New Prey Or New Love

Setelah menjadi iblis dan menjalani hari-hari membosankan sebagai iblis bersama butler setianya, Sebastian, Ciel memutuskan untuk mencari mangsa pertamanya. Seorang gadis mungil dengan jiwanya yang murni dan bersih, mangsa yang sempurna bagi Ciel. Akankah gadis itu benar-benar jatuh pada perangkap Ciel atau. . . justru Ciel yang jatuh pada mangsanya. Warning: Ciel x oc. Rated T semi M

Kuroshitsuji absolutely milik Yana Toboso.

Warning: Miss typo, OOC, Ciel x OC rate T semi M

Don't like, Don't read

.

.

.

.

"Bocchan." Seorang pria bertubuh tinggi tegap dalam balutan busana hitam sedikit membungkuk pada seorang bocah berambut kelabu yang sedang memperhatikan berita kejahatan pada Koran yang dibacanya. Bocah itu tidak menyahut, hanya mengangkat alis dan memperhatikan butlernya sekilas dengan pandangan terganggu.

"Apa?" Balas Ciel lalu mengangkat cangkir dihadapannya dan menghirup tepi cangkir itu, tampak sedang menikmati tehnya. Sebastian diam, memperhatikan bagaimana tuannya itu tiba-tiba menjungkir cangkir porselen yang masih berada ditangan mungilnya dan tidak ada setetes cairan apapun yang tumpah. Tentu saja karena cangkir Ciel memang kosong. Ciel menyeringai lalu tertawa kecil ala iblis.

"My my, sepertinya aku merindukan rasa morning tea-ku dulu." Ujar Ciel sambil melirik butlernya tajam.

"Apa jadwal hari ini, Sebastian?" Tanya Ciel.

"Tidak ada, my lord." Jawab Sebastian sesopan mungkin.

"Huh, bagaimana bisa tidak ada jadwal untuk hari ini?" Ujar Ciel lalu bangkit dari kursi beludrunya, menuju pada jendela besar yang menampilkan langit berwarna biru dengan panorama musim panas di luar sana. Halaman kastilnya penuh dengan bunga beraneka warna yang mekar sempurna, jajaran pinus menjadi pagar hidup yang membatasi tempat tinggalnya dari hutan gelap yang mengelilingi 'rumah barunya' sekarang. Meski pemandangan yang tersuguhkan dihadapannya begitu indah tetapi ia hanya menatapnya datar. Ia sudah menjadi iblis dan tak bisa merasakan perasaan apapun kecuali. . . kekosongan.

Mata bulat Ciel yang berwarna merah menutup sebentar, menghirup aroma bunga dan rerumputan yang terasa hambar baginya. Bibir mungilnya menyunggingkan seringai, seringai kepahitan.

"Beginikah rasanya menjadi iblis, tak berhati, tak memiliki rasa. Tidak ada apapun untuk dirasakan, menyedihkan." Ujar Ciel yang membuat Sebastian mematung sambil tetap memperhatikan gesture tubuh Ciel yang membelakanginya.

"Mengapa kau tidak membunuhku saat itu, Sebastian, sehingga kau bisa mengambil jiwaku seperti yang kau inginkan dari dulu?" Tanya Ciel dengan nada datar tanpa membalikkan tubuh. Perlahan wajah Ciel mendongak, menatap awan putih yang berarak pelan menyelami warna biru raksasa, mengingatkannya pada saat-saat ia menjadi manusia normal dengan predikat bangsawan sekaligus Queen's Watch dog, sebelum kejadian di kediaman Trancy yang membuatnya kehilangan status kemanusiaannya karena permintaan bocah berambut pirang sial itu yang menjalin kontrak dengan Hannah agar menjadikan Ciel sebagai iblis sehingga Claude maupun Sebastian tidak akan pernah mendapatkan jiwanya.

"Bukan hal yang pantas bagi seorang butler untuk melakukan sesuatu tanpa ijin dari tuannya. Saya tidak mengambil jiwa anda karena anda tidak memberi perintah untuk melakukannya." Jawab Sebastian yang dibalas Ciel dengan death glare.

"Dan kau memutuskan merubahku menjadi iblis tanpa persetujuanku. Idiot!" Ujar Ciel sarkatis. Sebastian hanya diam. Ia sudah terbiasa menghadapi tingkah majikannya yang sama sekali tidak berubah meski sudah menjadi iblis. Ciel tetap keras kepala, suka memerintah, dan semua sifatnya yang membuat Sebastian harus ekstra sabar menghadapi bocah satu ini karena bagaimanapun ia adalah butler Ciel selamanya.

"Tidak ada hal menarik untuk dilakukan, huh?" Ujar Ciel kemudian sambil menyandarkan tubuhnya pada tembok. Sebastian tersenyum mendengarnya, ia mempunyai ide bagaimana agar Bocchannya itu tidak terus uring-uringan kepada dirinya.

"Ada sesuatu menarik yang bisa anda lakukan Bocchan." Ujar Sebastian sambil tersenyum seperti biasa hingga mata ruby-nya tertutup sempurna. Ciel menatap datar Sebastian, mengira Sebastian hanya akan menggodanya seperti biasa.

"Mencari mangsa." Sebastian memperlihatkan seringainya saat mengatakan hal tersebut, membuat mata Ciel melebar selama beberapa saat.

"Mencari mangsa?" Ulang Ciel yang dibalas anggukan oleh butlernya.

"Ya, sebagai seorang iblis seperti anda perlu mencari mangsa. Iblis tidak membutuhkan makanan, karena makanan mereka adalah jiwa manusia. Jiwa manusia merupakan inti kehidupan yang berisi berbagai macam sifat serta kenangan-kenangan yang dimiliki manusia. Bagi iblis hal itu merupakan bumbu dengan aneka cita rasa." Jelas Sebastian sementara si iblis muda mendengarkan dengan serius. Ciel meletakkan jarinya di dagu, tampak memikirkan sesuatu. Berikutnya, senyum jahat terpatri pada bibir mungil sang bocah berambut kelabu.

"Kurasa, hari ini ada jadwal yang harus kulakukan." Ujar Ciel kemudian tanpa mengurangi seringainya.

"Yes, my lord?" Sebastian menyilangkan tangan kirinya di dada sementara bibirnya ikut menyeringai melihat bocchannya yang telah tampak aura hitamnya.

"Kita pergi, Sebastian. . . berburu jiwa manusia."

.

.

.

Sementara itu di suatu tempat yang lain.

Tempat yang begitu gelap dan kumuh, lebih terlihat sebagai ruang penjara bawah tanah daripada tempat tinggal, seorang gadis kecil tampak memeluk dirinya sendiri. Mata bulatnya yang besar berwarna coklat caramel bergelinyir resah menatap pintu besi besar yang cukup jauh dari tempatnya dikurung sekarang. Tangannya mencengkram erat besi dingin jeruji yang mengurungnya dan keringat dingin bercucuran membasahi kulitnya saat ia mendengar suara jeritan parau di luar sana. Itu adalah suara jeritan temannya yang tinggal disamping selnya. Apa yang dilakukan orang-orang berjubah merah itu pada temannya? Tidakkah cukup mereka memperlakukannya dan semua anak-anak yang dikurung disini dengan semena-mena, mempekerjakan anak-anak dibawah umur untuk bekerja keras, menyiksa, dan hanya memberikan bubur kualitas rendah sebagai asupan.

Tubuh mungil gadis itu bergetar saat suara menyayat yang terdengar seperti rintihan kesakitan itu perlahan memudar lalu hilang sama sekalli, berganti dengan suara tawa kepuasan yang menggema menakutkan. Ia takut, sangat takut meskipun selama ini ia memang hidup ketakutan di ruangan penyiksa ini. Tetapi rasa takut yang menggigitinya sekarang jauh lebih besar daripada saat seorang sipir memukuli tubuhnya.

"Kriieett. ." Bunyi Derit pintu besi yang beradu dengan lantai dingin ruangan.

Gadis itu terkesiap, begitu pula dengan semua anak yang ada di ruangan itu. Suasana menjadi bisu dan mencekam seiring dengan langkah kaki seorang sipir dengan penerangan lilin di tangannya, menyusuri lorong gelap yang dikanan kirinya berjejer sel-sel tahanan yang terletak agak berjauhan.

Gadis itu beringsut mundur, saat sipir itu melewati beberapa sel sebelumnya dan seakan menuju kearah selnya. Benarlah dugaannya, bahwa sipir itu memang memilih selnya. Lilin itu tepat di depan jeruji besi tempatnya meringkuk. Menggambarkan bagaimana wajah polosnya yang terbingkai rambut sehitam malam mengeluarkan ekspressi ketakutan pada apapun yang akan terjadi padanya. Si sipir yang melihat gadis di depannya menggigil ketakutan hanya tertawa seperti iblis, tanpa bicara ia membuka gembok dan menarik paksa gadis itu keluar.

"Ah! Lepaskan!" Pekik gadis itu dengan air mata bercucuran. Namun, yang ia dapat justru tarikan kuat pada rambut panjangnya. Gadis itu meringis kesakitan, sementara si sipir tidak peduli lalu menyeret tubuh mungil si gadis yang tidak berdaya untuk mengikuti langkah sipir bengis itu.

"To-tolong!" pekik si gadis kecil dan tentu saja tidak akan ada yang menolongnya karena semua penghuni yang lain tidak mampu berbuat apa-apa dengan kondisi terkurung. Mata mereka hanya mampu mengikuti kemana tubuh rekan mereka diseret, dengan pandangan tanpa harapan.

"Tidak! Kumohon lepaskan aku!" Jerit si gadis saat ia kini dibawa pada ruangan luas mirip aula yang terang dengan cahaya dari lilin-lilin yang di letakkan di dinding. Meskipun tempat ini jauh lebih baik dari tempat ia dikurung, namun tempat ini jauh lebih mengerikan dari kelihatannya. Kumpulan dari orang-orang berjubah merah dengan tudung yang membuat wajah asli mereka tertutupi, bau darah yang menyeruak membuat perutnya mual, serta simbol aneh besar yang terukir di dinding utama tepat di tengah.

"Inilah pengorbanan utama kita!" Salah seorang berjubah merah berteriak dengan lantang sambil menarik gadis yang telah dibawa oleh sipir dari ruang tahanan. Air mata turun membasahi pipi gadis itu saat matanya menangkap sosok tak bernyawa di salah satu sudut ruang bermandikan darah. Itu adalah mayat temannya. Temannya yang telah menghilang dari dunia ini. Apakah ia akan menyusul nasib temannya itu atau justru lebih buruk?

"Dia sangat cantik seperti malaikat, pasti tuan iblis kita akan senang menerima pengorbanannya."

"Kulit putihnya yang seperti salju akan ternoda dengan darah sucinya."

"Rambutnya yang hitam legam sesuai untuk menggambarkan besarnya kekuatan kegelapan yang akan kita terima."

Si gadis menggigil ketakutan mendengarkan suara-suara dari sekumpulan orang berjubah merah di hadapannya. Suara-suara kutukan itu seakan menggema menulikan telinganya. Ia ingin lari dari tempat terkutuk ini tetapi ia dirantai dan seorang berjubah merah yang ia yakini sebagai pemimpin mereka mencengkram tangannya erat. 'Tuhan, kumohon tolong aku. . .'Do'a gadis itu dalam hati diiringi air mata yang merembes turun.

"Tuhan, eh, dia tidak akan pernah mendengarkanmu." Cibir seorang bocah berambut kelabu yang menyaksikan kejadian itu dari atas kubah langit-langit. Sayap hitam gagak terbentang dari punggungnya membuatnya melayang sesuka hati dan memberi pemandangan bagus tentang ritual yang akan dilaksanakan dibawah sana. Gadis itu telah direbahkan pada altar bergambar simbol aneh yang dilukis dari darah temannya. Pemimpin ritual mencabut belati dari sarungnya, memperlihatkan kilat dari benda tajam itu pada gadis yang akan dijadikan korban ritual.

"Apa yang akan anda lakukan, my Lord?" Tanya butler hitamnya yang melihat Ciel menyeringai lebar.

"Sudah kuputuskan. Dia adalah mangsaku." Ujar Ciel sambil menjilat bibirnya, merasakan jiwa murni nan manis yang menguar dari gadis yang sedang memberontak dari orang-orang berpakaian serba merah yang membelenggu tangan dan kakinya.

CRASH!

.

.

.

Gelap. Terkurung dalam kegelapan. Namun ini adalah kegelapan yang indah karena kemudian turun bulu-bulu putih yang mulai memenuhi tempat tak terdefinisi itu.

'Gadis polos yang malang.' Suara seorang bocah laki-laki terdengar dalam alam bawah sadar si gadis.

'Si-siapa? Apakah kau Tuhan?' Tanya gadis itu lugu. Ciel tertawa kecil mendengarnya, mengejek pada pertanyaan gadis yang kini berada pada pertengahan hidup dan mati.

'Aku bukan Tuhan. Aku iblis yang bisa menolongmu.' Ujar Ciel dalam wujud gagaknya. Bulu-bulu putih bertebaran seperti halnya salju di sebuah ruang hampa yang berwarna hitam, dengan seorang gadis berwajah cantik yang terbaring tak berdaya di tengah.

'Iblis?' Ulang si gadis.

'Ya. Siapa namamu?' Ujar Ciel.

'Kako. Kako Misquerlentz.'

Aku bisa mengabulkan semua keinginanmu, Kako.' Jelas Ciel penuh kesombongan. Gadis itu diam sebentar dengan pandangan sayu.

'Pastinya ada imbalan atas semua itu.' Balas Kako yang membuat Ciel sedikit terkejut.

'Ya. Imbalannya adalah jiwamu. Tetapi, dengan begitu kau bisa mendapatkan semua yang kau inginkan, kau bisa membalas dendam pada orang-orang yang menyakitimu dan aku akan terus berada disisimu untuk melayanimu dengan baik sampai akhir hidupmu.' Ujar Ciel sambil menyeringai, merasa mangsanya akan tertarik dengan tawarannya.

'Balas dendam, uh?Aku tidak memerlukannya.' Ujar Kako lalu bibirnya yang semerah delima tersenyum lemah, membuat Ciel menatapnya heran.

'Hidupku sudah penuh penderitaan dan aku tidak mau berakhir di tangan iblis sepertimu. Lagipula, aku tidak bodoh. Membuat kontrak dengan seorang iblis berarti tidak ada kesempatan lagi untuk melihat gerbang surga dimana kedua orang tuaku berada.' Gadis itu memejamkan matanya perlahan, menyunggingkan senyum ketulusan pada bibirnya yang mulai memucat. Bulu-bulu putih turun semakin banyak, perlahan namun pasti menghapus warna hitam yang mengelilinginya. Ia merasakan perasaan damai dan bebas, mungkin sebentar lagi ia akan pergi.

'Bodoh.' Umpat Ciel sambil tetap memandang wajah polos yang akan menutup mata dalam damai itu. Jiwa yang murni dan sangat manis, begitu menggoda Ciel untuk memilikinya, apapun caranya.

'Aku tidak akan membiarkanmu lepas dariku.' Ujar Ciel lalu menyeringai lebar.

"Sebastian, this is an order! Selamatkan gadis itu." Ujar Ciel tanpa ragu. Sebastian dengan cepat melesat dengan sayap hitamnya, menukik ke bawah menuju ke altar dimana ritual pengorbanan -orang berjubah merah itu memekik melihat Sebastian yang dengan cepat membawa tubuh Kako yang berlumuran darah di bagian perut lalu kembali terbang ke langit-langit.

"I-itu iblis. Sesembahan kita diterima." Ujar sang pemimpin lalu berlutut diikuti oleh semua pengikutnya. Di atas langit-langit, Sebastian menyerahkan gadis dalam gendongannya pada Ciel yang menunggu. Ciel tampak khawatir melihat wajah gadisnya yang pucat karena kehabisan banyak darah namun ia yakin bahwa gadis itu masih menghembuskan sisa-sisa napasnya.

"Apakah anda bisa mengurusnya Bocchan?" Tanya Sebastian yang melihat ekspressi khawatir dari Ciel meski bocah itu memasang wajah datar sekalipun.

"Jangan bodoh. Aku juga iblis dan aku bisa menyembuhkannya dengan kekuatanku." Sembur Ciel lalu mengalihkan matanya ke bawah, memandang remeh pada orang-orang berjubah merah di bawahnya.

"Tidak kusangka orang-orang seperti mereka masih ada." Ujar Ciel dingin.

"Sebastian. This is an order. Bunuh mereka semua." Ucap Ciel sambil menyeringai yang dibalas anggukan oleh butlernya.

"Understood." Dengan kata itu Sebastian melaksanakan tugas eksekusinya dengan tangan dingin. Ciel tersenyum puas ala iblis mendengar pekik kesakitan dari orang-orang laknat itu seiring dengan kepakan sayapnya yang membawanya terbang diantara gelapnya malam bersama seorang gadis dalam gendongannya. Ciel dapat mendengarkan desah napas Kako yang terdengar begitu lembut di dekat dadanya. Itu membuat Ciel merasa tenang. Kako, gadis yang Ciel tetapkan sebagai mangsanya, selamat dari kematiannya setelah Ciel menutup lukanya dengan kekuatannya.

Apakah Ciel tidak menyadari bahwa akan sangat aneh jika seorang iblis menyelamatkan seseorang tanpa terikat kontrak sebagaimana iblis lainnya? Entahlah, Ciel hanya menyadari bahwa kini ia bisa merasakan rasa lain selain rasa hambar, yaitu rasa hangat dan aroma wangi menenangkan. Perlahan, warna mata Ciel berangsur-angsur berubah dari merah darah menjadi biru samudera seperti dulu. Ciel dapat merasakannya saat ia mengamati wajah cantik yang tersinari sinar rembulan itu. Matanya yang tertutup rapat dengan bulu mata panjang lentik, bibir mungilnya yang merah delima, hidung mungil yang mengeluarkan uap hangat, terbingkai sempurna oleh rambut hitamnya yang lembut. "Kita pulang, my lady." Bisik Ciel sambil tersenyum.

. . . . . . . . . . .

.

.

TO BE CONTINUED

Ya, chapter pertama selesai. Chapter kedua mungkin akan segera up-date tapi lihat komen dan saran para pembaca dulu, hehehe. . . ^-^

Oya, buat yang penasaran tentang penggambaran Kako Misquerlentz bisa dilihat di foto profil author :D Author bikin sendiri lho. . . plak! Penting g' sih

So, what do you think? Apa boleh author lanjut fict Ga-je ini? RnR please. . . :