Cyaaz : Makasih buat support nya Wolfy-senpai.. ini dilanjut. walaupun belum jelas beneran mau lanjut apa engga. hehe

NelshAZ : makasih Nel-san sempetin review mulu :)

Popcaga : -_- semangat! lagi puasa jadi ingetnya SEMANGKA! #Ngiler

Mayu Asuka : Arigatou! ;( ;(

Sachika Amarfi Zala : Benarkah ? :) Makasih banget ya udah baca n review ;)

Ga Punya Akun : Ren bingung, manggil apa ya? koug namanya 'Ga punya akun'?


Chapter 2 : Kerja paruh waktu?

GUNDAM SEED/DESTINY © Masatsugu Iwase, Yoshiyuki Tomino, Hajime Yatate © SUNRISE

Warning : OOC, Typos, GaJe, dsb.

.

.

.

Cagalli POV

Karvas hitam di atas bumi mulai nampak, aku berjalan di jalanan sepi ini dengan seorang pria berambut night blue bermatakan bola zamrud yang sangat sejuk bagiku. Pukul 06.30, pria di sampingku ini memutuskan untuk mengantarku pulang. Rumahku tak terlalu jauh dari kampus ini, jadi kami memutuskan untuk berjalan kaki.

"Kenapa kau memutuskan untuk mengatarku? Bukankah kau bilang rumahmu di pusat kota?"

Aku memutuskan untuk membuka percakapan karena sunyi sudah menemani perjalanan kami sedari tadi.

"Ti-tidak baik bukan, jika membiarkan seorang gadis berjalan sendiri saat malam seperti ini." dia menjawab dengan kikuk lagi.

"Apa aku membuat kau tidak nyaman?"

"?" dia hanya menatapku bingung.

"Kau selalu bersikap kaku di depanku. Aku tahu kita baru kenal, tapi bisakah kau bersikap santai? Aku akan senang jika kau bisa."

"Baiklah." dia tersenyum padaku, membuat pipiku menghangat. 'Oh no! Tidak ada cinta pada pandangan pertama bagiku!' Tapi bukankah selama ini aku sudah memperhatikannya? Jadi bisa dipastikan, ini bukan cinta pada pandangan pertama. Tapi benarkah ini cinta?

Hurf..

Sampai disanalah percakapan kami, ternyata aku tidak bisa membawa percakapan panjang di antara kami. Lima menit setelah itu, kami sampai di depan rumahku, sebuah rumah sederhana.

"Nah, kita sudah sampai."

"Ini rumahmu?"

"Yah, begitulah. Kecil ya, hehe" aku menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal dan tertawa garing. Itu adalah tempat tinggalku, sebuah bangunan dengan berbahan kayu jati berlantai dua. Sebuah bangunan yang seperti sebuah villa, ditambah letaknya di pesisir pantai.

"Itu terlihat nyaman dan hangat."

"Hangat ya, mungkin, karna dihuni oleh dua remaja yang selalu bertengkar dan sepasang suami istri yang sering kali begitu heboh. "

"Pasti menyenangkan." dia tersenyum padaku, aku hanya memanyunkan bibirku tanda sebal.

"Kadang menjengkelkan." ucapku seraya menghampiri gerbang kayu besar. "Terimakasih, Asuran." aku berbalik mengahadapnya dan tersenyum.

"Sama-sama, Cagalli."

"Kau ingin mampir dulu?"

"Tidak, terimakasih. Aku ada urusan di rumahku."

"Mungkin kapan-kapan ya?"

"Mungkin."

"Kalau begitu, aku masuk ya. Jaa.."

"Jaa.."

Aku membuka gerbang dan melangkah masuk. Namun, ada kata yang mengganjal di hatiku dan sulit untuk aku abaikan. Maka dengan cepat, aku berbalik dan melihatnya yang masih berdiri di sana dengan wajah bingung saat aku tiba-tiba berbalik.

"Hati-hati, Asuran!" ucapku dengan cepat dan segera berlari masuk ke dalam rumah. Apa-apaan ini? Kenapa aku malu mengucapkannya? Kenapa pipiku sangat panas? Kami-sama.. Tolong jawab pertanyaanku.

.

.

.


ATHRUN POV

Aku sempat bingung saat ia tiba-tiba berbalik dengan pipi merah. Namun, senyum merekah di bibirku saat ia berkata 'hati-hati' padaku. Lagi-lagi, perasaan hangat menjalar di hatiku. Ini adalah hari yang indah. Dengan tatapan tak rela, akupun beranjak dari tempatku berdiri dan berjalan menuju jalan raya untuk mencari taksi yang bisa mengantarku sampai di apartementku.

Setelah 30 menit aku menghabiskan waktu untuk menunggu taksi, tibalah aku di apartementku. Setelah memasuki lift dan sampai di lantai 10, segera kubuka pintu bercat putih dan masuk ke tempat yang mana menjadi tempat tinggalku selama setahun ini. Disinilah pusat ORB, kau bisa melihat betapa ramai kota ini dibalik kaca kamarku.

Aku menatap pemandangan di balik kaca besar kamarku, namun pandangan itu hanya pandangan kosong, saat pikiranku terus mengarah pada sosok gadis berambut pirang.

"Cagalli…" aku menggumamkan nama gadis itu. Ku lengakkan kakiku menuju kamar mandi dan melepas kacamata bulatku, melemparnya ke sembarang tempat. Kubasuh wajahku di washstand lalu menggunakan pembersih wajah untuk menghapus make-up yang merupakan kedok bagi Asuran. Aku melepas ikat rambutku, nampaklah sosok Athrun Zala di cermin washroom ini. Sosok yang mereka bilang sempurna.

"Cagalli.."

Lagi, aku membisikan namanya. Aku sangat menikmati bagaimana nama itu keluar dari mulutku. Aku tersenyum, menatap cermin sesaat lalu beranjak menyalakan shower.

Butiran air jatuh mulai dari ujung rambut atasku hingga kakiku. Sensasi dingin secepat kilat dirasakan oleh tubuhku. Aku tidak menggigil, rasanya malah sangat segar. Kupejamkan mataku, meneladahkan kepalaku menatap langit-langit kamar mandi.

Ini sudah malam, tidak baik jika aku berlama-lama untuk mandi. Hanya membasuh tubuh dengan air ini, memberi efek segar untuk tubuhku. Aku segera mengambil handuk yang biasa sudah tergantung di sudut kamar mandi ini, lalu memakainya.

Untuk terakhir kalinya, aku menatap kaca di kamar mandi ini dan menyentuhnya.

"Aku berharap, kita bisa bertemu lagi. Aku ingin kita bisa berbincang-bincang lagi, Cagalli."

.

.

.


Zaft University

10.00 a.m

Senyum nampak menghiasi wajah seorang pria, pria berkacamata besar dengan bintik jerawat dan rambut yang diikat. Kita tahu siapa dia, Asuran.

Asuran berjalan dengan santai dan tampak mengacuhkan orang-orang yang berbisik membicarakannya. Ia tidak peduli akan apa yang mereka bicarakan, ia sungguh tidak peduli. Yang ada di pikirannya saat ini, hanya gedung fakultas hukum, tempat seorang gadis pirang tertentu mungkin ada di sana.

'Ini takdir,' Asuran selalu berpikir demikian ketika ia menemukan handphone hitam pada sofa yang terdapat di ruangan pribadinya, tempat dimana mereka bertemu. Kini ada alasan, untuknya menemui gadis itu. Ada alasan, untuknya menyapa gadis itu, menatapnya, memperhatikan tiap ekspresi yang mungkin saja muncul. Asuran sungguh senang, lebih senang dari saat ketika ia mendapatkan hadiah ulangtahun dari ibunya dulu. Namun..

Athrun -Asuran- menghentikan langkahnya saat ia ingat suatu hal.

Asuran menggenggam erat ponsel hitam yang sudah dipastikan milik Cagalli dan terdiam menatapnya. Ekspresi sedih kini nampak pada wajah cupu-nya. Rasa sakit, entah kenapa muncul di hatinya. Ia tahu apa alasan ia merasa sakit, tapi ia tak mengerti mengapa demikian. Apa ia cemburu?

Apa Athrun cemburu? Ketika membuka ponsel Cagalli.. Yang terdapat pada latar belakang layarnya..

Adalah foto Cagalli dengan seorang pria. Mereka nampak akrab dan serasi. Cagalli dan pria itu tersenyum bahagia, dan pria itu merangkul Cagalli dari belakang.

Saat ia melamun menatap ponsel itu, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Asuran terkejut, lalu berbalik dan menemukan senyum ceria dari seorang gadis. Asuran tersenyum, ternyata malah gadis itu yang menemukannya.

"Kau sedang apa di sini, Asuran?"

"Cagalli.." Asuran hanya terdiam, sibuk memperhatikan Cagalli yang begitu ia rindukan.

"Ya?"

"E-eh!" Asuran tersadar, lalu segera kembali pada dirinya. "A-aku ingin mengembalikan ini." Asuran mengulurkan tangannya, dimana terdapat ponsel berwarna hitam.

"Oh tuhan! Aku pikir aku menghilangkannya!" Cagalli segera mengambil ponsel itu dan menunjukan ekspresi lega. "Kau menemukannya dimana?"

"Di sofa.."

"Terimakasih banyak, Asuran! Mari kau ku traktir!"

Cagalli tiba-tiba menarik lengan Asuran dan menuntunnya menuju kantin. Asuran sempat terkejut, namun senang pula. Dia memperhatikan Cagalli yang berjalan di depannya. Cagalli sumbringah, dia tetap memasang senyumnya sepanjang jalan.

.

.

.


Sesampainya di kantin..

"Woh,, penuh sekali! Kita tidak akan kebagian tempat duduk kalau begini."

"K-kau tidak perlu mentraktirku, Cagalli.."

"Aku harus, Asuran!"

"Ta-tapi.."

"Yosh! Mari kita ke kedai ramen!"

Secepat kilat, Cagalli kembali menarik lengan Asuran dan membawanya keluar dari area kampus.

Tidak butuh waktu lama, mereka sampai di kedai ramai yang ternyata tak begitu jauh dari area kampus. Cagalli dan Asuran duduk lesehan di salah satu ruangan yang tersedia untuk para pelanggan. Cagalli memesan, lalu duduk kembali tepat di depan Asuran.

"Aku memesan ramen jumbo. Kau harus menghabiskannya!" Cagalli sungguh bersemangat, dengan gerakan tangan, dia menambah kesan lucu pada apa yang ia katakan soal enaknya ramen di sini menurut Cagalli.

Asuran hanya diam tersenyum memperhatikan lawan bicaranya, dia sangat menikmati tiap detik kebersamaannya dengan si gadis pirang.

Pesanan datang, dengan lahap Cagalli memakannya dan sesekali berbicara pada Asuran akan betapa khawatirnya ia kehilangan ponsel hitamnya. Cagalli bilang, ia berencana akan bekerja paruh waktu untuk membeli handphone baru, ia tidak mungkin bercerita pada Kira atau orangtuanya tentang hilangnya ponsel hadiah ulangtahun dari ayahnya.

"Walau ponselku sudah ketemu, aku sih masih berencana untuk bekerja paruh waktu."

"Kenapa?"

"Aku ingin mencari pengalaman dalam bekerja, juga sekalian menabung. hehe.."

Satu ide terlintas di otak Asuran, ide yang menurutnya akan membuat ia semakin dekat dengan Cagalli.

"Aku punya kenalan, kau ingin bekerja padanya?"

Cagalli menghentikan 'acara' makannya, lalu menatap Asuran dengan puppy eyes-nya.

"Benarkah aku bisa bekerja padanya? jadi apa, jadi apa?" Cagalli begitu bersemangat.

"Sekretaris pribadi. Soal jam kerja, kau bisa membicarakannya dengan dia. Aku rasa dia akan mengerti kalau kau masih anak kuliah."

"Hm.. apa bisa aku melakukannya?"

'Mungkin jika itu perusahaan kecil, aku bisa melakukannya.' pikir Cagalli.

"Ngomong-ngomong, jabatannya apa?"

"C.E.O dari ZAFT Corp."

Loading 10%..

Loading 40%..

Loading 70%..

Dan...

"Heh?! KAU GILA! ITU PERUSAHAAN TERBESAR DI PLANTS! MANA MUNGKIN AKU BISA MELAKUKANNYA? SEKRETARIS DARI C.E.O TENTU HARUS YANG BERKOMPETEN!"

Asuran sweatdrop, dia tidak menyangka Cagalli akan 'meledak' untuk responnya. Tentu saja Cagalli akan sangat terkejut ditawari untuk menjadi sekretaris pribadi dari seorang C.E.O. Dia saat ini hanya mahasiswi tahun pertama.

"Kau hanya perlu mencobanya, Cagalli."

Asuran tersenyum lembut, mencoba meyakinkan Cagalli untuk bisa menjadi sekretaris pribadi Athrun Zala -dirinya.

"Bagaimana jika aku mengacaukan pekerjaanya?"

"Mungkin dia akan memberikanmu pekerjaan yang lebih mudah?"

"Berharap saja pada lulusan bisnis manajemen, bukan padaku."

Cagalli kembali memakan ramennya, ia pikir itu hal yang percuma untuk mencoba bekerja sebagai sekretari pribadi seorang C.E.O saat dirinya masih duduk dibangku kuliah semester satu.

"Oh ayolah.. aku pikir kau orang yang tidak mudah putus asa dan menganggap itu adalah rintangan yang harus kau taklukan. Ternyata tidak ya.. nyalimu kecil." Asuran berkata demikian, berusaha memancing Cagalli walau ia tahu kata-katanya tidak cocok untuk dirinya yang masih menjadi 'Asuran'.

Cagalli tertegun, kalimat dan nada bicara Asuran, sungguh mengejutkannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa Asuran yang dikenal cupu bisa mengatakan kalimat itu yang jelas berisiko sebuah amukan.

"Kau!" Cagalli menunjuk Asuran yang sedang gelagapan menyadari kesalahannya dalam berbicara -sebenarnya menyadari bahwa dia sedang menjadi Asuran dan tidak boleh menunjukan kepribadian Athrun Zala-.

"Aku menerima tantanganmu!" Ucap Cagalli dan tersenyum.

Asuran terkejut, Cagalli tidak marah, ia benar-benar gadis yang mengagumkan.

"Aku akan merencanakan pertemuanmu dengannya, kebetulan dia satu apartement denganku."

Kini, Asuran sangat percaya pertemuannya dengan si gadis pirang adalah sebuah takdir. Ia sangat yakin itu. Tapi... benarkah gadis pirang takdirnya? Asuran tersenyum sedih ketika gadis di hadapannya memainkan ponselnya dan menatap lembut untuk sesaat pada layarnya.

'Siapa pria berambut hitam itu, Cagalli?'

.

.

TBC !

Continue or Discontinue?

Ini tidak menarik sejujurnya. Tapi.. -_-

Hm.. bagaimana menjelaskannya? mungkin ga mau bikin yang udah review nyesel udah nge-review. Kalian darahku, Minna...

Special Thanks For : Cyaaz, NelshAZ, Popcaga, Asuka Mayu, Sachika Amarfi Zala, G punya Akun . :)