Judul: The Fox Family

Penulis: Amariys

Jumlah Kata: 7630 kata

Rating: T / PG-13

Disclaimer: Kuroko no Basket milik Fujimaki Tadatoshi. Tidak ada keuntungan materil yang saya ambil dari cerita ini. Kover fic dibuat oleh Shaanon.

Summary: Aomine bertemu dengan anak siluman rubah dan kemudian bertemu dengan keluarga anak siluman rubah itu.

A/N: Fic ini sepenuhnya didedikasikan untuk Hanashinjiteru-san (BeliefinFlower)dan Shaa-chan (Shaanon)yang telah menanggapi kicauan saya mengenai keluarga rubah Kise dan telah memberikan fanarts untuk saya. Fic ini seharusnya tidak menjadi sepanjang ini. Seharusnya ini hanya menjadi drabble yang penuh dengan keimutan. Jangan tanya kenapa saya justru melahirkan monster seperti ini. Apalagi nampaknya porsi AkaKise lebih banyak dibanding AoKise di sini. /hides Oh well, hope you enjoy this!


Terkadang, menjadi anak siluman terkuat di gunung ini benar-benar menguntungkan. Ryou menyengir lebar saat satu siluman rendah yang hendak menyerangnya berhenti tiba-tiba dan justru membungkukkan badan untuk memberinya hormat. Kalau saja dia hanya anak siluman rendahan, pasti dia sudah mati termakan sejak dulu. Rubah kecil itu menyengir lebar saat dia melanjutkan perjalanannya menuju satu penginapan manusia yang berada paling dekat dengan kaki gunung.

Langit di atasnya terlihat sangat biru. Kedua mata besar Ryou yang berwarna emas sampai harus memicing untuk melawan terangnya sinar matahari. Ekor rubahnya yang gemuk dan empuk mengayun santai sampai dia menangkap satu sosok berwarna hitam yang terbang pelan seolah mengikutinya. Kuping rubah Ryou tertekuk ke bawah. Bibirnya mengerucut dan dia diam-diam meralat pemikiran awalnya. Menjadi anak siluman terkuat di gunung memang kadang menguntungkan, walaupun tidak jarang juga menyebalkan; diawasi setiap kali dia keluar dari gunung bukan hal yang menyenangkan bagi Ryou.

"Oy, Karasu-tengu!" Ryou memanggil dengan suara keras. Sosok hitam yang ada di angkasa memperlambat terbangnya sebelum melayang mendekat ke arah Ryou. Siluman itu bertengger di salah satu dahan pohon di dekat Ryou, memiringkan kepalanya membalas tatapan galak Ryou. "Kau tidak usah mengikutiku, Karasu-tengu! Aku hanya akan ke penginapan di kaki gunung dan aku bukan anak kecil lagi!"

Karasu-tengu hanya menatap Ryou dengan kilat rasa geli di matanya sebelum menggeleng pelan. "Maafkan saya, Ryou-sama, tapi Ryouta-sama tidak akan memaafkan saya jika saya meninggalkan Anda sendirian. Anggap saja Anda tidak pernah melihat saya dan silakan melanjutkan perjalanan Anda."

Sebelum Ryou bisa mengatakan apa-apa sebagai balasan, Karasu-tengu sudah terbang menjauh, hanya meninggalkan beberapa helai bulu hitam di tanah. Rengutan di antara alis Ryou semakin dalam dan dia menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dengan kesal.

"Dasar Mama bodoh!" Ryou merutuk pelan. Dia melanjutkan perjalanannya sambil menendangi kerikil kecil yang ada di depannya. Dia tidak mengangkat wajah, lebih memilih untuk memelototi kerikil malang yang tengah ditendangnya, masih sibuk mengomeli 'ibu'nya di dalam kepalanya.

Ryou adalah anak tunggal dari Kise Ryouta, siluman rubah dewasa berekor sembilan yang menjadi dewa penjaga gunung ini. Mungkin menyebut Ryouta sebagai ibunya sedikit kurang tepat, karena Ryouta adalah laki-laki dan dia juga tidak melahirkan Ryou dari tubuhnya (bahkan untuk siluman, ada beberapa hal yang mustahil dilakukan dan kehamilan laki-laki termasuk salah satunya), tapi Ryouta mengasuh Ryou layaknya seorang ibu sehingga Ryou telah terbiasa memanggil sang dewa dengan panggilan mama. Dan selayaknya seorang ibu, Ryouta selalu mengkhawatirkan keselamatan Ryou. Karena itulah dia selalu memerintahkan Karasu-tengu untuk mengawasi si rubah kecil tiap kali dia turun gunung. Meskipun tidak suka dengan aturan itu, tapi Ryou setidaknya masih bersyukur Ryouta tidak sepenuhnya melarangnya turun gunung.

Sebetulnya, Ryou hanya menyempatkan diri menyelinap turun gunung karena dia tidak punya banyak teman dan melihat manusia yang berkeliaran di sekitar penginapan sangat menarik baginya. Ryou pertama kali turun gunung bersama dengan Ryouta. Ibunya saat itu mengajaknya untuk menunjukkan makhluk yang biasanya dihindari oleh para siluman gunung: para manusia. Awalnya Ryou hanya bisa bersembunyi di belakang Ryouta; dua tangan kecilnya menggenggam yukata merah tua Ryouta dengan sangat erat dan telinganya terlipat. Bau-bau asing para manusia membuat Ryou takut dan suara mereka benar-benar keras. Saat itu Ryou merasa manusia sengaja berbicara dengan nada tinggi, seolah mereka lupa caranya berbicara dengan pelan.

Selain itu, tingkah laku para manusia juga membuatnya heran. Sekali waktu dia melihat dua manusia menyentuhkan bibir mereka satu sama lain lalu memasukkan lidah ke dalam mulut pasangannya. Ryou mengernyit melihatnya. Ekspresinya terlihat jijik sementara Ryouta tertawa lepas.

"Kau tidak seharusnya melihat itu, Ryou." Ryouta menyengir saat mengatakan hal itu. Kemudian satu ekornya bergerak melingkari tubuh Ryou dengan lembut, secara tidak langsung membuat pandangan bocah itu terhalang.

"Kenapa mereka memasukkan lidah ke dalam mulut pasangan mereka, Mama? Itu menjijikkan! Kenapa mereka tidak saling menjilat pipi saja?"

"Mm, cara manusia menunjukkan rasa sayangnya berbeda dengan kita," Ryouta menjawab dengan nada malas dan sedikit geli. Dia memangku pipinya dengan sebelah tangan. Mata emasnya menatap ke arah dua pasang manusia yang masih asyik-masyuk di dunia mereka sendiri, lidah bertautan satu sama lain. "Jadi mungkin menurut mereka itu menyenangkan."

"Bleh," timpal Ryou dengan sangat manis. Dia bahkan menjulurkan lidahnya ke arah pasangan manusia itu sebelum memalingkan wajah dari mereka. Dia menarik lengan yukata Ryouta, membuat rubah yang lebih tua melirik ke arahnya. Ryou memasang wajah merengut dan memiringkan wajah, memperlihatkan pipinya yang masih gempal layaknya anak kecil.

"Mama, cium."

Ryouta mengerjap mendengar permintaan kekanakkan dari Ryou yang tak terduga. Bibirnya gemetar dan dia terpaksa menyembunyikan tawanya di balik kepalan tangan, karena dia tahu Ryou akan marah kalau ditertawakan, tapi nampaknya sia-sia. Rengutan di wajah Ryou semakin dalam dan dia menarik lengan yukata Ryouta semakin keras. "Mamaaaa-!" Rengeknya.

Ryouta tertawa pelan, tapi lalu menurut dan menundukkan wajah untuk menjilat pipi Ryou dengan lidahnya yang kasap. Dia menjilati pipi anaknya beberapa kali, sebelum menarik diri dan tersenyum jahil. Kemudian Ryouta menarik Ryou mendekat dan mulai menjilati seluruh wajah dan kuping si rubah kecil—mengambil kesempatan untuk memandikan bocah nakal itu.

"Mama, itu curaaaaang!" Ryou kembali merengek. Kali ini dia menggeliat berusaha melepaskan diri dari Ryouta, tapi dua ekor Ryouta menahan tubuh kecilnya dengan cukup baik. Kesal, bocah itu menahan wajah Ryouta yang mendekat untuk menjilatinya lagi dengan kedua tangan; berusaha untuk membuat mamanya berhenti. "Aku sudah bukan anak kecil lagi!"

Ryouta mendengus mendengar perkataan anaknya. Dia memberikan satu jilatan lagi ke pipi si bocah sebelum melepaskannya. Ryou tidak menghabiskan waktu. Dia dengan segera berlari mundur, menjauh dari mamanya yang masih duduk santai di atas sebuah batu besar dan hanya mengamatinya. Ekor emas Ryouta bergoyang malas, menunjukkan perasaannya yang tenang. Melihat sosok Ryouta, mau tidak mau perasaan kesal Ryou perlahan tergantikan dengan kekaguman. Dia selalu tahu mamanya itu cantik. Siluman-siluman gunung selalu mengelu-elukan kecantikan Ryouta dan penampilannya yang selalu elegan. Ada aura memabukkan yang menguar di sekitar siluman rubah berekor sembilan itu. Aura yang menunjukkan kekuatan besar yang terkendalikan dengan sangat baik. Ryou selalu mendengar puji-pujian tentang mamanya dan karena itulah dia selalu ingin menjadi seperti Ryouta.

Seolah dia bisa mendengar pikiran Ryou, perlahan sudut-sudut bibir Ryouta membentuk lengkung senyum hangat. Dia bangkit berdiri dalam satu gerakan halus; kedua kakinya bahkan seperti tidak menginjak tanah. Lalu Ryouta membuka kedua lengannya ke arah Ryou, senyum di bibirnya berubah menjadi mengundang dan Ryou dengan segera berlari ke pelukan mamanya. Dia menggenggam yukata Ryouta dengan erat. Wangi yang akan selalu mengingatkannya akan pelukan hangat dan senandung lagu pengantar tidur memenuhi rongga hidungnya. Rasa nyaman tumbuh di dalam dirinya dan sebelum bisa dia tahan, dia sudah menguap lebar.

"Rasanya waktu bermain sudah selesai hari ini," gumam Ryouta yang melihat kuap anaknya. Dia perlahan mengangkat tubuh Ryou, menggendong si bocah dengan lembut dan dia benar-benar yakin Ryou sudah lelah karena tidak ada keluhan dari anak itu. Biasanya, Ryou akan memprotes saat dia digendong karena menurutnya dia sudah bukan anak kecil lagi. Ryouta tertawa kecil dan memberikan ciuman pada kening Ryou. "Selamat tidur, permata kecilku."

Dan itu adalah ingatan pertama Ryou mengenai manusia. Rasa takut bercampur dengan kejijikan dan kehangatan lembut pelukan Ryouta. Sejak saat itu, Ryouta beberapa kali membawanya melihat manusia lagi dan saat Ryou sudah cukup besar, dia lebih sering menyelinap turun gunung sendirian. Dia tidak melakukan apa-apa, hanya memperhatikan manusia dari jauh atau, saat dia merasa lebih berani, masuk ke dalam penginapan dengan hati-hati. Selama ini, belum pernah ada manusia yang melihatnya, jadi Ryou menganggap dirinya aman.

Terlarut dalam kenangannya sendiri, Ryou sama sekali tidak sadar dia sudah hampir sampai di tempat tujuannya. Penginapan itu bernama Horimiya—sesuai dengan nama keluarga pemilik penginapan—dan bangunannya sudah terlihat tua walaupun masih terawat. Pengunjung penginapan tua itu tidak terlalu banyak, tapi penginapan itu juga tidak pernah sepi. Letaknya yang berada tepat di kaki gunung dan mata air hangat alami yang ada di lingkungan penginapan menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis.

Saat dia mulai mendekati penginapan, Ryou menegakkan telinganya. Ada suara asing yang terdengar. Suara pantulan benda dengan ritme konstan yang tidak berhenti, disusul dengan suara tajam udara yang terbelah oleh gerakan benda yang melintas dan bunyi gerincing rantai-rantai. Rasa ingin tahu membuat Ryou membelokkan langkah; dia kini berjalan menuju lapangan kecil yang ada di belakang penginapan.

Lapangan itu tidak besar dan biasanya tidak ada orang yang bermain di sana. Bibir hutan berada sangat dekat dengan lapangan sehingga Ryou bisa mengendap-endap dengan aman di semak belukar yang tumbuh di sekitarnya. Tubuh kecilnya menghasilkan suara kerisik yang tidak jauh beda dengan kerisikan angin dan dia terus berjalan sampai akhirnya dia dapat menyembulkan kepala dari celah belukar. Kemudian, kedua mata Ryou membulat.

Suara asing yang Ryou dengar berasal dari benda bulat berwarna oranye tua yang dipantul-pantulkan ke tanah oleh seorang pemuda berambut biru tua. Dia bahkan tak berkedip sama sekali saat melihat pemuda itu menangkap benda bulat itu dengan kedua tangannya kemudian melemparkannya ke arah kayu berbentuk kotak yang dipasangi lingkaran besi dengan rantai-rantai yang menjuntai di bawahnya. Benda-bulat-oranye itu masuk tepat di tengah-tengah lingkaran besi, menyentuh rantai-rantai saat gravitasi membawanya turun dan menghasilkan suara gerincing keras.

Untuk sesaat, Ryou lupa dia sedang bersembunyi. Secara refleks dia bersorak dan bertepuk tangan saat benda-bulat-oranye itu memantul beberapa kali lagi sebelum akhirnya berhenti dan bergelinding mendekati pemuda berambut biru tua. Suara yang Ryou hasilkan sontak membuat pemuda itu menoleh tajam. Kedua mata Ryou kembali membulat—kali ini dengan rasa kaget dan takut—saat sepasang mata berwarna biru laut bertemu pandang dengannya. Dia mengeluarkan suara "Eep!" pelan sebelum menutup mulut dengan kedua tangan dan menarik diri ke belakang belukar. Ryou terduduk di sana. Tubuh kecilnya gemetar karena takut dan ekornya melingkar di antara kakinya.

Rubah kecil itu mencoba untuk tidak bersuara, tapi nampaknya sia-sia. Dia hampir-hampir melompat saat suara kerisik belukar terdengar dari belakangnya dan sinar matahari yang menimpanya terhalang oleh bayangan hitam. Bayangan yang berbentuk manusia. Ryou memejamkan matanya erat. Air mata mulai menggenang di sudut-sudut matanya saat dia memikirkan skenario terburuk jika manusia itu menemukannya. Lalu, dia berteriak saat seseorang mengangkatnya dari ujung kerah yukata kecilnya.

"Lepaskan aku! Lepas, lepas, lepaaaaas! Jangan makan aku! Dagingku tidak enak dan mama akan membunuhmu kalau dia sampai tahu!" Ryou terus menjerit. Kaki-kakinya menendang udara kosong, tubuhnya menggeliat hebat. Dia berontak sekuat tenaga, tapi genggaman tangan di ujung kerah yukatanya sama sekali tidak mengendur.

"Oy, oy, tenang dulu, Bocah! Aku tidak akan memakanmu!" Suara manusia itu terdengar berat. Dan saat kalimatnya tercerna oleh otak Ryou yang dipenuhi oleh rasa panik, akhirnya bocah itu mengurangi gerakannya. Si manusia mengeluarkan gerutuan pelan sebelum perlahan membalik tubuh Ryou hingga mereka saling berhadapan. Dua iris biru tua menatap Ryou lekat. "Kau … siluman? Baru kali ini aku melihat siluman kecil sepertimu. Sedang apa kau di kaki gunung seperti ini?"

"Kau tahu tentang siluman?" Telinga Ryou berdiri tegak. Ketakutannya dengan segera tergantikan oleh rasa penasaran dan manusia di hadapannya menyeringai. Oh, anak kecil dan minimnya kemampuan mereka untuk fokus pada satu hal. Saat manusia di hadapannya mengangguk menjawab pertanyaannya, ekspresi wajah Ryou berubah total. Senyum lebar kini menghiasi wajahnya dan ekornya bergoyang dengan antusias walaupun dia masih terangkat beberapa senti dari tanah. "Wow! Mama bilang manusia biasanya tidak tahu apa-apa mengenai kami! Kenapa kau bisa berbeda? Apa kau sebetulnya bukan manusia? Siapa namamu? Aku Ryou, salam kenal! Apa yang kau lakukan tadi? Cara benda-bulat-oranye itu masuk ke dalam lingkaran besi sangat mengagumkan! Apa nama permainan itu?"

Manusia di hadapan Ryou mengangkat alis, terkejut dengan rentetan pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan oleh si rubah kecil. Kemudian dia terkekeh dan menurunkan Ryou dengan hati-hati. Alih-alih berlari menjauh, bocah rubah itu hanya menatapnya dengan binar kekaguman; jelas sekali masih menunggu jawaban. Manusia di hadapan Ryou mengesah, berusaha untuk mengingat semua pertanyaan Ryou dan menjawab semampunya.

"Aku tahu mengenai kalian karena sejak kecil aku bisa melihat hal-hal yang tak bisa dilihat oleh kebanyakan manusia—seperti siluman. Aku benar-benar manusia, walaupun memang tidak semua memiliki kemampuan yang sama denganku. Namaku Daiki, Aomine Daiki. Salam kenal juga, Ryou. Tadi aku hanya sedang bermain basket—aku dan teman-teman satu timku sedang mengadakan latihan di penginapan ini dan aku bosan menunggu mereka."

"Jadi permainan tadi disebut bas-ket? Ne, ne, apa kau bisa mengajariku bermain basket, Daiki?"

Sekali lagi Aomine terkesiap. Ryou benar-benar berbeda dengan siluman-siluman lain yang pernah Aomine temui. Bocah rubah ini sama sekali tidak terlihat jahat dan dua mata besar yang menatap penuh harap kepadanya benar-benar sulit untuk ditolak—maka Aomine pun menyeringai. "Heh. Dengan badan pendekmu itu, kau tidak akan bisa memasukkan bola, tapi baiklah. Akan kuajari dasar-dasar bermain basket."

Dan, sungguh, senyum cerah yang Ryou tunjukkan setelahnya benar-benar sepadan dengan segala keanehan yang terjadi hari ini.

xXXx

Karasu-tengu selalu bangga dengan tugas yang diberikan oleh Ryouta kepadanya, tak peduli seberapa remehnya tugas itu. Karena itu, saat Ryouta memintanya untuk mengawasi Ryou, Karasu-tengu menerimanya dengan sepenuh hati. Lagipula, Ryou adalah kesayangan para siluman gunung yang telah berpuluh-puluh tahun tidak melihat anak kecil, jadi Karasu-tengu sama sekali tidak keberatan dengan tugas yang diembankan padanya—meskipun terkadang kenakalan Ryou membuatnya ingin mematuk si bocah.

Selama ini, Ryou tidak pernah mengundang masalah setiap dia turun gunung. Rubah kecil itu masih terlalu muda untuk berada terlalu dekat dengan manusia dan nampaknya dia pun menyadari hal itu. Dia cukup pintar untuk hanya memerhatikan para manusia dari kejauhan dan Karasu-tengu tidak pernah khawatir. Hanya saja, hari ini Ryou telah menarik perhatian seorang manusia. Pemuda bernama Aomine Daiki yang bisa melihat bangsa mereka dan rubah kecil itu—Demi kesembilan ekor Ryouta-sama—justru mengajak pemuda itu bermain!

Kalau saja Ryouta-sama mengizinkannya untuk menghukum Ryou langsung, Karasu-tengu pasti telah membawa bocah itu pulang secara paksa. Sayangnya, hal itu berada di luar hak Karasu-tengu dan dia akhirnya memutuskan untuk terbang kembali ke kuil tempat tinggal Ryouta-sama, berharap Beliau dapat melakukan sesuatu.

Saat dia akhirnya melihat Ryouta-sama, siluman rubah itu tengah duduk bersandar di teras kuil tempat tinggalnya. Kesembilan ekornya yang berwarna emas bertumpuk di belakangnya, satu-dua diantaranya sesekali mengibas malas. Yukata merah yang Ryouta gunakan terlihat kontras dengan warna kulit putih susunya. Di ujung kuping rubahnya yang sebelah kiri terdapat lingkaran besi berwarna biru yang memantulkan sinar matahari. Konon, anting biru itu adalah segel yang meredam sebagian besar kekuatan Ryouta, karena bahkan gunung tempat mereka tinggal pun tak akan sanggup menerima kekuatan penuhnya.

Ryouta mendongak saat Karasu-tengu mendarat di hadapannya. Bibir tipisnya yang berwarna merah membiaskan senyum hangat. Kedua mata beriris emasnya berkedip malas dan menatap ke arah Karasu-tengu dari balik helaian bulu mata lentik dan Karasu-tengu bersyukur bulu-bulu hitamnya dapat menyembunyikan rona merah di pipinya dengan sangat baik.

"Karasu-tengu," suara jernih Ryouta terdengar bagai denting lembut lonceng angin, membuat siapa pun berhenti untuk mendengarkan. "Kau terlihat gugup. Kenakalan apa yang Ryou lakukan kali ini?"

Nada suara Ryouta hanya terdengar geli dan sedikit penasaran, tapi tetap saja Karasu-tengu berlutut, seolah mempersiapkan diri untuk menerima hukuman. "Tuanku, Ryou-sama kembali mengunjungi penginapan di kaki gunung dan kali ini ... Ada seorang manusia yang dapat melihatnya. Saat ini, Ryou-sama sedang bersama manusia itu."

"Oh?" Kedua alis Ryouta terangkat penuh keterkejutan. "Seorang manusia yang dapat melihat kita. Menarik sekali. Apa kau tahu siapa nama manusia itu?"

"Dia memperkenalkan diri sebagai Aomine Daiki, Ryouta-sama."

"Aomine Daiki ...," Ryouta mengulang nama itu lamat-lamat, seolah ingin menikmati saat setiap silabel bergulir di lidahnya. Daging merah itu kemudian menyapu bibirnya, seperti mencecap manis yang tersisa. "Daiki. Nama yang bagus. Kau bilang Ryou bersama dengannya? Apa yang mereka lakukan?"

"Ryou-sama melihat saat Aomine ini bermain basket dan kemudian Aomine mengajaknya ikut bermain," Karasu-tengu terdiam untuk beberapa saat; dia hanya melanjutkan setelah mendapatkan anggukan pelan dari Ryouta, suatu tanda baginya untuk terus bicara. "Menurut saya, Ryou-sama tidak sedang dalam bahaya. Beliau justru terlihat senang bermain dengan manusia itu."

Ryouta tertawa lepas, memancing beberapa ekor burung kecil untuk menghampirinya; mengiringi suara tawa itu dengan kicauan riang mereka. Masih terkekeh, Ryouta mengulurkan jari, membiarkan seekor burung berwarna kuning cerah bertengger di telunjuknya dan mengelus kepala bulat burung itu dengan lembut. Iris emasnya terlihat cerah oleh keceriaan nyata dan Karasu-tengu bersyukur memiliki kesempatan melihat senyum indah itu.

"Ryou memang tidak mengenal bahaya," Ryouta berkata dengan nada sayang bercampur geram yang hanya dapat didengar dari para orang tua. "Kalau dia memang terlihat senang, kurasa tidak masalah. Biarkan saja dia bermain dengan manusia itu."

Karasu-tengu baru akan menimpali saat tekanan di sekitar mereka berubah berat. Kemudian suara gemuruh terdengar, diikuti oleh suara sayatan tajam sebelum udara seolah terkoyak dan seorang pemuda dengan rambut sewarna merah darah melangkah keluar dari koyakan antar-dimensi itu. Tubuh Karasu-tengu seketika gemetar hebat saat kekuatan yang besar membuat bahkan udara pun bergetar. Insting membuatnya bersujud di hadapan pemuda berambut merah itu; ketakutan membuat tenggorokannya menyempit hingga tak ada suara yang bisa dia hasilkan.

Ryouta mengesah pelan, berpaling menatap tamu yang baru saja memasuki wilayahnya. Dia sama sekali tidak terganggu oleh tekanan kekuatan di sekitarnya dan saat dia berbicara, suaranya terdengar tenang, "Akashi-cchi, bisa tolong redam kekuatanmu? Kau bisa meremukkan tubuh Karasu-tengu tanpa sadar, dan dia adalah penjaga terbaik yang kupunya."

Akashi tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap ke arah Ryouta sebelum mengalihkan pandangannya pada Karasu-tengu yang masih bersujud di hadapannya. Untuk sesaat, Ryouta menegakkan tubuh, bersiap untuk memaksa Akashi menuruti perkataannya jika perlu. Tapi kemudian Akashi memejamkan mata dan perlahan tekanan di sekitar mereka kembali normal, menyisakan Karasu-tengu yang hanya dapat merintih dan terkapar di tanah.

"Akashi-cchi benar-benar jahat," Ryouta mengerucutkan bibir. Dia akhirnya beranjak dari duduknya unuk menghampiri Karasu-tengu. Ujung yukata yang dia gunakan berbisik lembut saat dia berlutut di sebelah siluman itu. "Maafkan aku, Karasu-tengu. Kerja bagus untuk hari ini. Kau bisa kembali ke rumahmu sekarang."

Kedua tangan Ryouta perlahan menyentuh sayap-sayap Karasu-tengu dan berpendar lembut. Pendaran itu menghilang bersamaan dengan gemetar di tubuh Karasu-tengu. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia akhirnya berpaling menatap ke arah Ryouta yang tersenyum getir.

"Tidak apa, kau akan cukup kuat untuk terbang pulang sekarang. Maaf sudah mengejutkanmu seperti itu," Ryouta mengerling Akashi dengan sedikit galak. "Akashi-cchi juga minta maaf, walaupun dia terlalu keras kepala untuk mengatakannya secara lugas."

Suara dengusan samar dapat terdengar dari Akashi dan sudut-sudut bibir Ryouta sedikit tertarik ke atas. Bahkan Karasu-tengu pun tertawa pelan; dia sudah cukup kuat untuk berdiri dan mulai mengepakkan sayapnya perlahan.

"Saya undur diri kalau begitu, Ryouta-sama. Maaf telah mengganggu kalian, Seijuurou-sama." Karasu-tengu membungkuk memberi hormat. Kemudian dalam beberapa kepakan sayap, sosoknya telah hilang dari pandangan mereka.

Ryouta menunggu untuk beberapa saat sebelum berdiri dan berbalik menatap Akashi. Senyum di wajahnya telah kembali merekah dan saat mata emasnya beradu pandang dengan bola-bola dwiwarna Akashi, binar rasa sayang dapat terlihat di sana. Akashi membalas dengan seulas senyum tulus yang jarang terlihat dan dia bergeming saat Ryouta mendekat. "Selamat datang, Akashi-cchi. Maaf aku tidak menyambutmu dengan seharusnya."

"Bukan salahmu. Aku memang tidak memberikan kabar akan datang berkunjung," Akashi membalas, membuat senyum di wajah Ryouta berubah menjadi cengiran penuh maksud. Dia tahu kalimat itu adalah permintaan maaf satu-satunya yang akan dia dengar dari Akashi.

"Ya, kalau aku tahu Tuan Akashi Seijuurou, Sang Naga Agung akan datang, aku pasti akan mempersiapkan diri dengan lebih baik," nada suara Ryouta jelas-jelas menggoda. Dia mengerjapkan mata dengan manja sebelum mengalungkan kedua lengannya di leher Akashi. Sang Rubah bergelayut manja pada Sang Naga. "Jadi, ada urusan apa kau ke mari, Akashi-cchi?"

"Aku hanya ingin melihat keadaan Ryou," Akashi menjawab. Dia tidak menunjukkan respon apa pun terhadap sentuhan ataupun sapuan bibir Ryouta di kulitnya, walaupun kedua tangannya melekat pada pinggang rubah itu. Lagipula, Akashi tahu apa yang Ryouta lakukan tidak ada artinya. Ryouta tidak benar-benar menciumi Akashi karena dia menyukainya—tapi hanya karena dia menyukai kontak fisik dan insting membuat Ryouta begitu mudah merayu siapa pun.

Napas Ryouta yang hangat dan lembap menyentuh kulit leher Akashi saat dia tertawa dan getaran kecil pun melintas di tubuhnya, tapi kemudian Ryouta menarik diri dan melepaskan diri dari pelukannya. Mata Akashi bergulir mengikuti gerakan Ryouta saat dia kembali mengambil tempat duduk di teras kuil tempat tinggalnya. Helaian rambut Ryouta terlihat semakin terang saat tersepuh oleh matahari dan senyum yang dia berikan hampir membuat Akashi buta.

"Ryou sedang bermain. Jadi kau harus menunggu hingga petang untuk bertemu dengannya. Apa tidak masalah?"

Akashi hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Ryouta. Dia berjalan mendekat dan mengambil tempat duduk di sebelah Ryouta. "Sudah berapa tahun sejak Ryou lahir?"

Pertanyaan Akashi membuat senyum di wajah Ryouta menjadi sedikit lebih lembut; lebih tulus. Dia menatap ke arah langit biru di atas mereka, matanya menerawang mengingat masa lalu. "Sekitar lima tahun, kurasa. Terima kasih telah menuruti permintaan egoisku, Akashi-cchi."

"Aku tidak keberatan, selama itu bisa membuatmu tidak lagi kesepian." Akashi membalas ringan. "Lagipula, aku hanya memberikan sedikit inti sihirku dan kita tidak benar-benar yakin idemu akan berhasil saat itu."

"Ah, tapi kau tidak keberatan menjadi ayah Ryou, dan itu sudah cukup untukku." Ryouta tertawa ringan dan Akashi pun tidak dapat menahan senyum tipis yang muncul di wajahnya.

"Kurasa sebutan ayah kurang tepat untukku." Lagipula, kelahiran Ryou benar-benar berbeda dari makhluk-makhluk lain. Bahkan Akashi dan Ryouta sama sekali tidak berhubungan badan saat itu. Tidak, mereka hanya menggabungkan inti sihir mereka—dan sedikit esensi jiwa Ryouta yang membuat wujud Ryou persis sepertinya—hingga terbentuklah sebuah telur yang menjadi pengganti rahim untuk Ryou. Setelahnya, Ryouta terus memberikan sihirnya kepada telur itu hingga akhirnya Ryou mendapatkan cukup kekuatan untuk menetas dan selama itu, Akashi terus berada di sebelah Ryouta untuk menjaganya—karena sihir Ryouta pada saat itu menjadi sangat lemah.

Sebetulnya, ide yang Ryouta dapat untuk melahirkan Ryou benar-benar gila dan jika ide itu tercetus bukan darinya, Akashi pasti tidak akan mau berpartisipasi. Menggabungkan dua inti kekuatan hingga menghasilkan anak? Bahkan untuk siluman tinggi seperti mereka, ide itu nyaris mustahil. Tapi, jika ada yang dapat membuat hal mustahil menjadi mungkin, maka Ryouta adalah jawabannya. Siluman rubah itu memang dapat mengabulkan permintaan apa pun, dengan balasan yang setimpal. Karena itu, Akashi tidak begitu terkejut saat bayi siluman rubah dengan mata emas dan senyum manis Ryouta betul-betul menetas dari telur itu.

"Tadi aku sempat mendengar tentang manusia yang dapat melihat kita. Mengapa tiba-tiba kau dan Karasu-tengu membicarakan hal itu?"

"Oh, itu. Mm, Akashi-cchi tahu sendiri Ryou senang bermain di penginapan yang ada di dekat kaki gunung, kan?" dari ekor matanya, Ryouta melihat Akashi mengangguk dan dia pun melanjutkan, "Yah, biasanya tidak ada manusia yang bisa melihatnya, jadi aku yakin dia tidak akan apa-apa, tapi hari ini nampaknya salah satu pengunjung penginapan itu bisa melihat kita. Karasu-tengu bilang Ryou sedang bermain bersama manusia itu sekarang."

"Apa kau yakin Ryou akan baik-baik saja?" Akashi bertanya, kedua alisnya menimbulkan rengutan samar dalam kekhawatiran.

Ryouta tersenyum hangat, menyandarkan kepalanya di bahu Akashi. "Tidak apa, tidak apa. Karasu-tengu bilang Ryou terlihat senang. Lagipula, kurasa ada bagusnya Ryou bergaul dengan manusia. Ini bisa jadi pengalaman baru untuknya."

"Hmm," rengutan di antara alis Akashi semakin dalam dan Ryouta tertawa pelan. Akashi memutar bola matanya, menggigit ujung telinga rubah Ryouta dengan lembut sebagai balasan. "Jangan menertawakanku, Ryouta. Kau tahu sendiri kita tidak bisa percaya pada manusia. Wajar jika aku merasa khawatir. Siapa nama manusia itu? Mungkin aku harus mengawasinya."

"Ooooh, seram sekali," Ryouta mengejek sebelum tertawa lepas saat Akashi mendelik ke arahnya. Dia mengusapkan pipinya di pundak Akashi sebagai permintaan maaf. "Kau terlalu khawatir, Akashi-cchi. Lagipula, kita selalu bisa melenyapkan manusia itu kalau dia membahayakan Ryou. Untuk saat ini, harus kubilang bahkan aku pun penasaran dengan Aomine Daiki ini."

"Terkadang, kau terlalu santai, Ryouta," Akashi mendesah dengan nada menyerah. Ryouta hanya menyengir, tidak membantah perkataan Akashi. "Aku akan menunggu sampai Ryou kembali dan jika Aomine Daiki ini membuatnya menangis, kau tidak akan bisa menyuruhku untuk diam saja."

"Tenang saja, Akashi-cchi. Kalau hal itu sampai terjadi, aku akan membantumu melenyapkan manusia itu."

xXXx

"Aaah, aku menyeraaaah!" Ryou mengerang panjang sebelum menjatuhkan tubuh dalam posisi telentang di atas lapangan. Tubuh anak itu dipenuhi peluh; yukata biru muda yang dia kenakan kotor oleh debu dan tanah. Napasnya terengah-engah, tapi ada seulas senyum yang nampak di wajahnya.

Aomine menyeringai mendengar perkataan si rubah kecil dan memasukkan bola ke dalam ring untuk terakhir kali. Dia menangkap bola itu dan berjalan menghampiri Ryou. Aomine duduk bersila di sebelah Ryou, meletakkan bola basket di ruang yang dibentuk oleh kedua kakinya. "Kau masih perlu banyak berlatih, Ryou. Staminamu masih payah."

Bibir Ryou mengerucut sebal. Dia bangkit ke posisi duduk, membuat lengan yukatanya merosot turun dari satu pundak, dan mendelik ke arah Aomine. Sayangnya, dengan penampilannya saat ini, Aomine justru terkekeh melihat usahanya untuk terlihat galak. Ekspresi Ryou semakin tertekuk. "Ini pertama kalinya aku bermain basket, Daiki! Kau seharusnya mengalah padaku."

"Heh, maaf, tapi aku tidak akan pernah mengalah kepada siapa pun. Bahkan tidak kepada pemula," Aomine tersenyum saat mengatakan itu. "Tapi, kau sudah bermain cukup bagus untuk seorang pemula."

"Sungguh?" Telinga Ryou segera berdiri tegak. Kedua matanya melebar dan bibirnya membentuk senyum lebar saat Aomine mengangguk. Dia bersorak riang, kekesalannya terlupakan begitu saja. "Waaah, itu karena Daiki yang mengajariku! Terima kasih banyak!"

Sebelum Aomine bisa berkata apa-apa, Ryou sudah melompat dan memeluknya. Dia hanya bisa mengerjap kaget, tapi tubuh Ryou terasa hangat di pelukannya dan ujung telinga rubahnya sedikit menggelitik pipi Aomine; dan dia memutuskan keduanya bukanlah sensasi yang tidak menyenangkan. Seringai yang sempat hilang kembali terbentuk di wajah Aomine. Dia menepuk kepala Ryou pelan sebelum melepaskan diri dari pelukan bocah rubah itu. "Jangan besar kepala, Bocah. Kau tetap harus lebih banyak berlatih."

"Aku tahu! Nanti aku akan mengajari Mama bermain basket dan aku akan menyuruhnya berlatih bersamaku!"

"Heh, aku tidak yakin mamamu mau menemanimu bermain." Lagipula, perempuan biasa tidak suka melakukan aktivitas yang melelahkan seperti bermain basket. Atau setidaknya, rata-rata perempuan manusia tidak mau melakukannya. Aomine tidak terlalu yakin soal siluman.

"Tidak mungkin. Mama pasti mau bermain denganku. Lagipula, Ma selalu menuruti semua keinginanku."

Nada suara Ryou yang penuh dengan keyakinan membuat seringai Aomine merekah. "Tidak heran kau menjadi anak manja, kalau begitu," dia menimpali dengan nada menggoda; tertawa saat Ryou sekali lagi mendelik kepadanya. "Aku yakin mamamu baik sekali dan kalau dia memiliki wajah yang sama denganmu, dia pasti wanita cantik."

"Wanita? Maksudmu ... Perempuan?" Ryou memiringkan kepala menatap Aomine dengan penuh tanya. Saat Aomine mengangguk, sebuah rengutan hadir di wajahnya. "Tapi Mama bukan perempuan. Dia sama seperti kita."

Kalimat polos itu membuat Aomine duduk dengan lebih tegak. Dia menatap Ryou seolah baru pertama kali benar-benar melihatnya, pandangannya bergerak lambat dari ujung kepala hingga ujung kaki Ryou. Otaknya menolak menerima makna perkataan bocah itu. Menurutnya, satu-satunya pengertian kata 'mama' adalah perempuan yang melahirkan dan merawatnya. Karena itu, saat Ryou mengaku mamanya laki-laki ... Well, otak Aomine menolak mengambil kesimpulan lebih lanjut.

"Laki-laki tidak bisa melahirkan," Aomine berkata dengan ragu-ragu. Bagi manusia, tidak mungkin laki-laki dapat melahirkan anak, jadi sudah sewajarnya mereka tidak bisa menjadi seorang ibu. Konsep itu adalah salah satu kenyataan pasti yang Aomine ketahui dalam hidupnya dan dia tidak siap menerima konsep lain hanya karena perkataan seekor siluman.

Di luar dugaannya, Ryou justru tertawa. "Tentu saja laki-laki tidak bisa melahirkan, Daiki!" Dia terkikik geli. "Mama tidak melahirkanku! Dia hanya menggabungkan kekuatan sihirnya dengan Sei-papa untuk menghasilkan telur tempatku tumbuh. Kemudian Mama merawatku sampai aku besar!"

Menggabungkan kekuatan sihir ... Sei-papa (tunggu, apa ini berarti konsep homoseksualitas pun berlaku di dunia siluman?) ... Telur tempat bertumbuh. Semua itu terlalu aneh; terlalu tidak nyata bagi logika Aomine hingga seolah ada penolakan dari otaknya untuk menerima apa pun. Dia menggelengkan kepala, mencoba membersihkan benaknya yang tiba-tiba kacau, dan berdiri tiba-tiba. "Aku butuh minum." Ujarnya penuh penekanan. "Kau tunggu saja di sini, biar kubelikan kau minuman."

Ryou terlihat tidak senang dengan ide menunggu, tapi kemudian Aomine memberikan bola basket kepadanya dan ekspresinya pun berubah riang. Dia tersenyum lebar saat meminta Aomine untuk berhati-hati, dan untuk pertama kalinya Aomine menyadari gingsul kecil di gigi taring atas bocah itu. Demi dewa-dewa penjaga, bocah itu terlalu manis demi keselamatannya sendiri. Untung saja dia tidak bisa terlihat oleh manusia lain—terutama oleh perempuan.

Bahkan Aomine sendiri tidak yakin dia akan bisa mempertahankan harga dirinya jika berada di sisi Ryou terlalu lama. Karena itu, sebelum dia bisa berubah pikiran, Aomine mengacak rambut Ryou dengan sedikit kasar dan berjalan pergi; kedua tangan dimasukkan dalam-dalam ke saku celana untuk mencegahnya melakukan hal yang memalukan—seperti memeluk Ryou tiba-tiba.

Mesin penjual minuman berada di dalam penginapan, jadi dia harus berjalan cukup jauh dari lapangan dan saat Aomine melangkah masuk, dia dapat melihat teman-temannya berkumpul di sana. Aomine tidak mengacuhkan mereka, hanya mengangguk kepada Momoi Satsuki, teman masa kecil sekaligus manajer timnya, saat gadis itu beradu pandang dengannya. Dia merogoh saku untuk mengambil uang receh sebelum membeli pocari dan jus jeruk kalengan. Dia tidak tahu apa yang Ryou suka, jadi menurutnya jus jeruk saja sudah cukup. Lagipula, semua anak kecil menyukai jus jeruk.

Dia baru saja meneguk minumannya saat Momoi mendekatinya. Seulas senyum riang menghiasi wajah gadis itu dan dalam hati Aomine bersyukur. Nampaknya perjalanan kali ini memang baik untuk Momoi yang terlalu sering berkutat dengan data. Momoi tidak berkata apa-apa saat dia tiba di sisi Aomine. Manik matanya yang berwarna merah muda mengamati si pemuda dari ujung kepala sebelum dia mengesah.

"Kau pasti sudah bermain basket duluan, Dai-chan." Momoi berkata dengan nada menyerah, seolah Aomine hanyalah seorang idiot yang memedulikan basket saja. "Padahal kita baru saja akan berlatih setelah ini."

"Aku bosan menunggu di kamar, dan jangan panggil aku Dai-chan." Mata Aomine memicing. Panggilan itu mungkin terdengar bagus saat mereka kecil, tapi sekarang setiap Momoi memanggilnya Dai-chan, rasanya benar-benar memalukan.

Momoi tertawa. "Memangnya kenapa? Lagipula, Dai-chan adalah Dai-chan kan? Jangan lupa berkumpul di lapangan sebentar lagi. Imayoshi-senpai akan segera memulai latihan dan dia ingin semua anggota hadir."

Aomine menggumamkan sesuatu yang bisa jadi persetujuan, suaranya teredam oleh mulut botol minuman. Kemudian, sebuah ide terbersit di benaknya. "Bilang Imayoshi aku akan terlambat. Ada seseorang yang harus kuantar pulang."

"Oh? Kau bertemu seseorang, Dai-chan? Atau mungkin ... Sesuatu?"

"Yang kedua," Aomine menjawab dengan sedikit gerutuan. Momoi tahu tentang kemampuannya untuk melihat siluman—dia sudah tahu semenjak mereka kecil—dan karena itu dia merasa aman untuk mengakuinya. Hanya saja, membicarakan mengenai kemampuannya saat banyak orang lain di sekitarnya membuat Aomine tidak nyaman. Dia mengangkat kaleng jus jeruk di tangannya dengan canggung. "Aku membelikan ini untuknya. Mungkin sebaiknya aku segera kembali."

"Tidak biasanya kau menemani mereka."

"Yah, aku belum pernah bertemu anak siluman sebelumnya. Lagipula, tidak ada niat jahat di sekitar Ryou, jadi kupikir tidak masalah kalau aku mengajaknya bermain."

"Kau bahkan tahu namanya?" Momoi mengerjap tidak percaya.

"Dia yang memberitahukannya kepadaku," Aomine mendengus, merasa malu tanpa alasan seolah berteman dengan anak siluman benar-benar aneh. Dia mendecih sebal. "Tsk, sudahlah. Aku hanya akan menghabiskan waktu mengobrol denganmu seperti ini. Aku akan menyusulmu nanti, Satsuki."

"Jangan sampai tidak datang latihan, Dai-chan!" Momoi meneriaki setelah Aomine berjalan menjauh. Gadis itu menghela napas melihat kelakuan teman masa kecilnya sebelum menggeleng pelan dan berjalan kembali ke arah kumpulan teman-teman tim basketnya. Setidaknya, Aomine terlihat senang dan Momoi yakin dia bisa menjaga dirinya sendiri.

xXXx

Menunggu adalah salah satu hal yang dibenci oleh Ryou dan kali ini pun dia sedang berpikir untuk melanggar permintaan Aomine dan menyusul manusia itu menuju penginapan, tapi bola basket yang Aomine berikan cukup berguna untuk mengalihkan pikirannya. Dia sudah bermain sendiri selama Aomine pergi; melatih cara dribble ataupun menembak bola, dan sekarang Ryou benar-benar merasa lelah.

Dia memegang bola basket dengan kedua tangan, menengadah ke arah langit yang perlahan mulai berwarna merah. Tidak ada tanda-tanda Karasu-tengu di atas sana dan hal ini membuat Ryou sedikit merengutkan alis. Biasanya, penjaganya itu akan selalu setia menemaninya hingga dia selesai bermain, untuk memastikan Ryou tidak tersesat ataupun mendapat masalah saat dia pulang nanti. Ryou belum pernah sekali pun kembali ke gunung sendirian setelah gelap, jadi ketidakberadaan Karasu-tengu sedikit mengganggunya.

"Oy, Ryou, apa yang kau lakukan? Ini minumanmu."

Suara Aomine membuat Ryou melompat kaget. Dia dengan segera berbalik, kedua matanya menatap ke arah Aomine dengan berkaca-kaca, membuat pemuda berkulit kecokelatan itu mengerjap dan menghentikan langkah. Tanpa kata-kata, Ryou berjalan mendekati Aomine, satu tangannya menggenggam celana Aomine dengan erat; bola basket yang sedaritadi dia mainkan terjatuh dari tangannya. Kepalanya tertunduk, ekor dan telinga rubahnya tertekuk ke bawah, menunjukkan kegelisahannya. "Aku mau pulang. Dai-cchi. Aku mau pulang, tapi sebentar lagi gelap dan aku tidak tahu jalan pulang." Bisiknya lirih.

Suara Ryou yang dipenuhi dengan kesedihan membuat Aomine merengutkan alis. Rasa khawatir seketika menguasainya dan dia hampir melewatkan panggilan baru yang diberikan oleh bocah rubah itu kepadanya. Memutuskan untuk tidak mempermasalahkan soal itu untuk saat ini, Aomine membungkuk dan mengangkat Ryou ke dalam gendongannya. Bocah itu dengan segera melingkarkan kedua lengan kecilnya di leher Aomine dan membenamkan wajah di lekuk antara leher dan pundaknya; bulu-bulu keemasan dari kuping rubahnya menggelitik kulit Aomine dan perlahan air mata pun membasahi kaus si pemuda.

"O-oy, jangan menangis, Ryou," dengan canggung Aomine menepuk punggung Ryou. Dia tidak pernah menangani anak kecil yang menangis sebelumnya—terlebih, anak siluman—dan dia mengedarkan pandangan ke sekitar, seolah mengharapkan bantuan datang. Sayangnya, tidak ada siapa pun selain mereka di sana. Aomine mendesah pelan, tangannya mengelus kepala Ryou dengan lembut, berusaha menenangkannya. "Di mana rumahmu? Aku mungkin bisa mengantarkanmu ke sana. Lagipula, aku tidak bisa meninggalkan anak kecil sendirian di malam hari."

"Dai-cchi benar-benar akan mengantarku?" Ryou mengangkat wajah untuk menatap Aomine dengan penuh harapan, sudut-sudut bibirnya membentuk lengkung senyum tipis saat Aomine mengangguk. Dia sedikit menundukkan kepala menyembunyikan rona merah di wajahnya. Ryou benar-benar bersyukur bertemu Aomine hari ini. "Rumahku ada di dekat puncak. Seharusnya ada jalan setapak yang menuju ke sana, jadi kalau kau mengikuti jalan itu, kau tidak akan tersesat, Dai-cchi," dia berhenti sesaat, kemudian mengedikkan bahu. "Seharusnya."

"Oi, apa maksudmu seharusnya? Kau kira aku sebegitu bodohnya hingga akan tersesat di jalan setapak?"

"Aku tidak berkata seperti itu," Ryou menjawab dengan seulas senyum manis yang justru membuat Aomine semakin kesal. Dia bahkan tidak terlihat takut saat Aomine betul-betul menggeram dan justru terkikik pelan. "Aku hanya bercanda, Dai-cchi! Kau tidak perlu semarah itu."

"Bersyukurlah kau masih seorang bocah, Ryou, karena kalau tidak, kau pasti sudah kuhajar karena perkataanmu itu." Senyum tipis yang menghiasi wajah Aomine saat dia mengatakan hal itu menguak pretensinya, tapi dia tidak terlalu peduli. Dibandingkan dengan rasa khawatir saat melihat Ryou menangis, dia jauh lebih memilih perasaan sedikit kesal karena bocah itu meledeknya. Lagipula, kalau Ryou sudah bisa melontarkan candaan seperti itu, artinya dia sudah merasa lebih baik.

Dia mengatur posisi Ryou dengan lebih nyaman, menjatuhkan jus jeruk kalengan yang telah dibelinya ke tangan bocah itu dengan instruksi agar si bocah meminumnya dan berjalan ke tengah lapangan untuk mengambil bola basket yang hampir terlupakan. Dia mengapit bola basket itu di lengannya—dan bersyukur Ryou tidak terlalu berat sehingga dia dapat menggendongnya dengan satu tangan—sebelum beranjak menuju semak belukar di sekitar lapangan tempat dia pertama kali bertemu dengan Ryou. Semak belukar yang cukup tinggi untuk menyembunyikan Ryou dapat dilewati oleh Aomine dengan mudah, namun jalan tanah menuju hutan setelahnya membuat Aomine terdiam sejenak.

"Uh, nampaknya aku perlu bantuanmu, Ryou."

Ryou mengesah seolah Aomine meminta bantuan yang sangat besar darinya. Dia melirik ke langit, melihat semburat jingga yang perlahan semakin menggelap, dan mengangguk tegas. "Baiklah. Aku masih bisa menuntunmu sampai ke jalan setapak yang menuju ke rumahku selama langit masih terang, tapi setelahnya kau harus mengandalkan instingmu sendiri, Dai-cchi."

Kalimat itu diberikan dengan nada tegas yang hampir-hampir menggurui. Aomine mendengus. Dia tidak yakin bisa memercayai instingnya seperti yang Ryou bilang, tapi untuk saat ini dia hanya bisa menganggukkan persetujuan untuk bocah itu dan berharap saat tak ada lagi sinar yang mampu membantu penglihatan mereka nanti, dia benar-benar memiliki insting yang sanggup membawanya ke tempat yang aman—dan semoga tidak ada siluman yang menganggapnya menculik Ryou dan menyerangnya.

xXXx

Udara pegunungan selalu menjadi jauh lebih dingin saat bulan menggantikan posisi matahari; saat satu-satunya sisa dari bola api besar itu hanyalah seberkas sinar putih pucat yang dipantulkan kembali ke Bumi dan Ryouta beringsut mendekat ke kehangatan Akashi. Kesembilan ekornya melingkari tubuh mereka seperti selimut bulu yang lembut, walaupun sesekali angin malam yang berembus masih menyisakan dingin yang menggigit kulit. Langit kini telah menjadi kanvas hitam luas yang dikotori oleh kerlap-kerlip rasi-rasi bintang dan biasanya Ryouta akan menikmati keindahan langit malam dengan penuh kekaguman; tapi kali ini dia tidak sedang memperhatikan hal itu. Dia berusaha untuk menyembunyikan kekhawatirannya, tapi matanya berkali-kali kembali menatap ke kegelapan hutan, berusaha untuk mencari sosok rubah kecil dengan rambut kuning dan senyum cerah.

"Ryou belum pulang juga."

Suara Akashi menyusup ke telinga Ryouta, mengikuti sensasi lembut jemari yang memainkan helaian rambutnya. Ryouta memejamkan mata sejenak, menggumamkan persetujuannya atas gerakan jemari Akashi dan mendorong kepalanya ke atas, suatu permintaan tanpa kata-kata agar Akashi mempertegas gerakannya. Dia bisa merasakan Akashi tersenyum sebelum jemari itu melesak semakin dalam, memijat kulit kepala Ryouta sesekali dan dengkuran puas pun terdengar dari sang siluman rubah. Rasa khawatirnya terhadap Ryou perlahan berkurang dengan keberadaan Akashi di sisinya.

"Mm, ya. Ini pertama kalinya Ryou bermain sampai selarut ini tanpa ditemani Karasu-tengu. Mungkin sebaiknya aku menjemputnya."

"Bukankah tadi kau sendiri yang bilang jangan khawatir?" dari nada suaranya, Ryouta tahu Akashi tersenyum geli saat mengatakan hal itu. Dia mengangkat wajah untuk mendelik pada sang pemilik mata dwiwarna itu, tapi Akashi hanya membalasnya dengan seringai. "Kurasa kau tidak punya hak untuk menertawakanku lagi sekarang."

"Aku tidak pernah menertawakanmu, Akashi-cchi," Ryouta menyangkal. Dia menarik diri dari Akashi, rambut pirangnya terlihat berantakan dan dia merapikan lengan yukata merahnya yang jatuh di satu bahu. Akashi memberikannya tatapan datar, membuatnya terpaksa berpaling karena manik merah-emas Akashi jelas-jelas telah melihat menembus kebohongannya. Ryouta berusaha untuk menahan senyum, tapi tetap saja sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. "Oh, baiklah. Aku mungkin sedikit menertawakanmu tadi. Lagipula, Akashi-cchi bisa saja bicara seperti itu, tapi aku yakin kau juga sebetulnya mengkhawatirkan Ryou."

"Ryou mewarisi semua sifat jelekmu yang selalu serampangan dan tidak kenal takut. Mana mungkin aku tidak khawatir. Tapi, tidak sepertimu, aku punya cara untuk mengawasinya tanpa harus beranjak dari sini."

Sebelum Ryouta sempat menanyakan maksud Akashi, dia sudah mengulurkan tangan. Kemudian, dari ujung-ujung jemarinya terlahir percikan-percikan api biru yang semakin lama semakin besar. Kemudian percikan itu berkumpul menjadi satu, membentuk semacam bola yang bertransformasi menjadi seekor burung api dengan sayap biru yang menjilat-jilat udara di sekitar telapak tangan Akashi. Burung api itu adalah shikigami Akashi—sejenis pelayan yang akan melakukan apa pun perintahnya—dan walaupun ini bukan kali pertama Ryouta melihat Akashi memanggil shikigami-nya, tapi dia tetap tidak bisa memalingkan wajah. Dia selalu merasa melihat kelahiran seekor burung phoenix tiap kali Akashi melakukan hal itu.

Akashi membisikkan perintah kepada shikigami itu dan Ryouta hanya dapat menatap dengan seulas senyum tipis saat shikigami di tangan Akashi mengepakkan sayapnya perlahan, menghantarkan percikan-percikan bunga api biru yang menghilang bahkan sebelum mereka menyentuh tanah, dan menjauh ke dalam kegelapan hutan. Satu-satunya tanda yang bisa dia dapatkan dari shikigami itu pendaran biru pucat yang terlihat tidak nyata.

"Dengan ini, kita akan segera tahu posisi Ryou saat shikigami-ku menemukannya."

"Terima kasih banyak, Akashi-cchi," Ryouta berkata tulus sambil tersenyum manis. Akashi hanya membalasnya dengan sebuah anggukan, tapi itu sudah cukup. Dia tidak menyandarkan diri pada Akashi kali ini, lebih memilih untuk menengadahkan kepala dan menikmati pemandangan indah yang terbentang di atasnya. Semilir angin sesekali masih mempermainkan rambut mereka, namun dinginnya udara malam terhalau oleh kehangatan tubuh Akashi. Pada saat-saat seperti ini, Ryouta membiarkan pikirannya berkhayal Akashi adalah pasangannya, walaupun pada akhirnya dia hanya dapat tersenyum getir dan mengusir pemikiran bodoh itu dari benaknya.

xXXx

Mata Aomine hampir-hampir tidak bisa melihat apa pun selain kegelapan pekat yang mengepungnya. Dia berusaha keras untuk memicingkan mata, mencoba untuk menembus hitam pekat yang sesekali seolah bergoyang saat dedaunan menari menuruti ajakan angin. Kedua tangannya kini menggendong Ryou yang tertidur; bola basket kesayangannya terpaksa ditinggalkan di suatu tempat di hutan itu dan Aomine sama sekali tidak berkeinginan untuk kembali dan mengambilnya. Tanah keras yang bisa dia rasakan di bawah kakinya menunjukkan bahwa dia belum menyimpang dari jalur jalan setapak yang, kata Ryou, akan berakhir di tujuannya, tapi perjalanannya berlangsung dengan sangat lambat. Aomine tidak dapat melihat apa pun di bawah kakinya, membuatnya harus berjalan dengan sangat hati-hati.

Stamina yang diperolehnya dari latihan basket setiap hari seolah tak ada artinya di sini. Peluh telah membuat kausnya basah dan lengket; helaian rambut yang menempel di sisi wajahnya terasa gatal dan napasnya mulai terengah. Aomine mengerang; mengutuk hutan tempat para siluman bernaung—karena dia hampir yakin hutan ini sengaja dibuat tak berujung. Selama perjalanannya, dia beberapa kali mendengar suara-suara bisikan di antara kerisik belukar dan dia tahu kalau saja dia berjalan sendirian, para siluman yang ada di dalam hutan pasti tak akan ragu untuk menyantapnya. Genggaman Aomine pada tubuh kecil Ryou menguat dengan pemikiran itu. Dia masih belum ingin mati di tempat seperti ini, terima kasih banyak.

Setelah berjalan seolah tanpa arah untuk beberapa saat, Aomine akhirnya menghentikan langkah. Dia mengatur napasnya yang mulai tersengal (dan pasokan oksigen yang menipis semakin tinggi dia menanjak sama sekali tidak membantu keadaannya), berusaha untuk mengembalikan tenaga. Pandangannya jatuh ke arah Ryou yang masih tertidur di gendongannya; wajah polos bocah itu entah bagaimana membuat Aomine semakin ingin melindunginya, walaupun selama ini dia selalu menganggap para siluman sebagai pengganggu. Aomine tidak mengerti apa yang membuat Ryou berbeda dari siluman-siluman lain yang dia temui sebelumnya, tapi saat dia mengingat senyum cerah yang Ryou berikan kepadanya, dia merasa sudah menemukan jawabannya.

"Aku harap rumahmu tidak jauh dari sini, Ryou," dia berbisik pelan, kembali menegakkan tubuh—hanya untuk bergeming saat dia melihat pendaran biru pucat dari kejauhan. Matanya memicing penuh curiga. Pendaran biru itu tidak terlihat natural, berbeda dengan berkas putih keperakan dari bulan yang menemani mereka sepanjang perjalanan, dan nampaknya bergerak langsung menuju mereka. Tanpa bisa dia cegah, seluruh tubuhnya menegang. Aomine menahan napas, menunggu saat yang tepat untuk memutuskan apakah dia harus berlari atau tetap di tempat.

Saat pendaran biru itu semakin dekat, barulah Aomine dapat melihat sosok asli pendaran itu: seekor burung api biru dengan sayap yang membelah udara pada tiap kepakan. Kedua mata Aomine membulat terpana. Ini pertama kalinya dia melihat makhluk seperti itu—dan Aomine yakin burung itu bukan siluman. Tubuh Aomine terpaku saat burung itu terbang mengitarinya, sepasang mata yang tidak terlihat seolah mengamatinya dengan lekat, memberikan sensasi tak nyaman baginya. Kemudian burung itu mengeluarkan suara—bukan kicauan, namun bukan juga pekikan nyaring—dan mendarat dengan lembut di pundak Aomine.

"Apa yang…?" Aomine tidak dapat menyembunyikan kebingungannya. Burung api itu mengedikkan kepala, seolah menatap Aomine lekat, sebelum sekali lagi membuka mulutnya, menghasilkan suara perpaduan antara kicauan dan pekikan ke udara. Kemudian burung api itu mengepakkan sayapnya kuat-kuat dan mulai terbang menjauh. Aomine mengerjap saat burung api itu berhenti untuk beberapa saat, seolah menunggunya, sebelum dia akhirnya dapat mengerti apa yang diinginkan oleh burung api itu.

Sebuah umpatan kasar keluar dari bibirnya. "Aku tidak akan pernah menolong siluman lagi." Dia bersumpah pada dirinya sendiri sebelum berjalan mengikuti burung api itu.

xXXx

Burung api itu benar-benar menuntunnya. Hal ini Aomine sadari saat dia merasakan tekanan kekuatan yang besar semakin jauh dia berjalan. Pendaran biru pucat dari tubuh burung api itu memberikan penerangan cukup baginya untuk berjalan dengan normal—tidak lagi mengkhawatirkan di mana harus melangkah, dan perlahan dia dapat melihat gerbang kayu merah yang menandakan pintu masuk ke kuil yang juga adalah rumah Ryou. Seharusnya, jarak antara mereka dan rumah Ryou sudah tidak jauh lagi, tapi tekanan udara di daerah ini benar-benar berbeda. Aomine bahkan mampu mencium kekuatan yang membuat partikel-partikel udara bergetar—paduan antara bau lilin yang menyala dan manis dedaunan cokelat—dan dia tahu apa pun yang akan dia temui di atas sana sangat berbahaya.

Dia tidak pernah menyadarinya karena Ryou masih terlalu kecil untuk benar-benar memiliki kekuatan, tapi dia adalah anak siluman rubah dan dia tinggal dia sebuah kuil, demi Tuhan, jadi mungkin seharusnya Aomine sudah bisa menebak betapa kuatnya 'Mama' dari bocah itu. Menarik napas dalam-dalam, Aomine mempersiapkan diri untuk melangkah melewati gerbang merah yang menjadi penanda rumah Ryou. Tekanan udara yang begitu menyesakkan seolah akan menekan tubuhnya hingga hancur, tapi setelah dia berhasil melewati gerbang itu (yang rasanya seperti menembus bola sabun besar), udara di sekitarnya menjadi sangat ringan. Dia terhuyung, tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terlalu tiba-tiba.

"Selamat datang, Aomine Daiki."

Suara yang menyapanya terdengar jernih, seperti dentingan lonceng angin di musim panas. Aomine mengangkat wajah, berusaha untuk membiasakan diri dengan udara di sekitarnya, dan saat kedua bola matanya bertemu pandang dengan manik-manik emas yang berkilat penuh kehangatan, satu-satunya hal yang dapat dia lakukan adalah menatap. Siluman yang berdiri di hadapannya mengenakan yukata berwarna merah dengan corak awan emas yang memantulkan sinar rembulan tiap kali dia bergerak. Sembilan ekor rubah yang besar dapat terlihat di belakangnya, merekah seperti sebuah kipas emas yang besar. Pandangan Aomine bergerak naik, menangkap sebuah anting biru yang melingkar di ujung kuping rubah dengan warna senada dengan ekor-ekornya, sebelum kembali pada wajah siluman itu. Napas Aomine tercekat saat bibir tipis sang rubah melengkungkan senyum dan dia memaksa diri untuk memalingkan wajah.

"Aku, uh, aku hanya mengantarkan Ryou pulang." Dia berusaha menjelaskan. Dengan gugup, dia mengatur posisi Ryou di gendongannya, seolah khawatir nyawanya akan melayang jika bocah itu terlihat tidak nyaman.

Dia dapat mendengar suara tawa rendah menanggapi perkataannya, tapi tetap tidak mengangkat wajah. Bahkan tanpa menatap ke arah sang siluman rubah pun jantung Aomine sudah berdebar dengan sangat keras. Dia khawatir tidak dapat menahan diri bila menjatuhkan pandangan sekali lagi kepada rubah emas itu. Lagipula, siluman rubah terkenal dengan kemampuan mereka untuk menggoda manusia sebelum memangsanya. Aomine bersikeras tidak mengangkat wajah, tapi kemudian jemari lentik yang dingin menyentuh pipinya, membuatnya terlonjak kaget, dan mendorong wajahnya dengan lembut. Seketika itu juga, kedua lutut Aomine terasa lemas saat akhirnya dia menyadari bahwa siluman rubah itu—mama dari Ryou—hanya berada beberapa senti di hadapannya.

"Terima kasih telah mengatar Ryou," suara denting lonceng angin kembali terdengar, tapi Aomine seolah mendengarnya dari kejauhan. Jemari lentik di pipinya bergerak turun ke lehernya, membuat tubuh Aomine bergetar dan senyum di wajah cantik yang ada di hadapannya merekah. "Namaku Kise Ryouta. Akan kupastikan kau mendapatkan balasan untuk ini."

Aomine mengerjap saat beban di tangannya menghilang. Benaknya seolah terbungkus kapas yang membuatnya sulit untuk berpikir, dan hanya mampu bekerja saat Ryouta akhirnya berjalan menjauh darinya, dengan sosok tertidur Ryou dalam gendongannya. Pandangan Aomine masih mengikuti Ryouta, dan saat itulah dia menyadari keberadaan seorang pemuda dengan rambut sewarna darah dan mata dwiwarna yang kemudian mengambil Ryou dari tangan Ryouta. Aomine menarik napas dalam, berusaha untuk menghilangkan pengaruh sihir yang Ryouta berikan kepadanya, namun sia-sia.

Kemudian Ryouta kembali menoleh ke arahnya, masih dengan senyum menggoda yang membuat tubuh Aomine gemetar, dan saat dia mengatakan, "Tinggallah di sini," dalam suara yang tak lebih keras dari bisikan, Aomine tahu dia telah terjerat.

End.