9 jam berlalu sejak aku merebut motor seorang polisi. Aku gagal masuk ke Berlin, dalam perjalanan aku dihadang sekelompok polisi yang memblokir jalan.

Kusentuh bagian kepalaku yang terasa sakit, seketika seorang lelaki muncul memasuki ruangan tempatku dibaringkan. Rambutnya hitam dengan potongan undercut. Ia memiliki sepasang mata malas yang tajam dan tubuhnya kecil.

"Rivaille?"

"Oh bagus, kau sudah sadar." Dia duduk dengan enaknya pada sebuah kursi di dekat ranjangku. "Kukira Jean yang kukenal selalu ingin main aman, boleh tahu kenapa kau terburu-buru ingin bunuh diri kemarin?"

Kilasan memori segera muncul, beserta kelebatan emosi yang kurasakan sebelum aku tak sadarkan diri. Kini aku ingat, setelah aku turun dari motor meminta para polisi itu membuka jalan seperti orang stres, Rivaille muncul dan memukulku hingga pingsan.

"Ah, Mikasa!" Segera kusibakkan selimutku dan mencoba berdiri. Namun sesuatu mendorongku kembali berbaring di atas kasur. Ternyata Rivaille menginjakku. "Jangan halangi aku!"

"Jean. Kau harus tetap bersikap tenang. Apapun yang kau pikir terjadi pada keluargamu, kau harus tetap tenang. Lagipula, ini sudah pagi. Berlin sudah diblokir semalam segera setelah kami membawamu ke klinik di Potsdam. Para titan itu terkurung di Berlin sekarang." jelasnya. Ia terus berbicara sekalipun aku mendorongnya menjauh.

Kuhampiri sebuah gelas di sisi tempat tidur dan kuminum air mineral di dalamnya. "aku mencemaskan seseorang."

Rivaille angkat bahu. "Kenapa tidak hubungi dia?"

Aku meraba kantung-kantung pakaianku, kutemukan ponselku pada saku celana dan mencoba menghubungi nomer Mikasa. Tidak diangkat.

"Sejak petang kemarin keretaku berhenti di depan Berlin, aku tidak bisa menghubungi Mikasa."

"Mikasa? Oh, ... cewek." Pria yang dulu tinggal di dekat rumahku itu memiringkan bibirnya sesaat, "Dia hafal nomer ponselmu?"

"Di luar kepala." Aku mengantungkan kembali ponselku, memastikannya aman. Ini satu-satunya penghubung antara aku dan Mikasa.

"Baiklah. Logikanya, kalau dia masih hidup dan berhasil keluar dari Berlin kemarin, dia akan mencari telepon umum atau mencari cara untuk menghubungimu."

"Ya, pasti begitu." Kuremas tanganku dengan cemas.

"Oke!" Rivaille berdiri setengah melompat, "Kemarin tim kami sempat mengevakuasi para korban yang sempat di selamatkan keluar dari Berlin. Mereka kini menempati tenda pengungsian dan yang terluka menghuni rumah sakit. Mereka semua ada di Posdam, jadi, kita bisa cari apakah Mikasa ada di antara mereka atau tidak."

Baru kusadari bahwa aku berada di ruangan kelas menengah di rumah sakit Potsdam. Di rumah sakit yang sama, Rivaille menemaniku melihat-lihat para korban dalam insiden kemarin, mencari seorang gadis di usia awal dua puluh tahun berdarah oriental bernama Mikasa.

"Dia tidak ada di sini." Sudah dua jam kami mencari. "Dan aku lapar, aku ingin makan dulu dan sebaiknya kau ikut aku."

Sebelum mengantarku ke lokasi tempat para pengungsi menempati tenda darurat, Rivaille membawaku ke sebuah kafe dan memesan menu sarapan seperti telur mata sapi, beberapa batang sosis, dua iris roti gandum, kacang merah dan saus, metega, bacon.

"Di mana kau bertemu Mikasa?"

Akhirnya aku berkedip. "ah?"

"Di mana kau bertemu Mikasa? Ada kejadian seperti itu bukannya memikirkan keluarga, malah memikirkan seseorang."

"Universitas." Sejak dulu sampai sekarang, aku masih ingat ketika dia melintas melewatiku di koridor kampus. Rambut hitamnya yang indah tergerai seperti melambai untuk menarik perhatianku. Tak lama setelah itu, aku sering melihatnya melintas di koridor yang sama, mungkin dia tidak sadar akan keberadaanku. Tidak kusangka kami sama-sama ikut dalam organisasi mahasiswa yang sama. Namun aku juga tidak berani terlalu banyak menyapanya sejak kulihat Eren selalu menjemputnya pulang kuliah. Kukira itu pacarnya.

"Nah lihat, kau mulai tersenyum."

Aku mengusap wajahku, tepatnya memijit. "Dia sangat berarti bagiku."

"Sudah terlihat jelas." Rivaille melirik makananku yang masih kubiarkan begitu saja. "Makanlah Jean, kita tidak tahu dia di mana tapi bukan berarti dia sudah mati. Untuk mencarinya, kau harus hidup, kau harus punya tenaga."

Seorang pramusaji datang menghidangkan kopi yang dipesan Rivaille. Dan ketika dia menghidangkan kopi di hadapanku, hatiku terasa sesak teringat kembali akan Mikasa. Telur mata sapi dan daging ham yang terhidang ini harusnya terasa lezat. apalagi baconnya yang gurih. Tapi semua rasa itu tidak berbeda seperti air liur. Namun Rivaille benar, aku harus hidup untuk mencarinya. Belum tentu dia sudah mati.

Seusai sarapan, kami mencari Mikasa di tenda pengungsi. Semakin lama perasaanku semakin tidak enak. Ususku serasa diaduk-aduk. Ingatan tentang malam itu, dimana aku melihat seorang pria dimakan raksasa di kejauhan sungguh menggangguku. Aku tidak berani membayangkan bagaimana bila para raksasa itu memakan Mikasa.

Sebuah melodi mengalun dari ponselku, aku dengan cepat mengeluarkannya dari kantung baju dan mengangkatnya. "Mikasa?"

"Mikasa?" Jawab suara di seberang telepon itu. "Ini mama."

"Oh..." lega mama selamat tapi tidak mampu membuatku tenang. "... mama, kau selamat?"

"Ya, kita sekeluarga sekarang tinggal di rumah paman di Munich. Kamu di mana, Jean?"

"Potsdam." jawabku.

"Sedang apa kamu di sana? Cepat kamu ke sini, sekalipun Berlin sudah diblokir tapi tidak menutup kemungkinan para titan itu untuk merobohkan dinding daruratnya. Dan tadi kau bilang apa? Mikasa? Ternyata kau masih berhubungan dengan perempuan China itu. Mama sudah bilang ..."

"Apa?" Jean menggesek-gesekkan ponselnya pada jaketnya kemudian bicara lagi, "Sepertinya sinyal jelek. Sudah dulu yah. Baterainya mau habis."

Segera kumatikan sambungan telepon.

Rivaille tertawa mengejek. "Oh, ternyata hubungan rahasia."

"Brengsek. Apa yang lucu? Sulit sekali menjaga hubungan tanpa restu seperti ini." Aku bersandar sambil memejamkan mataku, menunggu mobil Rivaille mengantarku hingga tenda darurat.

"Kita sudah sampai." Rivaille tidak menungguku, ia langsung turun dari mobil. Kami memasuki tenda darurat untuk melihat para pengungsi sedang menyantap makan pagi mereka. Wajah-wajah penuh duka dan putus asa memenuhi ruangan. Bocah yang menangis, hingga bocah yang mencari-cari keberadaan orangtua mereka. Orangtua yang menangis putus asa, kutebak anaknya tidak selamat. Mataku mencari-cari sesosok perempuan muda dengan rambut hitam yang panjang dengan syal merah menyelimuti lehernya. Tubuhnya langsing dengan kulit mulus yang tampak kuat dengan otot kencang. Mikasa suka berolahraga.

"Aku tidak tahu dia seperti apa. Aku tidak bisa membantu." Rivaille merentangkan kedua tangan dengan rendah sesaat.

Aku membuka dompetku dan kutunjukkan padanya foto Mikasa yang sedang tersenyum dengan aku mengecup pelipisnya.

Rivaille tertawa mengejek lagi. "Manis juga, seperti gadis China. pantas kau suka. Ha ha ha ... tidak kusangka kau romantis juga."

"Dia bukan China, dia Jepang." Kenapa orang-orang tidak bisa membedakan China, Jepang dan Korea? Berhubung Rivaille menertawakanku, aku jadi menyesal menunjukkan foto itu. Andai saja ada foto lain. "Sekarang kau sudah tahu, kau bisa bantu mencarinya."

Setelah menunjukkan ibu jarinya, dia berkeliling ke tenda sebelah. Sebagai polisi terbaik tahun 2000 lalu, harusnya Rivaille memiliki kemampuan yang cukup bagus dalam mencari seseorang.

"Kamu tidak bisa bermain kartu, Jean. Payah."

"Ini kopimu. Sudah pas rasanya?" ia tersenyum.

Pelukannya, aroma tubuhnya, suara tawanya, aku ingin itu semua kembali. Dia ingin sebuah rumah, yang memiliki kebun di belakang. Dia ingin memelihara hewan, mungkin kucing atau anjing. Ketika kami menikah nanti, dia ingin keluarga kecil dengan dua anak cukup. Saat itu aku hanya berkelakar santai, yang penting dia percaya apapun penolakan keluargaku terhadapnya, tidak akan mengubah keputusanku.

Seorang gadis dengan rambut hitam melintas melewatiku, aku terkesiap dan menoleh mengikutinya. Tubuhnya langsing dengan syal merah di lehernya. Ia sedang berbicara dengan seorang petugas. Kupandangi gadis itu hingga menolehkan wajahnya. Ternyata bukan. Aku harus terus mencari, sebaiknya Mikasa ada di sini.

Hingga petang, aku dan Rivaille duduk beristirahat. Kami baru saja membantu seorang ibu melahirkan anaknya.

"Kau serius?" ulangnya untuk kesekian kali.

Sudah bosan menjawab, aku hanya menganggukkan kepala memandangi kedua tanganku yang masih saling bertautan.

"Tapi kau tahu risikonya, bukan?"

Nyawaku bukan masalah. Daripada berdiam diri menunggu hasil. Selama aku belum menemukan mayatnya, aku memilih untuk percaya Mikasa masih ada di sana menunggu kedatanganku. Dia perempuan tangguh, takkan mungkin mati semudah itu.

"Ya sudah. Lagipula kau juga pernah ikut pelatihan angkatan udara setelah lulus sekolah. Katanya kemampuan manuvermu tergolong kelas atas. Semoga berhasil."

Rivaille menjabat tanganku, kemudian menepuk-nepuk bahuku.

Ada sesuatu yang lebih buruk daripada kematian; melihat orang yang dicintai tewas di depan mata.

Ada yang lebih buruk dari itu; tanpa daya melihat orang yang dicintai tewas di depan mata.

Ada lagi yang lebih buruk dari itu semua ...

Tahu kenapa orang zaman dulu menyebut matematika sebagai ilmu paling indah? Karena ilmu itu memberikan kepastian. Satu tambah satu pasti adalah dua. Dua dikurang dua pasti adalah nol. Namun pada abad pertengahan, ketika sains mulai berkembang, manusia mulai bermain dengan matematika, mereka menyadari betapa mengerikan ilmu ini. Itu karena matematika adalah ilmu yang memberikan ketidak terbatasan. Untuk memahaminya, coba bayangkan andai gravitasi di Bumi ini tidak ada, kita akan melayang menuju langit. Melayang, terus melayang ... ke mana?

Yang lebih buruk daripada tanpa daya melihat orang yang dicintai tewas di depan mata adalah; ketidak jelasan apakah dia masih hidup atau sudah mati. Dan lebih mengerikan lagi, ada banyak kemungkinan. Bisa saja Mikasa sudah dimakan raksasa itu, bisa saja dia tidak dimakan tapi tewas oleh hal lain. Dan bisa saja dia masih hidup, terjebak di suatu tempat dan putus asa tidak berani berteriak minta tolong takut dimakan raksasa, atau ... bisa saja Mikasa sudah berhasil keluar dari Berlin dan ada di suatu tempat di luar sana.

Semalam aku bermimpi berdiri di jalanan, tanpa daya melihat kekasihku dimakan raksasa. Seakan aku tahu dia sudah mati, namun percaya dia masih hidup. Sampai bencana ini berakhir, aku akan terus mencarinya. Bila bencana ini sudah berakhir, ia masih belum ketemu, aku akan terus mencarinya. Sampai aku menemukan dia, atau tubuhnya.


Tamat