncul emang polos xD Nee, arigatoo yap ,

Kurama no yokay: iyaah, ini lanjut lagi , makasih banyak buat reviewnyaaa~

DeRin Blue: Onee chan xD iya makasih banyak. Nee chan juga terusin yaaa ,

Aiko: ugh.. syukurlah kalau begitu xD Sasuke dapat adik baru? Ide yang bagus. Kita lihat saja nanti, ukhukhu~. Ehem! Arigato reviewnyan! ,

RinIzumIcha: Setan ganteng berlapis bulu #lupakan #abaikan. Dingin-dingin mempesona nyonya Uchiha~ #disekepMikoto Chapter... belum tahu sih. Ini cerita juga nggak ada plotnya xD Ichachan masih nulis? Ganbatte juga yaa~ Arigato reviewnya~

Eh, ini saya minta maaf kalau ada yang kelewat, atau balesannya malah dobel xD kalau ada yang belum dibales, bilang aja sama saya

So... saya masih tetep butuh concrit. Minna,mohon bimbingannya :D

13 Februari 2015

Akai Kiiroi