Disclaimer: Gundam Seed/Destiny not mine!

A/N: Me and my pervy mind created this story. So please... Be wise! ^.^ and beware :p

Rate: T/M for alcohol. Adult content.

Warning: AU, OOC, Typo(s), Tata bahasa kacau, Un-beta-ed tolong di baca setelah buka puasa!

This fic is mere fiction. If there's a similarity or resemblance of the situation and the story with another or other story fic form it is not intentional.

Enjoy~


"Aku tak percaya kau...kau tak memberitahuku berita yang penting." Athrun menghela nafas berat. Setelah menonton secara tak sengaja berita gossip di salah satu smartphone-nya, tanpa banyak berfikir ia langsung menelfon pemilik mata warna amethyst itu.

"Tidak Athrun. Itu tidak penting. Sungguh...medialah yang membesar-besarkan." Kira Yamato, pria bermata ungu yang sedang menjadi topik hangat menjawabnya.

"Tidak Kira! Ini penting! Kau kawanku! Itulah yang menjadikan ini sangat penting! Dan kau..."

"Athrun. Maaf, kalau membuatmu marah -"

"Marah? Aku kecewa padamu, kawan." Athrun hampir menggebrak meja jika Kira bukan sahabatnya.

"Maaf Athrun... Sungguh, ini bukan sesuatu yang ingin kututupi. Hanya...menunggu waktu yang tepat." Kira memijit pelipisnya lemah. Untunglah Athrun tidak menggunakan skype atau video call. Sesungguhnya Kira merasa lelah menjelaskan pada kolega, kerabat dan keluarganya tentang berita ini.

"Kumaafkan bila kau menjawab pertanyaanku dengan jujur."

"Hahaha... Apapun untukmu kawan."

"Kira, kali ini aku tak sedang bercanda."

"Iya iya baiklah Zala."

"Siapa dia!?"

"Siapa?"

"Yang diberitakan di banyak media!"

"Yang mana!?"

"Demi Tuhan Kira! Tolong seriuslah!"

"Athrun aku serius!? Yang mana!?"

"Oh... Aku tak percaya ini Kira Yamato. Kau bermain-main denganku! Wajahmu hampir terpampang di semua media massa. Koran, televisi, internet, di manapun itu!" Ia mengambil nafas sejenak. Saat kepalanya cukup dingin, Athrun memulai kembali dengan ketenangan ciri khasnya. "Kira...aku kawanmu. Aku percaya padamu dan aku percaya...kau percaya padaku. Kumohon katakan padaku. Apakah berita itu benar?"

Athrun mendengar di seberang sana, Kira menghela nafas. Seolah ia siap menuturkan segalanya, "Athrun..." Di luar dugaan Kira tak segera memberikan apa yang Athrun inginkan. Athrun mengenal sifat Kira, jika ia seperti ini menandakan hal ini benar-benar serius. Ia tak ingin berbagi pada siapapun. Sangat bukan Kira yang biasanya ramah.

"Kira...maaf jika aku memaksamu -"

"Athrun, aku yang seharusnya meminta maaf padamu. Aku...sebagai sahabatmu membuatmu kecewa dengan hal ini." Bukannya Kira tidak ingin mengatakan pada Athrun. Tapi ada alasan yang sangat di jaga olehnya. Jaga? atau sembunyikan.

"Kira..." Sesungguhnya Athrun tak benar-benar kecewa olehnya. Kecewa? Mungkin tapi kekecewaan itu bersifat sementara. Ia hanya shock tak mendengar sendiri dari sahabatnya, jika itu benar.

"Tanyakan yang ingin kau tanyakan?" Tanya Kira ragu dan berhati-hati.

Athrun menghela nafas lega. Sahabatnya ini masih percaya padanya.

Mungkin...

"Siapa wanita yang beruntung menjadi istri rahasiamu itu?"


Taken By You

.

.

.

Athrun POV


"Menikah diam-diam!? Kira!? Kira Yamato, teman kuliah kita dulu!?"

Aku mengangguk.

"Kira? Kira yang cengeng dan pemalu sahabat masa kecilmu dulu!?"

Aku mengangguk lagi.

"Hahaha... Aku tak percaya ini!"

Sejujurnya ya. Aku juga tak percaya. Tapi tawa Yzak yang mengejek itu begitu menggangguku. Terlepas ia sadar atau tidak. Bagaimana pun juga Kira sahabatku. "Hentikan tawamu yang mengejek itu Yzak!"

"Dude, bro, pren, sob, apakah kau tak pernah membaca majalah dan menoton acara gosip. Wajah Kira sudah terpampang di mana-mana!" Aku mendengar suara setengah mabuk milik Dearka, sahabat serta rekan kerjaku dan Yzak menanggapi santai.

Terkadang aku bertanya bagaimana bisa kedua orang yang jauh berbeda sifat bisa menjadi sahabat.

Kulihat Yzak mengerang pada rekan kerja kami yang berkulit gelap itu, "Aku tak membaca dan menonton sampah sepertimu, Dearka!"

Sampah? Well... Benar terkadang apa yang disajikan oleh beberapa media itu separuhnya adalah kesenangan hampa. Tapi, Hei! Rating berita itu tinggi jadi apa boleh buat. Semua demi keuntungan perusahaan, bukan?

Kudengar Dearka membuka suaranya lagi, "Ya ya ya, aku lupa. Kau dan berita tentang inflasi, inventasi, dan imunisasi. Hahaha..."

Dearka memang suka menyindir keterbatasan Yzak akan hidup bersosialisasi. Kuakui memang benar. Err...kecuali soal imunisasi.

"D-e-a-r-k-a!" Yzak mengerang lagi, nada Yzak mengancam. Kulihat Dearka 'mengibarkan bendera putih', mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Aku menahan tawa bagaimana kedua pria ini menjadi sangat dekat dan pengertian satu sama lain? Tidak! Mereka bukan gay! Aku bukan gay! dan kutegaskan lagi kami bukan gerombolan gay! Mereka jujur mengungkapkan apa yang ada di hati dan kepala mereka. Aku menyukai bergaul dengan mereka.

Tapi takkan pernah aku meminta saran soal kehidupan pribadi pada mereka, ya...setidaknya belum. Aku sempat memprediksikan jika aku mendiskusikan masalah pribadiku pada mereka. Dearka akan menertawakan dan mempermalukanku habis-habisan dan Yzak, ego-nya akan melayang setinggi langit jika aku meminta bantuannya.

Aku tak tahu mengapa, sampai saat ini Yzak menganggapku rival dalam segala hal. Menjadi selalu di peringkat dua memang tidak menyenangkan, mungkin itulah sebabnya ia melihatku sebagai tantangan.

Tapi...setidaknya ia beruntung dalam mencari pasangan hidup. Aku kalah telak dalam hal cinta. Yzak sudah menemukan cinta sejatinya. Walaupun asalnya berawal dari pertunangan, kuperhatikan mereka pasangan yang serasi dan unik.

Kembali pada Dearka dan Yzak... Pertemanan mereka kadang membuatku iri. Dari hal serius sampai hal terkonyol yang pernah aku saksikan.

Terkadang filosofi dan prinsip Yzak benar adanya. Contoh, Yzak menganggap sosialisasi versi Dearka sama dengan membuang waktu percuma atau bermalas-malasan, tidak menghasilkan sesuatu yang produktif bahkan inovatif bagi diri sendiri atau siapapun juga. Rrrriiggghhhttt...

"Lalu siapa wanita itu?" Aku mendengar Yzak bertanya.

Aku mengangkat bahuku setengah malas. Kira benar-benar tidak mempercayaiku sepenuhnya dalam menyimpan rahasianya. Ia memang mengatakan satu atau dua hal menyangkut pernikahan diam-diamnya itu tapi dari nada bicaranya, masih banyak rahasia yang terkandung di dalamnya. Tapi aku tak menyalahkannya. Itu hidupnya. Haknya. Kuakui... Ini membuatku sedikit sakit hati.

Ku jawab saja jujur, "Aku tak tahu. Kira merahasiakannya. Ia hanya berkata bahwa berita itu memang benar!"

"Wow... Yamato kau hebat! Hahaha... Kau mengalahkan aku dan Zala si playboy! Hahaha..." Kurasa Dearka cukup mabuk hari ini.

Lebih baik aku mencari topik lain, topik Kira dan si wanita misterius memang menarik tapi terlalu serius untuk malam yang santai ini.

Ah, benar bicara soal Yzak, aku teringat sesuatu! Kupalingkan pandanganku pada Yzak yang menggerutu.

"Lalu...kenapa kau setuju dengan ajakan Dearka ke club malam ini?" Jujur, aku sempat hampir menjatuhkan kunci mobilku ketika Dearka menyeret Yzak dengan tanpa protes, bergabung, menghabiskan sabtu malam ini.

Bukannya menjawabku, Yzak justru meneguk minumannya dalam sekali tegak. Alisku terangkat melihat cara minumnya. Itu menandakan ia terganggu oleh pertanyaanku.

"Kau pasti tak akan percaya ini. Shiho yang memintaku. Dia bilang "suamiku yang serius ini butuh santai, tolong ajak dia ke mana pun kau pergi, Elsman, sebelum rambut putih tumbuh di kepalanya"." Kulihat Dearka meng-copy persis seperti yang Shiho katakan dan peragakan tanpa terlewat sekalipun. Plus mimik dan cara bicara wanita.

Oh Tuhan, seberapa banyak ia minum hari ini. Dia benar-benar mabuk. Seharusnya dia menjadi aktor, bukan sekretaris dan asisten pribadi HRD and GA tempat kami bekerja.

Aku sempat terkekeh kecil ketika Yzak men-death-glare-nya. "Kau mabuk Dearka!"

Menggeleng, Dearka melanjutkan, "Kau tahu apa yang kujawab, begini... "Shiho, jika nanti di kepalanya tumbuh rambut putih dengan senang hati akan ku beritahukan pada dunia!""

Tanpa ampun, Aku pun tertawa terbahak-bahak. Perutku sakit. Apa boleh buat, rambut Yzak sudah putih dari lahir, jika tumbuh uban pun takkan ada perbedaan mencolok. Kuhiraukan Yzak yang melotot tajam pada kami dan mengumpat tak jelas itu.

"Katakan sekali kalau kau ingin lehermu terlepas dari kepalamu!" Oh, tidak Yzak Joule marah besar.

Kurasa waktuku menengahi mereka sebelum kami di tendang keluar oleh keamanan club ini.

"Yzak tenanglah! Dearka sudah mabuk -"

"Aku tidak mabuk Athrun." Kudengar Dearka menginterupsiku. Ini tidak baik! Terpaksa, kutinggikan suaraku dengan kesan otoriter.

"Dearka!" Yup. Suaraku berhasil membuat mulutnya tertutup...untuk sementara.

Kunikmati lagi malam mingguku. Liquid berwarna serupa warna madu kuminum hanya sekedar membasahi tenggorokanku. Mata deep green-ku menyapu seisi club ini. Kami, terutama aku dan Dearka adalah reguler di sini, walaupun akhir-akhir ini aku datang hanya saat weekend saja. Ini semua karena beban kerjaku bertambah seiring promosi yang kudapat beberapa bulan lalu.

Kuperhatikan seisi lantai dansa. Penuh. Sedikit sesak. Banyak wajah familiar, banyak juga muka baru. Muka baru? Hmm... Fresh. Siapa juga yang tidak suka 'barang' fresh?

Apalagi... Wanita. Gadis terutama. Muda. Dan fresh. Incaran para pria hidung belang. Tua dan buncit.

Tapi bukan aku. Maksudku dari segi umur. Aku masih muda. Dan...dua puluh lima tahun termasuk muda bukan?

Sukses? Apakah lamborgini, jaguar, ducati, penthouse, summer house, unlimited credit card dan beberapa lembar saham perusahaan atas namaku sendiri dapat diukur sebagai kesuksesan?

Tubuhku lumayan. Tidak terlalu berotot bak atlet angkat besi. Tinggi? Seratus delapan puluh senti meter termasuk tinggi? Tampang? Banyak teman lelakiku termasuk Dearka mengakui para wanita yang melihat wajah dan tubuh tanpa latar belakangku bersedia 'melemparkan' tubuh mereka secara tulus padaku.

Apakah aku playboy? Mungkin. Banyak yang mengatakan demikian. Tapi aku tak seperti Dearka dalam memilih teman kencan. Asal comot saja! Aku lebih suka dikatakan selektif daripada playboy. Sangat selektif. Sangat! Garis bawahi itu.

Lagi-lagi, aku terkadang iri dengan Kira, tipe dimana sekali menjatuhkan pandangan itulah yang akan dia ikat selamanya. Harus kuakui (lagi) aku benar-benar penasaran dengan pasangan hidup Kira itu.

Aku mendesah kecil, tak ada gunanya memikirkan itu.

Banyak ikan segar yang bisa di pancing hari ini Athrun.

Kukatakan itu pada diriku sendiri malam ini terus-menerus. Gayung pun bersambut, mata emerald-ku menemukannya.

Dia! Dialah yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari mejaku. Dia dengan pakaian serba hitamnya yang menggoda. Dia yang baru saja mengambil tempat tepat berhadapan dengan sang bartender. Dia! Aku harus segera menghampirinya sebelum 'pengacau' lain datang merebutnya dariku.

"Kau kemana, Athrun?" Kudengar Dearka bertanya.

"Kau tahu!" Aku berkedip padanya. Dearka mengerti maksudku dan tertawa keras layaknya orang mabuk. Well aku lupa... Dia memang mabuk. Kuserahkan saja dia pada Yzak.

Kutinggalkan sahabatku itu, samar-samar Dearka meneriakiku, "Semangat Zala!" Hanya untuk mendapat 'semprotan' cacian dari Yzak.

Saat mendekati sang target. Aku memastikan penampilanku sempurna.

Kuberikan senyum simpul dan anggukan kecil pada siapapun yang menyapa atau mengedipkan matanya padaku saat aku menghampiri gadis itu. Setidaknya aku berusaha tidak mengacuhkan mereka. Demi harga diri dan kehidupan sosialku.

Harga diri? Bagaimanapun keadaanku sekarang ini. Keluargaku terutama ibuku, mendidikku menjadi seorang gentleman sejati.

Bau maskulin. Check. Rambut rapi. Check. Kemeja stylish. Check. Isi dompet. Check. Resleting tertutup. Check. Gigi bersih. Check. Senyum maut. Check. Percaya diri. Double chek.

Kurasa aku tepat waktu. Tepat saat ia akan memesan minum, aku memotongnya. "Rusty..." Siapa Rusty? Si bartender yang akan melayani wanita cantik disampingku ini. Mengapa aku tahu namanya? Ya, itu karena aku reguler. "Untuk wanita cantik ini tolong ambilkan..." Akhirnya...suaraku berhasil membuatnya menatapku. Dan...Oh Tuhan... Dia lebih cantik dan bersinar.

Mukanya terasa familiar tapi aku yakin ia pertama kali kemari.

Rambut pirang sebahunya lebih bercahaya dari lampu disko di club, matanya senada dengan warna cerah whiskey. Dia begitu natural. Tak banyak make up yang dia kenakan. Hanya bibirnya terlihat lebih pink menyala dari warna bibir asli. Dan menggoda...

Aku menahan napasku. Gadis ini mengambil seluruh pasokan udaraku, sesaat sepertinya aku lupa caranya bernafas!

Talk about woman and what they wear? Bila hitam biasanya di gunakan untuk acara bergabung dan sebagainya. Tapi jika wanita ini yang mengenakannya, satu kata... Wow! Pakaian itu seharusnya ilegal. Warnanya memang gelap tapi justru membuatnya makin bersinar.

Melihatnya saja, lututku menjadi selembut jelly sekenyal agar-agar. Syukurlah, belum ada pemabuk yang menghampirinya. Ingatkan aku untuk mengikuti ibadah besok!

Kulihat ia menatapku bingung dan menunggu kelanjutan perkataanku. Barulah kusadari aku terlalu terpaku akan kecantikannya. Sebentar... Apa aku mengatakan cantik? Tidak, ia tidak cantik. Ia luar biasa cantik. Sekali lagi...garis bawahi itu. Malaikat seharusnya malu padanya.

"...Wine. Red. Merlot." Kuberikan pilihanku pada Rusty.

Bingo! Wajahnya seakan tak percaya akan tebakanku. Aku berani bertaruh tebakanku benar. Karena kulihat senyum tipis mengembang di wajahnya. "Sangat mengesankan. Tapi..." Ia menatap Rusty singkat, "Tolong air mineral saja."

Wow...bahkan suara yang dimilikinya unik. Lebih berat dari suara wanita pada umumnya. Menjadikannya lebih...sexy.

Oke. Self-control? Kemanakah kau? Aku membutuhkanmu sekarang. Betapa aku menahan diri untuk tak mencium bibir merah muda mungil miliknya.

Kurasakan Rusty menungguku. "Pinot grigio, Rusty." Ujarku tanpa menatap Rusty. "Jernih seperti matanya." Mata emerald-ku terus menatap mata coklat madu miliknya. Dia tersenyum mendengar 'pesananku'. Kubalas senyumannya dengan senyum khasku. "Dan...terima kasih nona atas pujiannya. Tapi kau lebih mengesankan bagiku. Kau cantik sekali."

Wow...pipinya memerah. Makin memperlihatkan kecantikannya. Berapa kali aku sudah mengatakan 'wow' dalam beberapa menit ini? Wanita ini luar biasa...

Ada lagi, aku tak suka buang waktu. Ku usahakan semua straight to the point.

Clear, Clean and Clarify.

Dan aku tak akan membuang kesempatan ini. "Hmm...bagaimana kalau kita mencari tempat yang lebih nyaman dan...lebih privasi. Hanya kau dan aku."

Tersenyum. Tanpa banyak basa-basi ia mengatakan. "Maaf...sebenarnya aku tidak menyukai tempat macam ini. Aku datang kemari...untuk menemui seseorang. Kami akan merayakan sesuatu."

Shit! Bukan Zala nama belakangku jika kubiarkan dia lolos begitu saja.

"Apa itu? Bolehkah aku bergabung? Aku juga bersama temanku?"

Ia mengangkat bahunya lagi. "Entahlah...kutanyakan padanya. Hanya merayakan kepindahanku kemari dan...aku masuk ke Zaft Univercity. Mengambil master. Tiga bulan ke depan."

Zaft Univercity? Master? Baru pindah? Kukira ia lebih muda? Berapa umurnya? Tenang Athrun. Jaga sikap. Jangan melompat kegirangan. Kebetulan? Ini takdir!

"Zaft? Aku lulusan Zaft? Sarjana dan master ku ambil dari sana? Baru pindah? Aku bisa tunjukkan Aprilius City padamu. Bahkan seluruh isi Plant jika kau mau." Senyum tak pernah lepas dari wajahku.

Dia menggigit bawah bibirnya. Seolah menimbang-nimbang tawaranku. Sungguh...ku tahan diriku untuk tidak melumat bibir sexy-nya itu.

Sampai kapan gadis ini menyiksaku? Gadis? Bagaimana aku bisa tahu? Ya...insting dan pokoknya aku tahu dan bisa merasakan tanpa menyentuhnya. Pengalaman berbicara.

"Tawaranmu menarik. Tapi...sungguh... Aku harus bertanya pada temanku dulu."

Aku mulai berpikir. Teman yang di maksud adalah kekasihnya. Aku tak peduli.

Jika sang wanita mau denganku, aku tertarik, aku tak peduli. Itu berarti, kesialan bagi kekasih mereka. Kecuali jika ia sudah menikah, aku akan menjauh seribu heck jadikan sepuluh ribu kilo darinya saat ini juga.

"Jurusan apa yang kau ambil?" Aku menahannya lebih lama.

"Finance and International Bussines." Jawabnya cepat.

"Hei kita sama lagi. Tapi saat ini aku sudah bekerja. Genesis Corp. Pernah dengar?"

Perusahaan Genesis tempatku bekerja adalah salah satu perusahaan multinasional terbesar di Plant. Katakan pada wanita incaranmu kau bekerja di sana maka ia akan segera berlutut di hadapanmu.

Matanya membesar. Gadis ini sedikit terkejut. Yeah... Perusahaan itu jelas menarik perhatiannya.

Aku melanjutkan, "Kita banyak kesamaan. Let see... Universitas? Walaupun aku sudah lulus. Jurusan yang kita ambil. Kita menyukai red wine. Kita memakai pakaian yang matching." Aku tertawa kecil.

"Pakaian? matching? Kau memakai kemeja berwarna putih tuan." Ia mengingatkanku.

Seringaiku melebar, setidaknya ia menyimak perkataanku. "Kau belum melihat di balik kemejaku nona."

Ia tertawa. Begitu merdu. Oh Tuhan, tawa itu. Pipi yang merona itu. Gosh, I think I'm going to die! Dia sungguh menawan. Sangat manis.

Tepat saat minuman kami datang. Kuulurkan tangan kuraih tangannya yang mungil itu. "Aku Athrun." Kubawa tangannya ke bibirku. Harum. Halus. Bibirku terdiam beberapa detik ditangannya.

Kurasakan dia sedikit tak nyaman. Kulirik, dia merona. Membuatnya lebih dan lebih cantik. Senyum yang diberikannya canggung. Dengan sangat tak rela kulepaskan dari bibirku. Tanganku masih bertahan mengenggam tangannya. Syukurlah... Ia tak menarik tangannya. Tangannya begitu pas dalam genggamanku. Kalau bisa aku tak ingin melepasnya.

Ia mulai membuka mulutnya, "Aku -"

Damn! Ia melepas tanganku terburu-buru. Kulihat ia merogoh saku mini skirt-nya itu. Ponsel sial! Mengganggu di saat paling terpenting malam ini.

Bukan telepon, cuma text. Warna mukanya berubah. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kurasa berserta tip-nya, kulihat angkanya begitu besar untuk ukuran segelas air mineral. Walaupun dia mencoba menutupinya, ekspresi wajah dan tubuhnya begitu panik.

Ia beranjak pergi. Sekarang akulah yang panik. Aku belum mendapat informasi apapun dari gadis ini.

"T-Tunggu kau belum meminum -"

"Aku tak punya waktu. Senang bertemu denganmu -"

"Ambil uangmu, aku yang traktir." Teruslah memohon Athrun.

"Tidak, aku tak menerima pemberian dari orang asing." Ucapnya tegas dan tergesa-gesa.

"Ba-Bagaimana dengan temanmu?" Bagus Zala, kau terdengar sangat menyedihkan.

"Perubahan rencana, akan kuhubungi dia nanti. Sampai jumpa, tuan Zala."

Dengan begitu ia pergi. Meninggalkan wangi tubuh yang samar masih tercium olehku. Mawar mixed dengan lavender. Aku berdiri di sana membeku. Belum ada gadis yang menolak pesonaku.

Atau kharismaku sudah memudar? Kuharap tidak.

Tunggu? Aku tidak memberikan nama belakangku padanya bukan? Bagaimana ia tahu? Atau aku sudah mulai pikun? Sial! Bisa-bisa aku menjadi gila semalam karena gadis misterius itu.

Kuraih gelas dan kuminum dengan sekali teguk. Kurasa aku tahu kini perasaan Yzak. Kalau Dearka mengetahui ini, ia pasti akan menertawakanku dalam seminggu ke depan.

Sial! Aku harus mencari -

"Hai~ sendiri?" suara wanita yang jelas menggoda. Disampingku. Parfumnya menyengat. Wanita ini...berpengalaman. Ia mengambil tempat 'bekas' gadis itu.

Kulihat ia lumayan untuk 'pelarian'ku dari gadis misterius tadi.

Aku tersenyum.

Aku sungguh beruntung. Tak perlu mencari, mereka datang dengan sendirinya. Kurasa lucky adalah nama tengahku.

Kugunakan saja kesempatan ini daripada di permalukan Dearka. Kubalas sapaan wanita itu, "Ya. Kau bisa menemaniku."

Setidaknya malam ini tidak terlalu membosankan...

.

.

.

.

.

.

Dua hari ke club, membuatku malas. Kepalaku sakit. Aneh, aku tidak terlalu banyak minum tapi mengapa kepalaku begitu sakit pagi ini.

"Shit. Kepalaku seperti habis di hantam gerombolan banteng." Kupijat pelipisku.

Kurasa kopi pahit dan shower dingin akan membantu. Tapi tubuhku begitu malas untuk keluar dari kasur king size-ku ini.

Biasanya aku ke club hanya sekali seminggu. Pengecualian tadi malam. Mengapa? Sigh...harus kuakui gadis itu. Padahal ia mengatakan tak menyukai tempat seperti itu. Tapi tetap saja aku datang. Pointless! Aku merasa sudah menjadi stalker sekarang.

Senin! Waktunya untuk menguras tenaga tubuh dan pikiran otak kita. Keliatannya kutipan 'I Hate Monday' menjadi hal yang kusukai saat ini.

Tak ada gunanya mengeluh. Tak ada hasil yang kudapatkan dengan mengeluh. Ayahku tidak akan menerima alasan konyolku terlambat kerja karena sedikit mabuk. Tanpa pikir panjang, aku pasti segera di tendang dari perusahaannya.

Apakah sudah kukatakan Genesis Corp. di bawah kepemimpinan ayahku? Ayahku Presdir di tempat itu. Eit...tunggu dulu? Bila ada yang berpikir aku mendapatkan posisiku sekarang karena ayahku. Salah besar! Dengan background huruf 'X' sangat besar ala kontes pencarian bakat.

Aku mulai dari bawah. Aku mengikuti tes tulis dan wawancara layaknya karyawan yang lain. Awalnya mereka memandang sebelah mata kemampuanku karena aku adalah anak bos. Seiring waktu kubungkam mulut mereka dengan prestasiku yang mereka saksikan sendiri.

Nah...jadilah aku sekarang ini! General Manager termuda dalam sejarah Genesis Corp.

Ayahku bangga padaku, ibuku? Ia sempat khawatir dengan pilihanku untuk memulai dari nol, apa boleh buat ibu selalu khawatir pada anak satu-satunya ini.

Lebih baik aku menendang selimut ini jauh-jauh agar aku bisa keluar dari rasa nyamanku dan bertarung dengan rasa dingin air shower-ku.

Saat kunyalakan televisi untuk menemani waktu mandiku, wajah Kira menyapaku. Berita itu lagi. Sampai kapan mereka menayangkan pemberitaan itu. Apa boleh buat, Kira seorang pria muda, lajang, aktor paling sukses paling digemari di Orb tiba-tiba menikah.

Siapa pasangannya? Rahasia.

Kira sendiri tidak mengadakan konferensi pers. Dalihnya adalah privasinya tak perlu di umbar-umbar. Hanya beberapa keluarga dan kalangan tertentu yang mengetahuinya. Tapi aku tak termasuk didalamnya. Aku masuk jajaran orang asing. Masih terngiang perkataan Kira saat itu.

Maaf Athrun, semuanya terjadi begitu cepat dan tiba-tiba.

Seperti bukan Kira. Kutinggalkan televisi yang mengoceh tak jelas itu. Kutanggalkan pikiranku tentang Kira. Karena semakin membuatku kesal dan...penasaran.

.

.

.

.

.

.

Ku baca lagi papan nama berwarna hitam dengan background emas dimana tertulis 'President Director' disebelah double door yang mewah dan besar di keliling dinding kaca tak tembus pandang, berbeda dengan pintu yang lain. Mungkin saja aku tersesat? Bercanda!

Ku ketuk sekali lalu ku buka pintu itu. Ayah, err... Maksudku presdir sedang memeriksa beberapa laporan dan menandatangi beberapa dokumen seperti biasa.

Belum sempat ku buka suaraku, kudengar beliau berkata, "Athrun. Maaf memanggilmu saat istirahat makan siang."

Ditanggalkan kacamata baca seraya menghampiriku. "Tak apa ayah ehm...maksudku pak -"

"Apa yang kau lakukan putraku! Sudah kubilang jangan terlalu formal, bila hanya ada kita berdua. Duduklah."

"Kebiasaan." Ku tersenyum dan mengangkat bahuku.

Ayah merangkul dan kami duduk nyaman di salah satu sofa ayah.

"Kau sudah makan siang. Oh Tuhan bicara apa aku ini, tentu saja belum. Hahaha... Biar kuhubungi Talia agar membawakan makan siang untuk kita."

"Aku tak lapar ayah. Lagipula Ms. Gladys pasti sedang istirahat."

"Hahaha... Kau benar. Aku lupa, kurasa aku benar-benar sudah tua. Hahaha..."

Senyumku bertambah lebar, "Ayah, kau tak tua hanya sedikit berumur dan beruban." Candaku.

Ayah makin tertawa lebar. Ayah memang sudah tua tapi semangat beliau bak anak muda. Ia sering memintaku untuk langsung menggantikan posisinya dan meminta pensiun dini. Tentu saja aku ingin tapi tidak...belum saatnya, pengetahuan, pengalaman dan kemampuanku masih di bawah ayah. Walaupun percaya diriku terkadang berlebihan. Lagipula aku masih suka bersenang-senang. Menikmati hidup. Bila aku menjadi presdir nanti itu karena kemampuan. Dan...bila aku sudah menemukan pasangan hidupku.

"Ada apa ayah memanggilku?"

Kulihat ayah tak langsung menjawabnya. Ia memperhatikanku dalam diam. Aku sepertinya...mengetahui arti tatapan itu. Dan aku tak menyukainya.

"Ayah, kalau kau memanggilku hanya untuk menasehatiku soal kau sudah tua, ibu sudah tua, waktunya mengambil alih perusahaan, ingin melihatku menikah, lalu menimang cucu kurasa ini bukan waktu yang tepat." Erangku.

Alis ayah mengernyit, "Setiap ayah dan ibu menanyakan itu kau selalu mengatakan hal yang sama. Aku yakinkan aku belum ingin membahas itu sekarang. Aku sudah menemukan pengganti sekretaris dan asisten pribadimu."

Sekarang aku bingung, lalu kenapa ayah, Presdir Genesis Corp., yang memberitahukanku soal sepele begini.

"Aku mengerti apa yang ada di pikiranmu anakku. Percayalah." Seringai ayah muncul. Oh tidak, kurasa ini waktunya 'nasehat untuk anak'. "Mengenai sekretarismu yang sebelumnya ayah tak ambil pusing. Sudah ayah lupakan -"

"Ayah! Sudah kukatakan dialah yang terus mengganggu dan menggodaku bahkan masuk ke penthouse tanpa ijinku dengan merayu salah satu penjaga di sana."

Meer Campbell, ex-sekretarisku. Satu kata untuknya...menyeramkan dan mengerikan. Oke, jadian dua kata!

Kukira dia perempuan yang ber'kemampuan' karena sanggup menyingkirkan berpuluh-puluh kandidat. Dia memang ber'kemampuan' tapi bukan itu yang kuharapkan. Ternyata Dearka-lah biang kerok semuanya. Meer merayu Dearka agar bisa menjadi sekretarisku. Hell... Dia bahkan tidur dengannya hanya untuk ini. Tapi sepertinya bukan hanya Dearka yang masuk jeratannya. Entah sudah ada berapa yang tidur dengannya aku tak tahu. What's a f*****g b***h!

Hampir saja aku menjatuhkan Dearka dari lantai dua puluh gedung ini jika ia tidak mengingatkanku bahwa dia adalah sahabatku.

Kuakui ia menggoda. Dengan pakaian yang menonjolkan sensualitasnya setiap kali bekerja. Yang membuat para lelaki berkali-kali menabrak dinding kaca ruanganku. Ya... Kami pernah berciuman tapi cuma itu. Dan thats it! Masih ingat dengan ke-selektifan-ku memilih wanita? Ia posesif dan aku bermain-main dengannya. End of story!

Seperti yang semua orang perkirakan. Kerjaannya kacau. Semuanya kacau. Mengangguku hampir siang dan malam. Yzak sempat menjulukinya 'The Ultimate Stalker'.

Sampai suatu hari, aku menemukannya di penthouse-ku, di kamar-ku, di kasur king size-ku dimana belum ada wanita manapun di sana, hampir setengah telanjang menungguku. Kuseret saja dia keluar, tentu saja sudah kututupi tubuhnya itu dengan selimut, dan menimbulkan keributan di lantai bawah.

Tidak terima ia meneriakiku pemerkosa. Wanita gila! Setelah dilakukan investigasi di mana berujung pemecatan salah satu penjaga penthouse tempatku tinggal. Aku menawarkan pilihan padanya, penjara atau menghilang dari hadapanku selamanya.

Lalu... Apa yang ingin ayah katakan padaku sekarang.

"Ayah percaya." Ayah melanjutkan, "tapi...melihatmu berganti-ganti teman kencan membuatku khawatir."

Teman kencan? Yang benar saja! Aku hanya berkencan sekali dan mereka tahu itu, lainnya... Aku tak tahu apa namanya? Err...angin lalu? Numpang lewat? One night stand? Fling? Whatever!

"Dia masih muda Athrun. Usianya 21 tahun. Ayah sendiri yang memberikan semua tes pada calon sekretarismu."

Aku mengangkat satu alisku. Dan... Dimana masalahnya? "Lalu...? Tanyaku ragu.

"Jangan macam-macam padanya."

Aku mengerang. "Demi Tuhan ayah? Hanya itu? Bukan masalah besar." Tsk, sepele!

"Kau sudah berganti sekertaris 3 kali dalam setahun ini Athrun. Tolong...jangan kacaukan ini. Dia sangat berpotensi, aku bisa melihatnya."

3 kali? Oh ya? Coba kuingat. Meer adalah yang terakhir. Nyonya La Flaga, mengundurkan diri karena ingin mengurus keluarga. Jangan berpikir macam-macam aku sangat menghormati wanita itu bagai ibuku sendiri. Kedua... Lunamaria Hawke? Damn... Kenapa aku bisa lupa! Harus kuakui akulah penyebab semuanya. Well... Tidak juga, jika ia tak menyembunyikan status pernikahannya. Ingat kan? Bila ia sudah menikah aku akan mundur sepuluh ribu kilometer darinya. Tapi Luna? Ia malah menyodorkan dirinya sendiri padaku dengan kebohongan status pada perusahaan. Yang akhirnya bisa tertebak? Suaminya memergoki kami bermesraan di kantor saat kami lembur.

Suaminya tak menuntut karena Lunamaria bisa dituntut balik karena kebohongannya. Dan kasusnya...wuzz...hilang sekejap mata!

Kalau yang baru ini?

"Apa ia sudah menikah?" Tanyaku.

"Menurut data, belum! Dan bukan berarti kau bebas -"

"Tapi ayah, Luna lolos dari seleksi itu -"

"Luna? Hawke? Yang ternyata sudah menikah itu? Itu karena kelalaian kita, kuakui sangat memalukan. Tapi aku sudah memeriksa background-nya dengan detail." Jawab ayah serius.

Oke! Asal ia tidak berkacamata tebal. Rambut di kepang dua. Kemeja kedodoran dan rok panjang serta semuanya serba hitam.

"Jadi dimana dia?" Tanyaku malas.

"Berjanjilah Athrun!" Itu bukan permintaan tapi perintah.

"Ya, baiklah." Aku setengah tak rela mengucapkan itu. Bagaimana bisa setelah Kira, ayah tak mempercayaiku juga.

Ayah tersenyum, bangkit menuju meja kerjanya. Menekan tombol di telepon pribadinya. Kudengar suara seseorang di sana dan yakin itu bukan suara Ms. Gladys. Mungkin sekretaris ayah yang lain. Sekretaris Presdir ada 3 orang dan Ms. Gladys adalah kepala sekretaris.

Kudengar pintu di ketuk sekali. Aku masih malas melihatnya. Kudengar pintu terbuka lalu tertutup, langkah kaki dengan bau parfum wanita harum dan lembut menyeruak indera penciumku.

Kupejamkan mataku. Sangat menenangkan sekaligus menggoda. Sangat familiar...

Kudengar ayah menghampirinya. Kurasa ia tepat berada di tengah ruangan. Dengan punggungku yang membelakanginya.

"Ms. Athha." Begitu kudengar ayah memanggilnya.

Nama yang terkesan kuat. Indah!

"Apa kabar Tuan Zala? Tolong panggil saja aku Cagalli." Seketika itu mata emerald-ku terbuka lebar.

Suara itu... Suara yang menghantuiku setiap malam.

Kubalikkan tubuhku. Dan menatap wajah itu sekali lagi. Sekali lagi, nafasku serasa terhenti. Seakan aku lupa bagaimana caranya bernafas.

Dengan kemeja lengan pendek berwarna turqouise dengan dua kancing teratas tak dikaitkannya, rok pendek pensil warna hitam membalut sempurna pinggul dan pahanya. Tidak terlalu pendek juga tak terlalu panjang. Stocking hitam dan silver stiletto.

Wow! That's hot!

Kuhampiri mereka sehingga aku berdiri tepat disamping ayah. Aku tak tahu bagaimana wajahku saat ini. Konyol mungkin? yang jelas aku terkejut. Sangat. Kuharap air liurku tak menetes.

Tapi... Apakah hanya aku? Kulihat ia terlihat tenang dan begitu profesional. Apakah ia melupakanku? Atau ia berpura-pura melupakan aku? Jika benar, dia aktris yang sempurna di balik baby face-nya itu.

Two could play, right? Bukan Athrun Zala jika tidak cool, calm and collected.

"Athrun. Inilah sekretaris dan asisten pribadimu. Nona Athha. Nona Cagalli Yula Athha."

Cagalli, akhirnya kudapatkan namamu. Tapi...

Kenapa namanya harus seindah orangnya? fair enough. Dan aku sudah berjanji! Really not fair!

Cagalli tersenyum sangat percaya diri tanpa keraguan. Demi Tuhan, senyumannya bagai malaikat. Bagai seorang dewi. Lupakan itu, malah lebih dari itu. Kulihat dia mengulurkan tangannya. Kusambut dengan profesional. Hangat. Sentuhannya selalu hangat.

"Senang bertemu denganmu. Tuan Zala."

Kukerahkan seluruh senyum terbaikku. Masih kugenggam tangan lembutnya. "Tolong jangan memanggilku begitu. Aku terlihat...seperti ayahku." Kulirik ayahku singkat yang memberiku tatapan apa-maksud-perkataanmu-itu. Kuacuhkan saja. "Athrun. Senang bertemu denganmu...Cagalli, jika kau ijinkan?" Hampir saja aku mengucapkan "senang bertemu denganmu...lagi", aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Ayah.

"Tentu saja...Athrun." Oh God! Ketika ia mengucapkan namaku, rasanya seperti melayang ke surga. Begitu indah... Begitu sempurna... Aku harap kakiku masih berpijak.

Mimpi siang bolongku buyar begitu saja ketika ia melepaskan genggamanku (lagi) secara paksa.

"Cagalli akan bekerja untukmu mulai besok, Athrun. Saat ini Ms. Gladys sedang memberinya 'pelajaran' khusus."

Aku menyeringai nakal.

Yeah... Aku juga ingin memberinya 'pelajaran' khusus!

Kudengar ayah bicara sesuatu setelah itu. Tapi aku sibuk memandangi ciptaan Tuhan di depanku yang terpahat sempurna di mata emerald-ku ini.

Kurasa ia menyadari tatapanku. Saat pandangan mata amber-nya jatuh ke arahku. Wajah dengan make up minimalis itu terlihat merona. Adorable.

If I could I will jump to her right here and now!

Aku mendesah kecil, bila teringat janjiku 'konyol'ku pada ayah? Aku merasa menyesal. Bagaimana aku bisa survive setelah ini?


TBC


A/N: Di lihat dari chappie ini apakah termasuk rate M? Kalau benar, sy segera memindahkannya. Selain romance sy kesulitan menentukan genre ini? Family-kah? -,-" Chappie ini terinspirasi novel dewasa (baca: benar-benar dewasa) by E. Chase.

Puasa2 malah publish ginian *plak*. Maavkan sy... *bow*

Fic ini adalah hadiah ultah sepupu dan sahabat terbaik sy N.A.P yang seharusnya sy publish tepat pada hari ultahnya, 21 Juli ke 21 (?) ^.^v

Jujur, awalnya saya ragu ketika mo publish ini. Seseorang mendorong sya u/ bonek mempublish ini so... Begitulah. :p

Untuk nama minuman keras di sini sya dapat dari dokter gugel. :p pliz, jangan tanya rasanya saya sendiri nggak tau. -.-"

Thanks for read. Please...review.

Many Thanks

Nel.

Fighting. ^.^)9