A/N : OO EEM JIIHH! Entah makhluk dari dimensi mana yang merasuki saya kali ini dan membuat saya menyelesaikan benda ini tepat waktu! Hyeaaahh! XD Demiapa bagian pertamanya jadi serius kayak opera sabun! Bahahaha! Jadi mirip cerita serius. Helep, saya nggak bisa bikin cerita serius, helep. QAQ Tapi, sungguh diluar dugaan karena benda ini akhirnya selesai, sodara-sodara! Hyeaaahh! Saya berhasil mengalahkan deadline! Ayo, mari pesta tujuh hari tujuh malam! #plak

Disclaimer : Hetalia Axis Powers masih punya Papa Himaruya Hidekaz. Karena isi kru-kru The NEWS anak-anaknya Papa Hide semua, kecuali APB, saya nggak bisa bawa mereka pulang buat diperbudak XD #woi

Warn : Human name. Reporter!AU. Male Indonesia. Typo nggak elit berseliweran. Awas Kirkland Family ganteng-ganteng! XD (Itu nggak termasuk Warn, woi!)

Soundtrack : Salahkan list-list mp3 saya yang suram selama penyelesaian benda ini. 'Arcade Fire - Abraham's Daughter' dan 'Of Monsters and Men – Silhouettes'. Kurang gothic apa, coba? Plis, itu dua-duanya soundtrack Hunger Games. Pantes ikutan suram =A="


Summary : Seorang bandit Meksiko menggetarkan Arkansas. Unjuk rasa dan aksi demo mulai terjadi di depan kantor The NEWS. Demi menolong sang jurnalis muda yang disandera, para reporter berjiwa petualang ini rela bertolak pulang ke Brussel. Namun apa daya pertemuan mereka dengan sejumlah manusia kembali menghambat misi dan rencana.


.

"Arr-Kansas"

by RapuTopu

.

Hetalia: Axis Powers

Disclaimer: Himaruya Hidekaz

.


From: Gilbert Beilschmidt

Subject: Baca sekarang atau ucapkan selamat tinggal pada jatah beer-mu, Lud!

Date: Februari 23 2014 08:25

To: Ludwig

Hei, Lud, adikku yang paling awesome!

(tapi tidak melebihi ke-awesome-anku, tentu saja)!

Di bulan Februari yang awesome ini aku mengirimkanmu sebuah e-mail kejutan, lho!

Awesome sekali, kan!

Isinya adalah…

ah, namanya saja kejutan!

Bukan, bukan. Aku tidak akan melamarmu.

Inti dari e-mail ini, yah, kau tahu, aku dan kru The NEWS yang lain jarang(red: tak pernah) memburu berita beberapa bulan terakhir. Bukan karena kami malas, sungguh! Tapi belakangan ini aku merasa menjadi cleaning service lebih menyenangkan.

Kau pasti ingat dengan penjahat-penjahat yang mengejarku selama seminggu di Austria dan Monte Carlo waktu itu, kan? Jangan terkejut. Mereka menangkapku lagi, Lud! Sudah kubilang jangan terkejut! Tapi tenang saja. Kali ini mereka tidak memuntahkan peluru-peluru lagi pada kami (oke, beberapa mungkin ada).

Tapi kakakmu yang awesome ini masih hidup, Lud! Mereka menjadi baik untuk saat ini (aku tekankan: untuk saat ini), bahkan meminta bantuan kami untuk menyelesaikan sebuah misi rahasia.

AWESOME SEKALI, KAN!

Dan mungkin kami tidak akan pulang ke Jerman untuk beberapa hari. Aku tahu ini adalah suatu keuntungan bagimu karena tidak ada lagi yang akan membanjiri lantai lobi dengan kotoran kucing atau memasukan jangkrik mati ke dalam dispenser. Kami yang kumaksud tentu saja aku, Antonio, dan Francis. Natalia juga ada bersama kami sekarang. Jangan tanyakan Airlangga. Justru gara-gara dia kami berada di sini. Sudah baca koran? Sebaiknya jangan.

Jadi, Lud. Jika aku tidak pulang dalam jangka waktu yang lama, seminggu atau lebih (mungkin aku sudah mati), sampaikan pesanku pada Ayah dan Ibu, bahwa mereka adalah orangtua ter-awesome di dunia karena melahirkan anak sepertiku! Tapi jangan membuat penjaga pemakaman terbangun dari tidur siangnya gara-gara kau menangis terlalu keras seperti waktu itu! Belajarlah untuk mengontrol emosi. Kau pasti tahu jika semasa hidupnya Ayah dan Ibu tidak suka melihat anak laki-lakinya cengeng. Aku yakin Ayah dan Ibu akan senang sekali jika aku bisa menemani mereka!

Akhir kata, Lud, aku akan membawakan liputan hangat untukmu! Duduk saja yang santai di kantor The NEWS dan tunggulah kakakmu yang awesome ini pulang membawa berita!

xoxo

Gilbert Beilchsmidt


Hembusan napas keluar dari mulut pria berambut pirang.

Ludwig malu mengakuinya, tapi ia menyadari matanya sedang berkaca-kaca sekarang. Afeksi yang ditimbulkan oleh saraf bola matanya jika membahas topik apapun mengenai kedua orang tua mereka yang sudah meninggal.

Surat elektronik eklusif yang diterimanya langsung dari sang kakak pagi ini langsung membuatnya galau seketika. Pria beriris biru itu memang harus mengakui jika Gilbert adalah orang paling jujur jika soal keluarga. Dan selama masa hidupnya Ludwig tak pernah melihat pria lain rela melindungi dan menjaga martabat keluarganya sendiri seperti kakaknya.

Sekarang, di samping khawatir dengan keadaan Gilbert yang tiba-tiba lenyap seperti ditelan alien dari planet Mars kemarin siang, dia punya masalah baru yang tak kalah peliknya sekarang. Ludwig mengarahkan kursor ke pojok kanan atas dan menutup surat elektronik di hadapannya.

Puluhan pendemo sedang berdiri berjejer tak beraturan di depan pintu gerbang pagar kantor yang digembok oleh lima macam pengaman. Bunyi-bunyian benda keras—seperti tongkat baseball, cangkul, knalpot, entahlah—yang dipukul-pukulkan beringas ke pagar besi sudah berkumandang di titik itu sejak ayam jago berkokok. Suara-suara bermakna protes juga kerap menghiasi tindakan anarkis di bawah sana. Semakin matahari beranjak ke puncak, semakin banyak pula massa yang tiba di pelataran parkir. Dan semakin banyak pula cacian dan makian yang bergema di udara. Mereka tidak berhenti. Tidak ada yang mencegah mereka melakukan hal aneh itu semua.

'Lakukanlah semaumu,' kata Ludwig dalam hati. Diraihnya gagang cangkir porselen kopi hangat buatannya sendiri, menyesapnya nikmat, sementara jari-jemarinya membuka dokumen-dokumen berita lain di laptop dengan lihai. Ludwig sudah memutuskan akan tetap di sini sampai jam kerja selesai.

Namun justru di balik perilaku santai Ludwig yang berusaha menutup-nutupi sesuatu, ada sebuah koran baru dari penerbit lain tergeletak begitu saja di atas mejanya, tidak tersentuh sama sekali, seolah-olah sedang menertawakan Ludwig dengan bahasanya.

Ludwig berusaha menjaga kewarasannya walau ditemani dengan benda mati itu.

Namun, dari judul mencolok dengan ukuran font gila-gilaan beserta gambar-gambar seronok yang memberi efek dramatis di sekitarnya, halaman depan berdominasi abu-abu itu sudah terlihat cukup memuakkan bagi Ludwig. Itu konyol. Dan itu adalah berita paling bodoh sejagat raya yang pernah diterima Ludwig. Dan orang gila mana yang membuat berita omong kosong seperti ini? Siapapun dia, Ludwig yakin orang itu tidak memiliki akal sehat.

Ludwig kembali menghembuskan napas berat, lalu memaksa matanya untuk melirik ke arah judul pertama di koran pagi tersebut. Sangat terpaksa, sebenarnya. Tapi sorot matanya tak bisa berhenti mempertanyakan kebenaran dari judul yang bersangkutan.

"THE NEWS, REPORTER YANG MEMBELOT MENJADI PENJAHAT!"


.

"Arr-Kansas" the sequel of fanfiction "The NEWS"

Chapter IV: Breaking News from Mexico

Natalia Arlovskaya : Reporter

Gilbert Beilschmidt : Leader

Antonio Fernandez Carriedo : Camera-man

Francis Bonnefoy : Driver

Airlangga Putra Brawijaya : Observer

.


Airbus A300, Berlin, Germany, trip to Arkansas

"Selamat pagi, warga Eropa. Cuaca siang ini sangat cerah. 27 derajat suhu rata-rata, matahari bersinar terik, dan langit tak berawan. Pesawat Airbus yang kami tumpangi hari ini akan berangkat menuju Arkansas pada pukul sebelas lewat sepuluh, dan itu sekitar... berapa menit lagi, ya—sebentar—" Natalia mengangkat tangan kirinya dan melirik posisi jarum pendek. "Oh, ternyata itu sekarang!"

Pemuda albino dengan iris rubi merah membara yang duduk di sebelah jendela pesawat itu sudah terlihat sibuk sejak tadi, mulai dari pertama kali tiba di bandara, bahkan hingga masuk ke pelataran pesawat.

Dua puluh menit yang lalu ia bertanya dengan penuh semangat kepada seluruh orang penumpang yang ditemuinya—pada Antonio, Francis, dan Natalia, pada Sadiq dan Heracles, pada wanita tua dengan keranjang buah di pangkuannya, pada pramugari cantik dengan rok terbelah(oh, pramugari itu urusan Francis), juga pada cockpit pesawat—bagaimana rupa Arkansas dan seperti apa suasananya. Berapa angka suhu rata-ratanya, bagaimana gelagat wanitanya. Bagaimana kotanya. Dan bagaimana toiletnya.

Gilbert sibuk memantengi layar smartphone-nya yang disetel dalam tingkat kecerahan 70 persen. Melihat-lihat peta Arkansas melalui Google Map dengan teliti.

Tepukan ringan di bahu kanannya membuat Gilbert seketika menoleh ke belakang.

Francis berbisik. "Simpan benda itu. Kita tidak tahu seramah apa pramugari di sini," dia mendesis. Tepat setelah itu seorang pramugari berseragam merah maroon melintas di sebelahnya dengan wangi semerbak dan kibasan rok yang menawan. Francis langsung bersiul tertarik, "Hei, cantik~"

"Apa yang sedari tadi kau cari, Gilbert?" Terlihat kepala Antonio yang menyembul di sebelahnya dan langsung bertanya penuh ketertarikan.

"Oh, aku mencari kantor polisi terdekat, McDonald, bar terkenaldan pusat perlindungan anak."

"Kantor polisi? Ah, tentu saja. Lalu, kenapa dengan McDonald?"

"Sewaktu-waktu seandainya kita kelaparan, kita akan menemukan oasis dengan mudah. Sebaliknya jika aku butuh bir juga demikian,"

"Oh, benar, benar. Tapi… aku benar-benar tak mengerti untuk apa kau mencari pusat perlindungan anak."

Gilbert terkekeh. "Mungkin kita bisa menemukan Airlangga di sana. Dia rawan terjerat masalah, kan?"

Francis mengerutkan alisnya. "Kau… serius, Gil?"

Gilbert terbahak-bahak. "Tentu tidak, lah! Aku tidak mencari pusat perlindungan anak di Arkansas, Francis! Lebih baik aku mencari penjual beer di sana."

"Ya. Bisa dilihat, pemirsa." Natalia berbalik, menatap kembali lensa mengkilat di belakangnya. Menghembuskan napas berat. "Sekarang saya ditemani oleh albino jadi-jadian yang sedang duduk di sebelah saya. Dia adalah spesies langka di muka bumi karena mengidap sindrom langka dan selalu merepotkan orang-orang baik hati di sekitarnya." Kamera Antonio menyembul dari balik sandaran kursi, menyorot wajah Gilbert dekat-dekat, dan Gilbert langsung menyeringai percaya diri ke arah kamera. "Ada pula pengemudi handal kami, yaitu Francis, dan kameramen fenomenal kita, Antonio. Ya. Kalian pasti bosan melihat wajah kami. Dan jika kalian berpikir kami cuma berempat maka kalian salah besar."

"Hei, bagaimana dengan Airlangga? Apa teleponnya sudah diangkat? Lebih kita cepat-cepat memberitahukan kabar ini. Sebentar lagi pesawat akan lepas landas."

"Aku juga sudah berusaha sejak tadi, Gil." gerutu Francis, kembali memencet-mencet nomor di ponselnya. "Tapi tak pernah diangkat,"

"Kami berada di sini dalam perjalanan menuju Arkansas karena leader tak tahu diri kami menyetujui perjanjian rahasia dengan sepasang mafia Eropa dan sepakat untuk membantu mereka di Arkansas. Bodoh sekali, kan? Leader macam apa dia? Masa menyetujui perjanjian dengan penjahat?"

"Coba lagi, Francis! Tidak ada kata menyerah bagi pengemudi awesome sepertimu!"

"Dan bila kita lihat," Natalia menggeser kamera Antonio agar berputar ke belakang, "dua nomor kursi dari belakang yang dihuni oleh dua penumpang berpakaian hitam-hitam itu adalah para penjahat yang kumaksud! Iya! Mereka yang mempersulit hidup kami di Monte Carlo! Ada pertanyaan?"

"Belum diangkat, Gil." Francis berdecak kecewa. Sementara itu bunyi income di pesawat mulai terdengar. Pesawat komersil Eropa ini akan siap take off dalam beberapa detik lagi. Seatbelt dipasang. Segala peralatan elektronik dimatikan. Sandaran punggung disetel tegak dan membuat rileks para penumpangnya.

"Kenapa The NEWS selalu sial? Kenapa The NEWS selalu berurusan dengan penjahat? Apa jalan untuk menjadi reporter harus seberat ini? Di mana keadilan!" Natalia berteriak dramatik, menarik perhatian penumpang di sekitarnya.

"Hei, tunggu. Ada sms darinya,"

"Mana, mana?" Gilbert menjerit antusias.

Ponsel berpindah tangan. Gilbert langsung menginvasi sederet kalimat yang tertera.

Aku Rayan, adiknya. Airlangga menghilang sejak kemarin! Seorang tetangga kami baru saja mengatakan dia dibawa pergi oleh pria berambut jabrik pirang. Tolong temukan dia! Dia sedang amnesia!

Gilbert merasa sebulat biri-biri baru saja tertelan di tenggorokannya dengan sesuatu yang membakar matanya. Menepuk jidat sekuat tenaga. Sebagai seorang leader, perasaan Gilbert kontan tujuh kali lipat jauh lebih khawatir dari yang sebelumnya.

Dan, demi kolor bercorak bendera Jerman yang sering dikenakan Ludwig di tengah malam, bagaimana bisa Airlangga hilang ingatan?!


British Airways, London, United Kingdom, trip to Arkansas

Maskapai penerbangan terbesar di Inggris yang bekerja sama dengan Iberia career Spanyol itu terbang mendatar di atas samudera Pasifik dengan ketinggian 30.000 kaki. Para penumpang yang sebagian besar sedang menikmati cemilan pesawat itu akan tiba di bandara Bill and Hillary Clinton National Airport1 dalam waktu kurang dari dua jam lagi. Sejumlah penumpang di antara mereka adalah beberapa bangsawan Inggris yang duduk berjejer dan terlihat sedang tidak berbicara satu sama lain.

Bukan karena mereka canggung dengan sesama bangsawan atau berusaha menjaga kapabilitas dan kredibilitas sebagai penyandang nama ternama, namun yang dilihat penumpang lain justru mereka terlihat amat akrab satu sama lain walaupun pada kenyataannya hanya sepatah-kata yang keluar untuk sesama temannya.

Dan di samping itu, dari warna rambut oranyeyang sama, kelihatannya mereka berkeluarga.

"Oh. Jadi si Belanda itu mau ikut campur dengan urusan kita. Dia mau saingan kagentangan? Kalau begitu kita punya Scott, putra Skotlandia yang paling menawan se-Inggris Raya." ujar putra Kirkland ke dua, Dylan Kirkland, sembari merobek kantung makanannya.

"Sejak dulu dia memang seperti itu, Dylan. Sebelum aku berada di tempat itu, banyak sekali cerita-cerita menggelikan tentangnya. Dia suka menggoda wanita, dia suka menjahili anak kecil, dia suka menghambur-hamburkan uang, dia mencari muka, dia diindikasi homo—"

"Kenapa juga kau harus tertarik ke sana?" Pertanyaan getas nan sadis itu meluncur dari Connor Kirkland pada sang adik bungsu. "Sampai dikabarkan mati segala…"

Arthur Kirkland membuang muka. "Aku masih muda, Connor. Dan aku berhak mencari jalanku sendiri."

"Dan itu adalah jalan terbodoh yang pernah kau ambil, Arthur." sahut Scott dingin, tangannya menarik ujung-ujung sarung tangan hitamnya. "Gara-gara dirimu, Ardan pergi meninggalkan kita."

Hening yang panjang seketika menyelimuti jiwa para Kirkland. Tak ada yang berani mengeluarkan bersuara, bahkan bernapas pun sulit. Sang kakak tertua menggeleng sia-sia sembari melipat kembali sarung tangannya, berusaha mencairkan suasana dengan tawa miris. "Sepertinya Dewa Hermes sedang marah pada kita. Mereka mengambil Ardan, juga warisan kita."

Dylan mendengus sinis, "Kalau warisan tidak ada sangkut pautnya dengan Dewa Hermes, Scottie. Mungkin harus kubilang," dia menghela napas santai sembari menyandarkan punggungnya. "ulah Flying Dutchman, huh?"

Scott menggeram. "Tidak kusangka dia seberani itu." Melemparkan sarung tangannya ke atas paha.

"Rasanya dunia cepat sekali berubah, ya? Semula kita kaya raya, memiliki segalanya, digandrungi banyak wanita, lalu," Connor mengangkat kepalanya menerawang, "tiba-tiba saja Ardan menghilang, kita jatuh miskin, saudara kita dipenjara, ada orang yang berusaha mempermainkan kita…"

"Itulah hidup, brother. Terkadang kau menjadi raja, dan tak jarang pula kau yang menjadi budaknya,"

"Itu tidak benar, Dylan. Sebagai seorang Kirkland, kita yang harus terus menjadi rajanya," Scott berkata. Tangannya mengambil sebuah kue dessert dengan kismis di puncaknya. Sebelum sang sulung menggigit makanan pembukanya siang ini, dia menoleh ke arah ketiga saudara-saudaranya. "Ada pertanyaan?"

Arthur awalnya tak ingin berkata apapun lagi. Tetapi dirinya mendadak teringat dengan topik pembahasan mengenai gulat, Alberto del Rio, Meksiko, pembunuh bayaran, dan sesuatu yang berhubungan dengan reporter. "Ah, hei. Bagaimana dengan orang Meksiko yang kau ceritakan kemarin itu?"

"Oh, Juan Carlos?" Scott mengurai seringai tipis. Mata hijaunya berkilat terbakar semangat. "Bandit Meksiko itu akan mengatur acaranya sendiri di panggung Arkansas. Lima belas persen bayarannya adalah dari seberapa banyak emas kita yang berhasil ia rebut kembali dari si Belanda itu."


Monte Carlo, Monaco

Hal pertama yang dirasakan Airlangga ketika membuka mata adalah, rasa pusing yang menyebalkan, bau minyak rambut menyengat, tempat duduk yang bergetar, dan bunyi-bunyian suara penyiar radio.

"Bagaimana keadaanmu? Masih hangover gara-gara naik pesawat?" Mathias Kohler membuka kaca mobil, membiarkan angin semilir menerbangkan rambut hitam seorang anak remaja yang duduk di sebelahnya.

Taksi bandara melintas di sepanjang jalan komersil yang dibarisi deretan puluhan pohon palem setinggi tiga meter dengan bias cahaya matahari di balik dedaunan. Suasananya seperti di Hollywood, kalau Airlangga mau jujur. Untung dirinya masih ingat dengan Hollywood. Walau hanya dengan taksi bandara dan ditemani dengan seseorang pria bernama Ned, namun nuansa yang menyertainya terasa begitu nyaman.

Airlangga tercengang selama hampir lima detik.

Sedetik kemudian ia terkesiap menyadari seorang pria berambut pirang bermata dengan rambut melawan gravitasi duduk di sebelahnya, memberinya cengiran bodoh dan sorot mata ekspresif seolah-olah menunggu hal apa yang akan dilakukan Airlangga setelah ini.

Tunggu dulu. Siapa dia?

Mata hitam Airlangga nyalang melempar pandangan ke luar jendela. Gedung-gedung tinggi. Bunyi helikopter di udara. Suhu yang hangat. Matahari tropis yang menyengat. Tidak ada rumah batu-bata sepanjang mata memandang.

Tidak ada rumah batu-bata…

Tidak ada rumah batu-bata. Tunggu. Airlangga mengerjap-erjapkan matanya dua kali.

Tidak ada rumah batu-bata!

Airlangga tersedak napas di tenggorokannya sendiri. Dia ada di mana? Ini bukan di Brussel!

Kenapa keadaan ini terasa seperti penculikan?

Kenapa dia merasa familiar dengan penculikan seperti ini?

Kenapa dia belum mengingat apapun! Sial!

"Di mana aku?" sergah Airlangga, matanya membulat besar, seketika menyadari dirinya sedang berada di mobil, bersama seorang supir, dan tak lupa, ditemani seorang pria berwajah eksentrik yang duduk di sebelahnya. "Kenapa aku ada bisa di sini? Di mana aku—"

"Monte Carlo." kata si Denmark memotong pembicaraannya.

"Monte Carlo?!" bola mata Airlangga nyaris keluar dari wajahnya. Demi Gatot Kaca, kenapa dia bisa berada di Monte Carlo? Dia bisa transporter? "Aku sekarang berada di Monte Carlo?" Airlangga berusaha mengklarifikasi kalimat mengerikan itu dengan hati-hati. "Bagaimana bisa?" serunya kelewat histeris.

"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."

Airlangga menunjuk dirinya ragu. Yang jelas, dia sulit mempercayai testimoni yang disampaikan pria jelmaan Gilbert ini. Seseorang di Monte Carlo ingin bertemu dengannya? Yang benar saja! Siapa? Tukang parkir?

"A-aku?"

"Ya." sambar Mathias, ingin cepat-cepat mengakhiri obrolan dramatis ini. "Ah. Sudahlah, jangan banyak bertanya." Mathias mengibaskan tangannya, mengabaikan wajah syok si pemuda Melayu yang tercengang dengan mulut menganga lebar dan mata menatap horor. "Oh. Dan mulai sekarang panggil aku Ned." Potongnya cepat.

"A-apa—"

"Bukan 'apa'. Tapi 'Ned'!"


Arkansas, United States of America

Ned seharusnya mengurangi asupan rokoknya untuk beberapa minggu ke depan. Tapi pada kenyataannya, sejak pagi hari tadi sudah ada sekitar lima batang tembakau yang ia habiskan dalam waktu kurang dari tujuh jam, diselingi dengan kehadiran tiga gelas kopi hitam di atas meja dan sebuah majalah New York Times yang terbuka di halaman olahraga di atas pangkuan. Yang ia kutuki sekarang adalah waktu yang terlalu cepat berjalan dan kehadiran beberapa spesies Homo Sapiens yang tak kunjung tiba.

Dan lagi-lagi Ned lupa mengenakan gel pada rambutnya—suatu ritual sakral sehari-hari yang bahkan bisa terlewatkan olehnya jika sedang menekuni suatu pekerjaan dengan sepenuh hati. Helaian tegang rambut pirang itu tumbang di depan keningnya.

Ponsel di sakunya bergetar. Membangunkan sang empu dari lamunan tingkat tingginya.

Teknologi komunikasi itu diangkat ke depan wajah dengan alis mengkerut rapat.

Semula ia menyesap tembakau yang tergamit di jemarinya, hembuskan, kemudian menyapa, "Halo?"

Seseorang di seberang sana berbicara dengan gelagat berapi-api dan tak putus-putus, memaksa Ned yang malas berpikir panjang kali ini terpaksa harus mengerahkan mesin otaknya untuk mencerna satu per satu kalimat informasi yang berjibun masuk ke ingatannya. Rokok di letakkan di atas meja, gagang cangkir digamit.

Si penelepon di seberang sana masih berbusa-busa menceritakan sesuatu, dan Ned terus mendengarkan dengan serius. Sampai suatu ketika, tepat ketika Ned mengangkat cangkirnya untuk menyesap kopi keempatnya hari ini, pada saat itu pula si pemberi kabar memberi berita yang membuat lambungnya berkontraksi dan menyemburkan kembali cairan hitam yang baru separuh memasuki tenggorokannya.

Cangkir porselan beradu dengan meja kaca. Iris hijaunya menyala berkilat-kilat liar sementara bibirnya mengeluarkan desisan horor, "Dia kecelakaan?"


Airbus A300, trip to Arkansas

"Sudah kubilang, tidak seharusnya kita meninggalkan dia sendirian di Brussel. Coba lihat, sekarang belum selesai masalah kita dengan Airlangga, tiba-tiba dia menghilang! Bagaimana dengan keluarganya?" Natalia mendengus, menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi pesawat, melipat tangan di depan dada, dan terus menyalahkan Gilbert.

"Aku mana tahu kalau dia akan diculik," Gilbert tak lagi bisa berpikir jernih, "lagi!"

Dua kue disodorkan dari belakang untuk kedua reporter yang saling tak mau kalah satu sama lain.

"Hei, sudahlah. Tenang saja. Kita tidak akan—"

Kedua manusia berambut perak yang duduk di depannya kontan langsung berbalik dan mengintimidasi Francis dengan sorot mata membara kesal.

"TENANG BAGAIMANA?!" sahut keduanya bersamaan.

Napas memburu dan dada naik turun. Gigi bergemeretak dan mata mendelik marah.

"Ah," Gilbert tiba-tiba mengerang menyalahkan dirinya sendiri, "seharusnya kita tetap melanjutkan perjalanan kita ke Brussel, bukannya menemani mereka."

"Aku kan sudah bilang begitu albino, sialan! Tapi kau tak pernah mau percaya kata-kataku!"

"Bagaimana bisa kau berpikir jernih jika pada titik terendahmu ada yang bersedia membantu? Itu naluri manusia sewajarnya, Nat."

"Memangnya kau manusia?" Natalia membalas sengit.

"Hei, lagipula tiket pesawat ini gratis." ujar Antonio dengan suara lembut yang mencairkan, namun tidak mempan untuk dua orang di depannya.

Gilbert melipat tangan, menghembuskan napas, berusaha membersihkan debu-debu pikiran semerawut yang melayang di otaknya. Matanya tertuju lurus ke depan sementara ia memusatkan pikiran. Membuang sejenak prahara yang terjadi di sekitarnya hari ini. The NEWS bermasalah dengan kepolisian. Anggota yang diindikasikan sebagai pembunuh. Anggota yang sama harus menderita amnesia dan sekarang menghilang begitu saja. The HEROES melibatkan mereka ke dalam masalah. Dan dua mafia yang mengajak bekerja sama.

Gilbert harus menyelesaikan semuanya.

Dua detik berlalu dan sebuah ide gila mulai melompat-lompat jail di kepalanya. Ide yang memang tergolong gila, tapi harus dicoba. Ditambah dengan keadaan seperti ini dan peluang yang bisa mereka cari, Gilbert merasa mereka harus mempraktekkannya.

"Kita harus kembali ke Brussel, mencari Airlangga, lalu menyelesaikan masalah fitnah-memfitnah ini."

Raut heran bercampur kaget terpancar jelas di wajah tiga orang di dekatnya. "Bagaimana bisa? Kita akan ke Arkansas dalam beberapa menit lagi."

"Aku tidak peduli, Natalia. Kita harus menemukan Airlangga terlebih dahulu. Kalau perlu setelah tiba di Arkansas kita harus membeli tiket baru menuju Brussel."

"Lalu—" ada jeda ragu-ragu yang mencekik ketika Francis menoleh ke belakang pesawat, melirik ke arah dua pria berketurunan Turki dan Yunani yang duduk bersama sambil menukar cemilan, "bagaimana dengan mereka?"

"Mereka bisa menunggu."

Ucapan tegas dan final dari mulut seorang Gilbert Beilschmidt itu membungkam lidah-lidah teman seperjuangannya. Gilbert memancarkan aura yang membuat tiga orang di sekitarnya saling berpandangan. Dalam pikiran masing-masing, jelas mempertanyakan sikap Gilbert yang berubah seratus delapan puluh derajat, membuat mereka seketika tak berniat untuk membantah argumennya.

Antonio, Francis, dan Natalia berhak bertanya, tapi seolah-olah ada yang membentengi keberanian mereka untuk unjuk rasa. Gilbert sudah memutuskan, dan tidak ada yang boleh melawan.

"Aku tak ingin kejadian di Monte Carlo terulang lagi. Sekali saja sudah cukup."


Pemuda berjanggut dengan tekstur wajah Timur Tengah itu menyodorkan kue berperisa keju itu kepada temannya lantaran ia menerima kue cokelat dari teman Yunani-nya itu.

"Kau yakin mereka benar-benar bisa diandalkan dalam masalah ini?" Heracles mendesah, merasa tak yakin dengan masa depan mereka jika diletakkan di tangan empat reporter yang nyaris menghancurkan Monte Carlo itu setahun lalu.

"Tidak ada salahnya mencoba, Heracles." Sadiq berusaha agar terdengar ceria, "Mereka yang berhasil memenjarakan bos kita, ingat?"

Heracles mengangguk. "Tapi itu karena mereka berusaha menolong teman mereka yang Ned culik." Pemuda bermata sayu itu mengungkap faktanya. "Kau sudah memberitahu Ned soal apa yang menimpa anak itu?"

Sadiq mengangguk lemah, wajahnya masam, sembari menggerakan jemarinya untuk merobek bungkusan kue, "Ya. Dan Ned terdengar tidak senang akan hal itu."

"Kenapa juga Ned harus bernegosiasi dengan si polisi Italia itu untuk menyimpan uang Kirkland? Sekarang lihat, dalam kurang dari sebulan berita itu sudah menyebar cepat bagai tinta yang diteteskan ke dalam danau jernih. Para Kirkland itu tidak akan diam membiarkan harta turun temurunnya berada di tangan orang lain. Belum lagi Elizaveta yang berniat balas dendam."

"Ned dan para Kirkland itu sudah terjerat dendam sejak masa lalu, Heracles. Kau seharusnya tahu jika Ned rela mengiringi Elizaveta dalam aksi kriminalitas bawah tanahnya semata-mata hanya untuk—" jeda yang berat diselingi hembusan napas berhembus melewati mulut Sadiq, "menghabisi para Kirkland itu."

"Dia berhasil menghabisi satu." kata Heracles pelan.

Sadiq kembali menarik napas, meregangkan otot-ototnya yang semula tegang akibat pembicaraan ini, "Ned itu pembunuh berdarah dingin. Mungkin kau tak pernah mendengar kisahnya. Tapi dia adalah yang terkejam dari semua spesies lain yang pernah kutemui. Mungkin dari tampang mesum serta perilaku bodoh dan cueknya, dia terlihat tidak berbahaya, tapi—"

"Aku tahu." Heracles memotong cepat, tak mau mendengar cerita Sadiq tentang pembantaian manusia lagi. "Aku tahu. Tidak perlu kau ceritakan lagi…"

Sadiq mendengus setengah tertawa, "Aku tak sabar melihat para Kirkland itu melihat bagaimana Ned sesungguhnya sedang mempermainkan mereka."


Monte Carlo, Monaco

Semerbak karpet berbau germanium menerobos indera penciuman Airlangga begitu mereka tiba di dalam hall kasino besar. Lampu-lampu kristal Italia menyala temaram menghiasi sembilan belas titik langit-langit kubah raksasa yang berukir sepenggal kisah dari lukisan termahsyur Michaelangelo.

Matanya tak bisa berhenti menatap meja-meja hijau kasino yang tersebar hampir di seluruh sudut dengan chip warna-warni yang menggunung membentuk piramid setinggi setengah meter. Kursi-kursi mahogani yang mengilap dan jendela-jendela kayu besar setinggi dua meter yang membentengi ruangan membuat mulutnya tak berhenti menganga sejak tadi.

Cat-cat emas melapisi hampir seluruh dinding, begitu menyilaukan dan mahal. Musik orkestra dari melodi klasik Spring I – Allegro sudah menyambut kedatangannya di ruangan ini dengan lantunan dawai violin yang harmonis. Nuansa majestik yang kental menyentil matanya.

Ruangan yang sedemikian raksasa ini, bahkan lebih besar dari lapangan bola yang ia kenal di kampungnya dulu, membuat Airlangga seketika merasa seperti semut kecil yang terperangkap di dalam guci antik. Belum pernah ia melihat, bahkan sampai merasakan sesuatu yang begitu mewah dan megah seperti ini dalam hidupnya. Begitu dekat dengan mata dan semua inderanya.

Satu hal yang kurang dari kasino ini adalah: tidak ada orang sejauh mata memandang.

Mathias menariknya ujung kaos Airlangga menuju pintu besar di seberang kasino. "Ayo,"

Membuat Airlangga tergagap dibuatnya karena belum selesai melihat-lihat sekeliling.

Dari balik tirai emas yang menjadi tujuan Mathias dan Airlangga, keluarlah seorang wanita anggun berambut cokelat ikal sepinggang, bergaun gelombang dengan renda-renda yang tak mencolok, berjalan gemulai membiarkan ujung-ujung kain suteranya menyapu karpet merah tua berlambang kasino Monte Carlo. Sebuah anyelir merah terselip di sela-sela rambutnya, berwarna cerah dan indah, sebanding dengan wajah cantiknya. Mathias langsung berhenti melangkah seketika.

Senyuman yang tertoreh di wajah sang wanita membuat Airlangga tak curiga sama sekali.

"Ah, nona." Mathias membungkuk hormat. Sementara Airlangga kebingungan harus berbuat apa.

"Airlangga?" suara tegas khas seorang wanita mengintimidasi si pemuda Asia seketika begitu wanita asing itu tiba di hadapan mereka berdua.

"Ngg. Ya?"

"Bagaimana kabarmu?"

Airlangga tak mengerti dengan maksud wanita ini, tapi—"Baik." ucapnya canggung.

Mata Elizaveta memandangi sosok pemuda mungil di hadapannya sesaat. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mengamati dengan seksama dan hati-hati. Setelah memastikan tidak ada yang salah dari pemuda manis di depannya ini, Elizaveta mengangguk yakin. Sedetik kemudian dia tersenyum, mengibaskan rambutnya dan berbalik tanpa permisi.

Airlangga jelas kebingungan. Tiba-tiba dihampiri tanpa alasan yang jelas, lalu tiba-tiba ditinggalkan begitu saja.

Sebelum ia kembali menghilang di balik tirai emas, wanita Hungaria itu berkata dengan suara lantang sambil terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun ke arah mereka, "Hubungi dia sekarang, Kohler. Katakan anak itu ada di tangan kita sekarang."

Tepat setelah sang putri tunggal Hedervary kembali lenyap di balik tirai, Mathias Kohler tersenyum senang.

"Siap dilaksankan, nona."


AirBus A300 and British Airways, Bill and Hillary Clinton National Airport, Arkansas

Sadiq melirik arlojinya gusar. Sepuluh menit berlalu dan ia sudah kehilangan empat reporter jadi-jadian itu sekarang. Bisa gawat jika mereka sudah jauh-jauh ke sini tetapi tidak membawa para reporter itu ke hadapan Ned.

"Mungkin mereka ke toilet." kata Heracles, berusaha memberikan opini terbaik.

"Atau kabur." desis Sadiq. Memberikan opini yang rasanya paling benar untuk situasi sekarang.

Sementara kedua mantan mafia itu sibuk mencari, dua puluh meter dari mereka berdiri, tepatnya di pilar raksasa di tengah-tengah ruang penjemputan di bandara, tiga pria dan seorang wanita berseragam reporter sedang menunduk dan terlihat sedang merundingkan sesuatu.

Gilbert membuka pembicaraan, "Oh, oke sekarang kita tersesat."

Celetukan santai itu berbanding terbalik dengan kondisi yang sedang dihadapi mereka. Menggeram kesal, Natalia menimpuk tengkuk Gilbert dengan satu tangan.

"Mungkin kita harus mencari ke mana angin mengarah." kata Gilbert.

"Bodoh! Memangnya ini hutan!"

"Ayolah, kawan-kawan, kita sebaiknya berjalan-jalan keluar dan mencari kedua orang bertuksedo tadi." kata Antonio.

"Usul yang bagus, Antonio!" seru Gilbert. "Setelah kita bertemu dengan mereka, kita akan pamit untuk pulang kembali ke Brussel! Benar-benar ide keren!"

Francis dan Natalia mengangguk malas-malasan kemudian mengikuti langkah kaki Gilbert yang berjalan meninggalkan pilar.

Namun baru selangkah Gilbert berjalan, sedetik kemudian tubuhnya membeku bagai diguyur es dari Antartika. Antonio dan Francis yang berjalan di belakangnya kontan menabrak punggung albino bersangkutan.

"Hei! Jangan setengah-setengah kalau melangkah!"

"Apa sih yang sedang kau lihat?" Natalia menerobos dari belakang dan berdiri di sebelah Gilbert.

Tiga meter di depan mereka, empat pria Inggris sedang berjalan beriringan. Membawa masing-masing koper cokelat yang digiring oleh pemiliknya. Mereka berbincang-bincang satu sama lain dan terlihat tidak sadar akan kehadiran empat reporter yang pernah mengacak-acak rumah mereka setahun lalu itu.

"Kenapa orang-orang itu bisa ada di sini?" desis Francis.

"Gil... bukannya itu..."

Tanpa sadar kaki Gilbert melangkah mundur. Dia berbisik, "Dalam hitungan ketiga—lari."

Bagai tersihir, ketiga temannya juga ikut-ikutan mundur ke belakang. Mereka saling meremas pakaian teman di sebelah mereka, berdiri berdempetan dengan raut pucat pasi.

"Satu."

Tepat saat itu, mata Connor menoleh, membulat besar melihat orang-orang yang berdiri di hadapannya sekarang. Dia segera memberitahukan saudara-saudaranya.

"Dua."

Memang dasarnya Gilbert adalah leader yang berperangai buruk, baru hitungan kedua dia langsung berbalik dan mengambil ancang-ancang untuk lari.

"LARI!"

Tiba-tiba bunyi kaca pecah yang memekak telinga di langit-langit bandara membuat keempat reporter itu berjengit kaget. Serpihan kaca yang berjatuhan di depan wajah membuat mereka mundur selangkah. Alarm bandara berbunyi. Semua orang berbisik-bisik panik mendengar keributan tersebut. Suasana di bandara menjadi ingar-bingar seketika.

Terdengar bunyi tawa lepas yang panjang dan menjijikan dari langit-langit bandara.

Gilbert mendongak untuk melihat apa yang terjadi di atas sana. Matanya menyipit serius.

"Nyalakan kameramu, Antonio." bisik Gilbert tegas.

"Ah, baik." Antonio langsung patuh dan menyalakan kameranya. Setelah lampu indikator menyala, si pemuda Spanyol langsung meletakkan kamera itu di pundak dan mengarahkannya ke atas langit-langit setinggi dua puluh meter.

Di atas sana, Gilbert dapat melihat sesosok pria bertelanjang dada, dengan otot-otot perut kokoh yang bergetar karena tawa, dan urat-urat maskulin di sepanjang lengannya yang sedang memegang tali tembaga. Kulitnya perunggunya mengkilat tertimpa matahari, bersama bulir-bulir keringat yang mengalir di daerah torso.

Pria berperawakan seperti Rambo itu mengangkat sebelah tangannya, memperlihatkan sebuah crossbow yang tertenteng, lalu berteriak nyaring.

"¡Buenas tardes, Americano2! Aku, Juan Carlos yang hebat, akan datang memberi hiburan!"

Gilbert menaikkan satu alisnya. "Kenapa ada pemain sirkus di sini?"

Keributan dari bisik-bisik pengunjung bandara seketika mewarnai suasana. Sementara para reporter ini tidak tahu-menahu apa yang sedang terjadi. Memangnya siapa dia? Apa saat ini mereka sedang berada di suatu acara reality show yang melibatkan badut Meksiko gila?

Pria beraksen Meksiko itu meluncur turun bersama tali tembaga, mengundang decak kagum dari para penonton kala itu juga. Namun semua itu tak berlangsung indah, karena sedetik kemudian pria jelmaan Rambo itu mengacungkan crossbow-nya tepat ke arah kepala Gilbert yang kontan membuat albino itu terperangah.

"Dengan perintah dari jiwa putra Inggris yang ternodai, wahai, kalian para reporter hina, dengan ini, aku telah diperintahkan untuk melenyapkan kalian dari dunia!"

"What the f—" Gilbert berdecak, menyadari si pria bertubuh steroid itu akan menembakkan anak panahnya. "Tunduk!" teriaknya.

Keempat reporter itu langsung menunduk bersamaan. Ujung anak panah yang dilontarkan oleh Juan Carlos menancap di lantai seketika. Seru-seruan terkejut terdengar jelas dari mulut-mulut para pengunjung yang melihat kejadian itu.

"Apa-apaan ini!" jerit Natalia sambil merapikan rambutnya.

Gadis itu murka. Ia mengambil sebuah belati dari ikat pinggangnya. Tanpa perlu dikomandoi lagi, tak sempat dicegah oleh Gilbert, gadis Belarusia itu melemparkan senjata andalannya itu ke arah si lelaki Meksiko.

Kamera menangkap momen pisau milik Natalia terlontar lurus ke arah perut target. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Pisau memang mengarah tepat ke perut Juan Carlos, namun benda itu dengan mudah ditangkap oleh si pria Meksiko.

Natalia tercekat.

"Tidak ada gunanya, nona manis."

Dalam satu remasan, aluminium tajam itu terbelah dua dalam genggaman. Dibuang dari ketinggian sepuluh meter, jatuh bebas, dan berdenting di lantai keramik bandara.

"Shit." Gilbert berdecak. "Kita harus pergi dari sini. Badut itu serius."

Mendengar perintah dari sang leader, keempat reporter itu bersiap-siap untuk berlari. Namun Juan tidak akan membiarkan buruannya ini kabur begitu saja.

Baru saja mereka berlari lima langkah, Rambo Meksiko itu memotong putus tali tembaganya, dan membiarkan dirinya meluncur bebas dari ketinggian lebih dari lima belas kaki, suara jeritan wanita terdengar di mana-mana, dan lelaki itu mendarat kokoh tepat di depan wajah Gilbert.

Para reporter itu sontak terhentak mundur.

Juan menyeringai melihat raut-raut ketakutan yang terpancar jelas dari tiga pria dan gadis Eropa di hadapannya.

Gilbert langsung waspada dan maju untuk berdiri di barisan paling depan, berusaha melindung tiga temannya yang lain jika terjadi sesuatu yang membahayakan diri dan orang-orang di sekitarnya. Mata lelaki rimba itu berkilat penuh bara semangat dan menjilati bibir atasnya dengan tatapan lapar, menikmati hidangan lezat makan siang yang hadir di depannya, dan akan menjadi bulan-bulanan anak panahnya hari ini.

"Waktunya pertunjukkan, anak-anak."

.

.

To be Continued


A/N : Hyeaah! Meksiko hadir sebagai rambo, kawan-kawan! XD Yeaaay! Itu OOC banget, sumpah! Yeaay! Elizaveta juga OOC dari aslinya, yeaay! Kenapa saya kegirangan? Yeaay! Karena The CRIMINALS—salah—HEROES nggak muncul di sini, yeaay! Nanti tunggu tanggal mainnya, ya! XD Dan kenapa saya senang lagi? uhuk-MathiasAPB-uhuk Tentu saja karena pertanyaan tentang Arkansas mulai terjawab satu per satu. Yeaay!

Mari ke balasan review anon, cekidot!

Tasya Shabrina: Halo, Tasya! Saya baru liat dirimu, lho Saya usahakan selalu melanjutkan ini sampai selesai, kok :') Kamu tunggu aja yang sabar, yaa :'D Saya tunggu dirimu di chapter ini! Hahaha XD Makasih atas reviewnya buat Arr-Kansas, ya!

someone : Demiapa dirimu selalu nongol tepat waktu, saya terharu banget X'D Dari sejak jaman The NEWS masih gila-gilaan, bahkan sampai Arr-Kansas. Sini sini kita pelukan X''D Memang naas sekali nasib APB, dirinya seolah-olah tak pantas hidup di dunia. Jangan mati perjaka, doong, kan ada Ned yang siap menghilangkan keperjakannya XD #woi Iya ya, keren banget kalo namanya The CRIMINALS, hahaha XD Makasih reviewnya untuk Arr-Kansas, ya!

Naida Michaelis: Horaay, akhirnya dirimu juga kembali! XD Wohoo, narasinya keren banget. Gilbert memang awesome. Banget. Banget. Bangeet XD Yes, makin banyak yang pengen ngebunuh The HEROES. Ayo, ayo, sini saya bantuin #plak Pokoknya pantengin Arr-Kansas terus, ya! Makasih reviewnya untuk Arr-Kansas!

Dianda : Halo, Dianda. Nggak papa, kok, asalkan dirimu nge-review chapter ini XD Jangan lupa review lagi di chapter-chapter depan, yaa! Hehehe. Hadoh, makasiih :') Iyatuh, The Heroes nggak awesome, lebih awesome The NEWS. Hahaha. Tunggu aja kelanjutannya, ya! Makasih reviewnya untuk Arr-Kansas!

Sign, Rapuh.

PS : Mexico aslinya nggak se-freak itu, kok. Hahaha! XD