Halo. Ini adalah chapter terakhir dari fiksi ini. Bagaimanapun, gue agak ga rela fiksi ini tamat secara, gue cinta jebret banget ama OTP gue ini. That's why, gue nekat mau bikin NorBela lagi :'D This pairing needs more love in FHI :D

::::::::::::

Hetalia Axis Powers © Hidekaz Himaruya

This story's based on, She Will Be Loved © Maroon 5

And,

Fall For You © Secondhand Serenade

Warning: (Mungkin) OoC (Saya mengusahan tiap karakter se-IC mungkin), sedikit mature content implisit, umpatan dan kata-kata kotor, hints slash.

Pairing: LukasNatalia (NorwayBelarus), one-sided IvaNatalia, AmeBel, slight RussiaChina

Note: Lukas Bondevik = Norway, Natalia Arlovskaya = Belarus, Ivan Braginski = Rusia, Alfred Jones = USA, Emil Steillson = Iceland, Matthias Kohler = Denmark, Tiino = Finland, Berwald = Sweden, Wang Yao = China, Katyusha = Ukraine.

Saya tidak mengambil keuntungan material apapun dari fiksi ini.

::::::::::::

Karena malam ini adalah malam di mana aku jatuh hati padamu

Lagi dan lagi.

Jangan kau buat aku mengubah pemikiranku.

Atau aku tak akan pernah hidup untuk melihat hari lain nanti

Aku bersumpah sungguh,

Karena gadis sepertimu tak akan pernah mungkin mampu kujumpai

::::::::::::

Natalia memeriksa kembali benda berukuran sedang yang ada di tangkupan kedua tangannya. Kamera itu dibelinya belum lama, diperoleh dari Kakak perempuannya dua bulan lalu sebagai hadiah atas kelulusan kuliahnya. Untung saja, tak perlu waktu lama bagi Natalia untuk mampu memanfaatkan kamera itu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena sebulan pasca kelulusan, ia berhasil mendapatkan pekerjaan di kantor sebuah majalah metropolis di kotanya. Ia mengambil jurusan sastra di masa kuliahnya, namun pekerjaan yang kini ia geluti justru menyimpang dari apapun berbau sastra tulisan atau lisan. Tak apa, lagipula ia sudah mulai menyukai seni fotografi semenjak awal masa kuliah.

Ia menghela napas kecil ketika selesai memastikan bahwa semua fungsi kameranya masih berjalan dengan baik. Wajar saja, ia harus mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Hari ini adalah salah satu momenpenting bagi karirnya—untuknya membuktikan keahliannya. Tentu saja. Pameran karya seni di kota Oslo hanya terjadi sekali dalam setahun di kota tersebut. Dihadiri tak hanya oleh para seniman lokal, namun juga mancanegara, membuat momen ini menjadi sasaran empuk bagi para penekun fotografi seperti dirinya.

Natalia menghela napas ketika nama kota yang sekarang disinggahinya sejak sehari yang lalu hingga empat hari ke depan, membawa semua ingatan dan perasaan tertentu yang sudah lama terbawa bersama masa lalu.

Hanya terbawa, namun tak pernah binasa. Hanya tenggelam, namun justru mengendap di dasar hati dan pikirannya.

Kepala dengan surai platinum panjang itu hanya menggeleng singkat, lantas membawa tas ranselnya dan mengenakan sepatunya.

Ia pikir tidak ada gunanya terus larut dalam hal yang sama. Sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya ia bisa kembali pulang ke Minsk dengan hasil jepretan yang memuaskan kantor tempatnya bekerja.

::::::::::::

Kota Oslo merupakan kota yang indah. Tentu dan wajar saja karena kota ini merupakan sentral kegiatan para rakyat Norwegia. Sebagai salah satu kota kosmopolitan di dunia, Oslo menawarkan berjuta keindahan dan kemewahan yang merupakan hasil pembangunan negara yang terkenal akan produksi minyaknya tersebut. Meski demikian, hal itu harus ditebus dengan mahalnya semua biaya hidup untuk bisa bertahan di sana. Standar hidup yang tinggi membawa konsekuensi akan melejit pula semua hal yang bisa dibeli di sana. Oleh sebab itu, wajar saja jika Natalia hanya menyewa sebuah hotel sederhana yang ada di pinggiran kota—ia hanyalah fotografer baru dengan gaji tak seberapa. Dan Ivan serta Katyusha sudah berhenti mengiriminya uang bulanan sejak ia lulus dari kuliah.

Namun, bukan karena mahalnya harga apapun di kota Oslo, yang membuat Natalia menghela napas berat ketika ia mendengar nama kota itu sebagai tujuan tugasnya, ketika diperintahkan oleh Bos di kantornya.

Tidak.

Begitu mendengar nama kota itu, maka semua hal segera berkelebat di ingatan dan hatinya. Semuanya. Bagaikan 'Oslo' adalah mantera untuk menjalankan mesin waktu tak kasat mata dan kembali ke masa lalunya.

Warna pirang pucat itu…

Biru hampa itu…

Kalimat dan tindakan yang menjengkelkan itu…

Ekspresi datar dan tatapan dingin itu…

Ah, jika dipikir-pikir, sudah berapa lama mereka tidak bertemu? Empat tahun yang lalu, adalah terakhir kali ia mendapati kedua biru sehampa ruang angkasa itu—namun karena seperti ruang angkasa, maka di biru itu juga terdapat berjuta kerlipan layaknya bintang, yang sayang dan untungnya, hanya bisa didapati ketika ia memandang Natalia. Mereka menghabiskan malam kelulusan mereka dengan berkendara di mobil tua Natalia. Menyusuri sepanjang jalan kota dan entah kemana. Berbicara ini dan itu. Sesekali tertawa kecil. Dan tak lupa pula, sesekali bertengkar, meski setelahnya mereka akan selalu meminta maaf melalui ciuman atau pelukan mesra.

Ya. Itu terakhir kali Natalia melihatnya—sebelum keesokan harinya ia dapati kabar dari Matthias bahwa Lukas telah pergi ke Oslo demi mengejar cita-citanya, seperti yang Lukas bilang sendiri pada Natalia beberapa hari sebelumnya.

Dan setelahnya, tak ada apa-apa lagi.

E-mail atau pesan maupun telepon, hanya terjadi sesekali. Itupun di masa-masa awal Lukas pergi. Mungkin karena kesibukan kuliah masing-masing yang semakin padat, pada akhirnya kerenggangan itu harus berujung pada sepi.

Pandangan Natalia mengedar ke daerah sekitarnya ketika ia berjalan santai menuju ke galeri kota—tempat dimana pameran lukis internasional itu berada.

Ah, Oslo. Kota yang tak pernah terlihat mati. Apalagi di akhir pekan seperti ini, tampak begitu ramai dengan orang atau kendaraan yang datang dan pergi. Musim panas di Norwegia ternyata hanya berbeda tipis dari musim dinginnya—Natalia masih harus memakai cardigan yang ia pakai untuk menghalau angin yang menerpa tubuhnya.

Di antara semua orang-orang yang lewat, Natalia mencoba mencarinya. Mencoba menemukan satu warna pirang pucat di antara semua kepala dengan berbagai warna. Mencoba mencari satu wajah pucat dengan ekspresi datar dan tatapan dinginnya. Mencoba menajamkan telinganya, siapa tahu…

Siapa tahu… suara yang sudah lama tak didengarnya, tiba-tiba meneriakkan namanya di antara hiruk pikuk yang ada.

Namun kosong.

Ia gagal dalam menemukan apa yang dicarinya.

Gadis itu menunduk, lantas mengangkat tangan kanannya. Diperhatikannya lamat-lamat pergelangan kanan bagian dalam miliknya. Dipandanginya goresan hijau kehitaman yang tampak kontras dengan kulit seputih saljunya.

Each day—bagaikan sebuah mantera kutukan yang benar-benar membuat Natalia tak bisa berhenti mengingatnya, di tiap hari, sama seperti kalimat yang tertera di lengannya tersebut.

Tak bisa berhenti memikirkannya.

Tak bisa berhenti mengkhawatirkannya.

Tak bisa berhenti merindukannya.

Natalia kembali menatap ke depan, lantas bergumam kecil—seolah tengah berbisik pada angin lirih yang tengah menerpanya, "Bahkan saat kau tak ada saja kau membuatku kesal seperti ini."

::::::::::::

Natalia berjalan pelan sembari mengamati tiap pajangan lukisan yang ada di galeri kota. Baik yang tergantung di tembok, atau terpajang di kayu penyangga kanvas. Beraneka warna. Beraneka rupa. Penuh nilai seni. Begitu mampu membuat tiap pasang mata pengunjung tak bosan untuk mengagumi. Beberapa bahkan Natalia kenal sebagai masterpiece dari seorang seniman yang tersohor, beberapa merupakan hasil karya dari seniman yang baru Natalia tahu sekarang namanya. Natalia tidaklah pandai dalam hal seperti ini—ia tidak mampu memberikan komentar berarti mengenai hal-hal berbau seni. Ia hanya mampu menikmatinya seperti kaum awam yang tidak peduli pada teknik atau struktur, gradasi ataupun kontur.

Beberapa kali ia mengarahkan bidikan kameranya pada objek-objek yang ada di sana: lukisan, para pengunjung, beberapa pelukis yang kebetulan ia temui di antara para pengunjung, ataupun bagian dari bangunan galeri kota yang tampak megah dan penuh nilai yang tak kalah artistiknya dari semua pajangannya. Hingga gerakan tangannya untuk memencet tombol bidik pada kameranya, urung terjadi saat ia melihat apa yang tampak di balik lensa kamera yang diintipnya.

Menurunkan kamera dari wajahnya, kedua iris violet itu seketika tertegun saat menatap apa yang ada di depannya—apa yang terdapat dengan jarak tak lebih dari dua langkah darinya.

Sebuah lukisan, sama seperti benda yang umum ada di sini sekarang ini. Sebuah lukisan yang sebenarnya tampak memiliki nilai artistik—sebuah hal yang wajar di pameran internasional seperti sekarang ini. Sebuah lukisan yang memuat gambar yang sederhana. Sore hari, semburat jingga mentari yang mewarnai langit, angin lirih yang tampak dari dedaunan yang beterbangan, dua buah rumah yang berdiri bersampingan, dan dua manusia yang berdiri tepat di depan salah satu gerbang dari rumah yang berdiri megah.

Dan satu cangkir yang tergenggam di tangan dari masing-masing manusia yang tergambar di sana.

Laki-laki berambut pirang pucat dan perempuan bersurai panjang berwarna lebih cerah, platinum. Meski tak ada detil jelas dari wajah keduanya, namun Natalia tak perlu menjadi jenius untuk mengetahui gambar apa yang ada di lukisan tersebut.

Siapa dua orang yang tergoreskan dalam sapuan kuas tersebut.

Dan siapa satu-satunya orang di dunia ini, yang menggunakan tangan dan pikirannya demi menciptakan karya tersebut.

"…Lukas," tanpa mampu Natalia cegah dan sadari, nama itu kembali terlontar dari mulutnya setelah empat tahun hanya terbatinkan oleh hatinya.

Lukas Bondevik…

Ada sesuatu yang seolah terbangun dalam diri Natalia. Begitu mendadak, begitu cepat. Membuat gadis itu seketika merasakan debaran jantungnya yang lepas kontrol. Beragam perasaan teraduk membentuk campuran rasa yang membuatnya pengap, sulit bernapas, dan tidak mampu berpikir apa-apa selama beberapa detik lamanya.

Hanya ada satu pertanyaan yang terbatinkan kuat di hatinya: Adakah dia di sini? Di kota ini? Di bawah lindungan atap gedung ini, sama seperti Natalia sekarang?

Secara refleks, Natalia menggerakkan kepalanya. Menoleh kesana-kemari. Mengedarkan pandangan irisnya yang tampak bergetar kecil, seolah merasa antusias dan khawatir akan apa yang ingin dilihatnya. Mencari-cari satu warna familiar di antara sekian banyak warna kepala manusia di sana. Bahkan beberapa saat kemudian, tanpa ia sadari, ia sudah melangkahkan kedua kakinya. Menerobos kerumunan orang-orang. Berjalan melewati satu lorong dan masuk ke lorong yang lain. Tak hirau pada beberapa orang yang tak sengaja ia senggol bahunya. Bahkan ia sementara tak ingat bahwa tujuannya kemari adalah untuk mengabadikan momen yang tercipta dengan kameranya—bukan seliweran layaknya orang linglung tak tahu arah.

Hingga Natalia sampai pada ruang terakhir yang ada di pameran, sekaligus ruang terakhir yang mampu dijangkau oleh kedua kakinya yang mulai lelah dan hatinya yang sudah merajuk kata putus asa, Natalia tidak mendapatkannya.

Lukas tak ada di sana.

Gadis itu menghela napas berat-berat, berusaha menenangkan perasaannya. Keringat bermuncul di wajahnya dan membasahi beberapa bagian dari kaos yang merangkapi cardigannya. Memejamkan mata sejenak, gadis itu kembali menarik napas dalam-dalam, mencoba memasukkan oksigen sebanyak mungkin ketika ia sekarang merasa begitu sesak. Bukan oleh lelah fisiknya, namun karena kekecewaan yang perlahan merayap di hatinya.

"Bisa saja itu kebetulan," gumamnya lirih sembari memandang jendela kaca besar tepat di depannya. Dari sini, ia bisa melihat banyaknya orang-orang dan kendaraan yang berlalu-lalang di depan galeri kota Oslo ini, "Pemandangan seperti itu 'kan bisa saja menjadi imajinasi setiap orang."

"Tapi hanya dua orang yang mampu mengerti makna di balik pemandangan yang biasa tersebut—kau dan aku."

Suara itu terdengar. Amat familiar, namun di saat yang sama terasa asing bagi Natalia yang sudah lama tidak mendengarnya. Nada datar yang memiliki ciri khas tertentu yang tak dapat ia temukan dari orang lain manapun juga.

O, bahkan Natalia tak mampu menoleh. Takut jika semua hanya imajinasinya, dan perasaannya akan porak poranda ketika tak mendapati siapapun di sana jika nanti ia benar-benar menolehkan kepalanya.

Namun pada akhirnya, ia beranikan dirinya untuk melawan keraguan dalam hatinya.

Ia menolehkan kepalanya. Beberapa surai platinum panjangnya tergerak lirih akibat gerakan kepalanya. Kedua irisnya menatap ke arah sampingnya—arah tolehan kepalanya.

Dan ia mendapatinya—Lukas Bondevik—berdiri tepat di sampingnya.

Rasanya, waktu seolah berhenti begitu saja.

Seolah dengan demikian, Natalia memiliki berjuta kesempatan untuk memastikan bahwa ia tidak lagi terjebak dalam mimpi kosong untuk kesekian kalinya. Bahwa di depannya benar-benar berdiri orang yang secara fisik, telah lama menghilang dari dirinya, dari kedua matanya, dari kedua lengan dan jemarinya.

Tak banyak yang berubah, rupanya. Ia masih memiliki rambut pirang pucatnya. Bahkan warna biru itu tetap sehampa ruang angkasa. Ekspresi datar yang rasanya hanya berbeda jika Lukas yang menunjukkannya. Namun kini, tubuh itu agak tinggi. Badan itu pun agak terbentuk atletis karena bahunya yang tampak semakin lebar. Rahangnya yang makin tampak kokoh. Bukan lagi tubuh seorang remaja SMA seperti yang terakhir Natalia lihat 4 tahun sebelumnya.

Namun, bibir itu tidak membentuk garis datar membosankan seperti yang kerap pemuda itu tunjukkan.

Ada senyum tipis di sana.

Sebuah senyum yang mencapai matanya—membuat warna biru itu tampak seperti angkasa yang berbintang: hampa, namun menyimpan berjuta kerlipan.

"Well, mana yang mau kau potret terlebih dahulu?" Lukas menaikkan sebelah alisnya, lantas menunjuk kamera Natalia dengan dagunya, "Lukisanku? Atau diriku?"

Dan ia masih saja, bisa dengan begitu lihainya membuat Natalia merasa kesal dan malu di saat yang sama.

Bagaikan remaja yang baru mengenal cinta untuk pertama kalinya, pipi sepucat salju itu memerah. Dan mata Natalia semakin menyipit terganggu ketika senyum itu semakin terkembang, meski belum bisa dibilang lebar.

"Jangan berpikir aku tidak sanggup membunuhmu setelah kau pergi tanpa bilang apa-apa padaku empat tahun yang lalu, Brengsek," desis Natalia, mencoba meredakan debaran di dalam dadanya—akankah Lukas mendengarnya? Semoga saja tidak, karena debar ini rasanya terlalu keras.

"Hm, terimakasih. Aku juga merindukanmu," ujar Lukas tenang sembari masih tersenyum, menatap Natalia dengan pandangan seolah-olah tak ada hal lain di dunia ini yang paling ingin ia lama-lama menatapnya.

Natalia menunduk, tampak memerhatikan kameranya, seperti memeriksa hasil jepretannya semula.

Namun hanya ia yang tahu, bahwa sebuah senyum kecil tersungging di sana—tertutupi oleh tebal poninya.

Ah, kapan terakhir kali ia merasa demikian lega dan bahagia?

::::::::::::

Jujur saja, malam ini adalah pertama kalinya Natalia melihat secara langsung dengan mata kepalanya sendiri, akan indahnya hiasan langit yang bernama aurora. Selama ini, ia hanya tahu bahwa aurora adalah fenomena khas yang hanya akan mampu dilihat di langit daerah kutub. Indahnya pun hanya mampu Natalia kagumi lewat gambar di buku ataupun di televisi saja.

Namun kini, ia melihatnya secara langsung. Lukas membawanya ke suatu pantai di utara wilayah Norwegia. Meskipun saat ini musim panas, namun wilayah kutub tak boleh diremehkan dinginnya pada saat musim apapun juga. Oleh sebab itu, keduanya sudah membekali diri dengan pakaian hangat. Apalagi pantai—pasti angin yang berhembus bisa membekukan tulang.

Namun semua pikiran buruk Natalia langsung tertepis saat ia tiba di sana.

Hal yang menjadi objek pandangan matanya yang sedikit terbelalak justru bukanlah pantai yang malam hari itu tampak sepi. Namun koordinat pandangannya justru mengarah pada langit yang luas. Hitam. Berkelip oleh titik-titik bintang.

Dan semburat warna bagaikan hasil radiasi dari kombinasi berbagai macam sinar matahari, yang menjadikan langit malam yang selama ini Natalia tahu akan selalu gelap, kini tampak bersinar.

Merah muda. Hijau. Ungu. Kuning pucat.

Tersemburat dari langit tepat di atas kepala Natalia, hingga di ufuk di tepi garis laut di sana.

Natalia bahkan nyaris lupa untuk menarik napasnya yang selama beberapa detik tertahan.

Begini indahkah alam tempat di mana Lukas lahir dan dibesarkan? Karena malam hari saja semuanya tampak terang oleh langit yang benderang oleh aneka warna di sana.

"Indah, bukan?" tanya Lukas pelan, sembari turut mendudukkan diri di samping Natalia—di atas tanah berpasir beberapa jauh dari ombak yang berdebur menampar tepian pantai, "Ini namanya Aurora Borealis."

Tanpa ragu, Natalia sedikit menganggukkan kepalanya, "Di Belarus tak ada yang seperti ini."

"Hm," Lukas sedikit menatap geli bercampur tertarik, pada ekspresi terpukau Natalia akan langit yang tengah gadis itu tatap dengan seksama, "Di musim dingin bisa lebih cantik lagi."

Natalia menoleh, lantas menatap Lukas dengan tatapan heran, "Kau pasti sudah sering melihatnya hingga responmu biasa saja melihat aurora begini."

"Hm," kembali, Lukas bergumam, sembari tetap menatap Natalia, "Ada yang lebih enak dipandang, sih."

Di saat itu juga, aurora berwarna kemerahan di atas sana seolah menularkan bias warnanya ke kedua pipi dan telinga Natalia.

"Sumpah, kau terdengar menjengkelkan jika berucap seperti itu," desis Natalia sembari kembali menghadap ke arah langit, mencoba meredakan panas yang sangat ia rasakan di daerah wajahnya.

Lukas hanya bergumam kecil, lantas terdiam.

Keheningan melingkupi mereka beberapa menit. Natalia hanya menghadap ke arah langit, sedangkan Lukas menatap dengan tatapan pasif pada permukaan air di depan sana lengkap dengan deburan ombak dan buih putihnya.

Keheningan yang sebenarnya, sangat disukai oleh pribadi seperti mereka berdua.

"Jadi, sekarang kau menjadi seorang pelukis?" ucap Natalia memecah keheningan di antara mereka.

"Hanya hobi yang kebetulan menemukan keberuntungan. Profesiku sebenarnya adalah Arsitek," jawab Lukas, "Kau? Siapa sangka jika kau akan menjadi Fotografer?"

"Aku juga tidak menyangka. Entahlah," Natalia menghela napas pelan, "Kau tampaknya sukses baik dalam hobi atau profesimu—aku hanya Fotografer amatiran yang baru sebulan bekerja."

Lukas tidak merespon, dan membuat keheningan kembali melingkupi mereka.

"Aku senang kau baik-baik saja," ujar Lukas yang kini menjadi pihak pemecah kebisuan yang menggantung di antara mereka.

Natalia sedikit bersedekap ketika angin dingin menerpa tubuhnya, "Tak percaya kau mengatakan itu setelah kau pergi tanpa berucap apapun padaku empat tahun yang lalu."

Ia masih ingat, betapa ia habiskan beberapa harinya untuk merasa marah, jengkel, dan mengumpat habis-habisan pemuda yang sekarang ini berada di sampingnya. Namun sialnya, rasa sedih dan rindu itu tak hanya ia rasakan sesebentar semua kemarahan dan kekesalannya.

Empat tahun.

"Aku minta maaf," ujar Lukas setelah pemuda itu terdiam beberapa lama, "Kupikir, kita tidak terpisah sebegitu jauh… Kita masih berada dalam satu benua, bukan?"

Natalia menahan untuk tidak mengumpat Lukas di detik itu juga.

"Omong-omong, aku tidak menyangka bahwa tato itu masih ada di lenganmu," ujar Lukas sembari melirik ke pergelangan tangan Natalia yang tampak karena lengan mantelnya tersingkap.

Pandangan Natalia teralihkan menuju pergelangan tangannya, "… Mau bagaimana lagi," gumam Natalia, "Kau sendiri yang pernah bilang, kalau menghapusnya pasti terasa jauh lebih sakit."

Mungkin 'sakit' yang dimaksud di sini bukan sakit fisik, tetapi sakit di hatinya ketika menghapus tato tersebut—seperti tengah menghapus satu nama yang terukir di dalam sini.

Lukas mendengus geli, "Aku juga masih menyimpannya," ia menggulung sebelah lengan mantelnya. Ia tunjukkan bagian dalam dari pergelangan kanannya ke arah Natalia, "Tapi aku tidak akan menjadi pembohong sepertimu."

"Pembohong?"

"Aku tidak menghapusnya karena memang aku tidak ingin menghapusnya."

Natalia menghela napas kesal, lantas membuang pandangannya menuju ke arah garis horizon di sana, "Inilah yang kubenci darimu. Selalu bersikap sok tahu."

"Tetapi aku benar. Kalau aku salah, kau pasti tidak bersedia kubawa jauh-jauh ke sini dan mendinginkan dirimu di pantai begini."

"…Aku hanya ingin melihat aurora."

"Darimana kau tahu? Aku dari awal 'kan tidak bilang bahwa kita akan melihat aurora."

Sedikit demi sedikit, Natalia benar-benar merasa kesal sekarang. Gadis itu bersyukur dalam hati ketika ia mendengar suara sesuatu yang bergerak dan ketika ia melirik, ia dapati Lukas telah berdiri dan beranjak dari sisinya. Pemuda itu tampak berjalan menuju ke arah mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana.

Gadis itu kembali menghela napas, namun kali ini merasa lega. Setidaknya ia bisa menikmati aurora yang pertama kali ia lihat ini, dengan tenang tanpa perlu mendengar kalimat-kalimat sarkastis dan sok paham dari seorang Lukas Bondevik.

Namun kedamaian yang ia rasakan tak lama berlangsung. Lukas kembali datang, namun kali ini pemuda itu tampak membawa beberapa benda di kedua tangannya. Pemuda itu kembali mendudukkan diri di samping Natalia, lantas meletakkan benda yang ia bawa di tanah berpasir di dekat tubuhnya.

Ternyata termos dan dua buah cangkir.

"Aku membawa coklat hangat," ujar pemuda itu, "Karena aku tahu, kita pasti membutuhkannya di udara sedingin ini…"

Natalia melirik ke arah dua buah cangkir dan satu termos yang tengah Lukas buka tutupnya. Memori Natalia secara otomatis melayang ke kejadian beberapa tahun lamanya—dahulu. Saat setiap sore ia habiskan di depan pagar pintu rumahnya dengan berdiri seorang diri. Menanti kedatangan Ivan yang belum pulang—entah kemana pemuda itu pergi. Hanya dengan ditemani angin dan cahaya sore mentari.

Dan Lukas yang, entah sejak kapan, datang kepadanya dengan membawa dua cangkir coklat hangat untuk berbagi.

Berbagi semuanya.

Coklat hangat.

Kehangatan.

Dan perasaan.

"Apakah kau mau?" tanya Lukas sembari mengangkat dua cangkir putih yang kini telah ia isi dari coklat hangat dari termosnya. Tampak bahwa dari dua cangkir itu, asap terkepul menandakan bahwa cairan di dalamnya pasti nyaman jika tertelan. Apalagi di keadaan cukup dingin demikian…

Tanpa berucap, sebelah tangan Natalia bergerak maju, hendak mengambil salah satu cangkir yang ada. Namun belum sempat bahkan ujung jarinya menyentuh permukaan cangkir, Lukas keburu menarik tangannya, menjauhkan kedua cangkir dari jangkauan Natalia.

Natalia hanya memelototi pemuda di sampingnya.

"Hei, Natalia. Kau mungkin atau tidak, pernah dengar dari teman-teman sekolah kita dulu bahwa aku ini orangnya pragmatis," ujar Lukas memandang Natalia dengan sorotnya yang tenang, "Jadi, tidak ada yang gratis."

Natalia memandang heran bercampur tidak mengerti ke arah iris biru tersebut. Semakin kesal karena ia takut jika coklat itu keburu dingin karena tingkah bertele-tele dari lelaki di hadapannya ini.

"Apa maksudmu?" tanya Natalia langsung.

Lukas tersenyum kecil—kembali, ada kerlipan di antara angkasa biru kosong tersebut, "Gampang. Aku akan memberimu coklat hangat ini asal kau mau menikah denganku. Itu saja," Lukas mengendikkan bahu, "Jika tidak, maka akan kuminum semuanya—aku tidak peduli."

.

.

Natalia memandang Lukas dengan seksama seolah ia ingin memastikan dirinya bahwa lelaki tersebut tidak tengah mengalami gangguan mental mendadak akibat hipotermia atau apa.

"Aku tidak bicara ngawur," ujar Lukas masih dengan santainya, seolah mampu membaca pemikiran Natalia, "Jadilah istriku, dan minumlah coklat ini. Atau tetaplah kita jadi teman dan kau tetap kedinginan—hm, tapi kukira aku tidak akan bisa berteman denganmu."

Natalia masih terdiam. Ia bahkan meragukan fungsi kedua telinganya yang kini ia anggap sudah mulai tidak normal dan mendengar hal-hal yang bahkan tak pernah mampir di imajinasinya.

Apakah Lukas bercanda?

Tapi Natalia ragu. Lukas bukanlah tipe orang yang akan bicara sejauh itu hanya untuk membuatnya tertawa. Namun di saat yang sama, ia juga ragu akan kebenaran dari apa yang barusan didengarnya—itupun jika semua itu bukan imajinasinya belaka.

Namun ekspresi itu… Tatapan itu… senyum itu….

Tak mampu Natalia cegah rasa hangat yang perlahan ada di dalam sini. Jauh lebih hangat dari semua momen yang pernah ia alami sebelumnya. Darahnya berdesir. Jantungnya tak sekedar berdegup kuat, namun seolah organ itu siap meledak.

Namun yang lebih, hangat. Sangat hangat hingga ia merasa bahwa jiwanya terasa ringan. Hatinya terasa lapang.

Membuat perasaan haru ini tak mampu ia cegah untuk ada, sekalipun ia masih bingung bahwa semua ini antara imajinasi dan realita.

Haru, sangat haru.

Jika ia tidak merasa sesak, maka ia pasti akan selamanya lupa untuk kembali menarik napasnya yang sempat beberapa saat tertahan.

Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik poni tebalnya. Mencegah Lukas dan dunia tahu akan merona wajahnya. Mencegah siapapun mendapati bahwa ada genangan air di kedua matanya yang setiap saat bisa saja tumpah.

Ia bahkan tak ingat, kapan terakhir kali ia menangis.

Ia bahkan mengira bahwa dirinya adalah manusia tanpa air mata, tanpa rasa bahagia, tanpa rasa haru, tanpa cinta.

Tanpa ragu dan seolah tangannya bergerak sendiri, ia mengambil satu dari dua cangkir yang dipegang Lukas, membuat pemuda itu tampak sedikit terkejut ketika satu dari dua cangkir di tangannya terambil oleh Natalia.

"Bodoh, kau harusnya berucap atau bertindak lebih romantis saat melamarku," ujar Natalia dengan sebisa mungkin, menampakkan nada desisannya. Namun suara sedikit serak yang terdengar, justru membuat siapapun tahu apa yang sebenarnya.

Termasuk Lukas.

Pemuda itu tersenyum—senyum terlebar yang pernah terpampang di bibir seorang Lukas Bondevik sepanjang ia hidup selama ini. Wajahnya tampak begitu lega, begitu puas, seolah beban terberat yang barusan ia sangga di punggungnya, terangkat dengan begitu mudahnya hanya oleh tindakan dan ucapan Natalia. Dan kembali, ia menatap Natalia dengan kerlipan di matanya yang sehampa angkasa—memandang gadis itu seolah Natalia lebih indah dari Aurora Borealis di atas sana, buih ombak di depan sana, dan hal lain yang selama ini diketahui olehnya.

Jauh lebih indah.

Lukas segera menggeser duduknya untuk lebih mendekat ke arah gadis—atau bisakah ia mulai menyebutnya sebagai calon istrinya?—tersebut. Dan seketika seolah bagaikan insting, ia melingkarkan kedua lengannya ke tubuh itu.

Berbagi kehangatan yang sudah lama tak tersampaikan. Berbagi kerinduan yang selama ini hanya terpendam. Menyalurkan cinta dan segala perasaan yang selama ini hanya mampu mereka kobarkan dalam diam.

Natalia membalas pelukan tersebut sembari secara refleks, meletakkan kepalanya di dada tersebut. Dada yang kini terasa jauh lebih bidang dari yang terakhir ia ingat dahulu.

Ah, bahkan Natalia merasa rindu ketika surainya terbelai dan termainkan oleh jemari Lukas, seperti sekarang ini.

"Hm, maaf. Tapi yang penting, 'kan, aku mendapatkanmu."

Tak pernah keduanya pikir bahwa pribadi sedingin, sedatar, dan sehampa mereka bisa menemukan akhir kisah yang begitu indah.

Karena malam ini adalah malam di mana aku jatuh hati padamu

Lagi dan lagi

Jangan kau buat aku mengubah pemikiranku.

Atau aku tak akan pernah hidup untuk melihat hari lain nanti

Aku bersumpah sungguh,

Karena gadis sepertimu tak akan pernah mungkin mampu kujumpai

Epilog End

Berhubung ini chapter terakhir, boleh dong minta reviewnya~

Oh ya, lirik lagu di chapter ini bukan dari She Will Be Loved, tapi dari Fall For You milik Secondhand Serenade :)

Thanks and love you brur :)