"Tapi, aku tidak tahu jika perasaan senang bisa membuatku menangis sampai seperti ini," ucap KyuHyun parau. Ia mengusap air mata yang turun di pipi dengan lengannya.

"Ternyata kau bisa juga menangis."

"KiBum-ah!" Keduanya sontak menoleh, mendadak Yesung menatap KiBum tajam.

"Kau–kau...sedang berbicara dengan siapa?"

KiBum terdiam.

.

.

.

"—kecelakaan terjadi antara sebuah mobil dan truk pengangkut bahan bakar gas. Truk yang mengangkut bahan bakar gas meledak, namun sang sopir truk pengangkut diketahui selamat. Sementara, dua pemuda yang mengendarai mobil pribadi hanya satu yang selamat. Pemuda yang selamat kini tengah koma dan dalam kondisi kritis itu bernama YeSung (28), sementara rekannya yang meninggal di lokasi kejadian diketahui bernama; Cho KyuHyun (25)—"

.

.

.

.

.

.

Sejak awal mengenalnya, YeSung tahu jika kumpulan sel yang membentuk indra penglihatan KyuHyun itu indah. Sekelam langit malam, namun berhias kehangatan dari bias bayangannya yang terpantul sempurna di sana saat mereka bertatapan. Sekalipun lubang hitam tercipta di sana, YeSung merasa terjebak dalam kenyamanan saat tak punya kesempatan untuk keluar. Sekalipun tak ada harapan, tidak setitik pun harapan, YeSung merasa nyaman.

Tapi, kali ini berbeda.

Lubang hitam milik 'KyuHyun-nya' begitu menjebaknya dalam kebekuan yang aneh. Yesung tidak merasakan lagi kehangatan. Dan ia ingin keluar. Namun ia terlambat, bayangannya sudah terlanjur memantul di sana.

"KyuHyun?" ucap YeSung terlalu pelan, menyenandungkan artikulasi yang nyaris tak tertangkap. YeSung meronta saat lubang hitam itu tak juga melepasnya. Bahkan ia kini semakin mendekat dan berdiri di sisi YeSung.

"Kapan kau diizinkan pulang dari rumah sakit?"

YeSung bukannya kehilangan ingatannya hanya saja ia tak mengenal KyuHyun-nya. Pemuda di sisinya seolah membawa musim dingin datang lebih cepat, padahal matahari musim semi baru saja meminta izin untuk pulang.

"Besok," ucap YeSung bergetar—ia gagal menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Kurasa aku bisa berlatih berjalan di rumah."

"Oh." KyuHyun bergerak. Menggeser tubuhnya dengan mendadak sehingga berada tepat di belakang YeSung. Memaksa kursi roda itu berbalik arah dan rodanya berputar. Mereka bergerak menjauhi taman rumah sakit dan melaju di atas setapak kecil menuju bangunan menjulang di depan mereka.

"Kyu..." panggil YeSung canggung. Sungguh, ia tak pernah merasa secanggung ini dengan KyuHyun sebelumnya. Tapi, kebekuan yang tercipta menjadikan jarak taman dan bangunan di depan mereka menjadi semakin jauh.

"Hm?"

"Aku akan tinggal di mana?"

Suara roda yang berputar terdengar berdecit lembut. Jeda panjang kembali terjadi dan angin sore hari melewatinya dengan sempurna. Membisikkan entah apa di telinga Yesung yang tengah meremas jemarinya erat-erat, menunggu jawaban dari KyuHyun—jawaban yang akan membuktikan semuanya.

"Tentu saja di rumah—" YeSung bisa mendengar pemuda di belakangnya menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "—rumah kita."

Desah kelegaan yang aneh memaksa untuk keluar dari bibir YeSung. Ia merasa yakin tapi pada saat yang bersamaan juga merasakan ketidaknyamanan yang aneh. Ada apa sebenarnya?

.

.

.

.

.

.

"Kyu!"

Langkah tegap pemuda berkulit pucat itu tertahan oleh sebuah panggilan. Ia berhenti tepat di sisi kiri lift yang akan membawanya menuju lantai dasar.

"Bagaimana keadaannya?"

KiBum melontarkan pertanyaan begitu sudah berhasil menjajari langkah KyuHyun, berdiri di depan pemuda itu. Dengan mata yang membiaskan antara khawatir dan penasaran.

"Baik-baik saja." KyuHyun menjawab singkat begitu tahu jika sosok berkulit sepucat dirinya di depannya mengajukan pertanyaan soal itu.

"Apa dia membicarakan soal kecelakaan yang menimpa kalian?"

"Itu adalah topik yang dihindarinya."

"Jadi, dia tidak bertanya mengenai—

"—tidak," jawab KyuHyun cepat. Ia mulai kembali bergerak detik itu juga, dan KiBum mendadak sadar bahwa ia sudah terlalu banyak bertanya.

.

.

.

.

.

"Aku tidak ingin pulang."

Pagi itu jatuh terlalu cerah. Landscape langit di luar menunjukkan warna biru yang jernih. Para pekerja kantoran telah memulai aktivitas mereka dengan senyum yang berkembang—karena kebenaran ramalan yang diramalkan peramal cuaca semalam dan juga nama hari yang tengah mereka lalui, satu hari sebelum akhir pekan.

Kibum yang semula menghadap jendela, memandang hari yang terlalu sempurna di depannya akhirnya memutar tubuhnya, dan berganti memandang pemuda di belakangnya. Menghalangi bias matahari pagi dengan menyandarkan tubuhnya pada jendela.

"Kenapa?" tanya pemuda di depan jendela datar, khas seorang Kim KiBum, namun kekhawatiran pemuda itu tak bisa disembunyikan dari sepasang alisnya yang kini bertaut.

"Entahlah..." YeSung menggeleng. Dua hari yang lalu, keinginan untuk segera keluar dari rumah sakit begitu kuat. Terlalu kuat—lebih dari keinginan untuk mengetahui apa saja yang ia lewatkan saat koma. Tapi, setelah satu hari kemarin yang baru saja terlewat, ia merasa jika keinginan yang bertumpuk sampai membuatnya sesak itu menguap. Menguap begitu saja, tak menyisakan bentuk apapun. Mungkinkah ini karena—

"KyuHyun?"

"Apa?" YeSung mendongak, yang celakanya langsung membuat netra bistre-nya berhadapan dengan obsidian tajam nan mengintimidasi milik KiBum. YeSung mencoba membuang pandang, tapi ia tahu semua itu sia-sia. KiBum seolah punya kemampuan untuk membaca pikirannya (dan jika itu benar, YeSung akan meminta agar KiBum membaca pikiran KyuHyun).

"Kau tidak ingin pulang karena KyuHyun?" ulang KiBum pelan, namun penuh penekanan yang mampu membuat YeSung kehilangan kosakata sanggahan.

Diam. Keheningan lagi-lagi muncul begitu panjang. Suara AC yang berdenging pelan melatari adegan mereka yang bergerak perlahan.

"Kurasa bukan karena dia." YeSung berbohong. Mungkin memang karena pemuda itu. KyuHyun-nya—yang tak lagi dikenalnya. "Tapi, KyuHyun memang jadi sedikit berbeda."

"Dia berubah."

"Hanya sedikit berbeda." Kebohongan ke dua.

KyuHyun sangat berbeda. YeSung telah bertemu dengan orang lain. Orang lain yang berada di tubuh KyuHyun-nya. Bahkan KiBUm yang pendiam pun tak sebeku KyuHyun barunya. 'KyuHyun Baru' Ya, YeSung berpikir nama itu tidak terlalu buruk. Mungkin ia harus memperlebar ruang di kepalanya untuk nama itu, 'KyuHyun Baru'-nya. Atau ia tak perlu menambahkan '-nya'?

"Mungkin sesuatu telah terjadi selama aku koma." Sesuatu yang mengubah KyuHyun-nya.

"Kalau memang begitu, aku pasti akan menceritakan hal itu padamu." KiBum melipat tangannya. Binernya masih setia pada sosok yang kini tengah duduk di atas bangsal di depannya. "Lagipula, kau tidak kehilangan ingatanmu bukan?"

"Kau benar," ucap YeSung akhirnya. Ia menyerah dan mencoba menciptakan kurva di bibirnya. "Aku tahu kau tidak akan menyembunyikan apapun dariku."

KiBum berusaha tetap tenang dan menahan diri untuk menelan gumpalan rasa bersalah yang kini berada tepat di tenggorokannya. Ini yang terbaik. Mati-matian ia mempertahankan ekspresi datarnya.

'Aku melakukan ini untukmu, YeSung.'

.

.

.

.

.

.

YeSung mencoba tidak terlalu banyak bicara selama perjalanan menuju rumah mereka—rumahnya dan 'KyuHyun Baru'nya. Sebuah pondok kecil di tepi danau. Biasanya, ia maupun KyuHyun tidak akan ada yang tahan berada dalam keheningan yang cukup lama. Berdebat di dalam mobil adalah makanan mereka saat berkendara. Dan semua itu nyaris dikarenakan hal yang cukup sepele, tapi hal itu juga seolah mampu mempersingkat waktu perjalanan mereka, membuat KyuHyun mengeluh karena kebersamaannya dengan YeSung selalu terasa begitu pendek. Tapi, sesekali mereka juga akan memainkan musik. YeSung lebih suka dengan musik bernada-nada lembut, romantis, dan menenangkan, sementara KyuHyun berpikir musik rock lebih cocok menemani perjalanan mereka.

YeSung terkesiap. Matanya mengikuti tangan KyuHyun yang kini kembali bergerak untuk fokus pada kemudi setelah menyalakan pemutar musik di dashboard mobilnya. Biasanya mereka juga akan bertengkar soal musik dan berakhir dengan kekalahan YeSung. Tapi, kali ini YeSung tak mencoba protes. Bukankah 'KyuHyun Baru'nya baru saja memutar musik favorite-nya?

.Lagu cover berjudul 'I Love You' milik Beni mulai mengalun lembut. Terlalu lembut untuk menarik lengkung samar di bibir YeSung. Setidaknya, KyuHyun Baru tahu lagu favorite-nya.

.

.

.

.

.

.

Tidak ada yang berubah dari rumah kecil yang terletak di pinggir danau itu. YeSung masih ingat. Bunga-bunga yang tertanam di sisi setapak menuju ke beranda kini mulai berbunga. Walau KyuHyun mengoloknya bahwa ia terlalu feminine karena repot-repot membayar orang untuk menanam bermacam bunga di depan pondok mereka, toh akhirnya KyuHyun ikut puas saat melihat pemikiran feminine YeSung. Bunga-bunga itu memberi warna saat musim semi tiba. Empat musim semi telah mereka lewati bersama dan sekarang adalah musim semi ke lima. Bunga-bunga itu masih saja menampilkan akromatik dari jenisnya yang memang berbeda. Akasia adalah favorite YeSung, entah kenapa ia suka dengan bunga berwarna kuning mencolok itu.

Pohon-pohon pinus masih berdiri angkuh, dan ia bisa melihat sekilas danau di sisi rumahnya memantulkan cahaya senja. Terlihat indah dan YeSung mulai membayangkan jika ia akan berlatih berjalan di sisi danau dengan kesenangan yang memuncak serta tekad yang begitu kuat.

KyuHyun masih setia mendorong kursi roda dengan ia di atasnya, membiarkan dua roda besar di sisi tempat YeSung memberikan seluruh berat tubuhnya berputar, konstan. YeSung ingat—sejujurnya tidak terlalu ingat—jalan setapak menuju beranda tidaklah semuanya berbentuk tangga, setapak yang di tengah tetap dibuat rata. Dan ia juga masih ingat dalam memorinya tentang perdebatannya dengan KyuHyun mengenai hal ini. Memori yang datang bertahun-tahun lalu, awal mereka menempati rumah ini, tentang jalan menuju beranda yang terbangun sedikit aneh. Dan untuk ke sekian kalinya, ia merasa bahwa KyuHyun benar—terlalu benar.

YeSung menurunkan pandangannya akan lantai dari kayu yang menjadi alas berandanya, sementara KyuHyun yang tadi berada di belakangnya kini bergerak ke sampingnya untuk membuka kunci pintu rumah 'mereka'.

Tak butuh waktu lama ketika akhirnya pintu terbuka dengan bunyi 'cklek' pelan dan KyuHyun kembali pada YeSung, mendorong kursi roda memasuki rumah yang terlihat gelap karena cahaya sore yang tak mampu merengsek masuk.

'Selamat datang kembali ke rumah, Hyung...'

YeSung seakan tersedak sesuatu. "Apa?"

"Ada apa?"

Ia memaku pandangan pada ujung ruangan, pada sudut kosong yang tak terisi satupun perabot, memperlihatkan hitam kayu eboni yang terbangun menjadi dinding pondok. YeSung yakin sekali tidak ada yang salah dengan organ auditorinya atau indranya yang lain. Dan jika dokter sudah mengatakannya, maka YeSung percaya. Tapi, ia baru saja mendengar sesuatu—semacam sambutan selamat datang—yang ia yakini bukan berasal dari 'KyuHyun Baru'nya. Suara itu terdengar dalam artikulasi yang nyaris tak tertangkap karena terlalu rendah, namun YeSung merasakan sebuah perasaan aneh yang berpusat dari perutnya dan sebuah kehangatan. Rasa yang terlalu ia rindukan. Mungkinkah ia berhalusinasi?

Sayangnya, KyuHyun Baru-nya tidak membiarkannya untuk memaku pandangan dan memfokuskan telinganya pada suara itu terlalu lama. Pemuda itu kembali bergerak mendorong YeSung ke arah pintu lain di sisi kanan ruangan.

"Ini kamarmu."

Jika ada satu hal yang sangat salah, maka YeSung yakini adalah kali ini. Sejak awal kamar ini memang kamarnya. Ia tidur di sini sejak awal mereka menempati rumah pondok ini. Lihatlah, barang-barangnya bahkan masih tertata seperti semula—tak berubah sejak hari kecelakaan itu. Hanya saja selama dia pergi, tak terlihat debu yang menyambutnya sejak dari pintu masuk ruang ini. Terlalu bersih. Samasekali tak menunjukkan sebuah pondok yang sudah terlalu lama ditinggalkan. Mungkinkah KyuHyun telah merawatnya dengan begitu baik?

"Kita tidur berpisah?"

YeSung memutar kursi rodanya. Menatap KyuHyun yang kini memunggunginya. Merka selalu tidur bersama sebelumnya, terlebih KyuHyun yang seolah tak bisa tidur sebelum YeSung bernyanyi untuknya dan semua terlalu berbeda—sangat berbeda. Netra YeSung bergerak, mengamati punggung pemuda itu dalam keremangan. Surai sewarna senja pemuda itu masih sama, ikal dan memiliki magnet yang kuat agar YeSung menarikan jemarinya untuk mengacaknya, mengusapnya, atau meremasnya saat mereka sedang bercinta. Kulit pale tak ternoda yang selalu berhasil menarik bibir YeSung agar bermain dan menyusurinya—dengan lidahnya. Oh bagus, Kim YeSung. Dan sekarang kau terlihat begitu mesum. Mata sehitam blackhole—tidak, lupakan tentang mata yang seharusnya hanya sebuah kumpulan sel yang berfungsi untuk menangkap bentuk, warna, dan cahaya. Tapi, satu hal yang berbeda, dan fatalnya itu merusak semuanya. Cho KyuHyun menjadi begitu dingin.

"Tidak."

YeSung memang tak bisa melihat ekspersi pemuda di depannya, tapi ia tahu 'KyuHyun Baru'-nya seolah tersadar akan sesuatu. "Aku hanya ingin ke dapur mengambil air."

YeSung tidak tahan lagi. Persetan dengan kemungkinan dirinya yang memang kehilangan ingatan atau KyuHyun yang terbentur saat kecelakaan itu terjadi (berarti KyuHyun yang sebenarnya kehilangan ingatan). Ia menatap tajam punggung yang 'KyuHyun Baru' tampilkan untuknya, berharap pandangannya bisa menembus tengkorak kepalanya, mengebornya untuk mencari tahu apa yang pemuda itu sembunyikan darinya. Persetan dengan KiBum yang pasti akan mengatakan bahwa ia koma cukup lama sehingga KyuHyun berubah atau KyuHyun memang terbentur (dan lagi-lagi berakhir dengan kata 'terbentur'). Tangan YeSung bergerak, membiarkan jemari mungilnya mencengkram pinggiran kursi roda terlalu erat hingga membuat buku-buku jarinya memutih. Dan pertanyaan itu akhirnya keluar juga.

"Siapa kau sebenarnya?"

.

.

.

.

.

.

BERSAMBUNG...

A/N: Aloha~ well, tadinya aku ga jadi membuat fiksi ini chaptered tapi yang beginilah(?). Salahkan ide yang suka nongol mendadak. Lalu, karena aku ga suka alur yang mudah ditebak, maka maafkan kalau alur fiksi ini juga jalan seperti keong(?). :lol

P.S Aku ga bisa nulis words banyak-banyak -_-)v

Thanks for reading, mind to review please? *v*