Yohoo~~ Minna-san, Mohon bimbingannya ya untuk FFC kedua Ren ini :) . Tapi kalau ga ada respon baik, oke lah Ren hapus. Hehe.. Selamat Membaca :)

Chapter 1

GUNDAM SEED/DESTINY © Masatsugu Iwase, Yoshiyuki Tomino, Hajime Yatate © SUNRISE

Warning : OOC, Typos, GaJe, dsb.

.

.

Aku memiliki kehidupan yang terbilang sempurna. pada usia mudaku, aku sudah dapat mengambil posisi ayahku sebagai C.E.O dari perusahaan terbesar di PLANTS. Aku juga pemilik universitas terkemuka, ZAFT university. Dengan wajah yang mereka bilang tampan, tidak sedikit gadis yang dengan mudahnya berlutut di pesonaku.

Ah, apa arti semua itu? Seperti dongeng tak berarti bagiku. Apa yang mereka bilang akan kehidupan sempurna yang aku miliki? Bahkan aku tak memiliki hal yang banyak orang miliki. Ketulusan.

Sejak wajahku terpampang di majalah sampai televisi, sudah tak ada hal yang aku dapatkan, yang berdasarkan ketulusan. Apa yang mereka beri, selalu meminta imbalannya. Harta? Popularitas? Memuakkan.

Karna itulah, semua ini berawal. Peranku sebagai Asuran.

***XCupuX***

"Kau tau? Kemarin Asuran menembakku! "

"Heh?! Apa-apaan dia?"

"Oh ya ampun, aku sampai tidak percaya! Berani-beraninya dia."

"Setelah Maya, Karen. Lalu sekarang kau, Shirley? PD sekali dia. Padahal g ada lebih lebihnya."

"Udah cupu, bodoh, norak lagi. Haha"

"Apalagi dengan kacamata bundar besarnya itu. Sempurna deh buat jadi badut di kampus ini. Haha"

***XCupuX***

Di sebuah ruangan sederhana, seorang pria terlihat sedang duduk bersantai seraya mengambil sebuah catatan yang terdapat deretan nama gadis-gadis. Banyak dari mereka yang sudah tercoret dengan spidol merah, dan satu nama baru ia coret, Shirley.

"Sama saja dengan yang lain. Kasihan sekali Shiho… Kue buatannya selalu berakhir di wajahku. Apa-apaan juga dia? Menyuruhku menembak gadis-gadis di hari ulang tahun mereka dengan membawa kue agar terkesan romantis?! Dia hanya menguras tenaganya saja untuk membuat kue yang manis ini. Padahal akhirnya begini-begini juga. Dan aku harus selalu membersihkan ekstra wajahku karnanya. Hurf... Biarkan saja dulu, lebih baik aku mengerjakan urusan kantorku."

Dengan itu, si pria membuka laptop di hadapannya dan mulai fokus dengan pekerjaan 'aslinya'.

***XCupuX***

Cagalli pov

Aku menelusuri lorong di lantai teratas gedung fakultas seni. Namaku Cagalli Hibiki, mahasiswi tahun pertama di ZAFT University yang mengambil jurusan Hukum. Aku sengaja 'berkunjung' ke gedung fakultas seni yang letaknya bersampingan dengan gedung fakultas hukum untuk mencari temanku, Lacus Clyne.

'Dalam peta.. Ruang music di ujung timur lantai ini. Kenapa malah sepi ya? Apa karna ruangannya kedap suara?'

Aku terus memperhatikan peta dan sekitarku.

'Tidak salah lagi, aku tidak tersesat. Ini lantai 3, harusnya aku mengambil tangga timur agar langsung sampai ke ruang music.. Bukan malah mengambil tangga utama.'

Tidak lama kemudian, aku sampai di ruangan terujung yang memang pintunya tidak terlalu jauh dengan tangga timur. Di pintu itu, tertulis 'Ruang Musik', aku segera mengetuk pintu ruangan tersebut.

Tok…tok.. "Permisi…"

'Apa tak ada orang?'

"Permisi… aku masuk.."

Aku memutar knop pintunya, dan pintu pun terbuka.

Itu ruangan sederhana. Dengan ukuran kelas pada umumnya, ruangan ini memiliki deret lemari berisi buku-buku layaknya perpustakaan. Ada sebuah kain yang menutupi benda besar di tengah ruangan ini. Dan di depanku, sebuah kursi seperti sofa yang aku yakini di depannya terdapat sebuah meja, menghadap kaca besar yang menyuguhkan pemandangan langit sore yang indah.

Rambut night blue mencuat di balik sofa itu. Aku mendekatinya perlahan, namun bukan berarti mengendap-endap. Aku sudah tepat di belakangnya, Dia seorang pria, yang sibuk berkutik dengan laptop blue-nya.

"Ano, maaf mengganggu."

Aku coba menegurnya, Seperti terkejut, ia berdiri dan berbalik menghadapku. Mata kami bertemu, itu bola zamrud yang sangat indah. Seorang pria tinggi menatapku heran. Rambut night blue-nya ia ikat walau aku yakini itu tidak terlalu panjang. Di memakai kacamata bulat besar dan memiliki noda hitam di pipi seperti bekas jerawat. Yang membuatku bingung, kenapa wajahnya penuh kue?

"Apa ini ruang music?"

Athrun pov

Aku cukup terkejut akan kehadiran gadis ini. Tidak ada orang yang biasanya datang ke ruangan ini setelah dipindahkannya ruangan musik. Kenapa dia ada disini?

Saat kami berhadapan dengan terhalangi sebuah sofa, aku tetap dapat melihat jelas mata amber yang sangat indah miliknya. Rambut pirangnya hanya sampai di pundaknya, dan dia terlihat tampil tanpa riasan tidak seperti gadis seusianya.

"Apa ini ruang music?"

Ah! Hampir saja aku kehilangan fokusku. Mari kembali menjadi Asuran.

"Ma-maaf, ruangan musik sudah dipindahkan ke ruangan di ujung gedung ini sejak semester ini dimulai."

Aku menjawabnya dengan sedikit kikuk dan senyum canggung agar menambah kesan cupu yang aku miliki. Ini tidak pernah gagal untuk 'mengusir' orang yang sengaja atau tidak sengaja bercakap denganku. Sebentar lagi, pasti ia akan pergi.

"Tapi di peta ini.."

"Mungkin anda salah mengambil peta. Itu peta tahun lalu?"

"Kira tidak bisa diandalkan! Untuk apa aku membawa peta darinya yang merupakan mahasiswa semester 3? Tidak tahukah dia bahwa petanya sudah 'kadaluarsa'? "

Dia meremas peta yang ia bawa dan terdengar bisikan bahwa ia sedang merutuk akan sesuatu atau seseorang. Setelah itu, dengan kerutan di dahinya ia melempar kertas kusut itu. Ia menghela nafas panjang dan memberikan perhatiannya padaku. 'Ini saatnya dia pergi' pikirku.

"Terimakasih atas pemberitahuannya"

"I-iya, sama-sama."

"Cagalli."

Heh? Aku hanya sedikit memiringkan kepalaku karna bingung. Apa maksudnya? Apa Cagalli itu namanya? Kenapa dia memberitahu dengan cuma-cuma namanya? Ini jarang terjadi di setiap pertemuanku dengan gadis manapun saat aku manjadi Asuran.

"Cagalli Hibiki, itu namaku. Kamu?"

Dia tersenyum dan mengulurkan tanganya padaku untuk mengajakku berjabat tangan. "A-Asuran." aku menjabat tangannya lalu dengan cepat segera ku lepas. Tapi walau sebentar, itu lembut dan hangat. Entah kenapa aku menyukainya.

"Ini sudah pukul lima lebih sepuluh menit." dia melihat jam di tangannya, lalu kembali menatapku. " Kenapa kau belum pulang?"

"I-itu, aku mendapatkan tugas dari Mwu-sensei, dan itu harus segera selesai sore ini. Mwu-sensei hari ini pulang setengah tujuh malam, jadi ada waktu untukku, untuk dapat mengerjakannya hari ini."

"Begitu ya.. Boleh aku duduk di sofa itu? Akan menyenangkan jika dapat melihat pemandangan sore hari di luar sana dari tempat ini."

"Si-silahkan." dengan kikuk aku mempersilahkan gadis pirang itu untuk segera duduk di sofa ini. Kubereskan sesegera mungkin barang-barang yang ada di sebelahku agar dia bisa menduduki sofa yang hanya ada satu di ruangan ini. Akting yang sempurna, aku bahkan sengaja menjatuhkan buku-buku itu saat aku membereskannya agar mempertegas bahwa aku 'sangat cupu'.

"Ma-maaf jadi merepotkanmu Asuran!" dia segera menghampiriku dan membantuku membereskan buku-buku yang terjatuh tersebut. Aku memperhatikannya, dia seperti merasa sangat bersalah telah membuatku membereskan buku-buku ini hanya agar dia bisa duduk di sofa.

"Kau tidak usah terburu-buru. Mari rapikan bersama." senyum itu lagi, aku hanya bisa merespon dengan anggukan dan dengan tenang membereskan buku-buku ini bersamanya. Setelah semua tertata rapi di meja depan sofa, kami berduapun duduk di atas sofa.

"Benar-benar indah ya pemandangan sore ini!" dia tersenyum ceria saat matanya menangkap lukisan senja di luar sana. Itu adalah lautan gedung dan rumah rumah yang cukup rapat. Gedung ini berada di dataran tinggi, posisi gedung ini sangat pas jika kau ingin melihat seisi kota kecil di pesisir bumi ORB.

"I-iya." jawabku seraya menarik laptop blue-ku agar aku bisa melanjutkan pekerjaanku. Walaupun sebenarnya, aku sangat ingin berbincang-bincang dengannya. Tapi, apa dia juga ingin?

"Lacus sudah pasti dijemput Kira. Aku tidak berkata padanya bahwa aku akan mampir ke kelasnya. Aku cukup khawatir ia pulang sore walaupun aku tahu Kira akan menjemputnya. Sekarang tidak perlu khawatir, lacus sudah pulang. Kira benar benar menjempunya."

Apa dia memulai percakapan? Dia mengatakan kalimat itu padaku? Atau dia hanya mengungkapkan pikirannya? Saat aku lihat, dia tersenyum lega menatap ponselnya.

"Lacus itu temanmu? "

"Dia sahabatku. Tadi aku mencarinya."

"Ruangan musik?"

"Ya, tapi malah salah. Hehe"

Kami duduk di sofa ini berdua, berbicara santai seolah kami sudah lama saling mengenal. Dia berbicara dengan menatapku, dan aku menatapnya. Tidak ada dinding diantara kami, aku merasa seperti itu. Aku cukup senang dapat saling melempar senyum saat dia menceritakan cerita 'pencarian ruang musik' yang berawal dari kebodohan seseorang bernama Kira yang salah memberinya peta. Dia tersesat kesana-sini saat bingung dimana ruangan-ruangan dalam peta yang tentunya telah berubah karna peta itu 'kadaluarsa'.

"Jadi, ceritakan tentang dirimu."

"A-aku?" tidak pernah terpikirkan olehku bahwa akan ada hari dimana seorang gadis benar-benar bertanya hal tentang Asuran. Pada awal penyamaran, aku sangat percaya diri bahwa aku akan mendapatkan sebuah ketulusan. Tapi setelah satu tahun ini aku menyamar dan tak terlihat titik terang sedikitpun, aku mulai menyerah. Kali ini, akan kah gadis pirang ini memberiku ketulusan? Aku sangat ingin untuk berharap sekali lagi.

"Ya.. Tentang dirimu, tentang hal yang menggangguku di bola zamrud-mu."

Aku tersentak karna terkejut saat menyadari apa yang ia katakan dan ia lakukan. Kini sebuah tisu menempel di pipiku, dengan lembut perlahan membawa krim kue yang ada disana. Dia sangat dekat, aku bisa merasakan hembusan nafas hangatnya. Aku perhatikan ekspresinya, dengan tenang dia membersihkan wajahku. Tak lama kemudian, dia menarik badannya agak menjauh lagi denganku dan tersenyum lembut.

"Aku kurang nyaman berbicara dengan manusia krim. Dan satu lagi.." dia menarik kacamata bundarku dan membersihkannya.

"Ini akan menghalangi penglihatanmu kan jika kotor?"

"A-arigatou" sial! Apa pipiku memerah?

"Ets, aku tidak cuma-cuma membersihkan kacamatamu. "

"Heh?"

"Aku tidak akan mengembalikan kacamata ini." aku tidak mengerti mengapa dia mengatakan itu dan menyembunyikan kacamata bundarku di belakang tubuhnya. Tapi aku tahu, caranya berbicara, memanyunkan bibirnya dengan manja dan tersenyum jahil bukanlah apa yang mereka mereka lakukan, mereka yang kadang mencemoohkan Asuran. Dia bukan bagian dari mereka. Jadi, Apa yang dia inginkan?

"Kenapa kau berbohong padaku? Aku sangat, sangat, dan sangat terganggu dengan apa yang bola zamrud itu sampaikan padaku."

'A-apa maksudnya ini?Apa dia tahu penyamaranku? Tapi maksudnya bola zamrud itu, mataku? Apa yang aku telah sampaikan lewat mataku ini?'

"Jadi, katakan, kenapa kau disini padahal sudah sangat sore? Kau bukan sedang terburu-buru dengan tugasmu, kan? karna jika iya, kau tidak akan sempat mengobrol denganku. Lalu kenapa di wajahmu penuh krim kue?"

Tatapan itu, adalah tatapan yang ibu berikan padaku saatku kecil ketika beliau mengkhawatirkanku. Apa dia khawatir? Kenapa? Kita baru kenal kan?

"Saat aku sampai disini dan tak berhasil menemukan Lacus, aku sangat ingin pulang dan memanjakan tubuhku yang penat ini dengan mandi air hangat. Tapi bola zamrud itu, aku tidak bisa menjelaskannya, rasanya bola zamrud itu tidak bisa membiarkanku pergi."

Dia menunduk, ekspesinya tidak dapat aku simpulkan. Sedih, takut, bingung, sejak kapan aku merasa sepeka ini pada seorang gadis yang baru aku kenal? Kenapa aku sangat ingin memeluknya untuk saat ini? Aku bahkan belum tau siapa dia dan bagaimana ia. Apa aku terlalu cepat menerima kehadirannya dan berharap padanya? Tuhan, tolong jangan biarkan harapanku hanya sekedar menjadi harapan. Untuk kali ini saja, biarkan jadi kenyataan.

***XCupuX***

Cagalli POV

Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku sangat khawatir tentangnya? Apa aku kasihan padanya karna sering kulihat ia sendiri di lingkungan kampus ini? Itu urusannya, kan? Kenapa aku jadi begitu peduli? Bahkan aku baru mengenalnya beberapa menit yang lalu. Apa karna aku sering mendengar tentangnya? Pertama aku mendengar tentangnya, pandangan kasihan aku berikan untuknya yang mereka bilang selalu diejek dan dicemoohkan. Lalu lama kelamaan, aku merasa kagum akan ketegarannya. Ia tetap mengejar gadis yang mungkin ia sukai walau ia sering sampai dipermalukan atau di-bully. Dan sekarang, perasaan apa yang aku berikan padanya?

"Arigatou,Cagalli."

Aku mengangkat wajahku, ia tersenyum padaku.

"Sekali lagi aku ditolak seorang wanita. Ia melempar kue ulang tahun yang aku berikan untuknya. "

Dia tersenyum, seolah itu hal biasa baginya. Dia sudah terbiasa, atau dia memainkan gadis gadis? Terlalu cepat rentan waktu dimana ia menembak seorang gadis. Hampir tiap bulan ia menembak seorang gadis yang cantik atau populer. Ada apa dengannya?

"Jangan memainkan gadis-gadis. Bagaimana mungkin kau bisa jatuh cinta pada seorang gadis secepat itu?" tanyaku dengan tatapan curiga.

"Cinta pada pandangan pertama?"

"Kenapa malah balik tanya? Kau itu.. Benarkah kau jatuh cinta pada pandangan pertama pada semua gadis itu? Playboy!"

"Hehe." dia hanya menggaruk pelan bagian belakang kepalanya dan menunjukan wajah grogi. "ada satu alasan yang tidak bisa aku katakan." sekarang ia berkata serius, pandangannya tertuju ke depan, senyum tipis membingkai wajahnya.

"Terimakasih sudah menemaniku, Cagalli. Sudah hampir malam, mari kita pulang." dia menatapku dan tersenyum sedih.

'Kenapa? Kenapa kau tersenyum seperti itu? Kenapa hatiku mulai khawatir lagi? Asuran.. '

TBC

Terimakasih sudah membaca :)